Saat ini, Dena termenung setelah melihat sebuah dokumen yang baru saja diberikan oleh sekretarisnya pagi ini.
Ia tak berbicara sedikit pun dan hanya memandangi dokumen-dokumen itu dengan perasaan gundah dan sedih.Baru dua hari putrinya pergi dari rumah dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, kini Dena dapat melihat senyuman cantik itu ketika Marsha menggandeng seorang lelaki.Perkataan Marsha terakhir kali mengingatkan Dena tentang almarhum suaminya, Hans.Dena ingat jelas tentang kelakuannya yang menjadi kasar pada Marsha. Tapi, Marsha tak pernah membenci atau menghindarinya.Membayangkan Marsha berada dalam kondisi seperti dirinya saat itu, membuat Dena berpikir ribuan kali tentang perjodohan putrinya. Seharusnya, ia menghentikan suaminya sekarang.“Sayang ... sayang ...!” Bima berteriak dari dalam kamarnya.Mendengar itu, Dena segera bangun dan membereskan berkas pernikahan Marsha. Ia menyimpannya agar tak terlihat Bima, lalu pergi menuju sang suami.“Apa?” tanya Dena yang melihat dasi Bima belum benar.Dena langsung mengerti dan membenarkannya dengan cekatan.“Hari ini aku akan pergi ke kantor Gama untuk meluruskan soal perjodohan. Doakan aku agar tidak kehilangan uang kita.”Dena mengangguk dan menatap Bima dengan pandangan mengawasi. Ada sorot mata sedih di dalam kedua manik mata gelapnya.Menyadari itu, Bima pun bertanya, "Ada apa?"“Jika semua ini tidak berjalan dengan baik. Apa yang akan kamu lakukan?”Pandangan Bima seketika berubah. Ia menatap Dena dengan tajam, tanda tak suka dengan perkataannya.“Jangan berbicara buruk. Jika perjodohan ini berhasil, kita akan menerima beberapa miliar. Kamu kira aku akan melepaskannya dengan mudah?” ucap Bima, terlihat keras kepala akan pernikahan Marsha dan Gama.“Kamu pikir Marsha bodoh?” tanya Dena. “Marsha itu jenius. Ia bukan anak yang sekedar ‘pandai’. Si bungsu itu jenius!”Dena tersenyum dan menepuk-nepuk pundak Bima dengan lembut. “Pergilah. Aku juga ada agenda hari ini. Temui Gama dan kendalikan amarahmu.”Bima mengangguk paham dan pergi keluar kamarnya. Menemui sopir pribadinya dan pergi ke perusahaan Gama: Perusahaan MIA.“Selamat datang, Tuan Bima. Senang bertemu dengan Anda.” Sesampainya di sana, Bima disambut Gama dengan hormat.Pria tua itu cukup terharu dengan kesopanan lelaki ini.Inilah alasan kuat ia ingin menjadikan Gama menantu. Baginya, anak muda ini adalah orang yang sopan, cerdas dan yang terpenting– kaya raya.“Seharusnya, kamu tunggu saja di dalam ruanganmu. Aku juga ingin sedikit berkeliling di sini,” balas Bima, basa-basi.Gama hanya tersenyum dan memandu jalan. “Bagaimana kalau kita pergi ke Kafetaria, Tuan Bima? Menu kantin kami sangat lezat. Saya harap Anda berkenan untuk mencobanya.”Bima mengangguk–menyetujui tawaran calon menantunya dan keduanya pergi ke tempat tujuan.“Anda bisa duduk terlebih dahulu. Saya akan memesan.”Bima terdiam beberapa saat sambil memandang ajudan Gama yang dari tadi mengikutinya di belakang mereka. “Kamu bisa memintanya pergi, bukan?”Gama menoleh ke belakang dan melihat lelaki yang ditunjuk Bima.Dengan cepat, Gama mengulas senyuman masam ke arah Bima. “Beliau bukan ajudan saya. Beliau datang untuk memastikan Anda nyaman di sini. Sebentar lagi, beliau harus pergi untuk rapat dengan pengurus di Australia.”Bima mengangguk dan berjalan pergi meninggalkan Gama.Ia mencari tempat duduk secara mandiri tanpa seorang ajudan atau pengawal yang mengikutinya.Tak lama setelah Bima duduk, Gama datang dengan membawa nampan berisikan dua gelas minuman dingin. Sementara makanan mereka akan diantarkan pelayan setelah hidangannya siap.“Aku tidak tahu kamu lelaki yang mandiri.” Bima menyesap es kopi yang diberikan Gama padanya dan membuat lawannya tersenyum tipis.“Saya sudah menjadi anak yatim piatu sejak usia 15 tahun. Jika saya tidak pandai mengurus diri dalam kurun waktu selama itu, bukankah saya akan terlihat seperti orang tidak berguna? Padahal kaki dan tangan saya tidak cacat. Hahaha ....”Bima pun tertawa walau sebenarnya ia sedikit tersindir dengan perkataan itu.Terlahir dari keluarga berada, tentu ia tak pernah menyusahkan dirinya sendiri untuk melakukan ini dan itu.Berbeda dengan Gama yang memilih tetap mandiri walau ia memiliki beberapa pelayan di rumahnya. Harta kekayaan yang ditinggalkan kedua orang tua Gama juga sebenarnya tidak sedikit.“Kamu memang orang yang sangat bisa diandalkan.” Bima menghela napas panjang nan lelah. “Andai saja Marsha tak keras kepala, lelaki sepertimu pasti tak akan aku biarkan berkeliaran tanpa pasangan.”‘Candaan orang tua!’ celetuk Gama, dalam hati–sedikit mencemooh kepribadian Bima yang kaku dan tak menyenangkan. Tapi, ia tetap harus tersenyum untuk menyenangkan hati pria tua itu. Sungguh, dunia bisnis yang menyebalkan!“Bagaimana pertemuanmu dengan Marsha terakhir kali?” celetuk Bima, tiba-tiba.Gama langsung diam. Ia kehilangan senyumannya. “Saya ingin membunuh suaminya.”Bima terdiam. Rahangnya mengeras dengan cepat. “Apa yang kamu katakan? Suami? Suami siapa?”Gama menatap lurus pada lawannya.Tampaknya, Bima tak tahu pasal pernikahan Marsha–putrinya sendiri.“Saya datang menemui Marsha 2 hari yang lalu–” Gama menggantung kalimatnya. Memberi dirinya jeda untuk bernapas dan membiarkan Bima menyiapkan mental. “Dan saya bertemu dengannya di gedung KUA.”Bima bangkit dari tempat duduknya dan memandang Gama dengan tatapan tajam menusuk.“Jangan mengada-ada. Bagaimana kamu bisa membuktikan bualanmu saat ini?”"Bawakan aku bukti perkataanmu jika berita yang kamu katakan padaku memang benar! Jangan hanya membual. Berikan buktinya!” marah Bima, berbicara penuh penekanan.“Tenangkan diri Anda, Tuan Bima. Saya akan mengirimkan buktinya ke alamat Anda. Anda bisa melihatnya dengan Nyonya Dena di rumah. Jika sekarang saya memberikannya–“Bima mendenguskan napasnya kasar dan duduk kembali dengan tenang. Ia berusaha keras agar tak kehilangan martabatnya di depan calon menantunya.Ya! Calon menantu yang bisa Bima akui hannyalah Gama. Tidak dengan yang lain. Tidak akan pernah!“Baik. Anggap saja aku percaya. Lalu, apa kamu akan melepaskan Marsha? Aku rasa kamu cukup menyukainya.”Gama tersenyum lebar, walau tak terasa tulus. “Tentu saja tidak akan melepaskannya. Bagaimanapun juga, ia adalah orang yang seharusnya menikah dengan saya.”Bima mengangguk mantap. “Oke kalau kamu berpendapat begitu. Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?”"Pertama-tama, bukankah Anda harus membawanya pulang?" ucap Gama, memberikan pendapatannya.Bima terdiam sejenak dan mengangguk. "Kamu benar. Aku harus membawanya pulang."Bima menoleh pada seorang lelaki yang berdiri di luar bagian depan pintu, membelakangi mereka sambil melihat ke sisi lorong dengan pandangan waspada."Pak Ardi!"Lelaki berwajah tampan walau rambutnya setengah beruban itu menoleh pada sang Tuan. "Ya, Tuan Bima? Anda membutuhkan saya?" ucapnya, sambil berjalan mendekati Bima."Bawa Marsha pulang ke rumah. Temukan ia secepatnya! Bagaimana pun caranya. Aku tak peduli! Asalkan ia ada di depanku besok." Bima memberi titah.16:30 …. Marsha keluar dari kantornya dan melihat 3 anak buah Bima telah berjaga di lorong pintu keluar. Sebenarnya, ia tak terkejut karena sudah memprediksikan masalah ini. “Profesor. Kami sudah menyiapkan pakaian Anda,” ucap seorang perawat, menghampiri Marsha. Ia adalah orang yang akan membantu Marsha keluar dari tempat ini dengan aman. Marsha mengangguk dan memberikan tas serta pakaian yang tadi ia kenakan saat masuk ke rumah sakit. Bahkan Marsha pun memberikan jas kebesarannya pada perawat perempuan itu. “Terima kasih sudah mau membantuku.” “Sama-sama, Prof. Tidak perlu sungkan.” Marsha mengangguk dan berjalan keluar dari gedung rumah sakit lewat pintu belakang. Kini Marsha tengah mengenakan pakaian pasien dan rambut yang digelung seperti cangkang siput. Ia hanya berharap Pak Ardi yang cerdas tidak akan mengetahui penyamarannya. “Nona Marsha. Saya tak menyangka Anda akan menyamar sampai seperti ini hanya untuk menghindari saya,” ucap seorang lelaki, yang suaranya sangat
Dengan lihai, Derren menghabisi para bodyguard Bima yang berusaha menghadang langkah mereka. Tampaknya, keluar dari Goa macan bukan masalah besar bagi seekor singa yang terlatih berperang seperti Derren. Hanya saja, Marsha kini menghela napas panjang begitu menemukan notifikasi pesan dari Bima yang datang tanpa jeda. [ Cepat pulang] [ Bawa suamimu ke rumah ][ Marsha, jangan mengabaikan Ayahmu!][ Balas pesan Ayah! ] Wanita itu sontak mengalihkan pandangannya dan beralih pada Derren dan kedua adiknya di meja makan. "Kamu tidak makan?" tanya Derren, memperhatikan Marsha yang duduk di sofa ruang tengah sambil memandang ke ruang makan. "Tidak." Marsha menghela napas panjang dan merebahkan diri ke atas sofa itu. "Kapan kamu dan anak-anak libur?" Naya dan Yana saling memandang satu sama lain dengan tatapan bingung. "Kami belum mendapatkan sekolah." Yana menjelaskan dengan suara lirih. Marsha terdiam beberapa saat sebelum kembali bangun duduk di atas sofa. "Kalian belum sekolah?"
Lea seketika mengambil langkah mundur dan pergi–meninggalkan Derren dan Marsha yang memandangnya dengan tatapan tak senang. Hanya saja, ada amarah di dalam sorot mata Lea saat memandang Marsha terakhir kali. Tapi, Derren tak terlalu memusingkannya dan fokus melihat kondisi Marsha yang cukup membuatnya khawatir. “Ayo cepat masuk. Aku akan mengan-“ Seketika Marsha menunjuk ke arah pantai. Tepat di posisi kedua adik perempuan Derren sedang bermain air. Derren menoleh ke arah itu dan menepuk keningnya ampun. ”Maafkan aku. Aku akan belikan sesuatu yang hangat saat kembali bersama mereka nanti. Kamu kembali dan mandilah dulu. Pastikan dirimu tidak akan masuk angin nanti.” Marsha mengangguk paham sambil mengulas senyum lembut. ”Aku bukan anak kecil. Aku akan merawat diriku sendiri. Jangan cemas.” Marsha menepuk pundak Derren beberapa kali sebelum Marsha benar-benar pergi kembali ke Villa untuk mandi dan istirahat. Tak butuh waktu lama, Derren kembali bersama kedua adiknya setelah mere
Derren berjalan cepat mengitari taman yang menjadi kawasan bagian tengah Villa tempat mereka menginap. Hari semakin larut, namun ia tak kunjung menemukan sosok Marsha di mana pun. Bahkan nomor teleponnya tidak aktif sejak 3 jam yang lalu. “Ke mana ia pergi?” Pikiran negatif terus menghantui Derren. Walau mereka hanya menikah kontrak, tapi baik Marsha atau Derren selalu memperlakukan satu sama lain layaknya seorang pasangan. Sekali lagi, Derren mencoba menghubungi ponsel Marsha seperti orang bodoh. “Angkat ponselmu! Aku mohon.” Ia tahu ponsel wanita itu mati sejak beberapa jam yang lalu, tapi sampai sekarang ia tak berhenti mencoba. Di kejauhan, Derren melihat Naya dan Yana bergandengan tangan–berjalan bersama dengan raut wajah gundah mengikuti mobil hitam yang berjalan pelan di kawasan Villa mereka sebelum berhenti di pertigaan depan. Derren menghampiri keduanya. “Kenapa kalian mengendap-endap?” Naya dan Yana menoleh dengan wajah terkejut. Derren memicingkan mata–curiga deng
“K-kamu tahu?” Marsha menatap bingung. Ia tak menyangka ada teman yang tahu pasal pernikahannya. Syam mengangguk dan memberikan ponselnya pada genggaman Marsha. “Hubungi suamimu dulu. Untuk alasan bagaimana aku bisa tahu pernikahanmu, akan aku jelaskan setelahnya.” Marsha menatap “HP kentang” yang telah ada di dalam genggamannya dan segera melakukan panggilan. [Halo? Marsha, kamu kah itu?] Suara Derren terdengar bergetar. Tampaknya lelaki itu tengah ketakutan. “Iya–“ [Syukurlah. Hahh ... kamu baik-baik saja?] Air mata Marsha menggenang. Mendengar Derren yang menahan suara tangisnya dan rasa cemas agar ia bisa berbicara dengan lembut tanpa rasa panik, membuat Marsha sedikit terharu. “Ya. Temanku berhasil menolongku. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke daratan.” [Begitukah? Baik. Aku akan kembali ke dermaga kalau begitu. Kita bertemu di sana.] Marsha hanya menjawab singkat dan menutup telepon mereka. "Sudah?" Marsha mengangguk pelan. “Terima kasih.” Ia mengembalikan po
“Kamu dengar apa yang aku katakan?” Mia menatap Marsha dengan tatapan tajam. Setelah Mia menerima laporan dari Syam tentang keadaan Marsha terakhir kali, saat dini hari, pagi ini, Mia menjemput Marsha di depan pintu masuk rumah sakit saat Marsha hendak memenuhi jadwal shiftnya–dan langsung memasukkannya sebagai pasien siang ini. “Jangan menjadi pasien yang menyebalkan! Kamu tahu rasanya memiliki pasien seperti itu, kan? Me-le-lah-kan!” Marsha hanya mengangguk kecil beberapa kali dan memejamkan kedua matanya. Ia berpura-pura tidur agar tak lagi mendengar omelan kawannya, Mia, Dokter Umum yang mendapatkan shift malam untuk menjaga UGD hari ini. “Bagus.” Mia membereskan peralatan medisnya dan hendak pergi. Tapi langkahnya tertahan di ambang pintu. “Ah, apakah lelaki yang bersamamu tadi ... ia jomblo? Ia lelaki idamanku. Style–” “Ia suamiku.” Mia membulatkan matanya dan segera berlari ke arah Marsha. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap kawannya dengan serius. “Sungguh?” Marsha
“Kamu yakin ia tak menyusahkan kamu?” “Tidak.” Marsha membereskan pakaian kotornya dan memasukkan ke kantung keresek hitam sebelum memberikannya pada Derren untuk di bawa pulang. “Kamu tidak perlu khawatir,” Marsha tersenyum miring. “ancaman kamu padanya sangat ampuh. Ia sampai tak berani bertindak sembarangan di depanku.” Derren menghela napas lega. “Syukurlah kalau ia bersikap baik. Tapi hari ini ia tidak datang. Kurang enak badan katanya.” Marsha mengangguk paham. “Ya, aku juga tahu. Dari kemarin ia memang mengeluh sakit perut–sebelum pulang dari sini.” “Begitukah?” Marsha hanya menganggukkan kepalanya pelan dan berjalan kembali ke tempat tidur. Bersiap untuk tidur siang. “Pukul berapa kamu pergi ke kampus?” Derren melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “30 menit lagi. Setelah selesai mengemas barangmu, aku akan langsung ke kampus. Untuk ini–“ Derren mengangkat tas be
Gama menatap datar sembari mendengus kasar. ”Kamulah masalahnya. Kamu seorang pasien. Tugasmu istirahat selama masa pemulihan. Kenapa banyak bergerak?” “Tapi ada yang harus–“ “Aku akan mengurusnya untukmu,” sambar Gama. Lawan bicaranya terdiam. Berpikir beberapa saat sebelum menghempas tangan Gama dari tubuhnya. “Ini bukan urusanmu.” Marsha keluar dari kamar. Gama mengikutinya dengan setia. Tanpa berisik atau bertingkah sehingga Marsha dapat mengusirnya. “Aku akan antar sampai ke tempat tujuan.” Gama kembali berucap saat mereka telah di luar gedung rumah sakit–setelah kondisi mereka aman. Marsha menatapnya lurus. “Kenapa harus kamu? Banyak taxi yang bisa aku tumpangi.” Gama memutar bola matanya malas dan mencegat langkah Marsha yang hendak pergi ke tepi trotoar untuk menghentikan transportasi jalanan pribadi. “Biarkan aku mengantarmu. Aku tak akan banyak tanya lagi. Jika kam
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat