Arzan menunggu dokter menindak Sasi yang kepalanya berlumuran darah banyak sekali. Tadinya mereka sedang jajan boba dan es cream di pinggir jalan. Naas, malang tak bisa ditolak. Sebuah motor berkendara dengan cepat dan menyambar tubuh Sasi hingga terpental sekian meter jaraknya. Lebih parah lagi, pengendara motor itu kabur. Segera saja Arzan membawa putrinya ke klinik terdekat. “Pak, tolong diselesaikan dulu administrasinya,” ucap perawat ketika menahan Arzan yang ingin masuk ke ruang tindakan. Sesaat lelaki itu tercengang. Administrasi berarti berkaitan dengan uang dan di dompetnya hanya tersisa tiga puluh lima ribu rupiah saja. “Mbak, anak saya bisa ditolong dulu,” ucap seorang ayah yang peduli pada putrinya. “Ditolong untuk tahap awal sudah pasti, Bapak, tapi nanti dikhawatirkan perlu tindak lanjut, maka dari itu tolong diisi formuli dan bayar administrasinya.” Suster kemudian menyerahkan formulir yang berisi data diri pasien dan penanggung jawab. Arzan diam sejenak, lalu dud
Sampai di rumah sakit, Vio langsung turun dari mobil dan meminta Alda pulang karena hari sudah larut. Selanjutnya apa-apa akan ia urus sendiri karena tidak terlalu sulit menghadapi masalah pribadi Arzan. Sedangkan Arzan mendampingi Sasi bersama Rere menuju kamar yang telah disiapkan oleh pihak rumah sakit. Kamar VVIP sesuai permintaan Violetta. “Ini terlalu mewah, pasti hutangku sudah banyak,” ucap Arzan ketika perawat meninggalkan ruangan. “Kenapa mikirin hutang, Mas, pikir anak sendiri biar sembuh dulu,” celetuk Vio yang tiba-tiba ada di belakang Arzan. “Lagian istri kamu itu aneh, masak anak sakit nggak datang. Ibu macam apa itu, Mas?” “Mungkin lagi ada kerjaan, Mbak, tapi terima kasih sama pertolongannya.” “Sibuk apa? Sibuk selingkuh sama lelaki lain.” Vio mulai tidak sabar. “Mbak!” tegur Arzan. “Please, pasangan sendiri berubah kamu nggak tahu. Aku aja sama Reza nggak sampai menikah tapi saling mengerti satu sama lain.” “Alda tidak mungkin selingkuh.” “Taruhan kita kalau
Baron Hermanto mematikan ponsel. Selama beberapa saat ia dan putranya hanya berdiam diri tanpa pembicaraan apa pun. Terakhir mereka bertemu saat pemakaman istri sekaligus mami tercinta keluarga itu. “Pulang, Arzan, kamu tidak cocok menjadi orang miskin dan menderita terlalu lama.” Baron Hermanto berbalik dan membelakangi lukisan. Seorang asisten pribadinya yang berumur 52 tahun menunggu dengan setia. Namanya Thomas, sudah ikut dengannya sejak 30 tahun lalu. Mereka saling bersinergi dalam pekerjaan agar usaha keluarga tetap berjalan tanpa hambatan. Meski sering menimbulkan korban jiwa termasuk di antaranya Reza. “Thom, panggil Vio, sekarang!” “Siap, Tuan.” Thomas menjawab dengan penuh rasa hormat. Terakhir kali Baron secara tak sengaja bertemu dengan Arzan di pinggir jalan saat membawa dua buah hatinya bermain. Mereka hidup ala kadarnya dengan motor butut. Hal demikian membuat hati Baron sakit. Dua anak lelakinya sudah memegang kendali bisnis masing-masing bahkan terkadang beper
“Istrinya Pak Arzan udah datang, Bu, tadi saya suruh orang awasi mereka.” Nada menyetir dengan santai sambil mencari tempat untuk makan. “Pasti sekarang lagi berantem, malas saya lihatnya. Santai dulu sebentar Nad, cari tempat minum kopi sama makan roti yang enak,” ucap Vio sambil memejamkan mata. Ia baru pulang dari rumah bosnya dan seketika kepalanya terasa sakit. Vio teringat kembali dengan kenangan masa lalu bersama Reza. Sudah lama berlalu tapi tidak bisa dilupakan dengan mudahnya. “Baik, Bu, setelah itu kita ke mana?” “Tunggu panggilan dari Arzan, dia pasti minta tolong sama saya. Terus mau minta tolong sama siapa lagi.” Mobil berjalan dengan santai sambil dua kali kena lampu merah. Nada dan Vio berada di sebuah kafe dengan penyanyi yang membawakan lagu jazz. Keduanya mengambil tempat duduk terpisah. Nada sungkan mengganggu bosnya yang sedang banyak pikiran. Gadis dengan tinggi 177 cm itu saja terkadang dibuat pusing oleh tugas yang datang tiba-tiba. Apalagi Vio yang kena
Urusan Vio dan Alda telah selesai. Hampir sehari semalam mereka ada di tempat khusus itu dengan pengawalan Thomas sebagai tangan kanan Tuan Baron. Keduanya terlihat letih usai mengurus urusan yang dilimpahkan secara mendadak. “Pulang dulu, Nad, saya capek, suruh antar anak buah Thomas saja.” Vio menguap. Ia luput dari tidur bahkan istirahat sejenak. “Baik, Bu, tapi urusan Pak Arzan gimana. Pasti mereka sudah …” Nada menjeda ucapannya. “Ya ampun, iya, ya. Kira-kira anak itu di mana sekarang?” Vio masuk dalam sebuah mobil yang disetir oleh anak buah Thomas, Alda turut duduk di sebelahnya. “Saya telpon orang saya dulu.” Nada pun tak tahan lagi untuk menguap cukup besar. Ia pun mendengar penjelasan dari orang yang ia pinta untuk mengawasi Arzan serta Alda. Setelah jawaban didapat panggilan ditutup. “Pak Arzan keluar dari rumah sakit lebih dari 24 jam lalu dan belum kembali sampai sekarang. Alda panik nggak tahu harus apa dan mungkin beliau kembali ke rumah yang kecil mungil dan sempi
Vio terus menyetir mobil dan kali ini mereka berdua tidak menuju rumah yang dibeli tempo hari dan sudah Arzan ketahui. Namun, wanita dengan rambut hitam legam itu menuju apartement di tengah kota. Iya, Vio mengerti lingkungan di Indonesia tidak akan menolerir tinggal serumah tanpa menikah. “Kamu udah makan?” tanya Vio ketika Arzan melihat ke pinggir jalan terus-terusan. “Sudah,” jawab Arzan singkat. “Makan angin atau makan hati?” “Keduanya.” “Oke, kita makan di rumah aja, aku lagi malas mampir ke mana-mana.” Perempuan dengan mata tajam itu terus berkendara hingga memasuki lingkungan apartement elit dengan harga hunian yang fantastis.“Kita ke mana?” “Ke tempat yang aman, tanpa campur tangan warga. Di sini nggak ada RT RW atau kepala desa, siapa lo siapa gue.” Untuk mencari parkiran butuh waktu sekitar 15 menit dan setelahnya mereka keluar bersama, lalu menaiki lift dan menuju lantai di mana unit Vio berada. “Kamu nggak terlihat canggung dengan semua ini.” Sengaja Vio memancing
Pagi hari menjelma, atau tepatnya hari hampir siang baru Vio bangun. Sedangkan Arzan tidak ada di apartemen. “Ke mana dia,” gumam Vio sambil menguap. Dapur sudah bersih dari sisa makanan dan baju kotor juga sudah tercuci dengan baik. “Kabur? Mau kabur ke mana, aku kejar sampai ke ujung dunia. Ah, anak papi itu bikin pusing aja.” Vio mengambil ponsel dan mendial nomor lelaki itu. Tersambung tapi tidak diangkat.“Terserah deh, udah tua juga, ngapain harus dijagain 24 jam. Punya akal ya harusnya dipakai mikir.” Wanita dengan rambut pendek sebahu tersebut kemudian mandi dan membersihkan diri, tak lupa memesan makanan siap saji. Seharian ini ia istirahat di apartemen saja. Vio tak ke mana-mana sebab tubuhnya perlu istirahat. Termasuk ia tak ingin diganggu oleh Nada yang kemarin dikirimnya kembali ke Italia. “Tapi ke mana, kamu, kan, nggak punya uang. Nanti malah ngemis lagi di jalan atau jadi ojeg online. Nggak, nggak, Bos Baron bisa marah sama aku.” Vio mengigit ponselnya. Lekas saja
“Kenapa harus ke sana lagi?” tanya Vio sambil menyetir. “Rindu sama anak-anak,” jawab Arzan sekenanya saja. “Anakmu itu bukan anakmu. Mereka, terutama Alda harus tahu diri.” Vio menekankan demikian. “Mereka masih anak kecil.” “Justru karena masih kecil harus diberi tahu secepatnya. Entar udah keburu besar masih panggil Papa, kan susah.” Arzan diam saja mendengar kata-kata Violetta. Benar memang, tapi rasanya ada hati kecilnya yang belum tega untuk melepaskan Sasi dan Rere. “Kenal Pak Thomas?” Arzan menoleh ketika Vio bertanya demikian. Bagaimana ia tak kenal, dari kecil selalu bertemu. “Kenal. Mbak kenal?” “Yap, aku salah satu orangnya.” “Berarti Mbak salah satu orang suruhan Papi?” “Tepat sekali, sudahlah lebih baik aku jujur aja daripada ditutup-tutupi.” Lega sudah, hilang beban di hati Vio. “Jadi semua ini rencana Papi?” “Hmm, biar kamu gak terus-terusan hidup miskin. Emang enak jadi orang miskin? Kok bisa, kok, bisa, sih? Ya, walau kita nggak pernah ketemu dulu, tapi
Arzan menggeliat ketika kesadarannya sudah kembali dengan baik. Malam tadi begitu panjang dan terasa indah saat memadu asmara dengan Vio. Lelaki itu melihat ke sisi ranjang, teman tidurnya tidak ada. Lalu pintu kamar mandi terbuka, Vio keluar dalam keadaan segar bugar. “Terima kasih untuk tadi malam, Bos,” ucap Vio sambil mengeringkan rambut. “Bos?” ulang Arzan. “Iya, kamu, kan, sebentar lagi jadi bos aku.” “Persetan dengan semua itu.” Arzan masih malas bangkit. Mungkin lebih baik untuk tidur dari siang sampai malam lagi. Bel di pintu kamar berbunyi. Vio membuka pintu dan layanan hotel datang membawakan satu meja dorong berisi makanan yang dipesan dan dua pasang baju bersih yang dibeli oleh Vio sesuai size. “Mandi saja, ganti baju dan kita makan. Aku harus antar kamu kembali ke basecamp buat latihan.” “Kalau hanya untuk gym, lebih baik yang ada di apartement, sama aja cuman beda beban.” “Beda, Sayang, ke basecamp lebih baik, nanti aku jemput pas malam.” Vio mendekat dan menye
Ketika Karel sadar dari mabuk, ia membuka mata dan terkejut ternyata wanita di sebelahnya bukanlah Vio. Padahal tadi ia ingat sekali sedang menarik tangan wanita itu sampai ke dalam kamar. “Jalang, sedang apa kamu di kamar saya?” Karel menampar pelayan kapal itu cukup kuat hingga pipinya merah. Tak disangka ternyata lelaki bermata biru tersebut menghabiskan malam bersama perempuan murahan. “Mana Vio?” tanyanya sambil memakai baju dan memegang kepalanya yang terasa pusing. Niat hati menipu Vio tapi malah dirinya yang kena getah duluan. “Saya nggak tahu, Bapak yang tiba-tiba tarik tangan saya ke kamar,” jawab pelayan itu sambil memegang pipinya. “Seharusnya kamu melawan, kalau kamu mau tandanya kamu perempuan murahan!” Karel sudah selesai pakai baju dan ia membuka pintu. Di luar kamar Ica sudah menunggu, malas ladyguard itu menunggu Arzan dan Vio yang sedang bermesraan. “Kasih pelajaran perempuan itu, beraninya dia menyentuh tubuh saya yang mahal.” Perintah Karel. Ica mengangguk, i
“Ngapain di sini?” Seorang perempuan menepuk bahu Arzan. Ketika lelaki itu menoleh ternyata Vio di belakangnya. “Aku pikir Mbak …” Arzan tak jadi memegang gagang pintu. “Ngapain?” Vio menaikkan sebelah alisnya. “Ehm, itu, anu.” Arzan ragu-ragu. “Oh, itu bukan aku, yuk, gak bagus nguping orang sedang bersenang-senang, privasi.” Vio menarik tangan Arzan. “Berarti yang di kamar itu?” Arzan masih penasaran, setahunya ruang di atas khusus untuk Karel. “Iya, tepat sekali kakak kamu sama …” “Bianka?” “Vanessa istrinya.” “Oh, sama istrinya, bagus kalau gitu.” “Nggak, bukan sama istrinya, tapi sama pelayan perempuan lain.” Vio tersenyum sambil mengendikkan bahu. “Hah, tunggu sebentar, saya jadi tambah bingung. Dia di kamar lagi sama pelayan atau sama istrinya?” Pertanyaan Arzan penuh isyarat. “Iya, namanya juga laki-laki, seperti kamu, kan, belum resmi cerai tapi kita udah tidur berdua. Menurut kamu kita ini murahan nggak?” Vio turun tangga dengan perlahan sambil mengangkat gaun pa
“Kalian berdua kenapa? Seperti anak kecil saja!” Adrian memisahkan Vio dan Ica yang terlibat baku hantam. “Dia yang mulai duluan.” Vio merapikan rambutnya yang acak-acakan. Ada bekas cakaran di bagian leher. Sedikit terasa perih. “Dia yang melanggar perintah Bos Karel,” balas Ica tak kalah berantakan. Bagian dadanya sakit kena pukul oleh Vio. “Jadi karena rebutan laki-laki?” tanya Adrian sambil memandang dua wanita tangguh itu satu demi satu. “Gak!” Kompakan wanita itu menjawab. “Sudah, jangan seperti anak kecil rebutan permen. Sebentar lagi tamu undangan akan datang. Rapikan diri kalian berdua, kelihatan seperti pelacur selesai melayani pembeli.” Adrian berdecih. Ia merapikan kemeja putihnya yang sedikit terasa tak nyaman. “Tapi saya nggak bisa ikut pesta, Pak.” Vio mengatur napasnya. “Tidak ada waktu untuk bilang tidak. Rapikan diri sebisanya, beberapa orang ingin bertemu kamu secara langsung. Pesta tanpa kamu itu hambar, Vio.” “Dasar caper! Udah dibilang gaun disiapkan Bos
“Sepertinya kamu harus belajar sopan santun untuk menghargai bos di sini.” Ica sengaja memecahkan gelas di lantai. Perhatian beberapa orang jadi tertuju pada mereka berdua. “Bos? Kenal Baron Hermanto? Dia satu-satunya bos yang paling tinggi di sini.” Menambah suasana semakin ramai, Vio juga menjatuhkan gelas di lantai sampai pecah. “Cukup. Kita di sini bukan untuk mendengar dua perempuan memperebutkan satu laki-laki.” Karel menyudahi keributan itu. “Saya tidak pernah rebutan laki-laki.” Vio meniup poninya yang menutupi mata. “Kita bahas soal Arzan belakangan. Ada yang lebih penting. Silakan dijelaskan, Pak Adrian.” Karel mempersilakan salah seorang kepercayaan Thomas untuk melakukan presentasi. Vio dan Arzan mendengarkan dengan seksama. Arzan jadi semakin tahu bahwa keluarga besarnya ternyata benar-benar menguasai dan mengendalikan semua bisnis di Indonesia, termasuk memonopoli persediaan kebutuhan pokok yang sering membuat harga naik. “Namun, kali ini saya tidak membahas soal h
Vio terbangun ketika alarm ponselnya berbunyi. Ia lupa hari ini harus bertemu dengan Karel membahas masalah tambang emas dan beberapa urusan lain. Namun, tentu saja perempuan itu tak akan pernah lupa kejadian tadi malam yang dilewati dengan penuh kesadaran. Awalnya hanya sebuah tatapan, kemudian berlanjut menjadi sebuah kecupan hangat dan dalam. Lalu layaknya manusia biasa yang mudah terbawa perasaan, keduanya pun mengulang lagi peristiwa di dalam bar tempo hari. “Ini bukan kesialan, ini emang aku yang gatel jadi perempuan,” ucap Vio menyadari dirinya yang salah. Ia bangun dan meraih handuk yang berserakan di lantai dan lekas membalut tubuh. Sebelum ke kamar mandi mafia dengan mata jernih dan tajam itu memandang fotonya dan Reza. Foto yang menjadi saksi bisu peristiwa panas di ranjang yang dulu menjadi tempat Vio memadu asmara bersama Reza.“Aku malu kamu lihat aku seperti ini. Nanti kalau aku sudah bisa mengendalikan perasaanku yang kesepian, aku pajang kamu lagi di dinding.” Dua
“Aku pikirin nanti, karena orang yang terlibat langsung itu Thomas dan Baron Hermanto. Aku berani jamin kamu nggak akan tega menyakiti papimu.” Vio tersenyum kecut. Bagaimanapun darah itu selalu lebih kental daripada air. “Mungkin sekarang tidak, tapi suatu hari nanti atau beberapa tahun kemudian. Bisnis tidak dibangun dalam satu malam, begitu juga kekuatan tidak mungkin dibangun dalam dua hari.” “Pintar, akhirnya kebodohan karena cinta itu pergi juga. Bagus, next time jangan bertemu Alda lagi.” “Saya hanya ingin melihat anak-anak, sesekali.” “Bisa nanti kalau udah santai.” Vio duduk di bale-bale. Di belakangnya terdapat warung harian milik warga atau mungkin milik salah satu abdi negara yang mengambil peruntungan ganda. Lumrah sudah usaha demikian mengingat kata mereka gaji kecil dan kebutuhan hidup semakin besar. Mata perempuan itu mengawasi setiap pekerja dengan menggunakan teropong. Ia harus bekerja keras karena kali ini hasil tambang sangat memuaskan dan perkiraan keuntunga
Arzan menyetir mengikuti arah bus yang ada di depannya. Di belakang mereka ada dua jeep yang mengikuti. Sesuai dugaannya iringan kendaraan itu diperiksa oleh polisi ketika melewati arah luar kota. Dan seperti biasa selalu lolos setelah beberapa negosiasi termasuk pemberian amplop. “Polisi di Indonesia bisa dibeli kejujurannya,” gumam Vio sambil menguap. “Kalau di Italia?” “Sangat susah, tapi pasti ada yang bisa, biasanya aku ajak kerja sama yang mau, yang tidak mau ya nggak diajak.” “Semudah itukah?” “Teori dan praktek selalu beda jauh. Ikuti aja ya, bus di depan aku mau tidur dulu bentar, ngantuk.” Vio mengatur tempat duduk di mobilnya jadi lebih landai. Tak butuh waktu lama bagi perempuan itu untuk terlelap dan ke alam mimpi. Vio benar-benar tak peduli walau wajahnya terlihat jelek saat tidur, bahkan suara dengkur halus terdengar perlahan dan membuat Arzan menghidupkan musik yang suaranya slow sekali. “Semoga ketemu Reza di alam mimpi, kasihan kamu, Mbak, kesepian. Ya, sama
Bagian 30 Pagi hari usai sarapan berat full protein dan minum susu yang khusus untuk laki-laki, Arzan kemudian melakukan olah raga pertamanya. 60 menit ia diminta untuk lari di treadmill. Awalnya perlahan kemudian semakin lama semakin kencang. Jujur saja, lama tak latihan hal-hal seperti itu membuat otot di sekujur tubuh Arzan menjadi kaget. Rasanya ia ingin minta istirahat seminggu lamanya. Namun, tak mungkin sebab semua lelaki di sana rutin berolahraga. Tempat itu bukan gym, melainkan salah satu markas di mana orang-orang Baron yang kemudian diperintah oleh masing-masing tangan kanannya, tinggal. Sambil menunggu ada perintah lebih lanjut. Biasanya mereka tidak akan menganggur sampai lima hari, ada saja pekerjaan yang harus diselesaikan. Sambil menunggu, para lelaki bujang itu akan membentuk tubuh lebih kuat sebab kegiatan mereka benar-benar menguras fisik. “Berhenti dulu, saya nggak kuat.” Arzan menyerah ketika ia diminta mengangkat kakinya sangat tinggi. Latihan di dalam sana