Pembangunan Masjid yang dibiayai sepenuhnya oleh Riswan sudah hampir 100% selesai. Sebagian pekerja sekarang sedang sibuk menyelesaikan pengerjaan pesantren yang juga hampir rampung.
Amran, dengan dibantu anak bungsunya Bayu, dan Nengsih istrinya terlihat sedang membersihkan sisa-sisa cipratan semen yang menempel pada marmer teras Masjid. Nengsih membersihkan kaca dan Bayu menyapu lantai. Nampak alat buat mengepel lantai pun sudah disiapkan di situ.
Gulungan-gulungan karpet tebal untuk alas sholat dalam masjid terlihat berbaris rapih siap untuk dipasang. Semua perlengkapan masjid sudah terpasang, dari toa di atas menara, juga pengeras suara sudah siap digunakan. Masjid satu-satunya di desa Cibungah ini sudah bisa digunakan masyarakat untuk sholat berjamaah, hanya belum diresmikan. Menunggu Riswan menyelesaikan kasus yang sedang menjeratnya.
Amran terlihat sangat menikmati pekerjaan barunya tersebut. Dari mulutnya tidak henti menyenandungkan Sho
Pihak kepolisian polsek Cibungah yang memang sudah mengetahui watak dari sebagian besar warga desa ini hanya tersenyum menanggapi, saat istri dan ibu dari orang yang mereka maksudkan untuk melindungi.Bahkan, petugas itu melihat. Seorang anak laki-laki satu-satunya yang barusan ada duduk bersama keluarga Amran ini langsung berlari menuju ke luar masjid setelah melihat ibunya memberikan kode. Anak itu sudah paham tentang apa yang harus dilakukan."Emak, Teteh, tidak perlu panik seperti itu? Pak Amran tidak terlibat dalam kasus kriminal. Kami hanya ingin meminta keterangan saja dari beliau," jelas salah seorang
Emak Sawiyah sudah berada di depan rumah Rohani, setelah Amran dan Ustadz Arief ijin pergi ke kantor polisi. Hal yang sudah Mak Sawiyah rencanakan dari rumah, menemui Rohani setelah selesai memberikan uang gaji untuk Amran.Ada hal penting yang ingin dia bicarakan dan selesaikan dengan Rohani. Perselisihan Rohani dengan putrinya Samsiah, juga demo yang dipimpin Rohani di depan rumah Risma. Emak Sawiyah berpikir untuk segera diselesaikan. Karena dia yakin, ada dendam masa lalu yang belum terselesaikan. Intinya, Emak Sawiyah ingin meminta maaf, dan beliau sudah siap, seburuk apap
Beberapa hari setelah penangkapan Subroto dan orang-orang yang dianggap ikut menyembunyikan. Risma, Susan, dan Maharani, pagi ini berencana akan mengunjungi istri dan anak-anak Julius. Perjalanan yang cukup jauh membuat mereka bersiap untuk berangkat lebih pagi ke sana. Jam Delapan pagi mereka sudah siap untuk berangkat.Sebuah mobil Fortuner sudah disiapkan di halaman rumah dengan dua orang pengawal pribadi. satu priamenunggu di depan pintu mobil, menunggu ketiga perempuan itu keluar dari rumah.Sebuah pesan penting masuk ke handphone milik Risma saat mereka berti
Risma tersenyum, menatap wajah sang emak yang duduk di sampingnya. Mengenggam tangan tua yang sudah berkeriput itu dengan erat."Kita tahu sifat bapak dulunya, Mak?Justru kita sedang berusaha membantu agar tidak memberatkan beliau di alam sana. Karena takutnya, masih ada urusan beliau yang belum terselesaikan di masa hidupnya," jelas Risma, memberikan pengertian."Iya, Ris, emak pun kepikiran seperti itu. kebetulan kemarin itu sengaja emak menemui Rohani, dan alhamdulillah dimudahkan oleh Allah urusan dengannya."Tiba tiba handphone milik Risma berbunyi.
"Tanah itu didapat bapak dengan cara yang sama persis seperti saat bapakmu mengambil alih tanah kedua orang tua Rohani," jelas Emak, dari raut wajahnya terlihat jelas jika perempuan tua itu kepikiran tentang hal itu."Memangnya, bagaimana bapak mendapatkan tanah-tanah itu, Mak?""Bapakmu memberikan pinjaman uang mencekik, yang memang dibuat agar tidak bisa dikembalikan. Dan dengan surat-surat yang ada di tangan bapak, dia paksa dengan menggunakan oknum aparat negara yang bapakmu bayar untuk bantu menekan si pemilik tanah."Jaman itu, Ris. Tidak ada yang berani berisiko dengan pihak militer. Mereka
"Siapa dia Mak? Yang jelas Risma tidak mungkin kenal lah, karena Risma, kan belum lahir," jawab Risma, membercandai ibu sambungnya tersebut. Mau tidak mau ucapan Risma membuat Mak Sawiyah tersenyum. Kembali berucap,"Risma memang tidak kenal secara langsung, tetapi jika Risma nanti tahu, Risma pasti akan kaget?""Siapa, Mak?" Risma mulai penasaran."Pria itu berstatus duda anak satu saat itu, usia anaknya pun mungkin baru empat tahun. Emak saat itu sekitar 14 tahunan.
Dua orang pria berpakaian santai menaiki tangga menuju teras rumah di mana Risma dan Pak Setya sengaja menunggu kedatangan mereka.Risma menilai kedua pengacara Julius itu usianya seumuran dengan suaminya, bisa dibilang pengecara muda. Sudah tersenyum ramah kepada Risma saat mereka berdiri berhadapan. Memberi hormat kepada Pak Setya yang mereka bilang sebagai senior dan panutan mereka dalam profesi mereka sekarang ini.Kedua pengacara tersebut memperkenalkan namanya, Tigor dan Keanu, dengan nama marga di belakangnya. Suku yang paling banyak melahirkan banyak pengac
Risma terdiam mendengar permintaan dari dua orang pengacara Julius tersebut untuk menarik laporan tentang peristiwa penculikan kemarin, atau mungkin meminta perdamaian agar kasus itu tidak berlanjut."Anda berdua menawarkan Restorative Justice dalam kasus penculikan kemarin?" tanya Pak Setya kepada kedua pengacara muda tersebut. Risma yang baru mendengar tentang istilah tersebut memilih diam saja mendengarkan."Benar, Pak. Itu pun jika Bu Risma dan keluarga menyetujuinya?""Tetapi Anda berdua tau, kan, jika pun itu ter
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti