Embusan angin merusak tatanan rambut Litha. Jemari Litha menyapu untaian rambut legamnya lalu dibawa ke belakang telinga. Malam ini cukup dingin apalagi ia tengah di berdiri di balkon kediaman tersebut. Bukan keinginan Litha untuk berada di sana, melainkan ia hanya mengikuti kemauan Kinasih.Perempuan itu menyimpan kekesalan yang sudah mengakar pada Litha. Dan tentu saja masih mengarahkan tatapan tajam pada wajah Litha.Jujur saja Litha merasa risi dengan perlakuan Kinasih saat ini. Dia ingin cepat-cepat mengakhiri kesalahpahaman mereka lantas pulang.“Kamu sengaja mencari perhatian Kirana ‘kan? Dengan begitu kamu bisa gunakan Kirana untuk mencari perhatian Mama. Aku udah bisa tebak rencana busuk kamu, Litha!”Tuduhan yang dilontarkan Kinasih bahkan tak berdasar. Wanita itu mengarang omong kosong hanya untuk menjatuhkan mental Litha.Litha mendesah sebelum menyanggah ucapan Kinasih. “Buat apa aku melakukan itu, Kak? Kalau aku mau dekat dengan Mama, aku bisa melakukannya dengan caraku.
Tadi malam, karena sangat menyesal Kalandra berusaha membujuk Litha agar tak jadi datang. Namun, tampaknya wanita itu langsung bersemangat karena bisa bertemu dengan orang yang pernah menghancurkannya sekali. Litha ingin melihat seberapa tebal wajah Indira ketika mereka bertemu nanti.Ah, entah apakah Salma sudah pernah menyebutkan bahwa mereka pernah berbincang. Entahlah.Pesta makan malam tersebut digelar di sebuah hotel milik Hedy. Setiap orang yang Kalandra lewati menyapanya dengan ramah dan hormat. Tak lupa mereka juga berbisik tentang wanita dalam balutan gaun sage green di sebelah Kalandra.“Aku tahu Pak Produser udah punya istri, tapi aku baru tahu wajah istrinya sekarang. Cukup cantik sih.”“Aku juga dengar mereka sudah punya anak umur lima tahun. Padahal mereka menikah satu tahun lalu.”“Kalau kayak di novel-novel, istrinya kabur bawa anaknya gitu.”“Mungkin sih begitu.”Kalandra melirik Litha untuk memastikan bahwa istrinya tak merasa kecewa pada apa yang baru saja mereka d
Litha mencengkram kuat-kuat gelas mocktail tersebut. Sembari menarik napas dalam untuk memadamkan amarah agar tidak menyiram Indira dengan mocktail yang masih tersisa dalam gelasnya. Tangan Litha sudah nampak gemetar, lekas ia meletakkan gelas pada meja di sebelah kirinya.“Kamu sedang berhalusinasi rupanya. Semenjak kedatanganku ke dalam hidup Kalandra, sejak saat itu pula kamu sudah tersingkir,” balasnya dengan suara rendah karena ia tak ingin orang-orang di sekitar mendengar perselisihan mereka.“Kamu akan tahu sebentar lagi. Apakah aku berhalusinasi atau tidak. Kita buktikan saja.” Ekspresi Indira menampilkan cibiran. “Mau ke mana?” Litha spontan mencengkram lengan Indira kala wanita itu berniat untuk melangkah pergi.Kening Indira berkerut bersamaan dengan munculnya air muka jejap. “Mau cari Kalandra. Kita lihat apa dia berani beritahu rahasia itu sama kamu.”“Tidak perlu mencari suamiku karena aku udah tahu perbuatan murahan kamu.”
Ketika tiba di rumah, Indira lekas mencari Salma. Tempat bercerita ternyaman sepanjang hidupnya tentu saja adalah ibunya. Indira menyandarkan kepala di bahu Salma sambil berkata, “Aku tidak merasa membalas perbuatan mereka di masa lalu itu salah, Ma. Aku yang tertindas dan juga tersakiti. Apa aku salah membalas mereka?”Salma perlahan menarik dan mengembuskan napas panjang. Sudah dapat ditebak kalau pesta makan malam beberapa saat lalu menyebabkan Indira terguncang.“Kalau kamu balas mereka dengan cara sehat, itu tidak salah, Sayang. Kekacauan yang kamu buat beberapa waktu lalu sudah Mama bereskan. Dan Litha juga setuju untuk tidak memperpanjang masalah itu. Mama sangat berterima kasih padanya.”Indira mengangkat kepala, meluruskan punggungnya seraya menatap Salma. Baru kali ini dia dengar ibunya bertemu Litha. “Kapan kalian bertemu, Ma? Apa saja yang kalian bicarakan?” Tiba-tiba Indira geram sekaligus merasa dikhianati.“Mama hanya ingin
Litha sempat tertegun saat melihat tiga orang distributor bunga yang pernah bekerja sama dengannya—berdiri di depan florist miliknya. Ketiga orang itu memang sempat menghubungi Litha, hanya saja Litha kurang percaya bahwa mereka benar-benar datang.“Selamat siang, Bu Litha.” Ketiga orang itu menyapa Litha bersamaan. Dua di antaranya merupakan wanita dan yang berdiri paling depan adalah seorang pria.“Bapak sama Ibu sudah lama menunggu saya?”“Tidak begitu lama, kok, Bu Litha. Kedatangan kami ke sini ya karena mau minta maaf.”“Ayo, masuk dulu. Kita mengobrol di dalam aja,” ajak Litha. Lekas ia merogoh kunci dari dalam tas, membuka lalu mendorong daun pintu tersebut. Karena mereka sudah tutup hampir sebulan, jadi Litha tidak memiliki minuman ataupun kudapan di sana. “Silakan duduk dulu. Saya mau pesan kopi dan kudapan untuk Bapak dan Ibu.”“Tidak usah repot-repot Bu Litha,” tolak Bu Mariani. Perempuan itu memiliki ekspresi serius lalu sege
“Urgh! Capek banget.” Devita menghamburkan diri ke sofa. Paras cantiknya nampak lesu usai bekerja seharian. “Bi, tolong bawain air putih,” pinta Devita dengan suara lemah.Mendengar permintaan Devita, pelayan kediaman bergegas ke dapur. Litha saat ini sudah menyelesaikan urusan dengan Rosella, mendapati adik iparnya terkapar di sofa. Segera ia menghampiri gadis itu.“Dev,” panggil Litha.Devita yang masih lelah memicingkan mata untuk melihat ke asal suara. “Kak Litha.” Gadis itu berusaha menegakkan punggung sambil meminta Litha untuk duduk di sebelahnya. “Tumben Kak Litha mampir ke sini.”“Ini airnya, Non. Juga ada kue dari Nyonya Litha.”“Makasih, Bi.”Pelayan tersebut mengangguk dan tak lagi mengganggu mereka.Setelah hanya mereka berdua yang berada di ruang tamu, Litha menjawab pertanyaan Devita. “Ada sedikit urusan sama Mama.”Mata Devita langsung membeliak. Air yang baru sampai kerongkongan mendadak ingin k
Gemini memutar badannya di depan cermin. Sesekali menyentuh rambut yang diikat dengan gaya sanggul. Menambah keimutan gadis itu. Apalagi saat dia menampilkan senyum cerah, matanya yang cantik pun ikut tersenyum. Rok berwarna dusty pink membalut tubuh kecil Gemini. Ia sangat menyukai penampilannya saat ini. Belum lagi karena dia dan orang tuanya akan jalan-jalan sebentar lagi, yang menambah rasa gembira.Sementara Litha melihat putrinya yang begitu bahagia, jadi langsung mencubit lembut pipi tembam Gemini. Dentuman kebahagiaan dalam dirinya tak bisa ia sampaikan melalui kata-kata.“Ayo, Sayang. Papa udah nunggu kita di depan.”Gemini mengangguk dan tak lupa mengambil tas seukuran ponsel. Litha membantu Gemini memakaikan tas selempang sebelum mereka turun ke lantai pertama.Kalandra tengah menunggu di depan pintu. Lelaki itu mengenakan kaos putih dan luaran jaket berwarna grey. Nampak santai dengan senyum cerahnya. Litha suka melihat Kalan
Devita menemani Gemini kembali lebih dulu ke vila lantaran sudah malam dan Gemini pun agak mengantuk. Litha tak perlu mencemaskan Gemini karena Devita dapat diandalkan.Kedua sosok itu masih berada di pesisir pantai sambil menikmati secangkir coklat panas. Mereka duduk menghadap pantai dan sesekali saling melempar senyum. Begitulah ketika mereka sudah berbaikan.“Saat Gemini lahir, cuma ada satu orang yang menemani aku. Dia ngasih aku semangat untuk bertahan. Dia mengajari aku untuk menjadi ibu sekaligus ayah untuk Gemini.” Litha menceritakan saat-saat ia melahirkan Gemini. Kenangan lima tahun lalu memenuhi pikirannya. Di sisi lain ia begitu bahagia setelah melahirkan, tetapi Litha sempat merasa tertekan karena harus mengurus Gemini—sepanjang hari.Kalandra menatapnya penuh perhatian. “Andaikan kamu datang padaku.”“Datang padamu lalu keluargamu akan mengambil Gemini dan aku ditinggalkan sendirian? Apa itu yang kamu mau?”Kalandra tentu s
Seusai makan siang, Arvin dan Devita memilih pergi ke aquarium sebagai destinasi libur akhir pekan. Tak terasa sudah beberapa bulan ini mereka berkirim pesan singkat, dan kadang-kadang makan malam dan pergi ke tempat-tempat romantis. Layaknya pasangan kekasih pada umumnya.Namun, yang berbeda adalah status mereka masih tetap teman. Devita selalu menganggap jalan-jalan bersama Arvin adalah hal yang istimewa. Hal tersebut mengusik pikiran Devita sepanjang waktu.Apa yang telah dia lakukan selama beberapa bulan ini?Apakah Arvin memang hanya menganggapnya sebagai teman?Pria itu tak pernah mengutarakan perasaannya.“Pak Arvin, aku agak lelah. Aku mau pulang duluan.” Devita menarik langkah meninggalkan Arvin, yang saat itu sedang mengambil foto sebuah karang.Arvin segera menyusul dan mengikuti Devita. Perempuan itu berkata sedang lelah, tetapi masih kuat jalan kaki. Arvin pun mengira bahwa ia mungkin melakukan sesuatu yang tak disukai Devita.“Dev, mau saya pesankan taksi?”Sejak tadi Dev
Seharian penuh Rosella tinggal di rumah Kalandra. Dan sekarang dia ditemani oleh Kinasih. Sementara Gemini dan Kirana dijaga oleh Mbak Tina di kediaman utama. Sepulang kerja, Genta yang akan mengantar Gemini pulang nanti.Sebenarnya Kinasih agak enggan menemani Rosella, mengingat dia melontarkan kekesalan pada ibu mertuanya itu.“Semalam aku sangat emosional, Ma. Jangan menaruh kebencian Mama sama aku, ya?” Kinasih menggigit bibirnya ke dalam seraya memindai raut muka Rosella. Meskipun Kinasih kerap mencebik Litha, sebetulnya hati Kinasih cukup rapuh bila ditekan amarah Rosella.“Hm, jangan ulangi lagi.” Rosella seperti tak mempermasalahkan karena sebetulnya, dia belum ada tenaga berurusan dengan Kinasih.Kinasih mengembuskan napas lega. “Apa Litha beneran bakal pulang, Ma? Kenapa sampai sekarang dia belum pulang juga?”“Jangan cerewet. Mending kamu pijat kepala Mama.”“Oke, Ma.” Kinasih dengan segera mengambil posisi berdiri di belakang Rosella. Jari-jarinya menari di pelipis Rosella
Pagi-pagi sekali Kalandra bersiap berangkat ke rumah orang tua Litha. Dia bahkan melewatkan sarapan agar segera bisa bertemu istri dan anaknya. Padahal mereka hanya berpisah satu malam.“Aku berangkat, Ma.”“Mama tunggu kalian pulang.”Kalandra tiba-tiba saja menghentikan langkah karena menebak isi pikiran sang ibu. “Ma, aku sarankan Mama pulang saja kalau Mama menunggu Litha hanya untuk memarahi dia. Aku tak akan membiarkan Mama berkata kasar lagi di depan Litha.”Rosella berdecak serta mendelik tajam. Apa hanya itu yang mampu Kalandra pikirkan tentang dirinya. “Pokoknya kamu bawa saja dia pulang.”Kalandra tak berucap lagi dan segera melangkah menuju mobil. Dewa menunggu dengan mobil yang sudah siap berangkat.“Tunggu aku. Aku dalam perjalanan.” Begitulah isi pesan obrolan yang dikirim Kalandra pada Litha. Lelaki itu berlama-lama menatap layar ponsel—menunggu balasan dari Litha—yang tak kunjung muncul di layarnya.“Berapa menit lagi kita sampai?”“Sekitar 50 menit lagi, Pak.”“Lama
“Jer, tolong temani Gemini sebentar. Aku mau bicara sama Papa,” ucap Litha pada Jeremy. Mata dalam Litha menunjukkan kilatan keseriusan.Wajah Jeremy biasanya dihiasi keceriaan melihat sang kakak dan keponakan kecil yang lucu. Namun, melihat wajah serius dan guratan kegelisahan di wajah Litha, Hati Jeremy merasa ditusuk. Pria itu tahu kedatangan Litha pasti karena perusahaan Kalandra yang sedang dalam masalah.“Kakak ke atas aja. Gemini aman sama aku.” Jeremy dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya kala menoleh pada Gemini. “Gemini suka main apa? Kasih tahu Om, dong.”“Gemini suka main puzzle sama bersepeda.”“Kebetulan Om punya puzzle.”“Oh ya? Gemini mau main puzzle, Om.”“Om suruh Bibi bawain ke ruang keluarga.”Sementara itu, Litha membawa langkahnya menapaki anak tangga ke lantai dua. Ia sudah menyangka kalau sang ibu pasti sudah menunggu dan ingin mendahului berbicara dengannya.Elvira menarik Litha ke suatu sudut. “Apa yang ingin kamu katakan pada Papamu? Kamu bisa bicarakan du
“Bukannya Pak Kalandra adalah menantu beliau?”“Iya, itu memang benar.”“Tapi, kenapa mereka bertindak begini?”“Belum ada kepastian apakah Mahardhika Cita Multiusaha Group yang ada di belakang semua ini.”“Pagi ini mereka datang mengusulkan akusisi. Masih bilang tidak ada hubungannya dengan mereka? Hmph!”Setelah berdebat sejak siang hari, mereka menunggu Kalandra membuat keputusan. Setelah berdiskusi dan berpikir matang-matang Kalandra berkata, “Perusahaan ini akan berjalan dengan semestinya. Kita akan mendapatkan investor baru. Dan saya menyerahkan tugas ini pada Arvin.”“Saya tidak akan mengecewakan Bapak.”“Kita harus secepatnya mendapatkan investor Pak. Kalau tidak, produksi film kita akan terhenti.”Semua orang di ruang rapat tampak cemas memikirkan nasib perusahaan. Diskusi kembali berlanjut soal bagaimana mereka akan mendapatkan calon investor bagi perusahaan.Rapat itu usai mendekati waktu makan malam. Kalandra langsung pergi ke ruangannya, bahkan melewatkan makan malam. Ia
“Kamu sudah selesai bekerja? Aku sengaja ingin mengantarmu pulang.”Wanita itu seolah merasakan getaran yang membuat tubuhnya terpaku. Namun, perlahan dia memutar wajahnya untuk melihat pria tak asing itu begitu dekat. Dia bahkan bisa merasakan embusan napas pria itu seakan meraba wajahnya.“Kamu demam? Wajahmu kelihatan agak merah.” Tanpa diduga Hedy menggenggam wajah Indira dengan kedua telapak tangan besarnya. “Sedikit hangat.”“Lepaskan,” perintah Indira lalu buru-buru menjauhkan diri. Hati Indira belum siap untuk menerima seseorang. Dia takut akan dikecewakan lagi. Dan lagi pula, Hedy memiliki penggemar wanita yang lebih banyak dari Kalandra. Ada berapa banyak perempuan yang ingin menjadi kekasih Hedy?Indira tak mau berharap meski untuk sedetik saja. Meski begitu Indira tak bisa menghindari pria itu karena Hedy akan selalu datang ke lokasi syuting atau menyuruh Indira datang ke apartemen—mencicipi masakan Hedy.Ini membuatnya seakan bisa gila.“Bereskan barangmu. Aku antar pulang
“Apa katamu? Kamu sudah mengandung 6 bulan, Litha?!” Guntur yang gelap mata mendengar pernyataan putri sulungnya, menampar Litha dengan begitu keras sampai-sampai badan Litha terhuyung.Karena Litha ingin mempertahankan bayi itu, dia menyimpan rahasia tersebut selama enam bulan. Semakin besar kandungannya, membuat Litha harus jujur pada orang tuanya.“Anak durhaka. Anak kurang ajar! Anak tidak tahu diri! Tidak bermoral!” Guntur mencaci habis-habisan dan sekali lagi melayangkan tamparan. Tubuh Litha terhuyung, tangannya dengan cepat mencengkram lengan sang ibu. Untung saja Litha tak jatuh ke lantai, jika tidak ia bisa kehilangan bayinya. Elvira membantu Litha lalu berdiri di depannya seperti tameng. Sementara Jeremy merengkuh kaki sang ayah sambil berteriak.“Jangan sakiti Kak Litha, Pa! Jangan!” Jeremy menangis ketakutan. Namun, hanya ada satu orang yang terdiam mematung menyaksikan keadaan itu, seolah-olah tak ada hubungannya dengan dia.“Jangan membela anak kurang ajar ini! Kita mem
Devita sengaja menunggu di tempat parkir perusahaan Kalandra. Sengaja tak memberitahu Arvin supaya terlihat seperti kebetulan. Setiap kali ada karyawan pria yang keluar dari gedung itu, Devita menajamkan penglihatan.“Duh, apa mungkin dia tidak lembur malam ini?” Dia bertanya pada dirinya sendiri. Sebab Devita sudah berdiam di sana selama lebih dari 30 menit. “Ini salahku karena tak mencari tahu dulu. Apa aku tanya Kak Kalandra aja? Aku tanya nomor handphone Arvin gitu?” Devita segera menghilangkan pertanyaan itu dari pikirannya. Apa yang akan dikatakan Kalandra nanti. Devita bisa diejek habis-habisan.“Ow! Mikirin aja buat aku merinding.”Senyum Devita mengembang kala sosok yang ditunggunya keluar dari pintu gedung. Pria yang selalu rapi dengan suit putih membalut tubuh tingginya.Dia segera menyalakan mobil, melaju pelan sampai ke depan gedung. Kemudian membuka jendela mobil.“Hai, Pak Arvin!”“Devita? Ngapain di sini?” Arvin melangkah lebih dekat ke mobil gadis itu seraya sedikit
Senyum Hani lenyap dibarengi dengan mata membelalak begitu tatapannya beradu dengan mata dingin Litha. Bukankah sudah jelas dia meminta Kalandra datang ke kamar ini tanpa sepengetahuan siapa pun. Harusnya lelaki itu tetap di sini.Lantas mengapa Litha bisa ada di kamarnya sekarang dan di mana Litha menyembunyikan Kalandra?“Kenapa syok begitu? Dekorasi kamar kamu cukup, sederhana ya. Ya, namanya juga kamar jarang dipakai. Karena sudah terlalu lama, aku lupa kamarku yang mana, jadi aku masuk ke sini deh,” kata Litha kala meraba buku-buku di dalam rak.Hani menghela napas kesal. “Jangan basa-basi lagi. Gimana kamu tahu kalau suami kamu ada di kamar ini?” Dengan gamblang Hani bertanya. Dia terlalu malas untuk pura-pura tak tahu di depan Litha.Litha tersenyum tipis. Semua berkat pesannya pada Jeremy. Lelaki itu panik saat kembali dari kamar mandi dan menemukan Kalandra tak ada di ruang tamu. Karena takut mengecewakan sang kakak, Jeremy pun pergi ke ruang keamanan guna melihat kamera peng