Marsha belum tidur meski sudah tiba di rumah sejak tadi.
Ia menunggu Derren kembali.Begitu melihat pantulan cahaya motor yang tampaknya milik pria itu memantul di kaca jendela, Marsha segera keluar dan memandang Derren yang spontan buang muka.Melihat itu, Marsha pun berucap dengan dingin. “Bisa bicara sebentar?”Langkah kaki Derren yang hendak masuk ke dalam rumah pun terhenti.Derren terdiam beberapa saat dan memandang Marsha yang berdiri di teras rumahnya sendiri dengan tatapan bingung. “A-apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya?”Marsha mengangkat map coklat yang ia bawa dan menunjukkannya pada Derren. “Luangkan waktumu. Aku ingin berbicara.”Tubuh Derren jelas langsung tegang begitu melihat berkas tersebut. Seketika ia teringatpemerkosaan yang ia lakukan. Ia kira itu adalah surat panggilan pengadilan.Tapi, nyatanya bukan.[Perjanjian Pernikahan]Lama, Derren melihat kontrak pernikahan yang Marsha ajukan padanya, hingga suara perempuan itu kembali terdengar.“Ayo menikah.”“Apa?”Derren menelan ludahnya susah karena begitu terkejut. Namun, Marsha terus menatapnya serius. Melihat itu, ia pun terdiam.Hal itu membuat Marsha menghela napas panjang.“Aku terlibat perjodohan,” ucapnya kembali, “aku tak ingin menikah dengan lelaki itu.”“Kenapa?” tanya Derren spontan dan membuatnya langsung menutup mulut.“Karena aku tak mau ayahku bisa semakin kaya.”Derren mengerutkan keningnya dalam.Alasan macam apa itu? Tapi, Marsha tak terlihat bercanda saat mengatakan alasannya tak mau menikah. Alhasil, Derren mau tak mau harus percaya dengannya.“Lalu, alasan Anda memilih saya untuk menik–“Marsha menaikkan sebelah alisnya membuat Derren berhenti berbicara.“Pertanggungjawabkan kesalahanmu,” perintah Marsha, “aku tak mau tahu alasanmu. Kamu tak diberi pilihan menolak di sini. Aku tidak sedang mengajakmu negosiasi.”Wanita itu lalu menyodorkan kontrak pernikahannya dan mengulas senyum palsu. “Jadi, cepat tanda tangan.”Derren menatap kertas di depannya dengan tatapan terkejut.Tak sengaja, ia melihat kompensasi yang ditawarkan setelah perceraian. Jumlahnya sangat fantastis!Bahkan, ada ayat kontrak yang berbunyi “jika Marsha bersedia membayar studi Derren, dan uang bulanan.”Di sisi lain, Marsha tersenyum dalam hati. Ia tadi sempat mencari tahu tentang Derren dari para tetangga. Katanya, pria itu harus membesarkan kedua adik perempuannya setelah kabur dari rumah orang tuanya.Jadi, Derren pasti sulit menolak karena nominal yang ditawarkan Marsha tidaklah sedikit.“Anda harus tahu.” Derren mulai berbicara, “Saya memiliki keluarga yang kacau.”Ada jeda di sana.Tampaknya, ia enggan menerima kerja sama yang lebih menguntungkan untuknya dari pada wanita itu.Namun, melihat reaksi Marsha yang tampak tenang dan menyimak, ia kembali berbicara, “Ayah saya pemabuk berat. Ibu saya pegawai kantor, tapi ia masih sering mencuri uang saya untuk memenuhi kehidupan glamornya. Ia juga orang yang kasar. Lalu, Anda tak akan bisa melakukan kesepakatan ini jika Anda hanya membiayai saya.”Marsha menaikkan sebelah alisnya dan memiringkan kepalanya. “Kenapa?”“Saya memiliki dua adik perempuan yang masih sekolah dan membutuhkan biaya lebih banyak dari saya. Jadi-““Saya tahu.” Marsha mengambil bolpoin dan menatap Derren–siap menambahkan syarat kontrak mereka, asalkan Derren menyetujuinya nanti.“Siapa nama kedua adikmu itu? Aku tak keberatan mencantumkan nama mereka ke kontrak kita. Toh, aku bukan seseorang yang pelit uang. Menghidupi 3 anak kecil seperti kalian bukan masalah besar untukku.” lanjut Marsha, membuat Derren syok dengan sikap angkuh dan santainya.“N-naya dan Yana,” jawab Derren, tergagap.Wanita itu segera menuliskan kedua nama itu di kontrak dan kembali memberikan berkas itu pada Derren.“Apa lagi yang harus aku dengar?” tanya Marsha, sambil meletakkan kembali pena yang ada di dalam genggaman tangannya dengan santai ke atas meja.Derren menarik napas lembut dan melanjutkan. “Saya punya mantan kekasih yang merepotkan.”“Namanya Lea. Usianya lebih tua dari saya 4 tahun.”Melihat tatapan menyelidik dari Marsha, pria itu kembali berbicara, “Ia bukan Sugar Momy saya! Hanya saja, saya memang suka yang lebih tua.”Malu-malu, pria itu menjelaskan, “Saya bersama dengannya selama satu tahun. Awalnya ia orang yang dewasa, seperti tipe ideal saya. Tapi semakin lama, sikap posesifnya sangat merepotkan dan itu menjadi alasan saya untuk mengakhiri hubungan saya dengannya.”Derren menatap wajah Marsha yang menyimak dengan tenang. “Lea masih menyukai saya sampai saat ini, dan ia juga menjadi alasan kita bisa tidur bersama. Hari itu, saya menjenguknya dan ia memberikan menyuguhkan segelas air. Saya harusnya tidak menerima itu. Tapi–"Menunjukkan wajah bersalah pada Marsha yang diam saja mendengarkan ceritanya dengan tenang. "Kecelakaan itu– saya benar-benar meminta maaf kepada Anda, Sungguh.”Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya paham. “Baiklah. Aku bisa menerimanya.”“Apa Anda tidak keberatan? Saya juga bukan orang baik seperti yang Anda lihat.” Derren berusaha mencari alasan lagi, “ada banyak masalah di sekitar saya.”“Asalkan kamu bukan buronan, pembunuh, atau perampok, tak masalah bagiku,” tegas Marsha, “tanda tangani surat itu segera karena aku lelah!”Derren mendenguskan napas lalu mengambil bolpoin. “Saya harap Anda tak menyesal.”Sesuai perjanjian, hari ini keduanya melangsungkan pernikahan. Tak terlalu mewah dan hanya didatangi orang terdekat. Bahkan, orang tua Marsha tidak hadir sekarang. Di sisi lain, Derren kini menempelkan permukaan bibirnya di atas kening Marsha–wanita yang telah menjadi istri sahnya satu menit yang lalu– dengan canggung. Sebaliknya, Marsha hanya diam. Tak ada perasaan gugup di wajah wanita itu karena ia hanya senang karena semuanya berjalan sesuai rencana. Hanya saja, Derren terlihat gugup, sampai membuat kedua tangan yang menggenggam tangan Marsha, gemetar, dan berkeringat. “Senyum," ucap Marsha mengingatkan. Perlahan, senyuman canggung mulai terbit di wajah suaminya itu. Jepret! Suara lensa kamera yang mengambil foto mereka terdengar beberapa kali. Marsha pun mengambil beberapa gaya dengan luwes. Sementara Derren, ia masih kaku seperti semula. “Ini yang terakhir. Mas, tolong jangan canggung!” Pak fotografer tiba-tiba berseru–menegur Derren yang terus menunjukkan wajah kaku t
“Aku ingin bertanya," ucap Marsha setelah berhasil membuat sarapan sebagai istri untuk pertama kalinya. Derren sontak mendongak dan memperlihatkan wajah masam yang sedari tadi ia sembunyikan. Segera ia mengambil minum sebelum berkata, “Apa?” Melihat ekspresi pria itu, Marsha mendadak penasaran. Diambilnya sendok dan melahap sarapannya. Namun belum sampai tenggorokan, Marsha sudah menyemburkan isi mulutnya dan segera menegak air. “Asin!” “Kenapa masih dimakan? Berikan padaku!” Marsha segera menatap Derren yang sudah menelan beberapa sendok nasi goreng buatannya itu sampai berkeringat dingin. Ia hendak membuang isinya. Tapi, Derren justru menepik tangan Marsha dengan memukul punggung tangannya pelan. “Masih bisa dimakan!” ucapnya kembali menyuapkan makanan ke dalam mulut. “Lanjutkan perkataan Anda. Anda mau bicara apa tadi?” Marsha menghela napas dan menarik tangan kanannya yang masih menggantung di udara. “Adikmu … di mana keduanya?” Derren diam. Ia memandang Marsha dengan tat
Saat ini, Dena termenung setelah melihat sebuah dokumen yang baru saja diberikan oleh sekretarisnya pagi ini. Ia tak berbicara sedikit pun dan hanya memandangi dokumen-dokumen itu dengan perasaan gundah dan sedih. Baru dua hari putrinya pergi dari rumah dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, kini Dena dapat melihat senyuman cantik itu ketika Marsha menggandeng seorang lelaki. Perkataan Marsha terakhir kali mengingatkan Dena tentang almarhum suaminya, Hans. Dena ingat jelas tentang kelakuannya yang menjadi kasar pada Marsha. Tapi, Marsha tak pernah membenci atau menghindarinya. Membayangkan Marsha berada dalam kondisi seperti dirinya saat itu, membuat Dena berpikir ribuan kali tentang perjodohan putrinya. Seharusnya, ia menghentikan suaminya sekarang. “Sayang ... sayang ...!” Bima berteriak dari dalam kamarnya. Mendengar itu, Dena segera bangun dan membereskan berkas pernikahan Marsha. Ia menyimpannya agar tak terlihat Bima, lalu pergi menuju sang suami. “Apa?” tan
16:30 …. Marsha keluar dari kantornya dan melihat 3 anak buah Bima telah berjaga di lorong pintu keluar. Sebenarnya, ia tak terkejut karena sudah memprediksikan masalah ini. “Profesor. Kami sudah menyiapkan pakaian Anda,” ucap seorang perawat, menghampiri Marsha. Ia adalah orang yang akan membantu Marsha keluar dari tempat ini dengan aman. Marsha mengangguk dan memberikan tas serta pakaian yang tadi ia kenakan saat masuk ke rumah sakit. Bahkan Marsha pun memberikan jas kebesarannya pada perawat perempuan itu. “Terima kasih sudah mau membantuku.” “Sama-sama, Prof. Tidak perlu sungkan.” Marsha mengangguk dan berjalan keluar dari gedung rumah sakit lewat pintu belakang. Kini Marsha tengah mengenakan pakaian pasien dan rambut yang digelung seperti cangkang siput. Ia hanya berharap Pak Ardi yang cerdas tidak akan mengetahui penyamarannya. “Nona Marsha. Saya tak menyangka Anda akan menyamar sampai seperti ini hanya untuk menghindari saya,” ucap seorang lelaki, yang suaranya sangat
Dengan lihai, Derren menghabisi para bodyguard Bima yang berusaha menghadang langkah mereka. Tampaknya, keluar dari Goa macan bukan masalah besar bagi seekor singa yang terlatih berperang seperti Derren. Hanya saja, Marsha kini menghela napas panjang begitu menemukan notifikasi pesan dari Bima yang datang tanpa jeda. [ Cepat pulang] [ Bawa suamimu ke rumah ][ Marsha, jangan mengabaikan Ayahmu!][ Balas pesan Ayah! ] Wanita itu sontak mengalihkan pandangannya dan beralih pada Derren dan kedua adiknya di meja makan. "Kamu tidak makan?" tanya Derren, memperhatikan Marsha yang duduk di sofa ruang tengah sambil memandang ke ruang makan. "Tidak." Marsha menghela napas panjang dan merebahkan diri ke atas sofa itu. "Kapan kamu dan anak-anak libur?" Naya dan Yana saling memandang satu sama lain dengan tatapan bingung. "Kami belum mendapatkan sekolah." Yana menjelaskan dengan suara lirih. Marsha terdiam beberapa saat sebelum kembali bangun duduk di atas sofa. "Kalian belum sekolah?"
Lea seketika mengambil langkah mundur dan pergi–meninggalkan Derren dan Marsha yang memandangnya dengan tatapan tak senang. Hanya saja, ada amarah di dalam sorot mata Lea saat memandang Marsha terakhir kali. Tapi, Derren tak terlalu memusingkannya dan fokus melihat kondisi Marsha yang cukup membuatnya khawatir. “Ayo cepat masuk. Aku akan mengan-“ Seketika Marsha menunjuk ke arah pantai. Tepat di posisi kedua adik perempuan Derren sedang bermain air. Derren menoleh ke arah itu dan menepuk keningnya ampun. ”Maafkan aku. Aku akan belikan sesuatu yang hangat saat kembali bersama mereka nanti. Kamu kembali dan mandilah dulu. Pastikan dirimu tidak akan masuk angin nanti.” Marsha mengangguk paham sambil mengulas senyum lembut. ”Aku bukan anak kecil. Aku akan merawat diriku sendiri. Jangan cemas.” Marsha menepuk pundak Derren beberapa kali sebelum Marsha benar-benar pergi kembali ke Villa untuk mandi dan istirahat. Tak butuh waktu lama, Derren kembali bersama kedua adiknya setelah mere
Derren berjalan cepat mengitari taman yang menjadi kawasan bagian tengah Villa tempat mereka menginap. Hari semakin larut, namun ia tak kunjung menemukan sosok Marsha di mana pun. Bahkan nomor teleponnya tidak aktif sejak 3 jam yang lalu. “Ke mana ia pergi?” Pikiran negatif terus menghantui Derren. Walau mereka hanya menikah kontrak, tapi baik Marsha atau Derren selalu memperlakukan satu sama lain layaknya seorang pasangan. Sekali lagi, Derren mencoba menghubungi ponsel Marsha seperti orang bodoh. “Angkat ponselmu! Aku mohon.” Ia tahu ponsel wanita itu mati sejak beberapa jam yang lalu, tapi sampai sekarang ia tak berhenti mencoba. Di kejauhan, Derren melihat Naya dan Yana bergandengan tangan–berjalan bersama dengan raut wajah gundah mengikuti mobil hitam yang berjalan pelan di kawasan Villa mereka sebelum berhenti di pertigaan depan. Derren menghampiri keduanya. “Kenapa kalian mengendap-endap?” Naya dan Yana menoleh dengan wajah terkejut. Derren memicingkan mata–curiga deng
“K-kamu tahu?” Marsha menatap bingung. Ia tak menyangka ada teman yang tahu pasal pernikahannya. Syam mengangguk dan memberikan ponselnya pada genggaman Marsha. “Hubungi suamimu dulu. Untuk alasan bagaimana aku bisa tahu pernikahanmu, akan aku jelaskan setelahnya.” Marsha menatap “HP kentang” yang telah ada di dalam genggamannya dan segera melakukan panggilan. [Halo? Marsha, kamu kah itu?] Suara Derren terdengar bergetar. Tampaknya lelaki itu tengah ketakutan. “Iya–“ [Syukurlah. Hahh ... kamu baik-baik saja?] Air mata Marsha menggenang. Mendengar Derren yang menahan suara tangisnya dan rasa cemas agar ia bisa berbicara dengan lembut tanpa rasa panik, membuat Marsha sedikit terharu. “Ya. Temanku berhasil menolongku. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke daratan.” [Begitukah? Baik. Aku akan kembali ke dermaga kalau begitu. Kita bertemu di sana.] Marsha hanya menjawab singkat dan menutup telepon mereka. "Sudah?" Marsha mengangguk pelan. “Terima kasih.” Ia mengembalikan po
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat