Emak langsung pergi, tidak lagi memberikan kesempatan aku untuk kembali bicara atau pun bertanya. Aku terus memandangi tubuh Emak yang perlahan menghilang di kejauhan. Tidak beberapa lama.
"Assalamualaikum, Ris,"
"Waalaikum salam." Salam dan kedatangan Ustaz Arief sedikit mengejutkan.
"Tadinya saya ingin menemani kemari, tetapi saat melihat ada emaknya Neng Risma, jadi saya urungkan," ucap Ustaz Arief.
"Itu bungkusan apa, Ris?" tanya Ustaz Arief.
"Ini sebagian dari baju-baju Risma, Ustaz, disuruh Emak agar disimpan di rumah saya," jawabku, lalu aku mulai menceritakan apa saja yang aku bicarakan dengan Emak kepada Ustaz Arief, termasuk tentang rencana menikah besok pagi, juga tentang wali nikah, termasuk meminta pendapat beliau tentang rencana menikah siri terlebih dahulu dengan kondisi Risma seperti sekarang ini.
"Sepertinya usia Risma sudah lebih dari 21 tahun, jadi ijin dari orang tua sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi. Setuju at
"Saudara Riswan bin Muchtar. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Risma Wulandari binti Hasyim, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan perhiasan emas seberat tiga gram. TUNAI!""SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA RISMA WULANDARI BINTI HASYIM DENGAN MAS KAWIN SEPERANGKAT ALAT SALAT DAN PERHIASAN EMAS SEBERAT TIGA GRAM DIBAYAR TUNAI.""Bagaimana para saksi?" tanya si penghulu.."Sah ... sah!" Suara dari saksi-saksi yang mendengar dan ikut menyaksikan Ijab Qabul."Baraqallah." Wajah-wajah kelegaan terlihat. Hidupku sekarang tidak lagi sama. Aku mungkin belum menjadi imam yang baik dalam ilmu agama, tetapi aku akan berusaha untuk itu, dan mulai pagi menjelang siang ini, Eneng sudah resmi menjadi istriku.Selepas penutup doa yang dibacakan Ustaz Arief, Eneng dengan didampingi Umi Hasanah mendatangiku, sembari mencium tanganku dan berucap pelan penuh keharuan."Jika eneng nanti berbuat kesalahan, tegur dan ingatkan Neng, ya, Bang." Air m
Menjelang senja, saat Matahari hanya tinggal menyisakan sinar orange ke-emasan yang membias indah di ufuk barat tepi bumi.Rumah megah ini masih sama seperti saat terakhirku tinggal di sini enam tahun yang lalu, tidak ada yang berubah dari bentuk dan juga penempatan furniture-furniture yang ada di dalamnya.Sunyi, lengang, tanpa kebersamaan yang saling mengikat antara saudara yang satu dengan yang lainnya. Hanya para pekerja pengurus rumah yang terlihat ada, bahkan mungkin rumah ini seperti milik mereka sendiri, karena lebih banyak waktu yang mereka habiskan di rumah ini dibandingkan dengan pemilik rumah itu sendiri.Aku memang merasa dibebani oleh tanggung jawab yang sangat besar. Saat ini bukan waktunya aku memikirkan diri sendiri. Ada ratusan ribu orang yang bergantung pekerjaan di Niskala Group, itu dahulu yang akan aku prioritas-kan, keberlangsungan bisnis usaha group Niskala.Tidak banyak waktuku hari ini, selesai mandi langsung berencana menjenguk Pa
Aku tahu Papah sudah "hilang" air mata ini kembali jatuh membasahi punggung tangannya, saat aku mencium tangannya untuk yang terakhir kalinya.Tante Sartika terlihat panik, berlari ke luar ruang perawatan untuk memberi tahu suster jaga. Tidak menunggu lama dokter dan perawat juga datang, dan langsung memeriksa kondisi Papah. Aku berdiri lantas berjalan keluar ruangan Papah, sembari mengusap air mata. Om Bagas bergegas mendekati, dan aku hanya menggeleng tanpa bersuara. Dia tahu maksudnya, terdiam menunduk tidak lagi bicara. Kupanggil Toni yang memilih untuk duduk menyendiri di pojok bangku tunggu. "Papah sudah meninggal, Ton," ucapku lirih. "Innalilahi wainnailaihi rodziunn." "Tolong kamu urus semua, Ton," ucapku pelan. "Siap, Pak." Toni lantas menghubungi nomor orang-orang yang bisa membantunya, dan aku memilih untuk pergi mencari musholla di area rumah sakit, untuk menjalankan Salat Isya. Berwudlu dan berdoa agar perasaanku menjadi lebih
Pak Kusno menyambutku dengan sangat hangat, seorang pekerja senior yang sudah bergabung dengan Group Niskala di jaman Kakek mulai merintis usaha, justru malah disingkirkan karena menemukan kecurangan yang merugikan keuangan perusahaan."Pak Kusno segera mengajakku masuk ke ruang tamu rumahnya, sudah dia persiapkan juga segala jenis hidangan di atas meja. Beliau bilang, senang melihatku kembali ke perusahaan yang sudah dirintis kakek, karena jika tidak, sebesar apapun usaha yang dijalankan jika di grogoti dari dalam secara perlahan, maka lama kelamaan akan hancur."Ini Pak Aries, laporan kecurangan yang saya temukan saat itu, semua sudah saya print, dan ini tempat penyimpanan filenya," ucap Pak Kusno, sembari menyerahkan piranti penyimpan data/ discet-kepadaku. Aku mulai mengecek lembaran demi lembaran bukti-bukti kecurangan yang sudah dilakukan kedua om-ku tersebut."Untuk Buk Sartika bagaimana, Pak?" tanyaku, kepada Pak Kusno, menyangkut tentang adik papah yang
Part 20Pagi ini aku sudah kembali memulai aktivitas bekerja, sama seperti enam tahun yang lalu. Setelah kemarin aku membuka semua kecurangan-kecurangan yang dilakukan Om Alex dan Om Bagas beserta para kroni-kroninya. Kemarin itu juga, aku memerintahkan Ibu Dipta sebagai kepala HRD kantor pusat yang sebelumnya di masa Om Alex dipindahkan ke bagian umum, untuk memecat orang-orang yang terlibat kecurangan di dalam Group Niskala ini, dan khusus Om Alex dan Om Bagas, aku sendiri yang menandatangani surat-surat pemecatannya.Setiap perbuatan ada balasannya, dan mereka semua harus bertanggung jawab untuk itu. Semalam pun Tante Sartika menghubungiku, memintaku untuk mempertimbangkan karena Om Alex dan Om Bagas itu masih terhitung kerabat dekat, tetapi dengan berat hati aku tidak bisa mengikuti keinginannya, dan tetap akan terus menempuh proses hukum dengan beberapa alasan yang juga sudah kujelaskan kepadanya. Alhamdulillah Tante Sartika dapat mengerti dan memahami. Yang terpe
POV AUTHOR Gerbang besar nan mewah bertralis besi bercat hitam mengkilap menyambut kedatangan mobil yang ditumpangi Risma, Emak, dan Riswan. Sebuah post keamanan berwarna putih tepat berada di balik pintu gerbang tersebut, dan secara sigap petugas penjaga berseragam langsung membuka pintu otomatis dan berdiri memberikan hormat kepada kendaraan yang mereka tumpangi. Berhenti tepat di depan rumah megah bercat putih bergaya Eropa, dengan dihiasi cahaya rembulan tergambar bulat dan gemerlap bintang-bintang, ternyata jauh lebih indah jika di lihat dari jarak sedekat ini.Risma terpana, terlihat bingung untuk menjelaskan betapa bagusnya rumah yang Riswan buatkan untuk keluarga kecilnya. Emak pun sama seperti Risma, terpukau sampai tak sanggup lagi untuk berkata-kata. "Ayuk, Neng. Emak, kita masuk," ajak Riswan, sembari menggenggam tangan Risma erat. "Bang?" Risma bertanya kepada Riswan, tetapi matanya terus menatap ke arah rumah mewah dengan empat tiang
PART 22Rumah Juragan Hasyim mendadak ramai, karena keributan yang melibatkan anak-anak dan menantunya. Kata-kata kasar dan makian terlontar dari pihak-pihak yang bertikai.Juragan Hasyim diam menyaksikan dalam gamang, tubuhnya terasa lemas, dan jantungnya berdetak sangat keras, kepalanya terasa amat sakit, hingga mengakibatkan dia terjatuh pingsan, di sela-sela keributan, dan upaya memisahkan Amran dan Tohir oleh para tetangga dalam sebuah perkelahian.Kali ini keramaian dan kepanikan bertambah dengan jatuh pingsannya Juragan Hasyim. Keributan pun terhenti, dan mereka beramai-ramai membawa tubuh Juragan Hasyim yang pingsan ke puskesmas yang tidak jauh dari kantor kepala desa.Keributan, perang mulut dan adu argumen berpindah tempat ke kantor balai desa. Mereka sibuk saling tuduh dan saling menyalahkan satu sama lain."Ini semua gara-gara Kang Amran, yang serakah dan mau menang sendiri," sindir Ela, di sela-sela sedang menunggu bapaknya di periksa
Mobil yang membawa Risma berhenti di sisi jalan yang biasa dia turun, lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki ke rumahnya yang terdahulu dengan ditemani Yuli putri pertamanya dan satu orang bodyguard penjaga. Sementara yang satunya lagi Risma minta untuk menunggu di mobil saja, tidak nyaman dia rasanya jika terlihat berbeda di kampungnya sendiri.Risma pun sudah sampai di rumah sederhananya, rumah yang dibeli Riswan tanpa bantuan siapapun. Rumah yang menuliskan banyak cerita kehidupan antara dia dan Bang Riswan, dari sejak pertama kali berumah tangga hingga hampir berjalan enam tahun.Beberapa tetangga yang melihat kehadirannya mulai mendekat, sebagian mengerumuninya untuk memberikan selamat ataupun ucapan pujian dan kekaguman. Mereka semua tiada menyangka, bahwa suami Risma adalah pemilik dari pabrik sekaligus perkebunan besar di desa mereka."Teh Risma hebat, ternyata Kang Riswan orang kaya," puji Mak Enah, tetangga depan rumah."Iya, yah, itu Kang Riswan
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti