Part 61
Seperti pagi biasanya di Desa Cibungah, rumah di atas bukit milik Riswan dan Risma terlihat masih terselimuti kabut tipis. Sinar sang Surya masih terhalangi oleh pegunungan yang sedikit terlihat gelap dari arah desa beriklim sejuk ini.
Risma mengantar Riswan sang suami tercinta menuju halaman depan rumah mereka yang luas, dengan rumput-rumput hijau nan terawat juga lampu-lampu taman yang masih dibiarkan menyala. Dingin dan hening, embun masih membasahi rumput dan dedaunan, ada uap asap hangat yang keluar dari mulut dan hidung. Tempat yang sehat, indah dan langka, suasana alam yang tidak akan ditemukan di perkotaan.
"Hari ini jadi mau jenguk bapak dan emak, Neng?" tanya Riswan, sesaat lagi ingin masuk ke dalam kendaraan yang akan mengantarkannya ke bandara.
"Insya Allah jadi Abang. Boleh, 'kan, Bang?"
"Tentu saja boleh, Sayang. Hati-hati tapi yah."
"Iya, Abang sayang," ucap Risma, sembari mencium tangan suami dengan penuh takjim, dan
62Emak Sawiyah dan Risma terdiam tak bergerak di sisi ranjang perawatan, tanpa bersuara. Hanya memperhatikan tubuh Juragan Hasyim yang terbujur kaku. Mereka lalu dikejutkan dengan kedatangan dokter dan beberapa perawat yang begitu terburu-buru.Dokter pria separuh baya yang memang khusus memberikan pengobatan kepada Juragan Hasyim langsung memeriksa kondisi suami dari Emak Sawiyah tersebut, terlihat beberapa tindakan medis ikut dilakukan, yang emak Sawiyah dan Risma tidak paham dan masih terdiam memperhatikan.Genangan air bening sudah nampak di kedua mata Risma dan Emak Sawiyah. Jemari tangan Risma lantas menggenggam jemari tangan perempuan tua yang sudah merawatnya sedari kecil itu untuk memberikan kekuatan, saling menggenggam tanpa bicara.Dokter Ikhsan, dokter paruh baya itu menghentikan tindakan medis, menghela napas dalam, menggeleng-gelengkan kepalanya tanda menyerah."Innalilahi wainnailaihi rodziunn." Beberapa orang suster yang mendamping
Kendaraan yang membawa Bude Ajeng baru saja sampai di depan rumah induk. Rumah yang terlihat sepi dan senyap karena lumayan lama tidak ditempati, dari semenjak Juragan Hasyim menjalani pengobatan di rumah sakit.Mereka segera berbagi tugas, sang sopir pribadi Risma yang bernama Firman segera menemui kepala desa, sementara Bude Ajeng menemui salah satu anak Juragan Hasyim, dan satu orang pekerja yang lainnya merapihkan rumah milik keluarga besar Risma.Bude Ajeng segera ke rumah Samsiah, yang terletak di samping rumah induk berjarak hanya 10 meter, pintu rumah sedang dalam keadaan terkunci dari dalam."Assalamualaikum," ucap Bude Ajeng, sembari mengetuk-ngetuk pintu rumah. Tidak terdengar jawaban. Kembali Bude Ajeng mengucap salam berulang-ulang, tangannya terus saja mengetuk pintu. Tetap tidak ada jawaban.Bude Ajeng terus saja mengetuk, sembari mengintip ke dalam rumah dari cela hordeng yang sedikit terbuka. Terlihat sekilas seorang pria sedang terburu-b
Setelah tujuh hari tahlilan kematian Juragan Hasyim, Emak Sawiyah kembali tinggal di rumah Risma. Sementara Darman bersama keluarga kembali pulang ke Jakarta terlebih dahulu, selepas tiga hari wafatnya sang bapak.Rumah besar itu kembali dibiarkan kosong tak berpenghuni.Siang yang redup, karena matahari terhalang awan gelap dengan angin yang bertiup cukup kencang.Tiga orang berwajah sangar datang menyambangi rumah besar milik almarhum Juragan Hasyim. Orang-orang suruhan dari istri rentenir Kardi yang sudah mati dibunuh oleh Tohir.Dengan gaya yang arogan, salah seorang dari mereka berteriak-teriak tepat di depan rumah besar tersebut, sembari mengetuk-ngetuk pintu dengan sangat keras."Amran! Amran!" Berkali-kali nama Amran yang mereka panggil, karena mereka tidak tahu jika Amran tidak bertempat tinggal di situ."Amran! Keluar Amran!" Tidak ada kesan keramahan dari cara mereka memanggil, disusul dengan ketukan keras di pintu ber
SUAMI YANG DIHINAKAN TERNYATA KAYA 7 TURUNANAib Desa CibungahPART 53Suasana hening dan sepi selepas adzan Isya sudah menjadi kebiasaan di Desa Cibungah ini, dari setelah waktu Maghrib tidak ada lagi aktivitas yang dilakukan di luar rumah. Anak-anak sudah tidak ada lagi yang berkeliaran, mereka semua menghabiskan waktu di dalam rumah saja hingga sampai pagi nanti.Begitupun orang-orang tuanya, selepas salat berjamaah di musholla Kobong milik Ustaz Arief, mereka pun langsung beristirahat dan berdiam diri, hanya terlihat beberapa orang di balai desa tempat biasa pak kades berbincang dengan beberapa orang warga.Jam sembilan malam, selepas menonton acara di televisi, Rohani mengajak suaminya Mursan untuk beristirahat di dalam kamar, sebuah waktu rutin yang terjadwal. Dua anak mereka sudah masuk ke kamar masing-masing.Rohani memang yang memegang penuh kuasa di rumah ini. Dia yang mengangkat derajat Mursan, yang tadinya
Part 54Rohani sekarang terlihat kalap, bukan menyerang suaminya Mursan, tetapi mencakar dan menjambak rambut Samsiah yang belum sempat berpakaian. Menarik dan menyeret-nyeret rambut panjang itu ketepian ranjang tidur. Samsiah melolong menjerit kesakitan, sembari berusaha menutupi tubuhnya yang polos."Dasar perempuan binal! Kegatelan!" Segala umpatan dan caci maki terus terlontar dari mulut Rohani. Marah dan geram kepada Samsiah yang dia anggap merebut dan menggoda Mursan.Mursan yang mencoba menolong pun dihajar dan dipukul oleh Wawan, saudara sepupu Rohani, juga Karta. Walaupun Rohani berteriak mencegah, sepertinya dia masih tidak rela Mursan diperlakukan seperti itu, tetapi dengan Samsiah dia berbuat semaunya.Pak kades Sukardi mendiamkan agar mereka mendapatkan hukuman dari yang merasa menjadi korban perbuatan Mursan dan Samsiah, lalu kemudian mulai memisahkan. Darah terlihat dari sudut bibir Mursan, sementara Samsiah rambutnya
"Rajam sampai mati.""Sepertinya hukuman seperti itu tidak bisa kita terapkan Ustaz, bisa-bisa kita semua ditangkap polisi dan masuk bui," ucap Pak Sukardi, kades Desa Cibungah."Pak kades benar, dan saya hanya menjelaskan apa yang tadi bapak tanyakan," jelas Ustaz Arief.Jadi kira-kira hukuman apa yang pantas diberikan kepada mereka berdua?" tanya pak kades, yang masih kebingungan karena ini adalah peristiwa pertama yang terjadi di desa ini."Dengar tuh Kang Mursan! Samsiah itu hanya ingin duitnya Akang, dia nggak cinta sama Akang!" ucap Rohani mengingatkan suaminya dengan nada cukup keras. Mursan diam saja, tidak menjawab ucapan istrinya."Saya mencintai Kang Mursan," sergah Samsiah cepat, dan Mursan langsung menoleh ke arah Samsiah, semua yang hadir pun melihat ke arah Samsiah."Dasar perempuan gatel! Tadi kau bilang hanya ingin duitnya saja!" bentak Rohani, emosinya mulai naik lagi. Matanya melotot tajam."Awalnya memang beg
Samsiah mulai menangis, meratapi nasibnya. Dia bingung harus melakukan apa, ditambah lagi Samsiah sudah menandatangani surat perjanjian jika dirinya tidak bisa menuntut apa pun terhadap Mursan."Mungkin hanya masuk angin saja, Yah," ucap Ela, bermaksud menenangkan hati adiknya tersebut. Samsiah tidak menjawab, dia masih terus saja menangis."Kamu sudah berapa lama tidak dapat haid?" tanya Ela, berjongkok di samping Samsiah yang masih terduduk di lantai kamar mandi."Hampir enam Minggu, Teh," jawab Samsiah, sembari mengusap air matanya. Ela sekarang yang terdiam mendengar jawaban adiknya tersebut, dahulu pun dia merasakan mual-mual seperti itu dan diusia kehamilan yang hampir sama dengan yang Samsiah rasakan."Mungkin hanya haid kamu yang tidak teratur," ucap Ela lagi, kembali menenangkan hati Samsiah."Sepertinya ngga, Teh. Biasanya tiga Minggu yang lalu seharusnya dapat haid." Samsiah mulai memukul-mukul perutnya, sepertinya dia memang tidak siap
SUAMI YANG DIHINAKAN TERNYATA KAYA 7 TURUNANPreman BayaranPART 57Daniel dan Nathan yang keduanya juga adalah saudara sepupu Riswan jatuh terjerembab di lantai luar ruang resepsi Risma dan Riswan diselenggarakan. Para wartawan yang memang banyak meliput pesta resepsi itu langsung mengerubungi mereka, ingin mengetahui asal muasal penyebab kedua pria muda ini berlaku rusuh.Daniel dan juga Nathan menatap Toni dengan pandangan marah dan emosi, alkohol yang berasal dari minuman keras yang mereka tenggak di luar pesta, sepertinya sudah menguasai mereka berdua." Bangsat kau jongos! Tidak usah sok ikut campur dengan urusan kami!" sentak Nathan dengan penuh amarah, sembari berusaha bangkit dari lantai dengan sedikit terhuyung."Heii! Kuli! Mau cari mati Lo!" Daniel kali ini yang bicara membentak, sembari menunjuk-nunjuk ke wajah Toni. Beberapa rekan kerja Toni yang juga bodyguard Riswan yang terlihat emosi sempat ingin men
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti