"Al, isterinya Ardhan telah berpulang!" ucap ibu dengan pelan."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un," sahutku dengan rasa duka yang teramat dalam.Ya Allah, bagaimana keadaan Mang Ardhan sekarang? Ia pasti sangat sedih dan kehilangan. Rasanya aku ingin berada di sisi Mang Ardhan untuk menemani dan menguatkannya. Aku kembali menyesali ketidak berdayaan ini."Apa sudah dimakamkan?" tanyaku spontan."Kau tidak sadarkan diri selama seminggu, mereka jelas sudah dimakamkan!" jawab ibuku kembali."Mereka?" Aku bingung dengan kata mereka, berarti yang meninggal bukan hanya Teh Yusri seorang."Iya, mereka! Isterinya Ardhan dan seorang laki-laki tua yang satu mobil denganmu, mereka meninggal di tempat kejadian dan di makamkan di hari itu juga!" jelas ayah.Aku lupa menanyakan kabar Pak Mus ternyata pria tua yang tidak sombong juga baik hati itu pun telah berpulang dalam kecelakaan ini. Aku langsung mengirimkan alfatihah untuk mereka berdua. Hanya doa yang bisa aku kirimkan, semoga keluarganya dibe
"Bantu Abang ke tempat si Sholeh, Ney!" Keinginanku untuk menemui putraku sudah tidak dapat dibendung lagi.Sebenarnya tadi aku sudah berniat setelah mereka selesai makan, aku ingin diantar ke sana. Siapa sangka aku malah ketiduran selama 3 jam.Sekarang saat aku tahu Seorang perawat memanggil Ayah dan Ibu ke tempat si soleh aku menjadi sangat khawatir. Mungkinkah kondisi anakku memburuk? Hanya itu yang ada dalam pikiranku.Aku mencoba menurunkan kaki dari ranjang pesakitan itu. Kali ini berhasil, kakiku sudah menapak di lantai namun untuk berdiri dan mengangkat bokongku rasanya sulit sekali. Kondisi ini pasti belum memungkin aku untuk berjalan."Tapi bagaimana, Bang?" Neysa terlihat bingung. "Aku nggak kuat bantu Abang berdiri!"Benar juga, Neysa seorang gadis dengan badan yang mungil tenaganya pasti tidak seberapa jika harus membantuku berdiri. Seandainya yang tinggal bersamaku tadi ayah pasti bisa membantuku berdiri."Coba ambil kursi roda, Ney!"Neysa mengangguk, ia bergegas ke lua
"Biar saya saja, Sus!"Aku lebih terkejut lagi saat Melda meminta kursi rodaku pada suster. Aku ingin menolaknya, tapi suster dengan cepat melepas tangannya dari kursi rodaku dan bergeser sedikit memberi ruang pada Melda.Sekarang Melda mendorong kursi rodaku. sebelum ke luar dari NICU ia berhenti sejenak membantu melepas perlengkapan steril yang tadi aku pakai.Aku mencoba berpikir positif dari tindakan Melda ini. "Mungkin Melda hanya ingin membantu, karena kami saling kenal!" Pikirku.Suasana diantara kami begitu hening, aku tidak ingin mengajaknya bicara. Tapi beberapa saat setelahnya ia terlebih dahulu mengajakku bicara, "Tadi aku melihat orang tua Abang di luar! Cuma belum sempat menyapa mereka." Ia membantuku melepas pakaian hijau itu. Aku hanya diam dan tidak menanggapi. Melda masih sama seperti dulu, ia gadis yang ramah dan periang.Sekarang ia membantu melepaskan maskerku membuat pandangan kami bertemu, sekelabat bayangan masa lalu mampir di benakku. Aku masih ingat dengan je
Sayang sekali aku juga tidak boleh berlama-lama di sini. Karena keadaanku sendiri juga masih belum pulih.Dokter itu pun mengajak aku keluar setelah membiarkan aku menangis mengeluarkan isi hati dan harapanku pada Kinanti. Aku hanya berharap ia tetap semangat menjalani cobaan ini bersamaku lagi."Kita ke luar sekarang ya, Pak!" ajak dokter yang lebih seperti keharusan karena aku tidak mungkin menolak.Aku mengangguk membiarkan dokter mendorong kursi roda ke luar dari ruang Kinanti. Lagi dan lagi demi istriku aku bertekad untuk segera pulih, karena tanggung jawab yang berat ada di pundakku sekarang. Rupanya masalah Siska kemaren belum seberapa dengan masalah ini, ini jauh lebih berat aku rasakan terlebih jika teringat anakku yang baru lahir.Yang Kuasa kembali mengujiku, pasti karena aku mampu melewatinya. Aku menarik nafas dalam. "Ya Allah, hanya padamu hamba berserah!""Terimakasih, Pak!" ucapku setelah kursi rodaku berpindah kembali pada Neysa."Kami permisi dulu, Pak!" sambung adik
Aku sudah selesai dengan kewajibanku sebagai muslim, Alhamdulillah! Selanjutnya aku melihat ibu, beliau belum selesai dengan sholat maghribnya. Aku bersabar sesaat untuk menanyakan apa yang disampaikan dokter tadi.Ibu sudah mengucapkan salam pertanda ia sudah selesai sholat. Tapi beliau melanjutkan zikir dengan tasbih di tangan. Aku masih menunggunya selesai, setelah ibu selesai melipat mukena aku pun tidak sabar lagi untuk bertanya."Bu!" panggilku."Iya, Al!" Ibu langsung menuju ke arahku walau mukena yang ia lipat baru setengah selesai.Langsung saja bertanya, "Tadi sore ibu dan ayah di panggil dokter? Apa yang disampaikannya, Bu?"Ibu terdiam mengusap wajah dan memasang jilbab instannya terlebih dahulu, ia seperti ragu menyampaikannya."Ibu???" desakku agar beliau segera mengatakannya."Al, sebenarnya keadaan anakmu sungguh tidak baik-baik saja, dia harus segera mendapatkan donor ASI!" jelas ibu.Seketika air mataku menetes mengingat keadaan isteriku yang sedang koma. Tidak mungk
Aku akhirnya memilih menghubungi nomor Melda, tidak aku pedulikan pukul berapa sekarang karena pagi esok sangat penting bagiku. Aku sungguh tidak mau anakku kelaparan.Terdengar nada panggilan tersambung tapi tidak ada yang menjawab, kucoba sampai berulangkali. Tidak sekali pun Melda mengangkatnya, perempuan itu pasti sudah tidur.Akhirnya kukirim pesan singkat padanya, "Assalamualaikum, Mel! Maaf mengganggu, ini saya Alfa, ingin menanyakan apa Melda sudah dapat donor ASI untuk anakku?"Dulu saat menjadi kekasihku, aku memanggil Melda dengan sebutan Adek kadang-kadang juga Abeb (Ayang Bebeb). Sekarang zaman dan status telah berbeda, aku pun memanggilnya dengan sebutan nama saja. Sebagai tanda kami sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi, walaupun perpisahan itu tanpa ada kata putus.Beberapa saat aku memperhatikan pesan yang kukirim belum juga dibaca Melda. Aku sudah mengantuk, malam ini begitu dingin dan aku tidak membawa sarung atau pun jaket. Hanya bisa menikmati dinginnya malam ini
Siska masih mematung di tempatnya berdiri, terlihat ia mematikan panggilan dan langsung menyimpan ponselnya ke dalam tas.Entah mengapa wanita itu terlihat hendak berbalik, mungkinkah ia tidak jadi ingin menyusui anakku? Aku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja, jika mencari orang lain lagi pasti akan sangat sulit. Segera aku mencoba menahannya."Siska!!!" teriakku. "Siska!!!" Aku kembali berteriak memanggilnya.Siska diam seribu bahasa melanjutkan langkahnya tanpa membalas panggilanku. Benar saja ia lebih memilih pergi sebelum bicara apa pun padaku. Langkah Siska sangat lebar ia melanjutkan langkahnya pergi begitu saja. Aku menarik nafas panjang melihat kepergiannya namun aku tidak boleh membiarkannya pergi begitu saja.Aku yang tidak ingin kehilangan kesempatan mencoba mengejar Siska. Kakiku masih terasa sedikit ngilu, tetap aku paksakan untuk berjalan cepat agar tidak tertinggal jauh di belakang Siska."Sis, tunggulah sebentar!" Aku memelas agar ia mau menungguku dan memberiku
Pagi ini urusan dengan Siska sudah selesai karena bantuan Melda. Syukur wanita itu akhirnya mau menjual ASI tanpa banyak drama lagi. Setelah selesai menyusui si Sholeh Siska berlalu begitu saja, tanpa menoleh sama sekali ke arah aku duduk.Tak lama setelahnya Melda juga keluar dari ruang NICU, wanita itu menemuiku."Bang Al!" panggilnya.Aku langsung menoleh lalu berdiri menyambut kedatangannya, "Bagaimana, Mel?"Begitu sampai di dekatku, pandangannya beralih pada kedua orang tuaku. Ia tersenyum ramah pada ayah dan ibuku."Ayah, Ibu," sapa Melda sambil menyalami tangan kedua orang tuaku.Sifatnya yang santun dan ramah membuat ibuku langsung menyukainya dulu. Namun, saat itu kami masih sekolah dan saat hubungan kami berakhir ibu juga tidak mempermasalahkannya."Nak Melda! Duduk dulu." Ibu menggeser duduknya setelah menerima uluran tangan Melda, memberi ruang pada wanita itu untuk duduk. Pertanyaanku tadi bahkan belum dijawab rasanya dicuekin saja."Gimana, Mel?" Ibu mengulang pertanyaa
Aku telah sampai di rumah, sama seperti tadi, Mixi masih tertinggal di belakang. Aku segera memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak sabar ingin menyampaikan berita ini pada Kinanti."Assalamualaikum, Sayang!" Aku mengucap salam dan langsung mencari keberadaan istriku.Beberapa saat ia belum juga muncul, aku bergegas mencarinya ke dapur, eh malah tidak ada!"Sayang!" panggilku lagi.Tak lama suaranya muncul dari dalam kamar. "Iya, Bang!"Aku langsung menyusulnya, kami hampir bertabrakan di sekat pembatas ruang tengah dan dapur. "Astaghfirullah!" Aku terlonjak kaget."Hei, Abang ada berita bagus buat kamu!" Aku melangkah semakin mendekatinya dan menarik tangan istriku untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu panjang cerita yang akan aku sampaikan hingga kami harus duduk. Aku begitu bahagia mengetahui kalau benda itu bukanlah milik Mixi.Kami baru saja mendaratkan bokong di sofa, terdengar salam Mixi dari pintu, "Assalamualaikum!"Kami menoleh bersamaan dan menjawab salam jug
Pagi ini aku ingin pergi ke sekolah Mixi, apa yang dilakukan anak itu harus aku selesaikan. Dia harus tetap bersekolah hingga ujian akhir walaupun semalam telah resmi menikah.Setelah sarapan aku sudah siap untuk pergi, tapi anak itu sama sekali belum bersiap. Aku lupa memberitahu Mixi kalau aku akan ke sekolahnya hari ini. Al hasil aku harus menunggunya bersiap dan kami berangkat agak siang dengan motor masing-masing.Aku telah sampai dan melihat jam di pergelangan tanganku. "Sudah pukul 09.00," gumamku.Aku memarkirkan motor lalu memandang ke belakang mencari keberadaan Mixi. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya anak itu sampai juga."Cepatlah!" desisku.Aku berjalan terlebih dahulu, gadis itu berjalan pelan di belakangku terdengar kakinya seperti diseret. Aku memutar badan dan bicara padanya."Kau, cepatlah sedikit, dasar anak bandel!" Aku masih terus menghardiknya karena aku tak habis pikir dengan kelakuan anakku itu.Mixi tak berani menatapku, ia terus menunduk sepanjang jalan. A
"Kenapa?" sentak Erhan."Karena kau non muslim!" tunjukku.Seketika aku merasa menemukan jalan buntu. Aku tidak mau Mixi menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Di satu sisi aku tidak mungkin diam saja saat mereka sudah melakukan hal di luar batas.Erhan berdehem, "Hmm, kalau itu Abang tidak perlu khawatir, aku sudah mualaf kok!" ungkapnya sambil cengengesan.Pemuda ini benar-benar ajaib, sama sekali tidak ada risau di wajahnya, walaupun babak belur ia tetap terlihat happy. Hal itu berbanding terbalik dengan gadis yang duduk di sampingnya, Mixi hanya menunduk, sama sekali tidak happy."Kapan?" tanyaku singkat."Dua bulan yang lalu! Kalau Abang tidak percaya silahkan telpon Ustad Habibi, beliau yang sampai saat ini masih membimbing saya," tutur Erhan.Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengulurkan padaku memintaku menelepon ustad yang ia maksud.Aku sungguh tidak kenal dengan ustad Habibi itu, dari pada aku menghubungi orang yang tidak aku kenal, lebih baik aku te
Pikiranku mendadak kacau, aku ingin segera berbicara dengan Mixi. Aku langsung mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Aku tidak jadi menjemput Kinanti, acara jalan-jalan berdua terpaksa batal, lain kali saja!Sampai di rumah aku melihat motor yang tidak aku kenali terparkir di depan teras. Namun, suasana rumah terlihat sangat sepi dan pintu rumah juga masih ditutup."Motor siapa, ya?" tanyaku dalam hati. Siapa yang sudah pulang? Apa salah satu dari anak-anak?Mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Aku langsung teringat dengan cerita Bu Er tentang pemuda ganteng yang diajak Mixi ke sekolah, mungkinkah itu—. Berarti Mixi di dalam dengan pemuda itu? Berdua saja? Aku harus selidiki, aku tidak ingin diperbodoh.Aku langsung membuka pintu perlahan agar mereka tidak mengetahui aku pulang. Rencana menyergap mereka diam-diam sudah tersusun di otakku. Begitu pintu terbuka aku terbelalak terkejut dengan apa yang aku lihat."Astaghfirullah, ternyata ini kelakuan kalian?" teriakku yang lang
Hari sudah pukul empat sore. Tinggal satu motor saja yang belum dibenarkan, biarlah menjadi tugas Parto buat nambah gaji karyawanku itu. Eh iya, Parto bukan hanya karyawanku, ia juga adalah suami Tiani.Aku memilih pulang ke rumah."To, Abang pulang dulu, ya! Yang ini masih amankan?" pamitku sambil menunjuk motor yang masih belum dibenarkan."Aman, Bang! Sebentar saja siap tu!" balasnya.Sampai di rumah ternyata sangat sepi tidak ada siapa-siapa, aku lupa kalau sedari pagi isteriku di tempat tetangga yang sedang hajatan. Sedangkan Mixi, Yura dan Uwais belum pulang, pasti mereka masih belum selesai les. Aku duduk di depan teras tanpa membuka pintu, malas masuk rumah kalau tidak ada siapa pun begini.Aku teringat sudah lama tidak jalan-jalan berdua dengan isteriku. Akhirnya aku mengirim pesan singkat untuk menjemputnya, "Yang, sudah selesai? Abang jemput sekarang?"Beberapa saat menunggu, tidak ada balasan dari Kinanti. Mungkin ia sedang sibuk dan tidak menyadari aku mengirim pesan. "Ya
Aku mengambil sertifikat itu lalu bicara pada Miko, "Sudah terbayar 'kan nazar lo?"Miko mengangguk, ia terlihat tersenyum puas setelah berhasil membuatku menerima sertifikat pemberiannya.Miko bahkan memeluk ku. "Lo emang teman gue dunia akhirat, Al! Lo nggak hanya menyelamatkan harta gue di dunia tapi juga di akhir kelak. Makasih ya, Bro!!!"Ia lalu menepuk-nepuk pelan punggungku. Ya, ya, biarkan saja begini untuk beberapa menit ke depan. Begitu bahagianya Miko telah berhasil membayar nazarnya. Aku menikmati momen ini, aku juga bahagia melihat temanku bahagia.Setelahnya aku mengambil tangan Miko dan meletakkan kembali sertifikat itu. "Sekarang gue mau nitip sertifikat ini lagi sama lo!""Eh, apaan? Nggak bisa gitu, Al!" protesnya. Miko tidak mau memegang surat berharga itu hingga jatuh ke lantai begitu saja.Turun sudah harga diri sertifikat sebagai barang berharga karena ulah kami yang saling menolak keberadaannya. Padahal ia begitu sangat berharga, disaat yang lain rela membunuh s
"Nggak apa-apa, biarkan dia makan telur," selaku. "Kebetulan Kinanti tadi goreng telur juga untuk Uwais."Aku heran dengan sikap Tiani, padahal nggak apa-apa Cia makan di rumah kami. Apa dia masih menganggap kami orang asing?"Sebentar ya, Cia!" Kinanti melanjutkan langkahnya ke dapur.Tak lama ia kembali membawa sebakul nasi, sepiring sambal dan sebuah telur dadar. "Kita makan bersama, ya!""Kakak ambil piring dan minum dulu!" Ia izin kembali lagi ke dapur, lalu balik dengan piring dan juga air minum di tangannya.Kinanti telah duduk kembali, ia mengulurkan piring sebagai alas nasi bungkus yang sedang dimakan Cia. Ia juga meletakkan telur dadar di atas nasi itu. "Makan yang banyak, Sayang!"Bocah itu tersenyum cerah. "Makacih, Ante! Cia cuka."Sekarang nasi itu sudah memiliki lauk, tidak hanya nasi putih saja seperti tadi. Aku masih terus memperhatikan bocah itu, senyum dan tingkahnya lebih mirip Yura.Cia memandang ibunya, tangan mungil itu mencoba menggeser piring lebih dekat denga
Keesokan paginya, aku dan Miko langsung menuju bank tempat aku menitipkan surat berharganya. Tak lupa aku membawa kunci SDB. Kami berangkat berboncengan dengan si Jack Blue.Sampai di bank tidak perlu proses yang lama, petugas bank langsung mengembalikan surat-surat itu padaku. Aku menyerahkannya pada Miko."Al, makasih ya sudah menjaganya. Kalau nggak ada lo, mungkin setelah bebas dari penjara gue akan menjadi gembel," tutur Miko saat surat-surat berharga sudah di tangannya.Aku mengangguk dan tersenyum, rasanya lega sekali melihat surat itu telah berhasil aku kembalikan pada pemiliknya. Beban amanah dari Miko di pundakku hilang seketika.Kami melanjutkan langkah ke luar dari bank setelah berterima kasih dan pamit pada petugas bank. Kami berjalan beriringan, aku sangat bersyukur sahabatku ini akhirnya berada di sisiku lagi artinya ia telah melewati masa-masa sulit."Kita cari makan dulu, Al! Lapar gue."Mendadak langkahku berhenti mendengar ajakan Miko. "Gue masih kenyang Kokot. Apa
"Gue kira lo bakal nikah sama si dokter itu!" Suara Miko begitu keras, aku takut Kinanti mendengar dari dalam dan ia akan salah paham jika hanya mendengar sepenggal saja.Mataku langsung beralih melihat ke dalam ruko, benar saja aku melihat siluet istriku baru masuk ke dalam kamar. Aku yakin Kinanti dapat mendengar percakapan kami, apa lagi suara Miko yang sangat keras ditambah ruko ini yang hanya seluas telapak tangan. Setelah ini Kinanti akan menuntut membahas Melda padaku."Ya, nggaklah! Gue setia ama bini gue, Ko! Lo 'kan tau gue setiap hari sibuk bengkel sama ngurus anak bayi, mana pernah terniat nikah lagi." Sengaja aku menjawab dengan suara yang juga cukup keras. Aku harap jawabanku barusan bisa membuat istriku tidak marah nantinya. Aku harus bersiap menceritakan tentang Melda setelah ini. Aduh Miko cari masalah buatku aja, hanya berharap Kinanti tidak salah paham.Selama ini bukan aku bermaksud menyembunyikan tentang Melda dari Kinanti, hanya saja aku menunggu waktu yang tepa