Pagi ini urusan dengan Siska sudah selesai karena bantuan Melda. Syukur wanita itu akhirnya mau menjual ASI tanpa banyak drama lagi. Setelah selesai menyusui si Sholeh Siska berlalu begitu saja, tanpa menoleh sama sekali ke arah aku duduk.Tak lama setelahnya Melda juga keluar dari ruang NICU, wanita itu menemuiku."Bang Al!" panggilnya.Aku langsung menoleh lalu berdiri menyambut kedatangannya, "Bagaimana, Mel?"Begitu sampai di dekatku, pandangannya beralih pada kedua orang tuaku. Ia tersenyum ramah pada ayah dan ibuku."Ayah, Ibu," sapa Melda sambil menyalami tangan kedua orang tuaku.Sifatnya yang santun dan ramah membuat ibuku langsung menyukainya dulu. Namun, saat itu kami masih sekolah dan saat hubungan kami berakhir ibu juga tidak mempermasalahkannya."Nak Melda! Duduk dulu." Ibu menggeser duduknya setelah menerima uluran tangan Melda, memberi ruang pada wanita itu untuk duduk. Pertanyaanku tadi bahkan belum dijawab rasanya dicuekin saja."Gimana, Mel?" Ibu mengulang pertanyaa
Setelah setengah hari mencari dan bertanya di sekitar, akhirnya kami dapat menyewa penginapan di belakang rumah sakit. Ukurannya hanya 3x3 dengan kamar mandi di dalam, lumayan nyaman untuk hari ini dan malam nanti. Rencana berikutnya aku akan mencari kontrakan di sekitar sini agar dapat aku tinggali sekalian menjaga anak dan istriku nanti."Alhamdulillah dapat penginapan juga, malam ini kita di sini dulu. Besok baru cari kontrakan," ucapku pada kedua anak malang yang sedang menatap sendu padaku.Kedua anak itu hanya duduk diam di pinggir ranjang, wajah mereka terlihat murung, sama sekali tidak ada cahaya semangat lagi. Cobaan kali ini sangat berat, setelah kecelakaan kemaren mereka kehilangan sandaran. Ya, ibu yang selalu ada untuk mereka sekarang tengah koma dan tidak tahu kapan akan sadar.Entahlah aku sendiri merasa tidak yakin kalau aku kuat dengan semua ini, hari-hariku terasa sangat berat, ditambah lagi putraku yang terlihat sangat kurus bahkan bernafas saja ia begitu susah hingg
["Mel! Kirim no rekeningnya, aku mau ngirim uang ASI untuk Siska."] Aku mengirim pesan singkat pada Melda. Sebenarnya tidak enak terlalu banyak merepotkan mantan kekasihku itu, tapi mau bagaimana lagi Siska hanya mau berurusan dengan Melda saja jadi aku terpaksa merepotkannya tiap hari.Aku masih di masjid setelah sholat subuh, duduk dulu sejenak menunggu matahari memancarkan sinarnya lebih terang lagi. Aku menghirup udara yang terasa dingin menyapa kulitku. Hmm, lumayan segar rasanya udara pagi ini.Ting, balasan pesan dari Melda langsung masuk.["0652 *** — itu Bang! Oh iya barusan Siska juga ngirim pesan, katanya bisa tidak Abang bayar untuk seminggu ke depan dulu?"]Balasan dari Melda membuat aku berpikir panjang, kenapa Siska minta bayaran duluan? Lalu seandainya aku bayar untuk seminggu mungkinkah Siska akan menepati hadir tiga kali sehari? Takutnya malah nanti dia tidak diperbolehkan lagi oleh suaminya. Aku kenal siapa suaminya itu, pria licik! Pasti ini hanya akal Bang Panji sa
Aku kembali ke penginapan, aku membuka pintu ternyata pintunya sudah tidak dikunci lagi. Aku langsung masuk. Aku mengedarkan pandangan yang aku lihat hanya Mixi dan Yura saja. "Aunty Neysa mana?""Di kamar mandi, Yah!" jawab Mixi.Aku pun mendengar percikan air di kamar mandi, kuputuskan untuk berteriak agar Neysa mendengar, "Ney, Abang mau cari kontrakan! Jaga Mixi dan Yura.""Iya, Bang," jawabnya seperti sedang berkumur-kumur.Aku meletakkan selembar uang di atas meja dekat ponsel Neysa, lalu berpesan pada kedua gadis kecil itu, "Bilang pada aunty buat beli makan siang, ya!""Ok, Ayah!"Aku pun berangkat sendirian dengan berjalan kaki, aku memandang di sekitar jalan raya depan rumah sakit sepertinya tidak ada rumah untuk aku kontrak. Aku masih berjalan beberapa meter lagi namun belum juga ada rumah untuk dikontrak rata-rata bertuliskan penginapan, akhirnya aku bertanya pada seorang pejalan kaki yang aku temui."Maaf, Pak! Numpang tanya kira-kira kalau saya cari kontrakan di mana ya?"
"Uwais, anak ayah, cepatlah sehat sayang!" doaku dalam hati.Sebelum benar-benar berlalu Melda kembali bicara padaku, "Nanti ke rumah sakit, bareng Melda lagi?"Ia memberi tawaran tumpangan ke rumah sakit nanti. Aku jelas menolaknya. "Kau duluan saja, aku ingin membersihkan ruko ini dulu. Sekali lagi makasih banyak ya, Mel!""Sama-sama, Bang!"Wanita itu akhirnya benar-benar pergi meninggalkanku sendiri di ruko yang tidak terlalu besar ini. Ruko ini sudah tidak berpenghuni sekitar enam bulan, kulihat lantainya banyak debu dan di langit-langit banyak sarang laba-laba.Aku ingin membersihkan ruko ini, kuputuskan untuk membeli sapu dan kain pel di toko seberang. Aku membersihkan lantai yang penuh debu hingga benar-benar bersih. Aku ingin saat Neysa dan anak-anak ke sini nanti rukonya sudah bersih.Aku menarik nafas lega setelah melihat hasil kerjaku. Semua debu dan sarang laba-laba sudah bersih semua. Aku duduk sejenak menghapus peluh yang masih menetes di dahi. "Akhirnya bersih juga! Tin
Kamar kami yang bersebelahan memang membuatku dapat mendengar apa yang mereka bicarakan jika tidak berbisik. "Kakak yang akan menjagamu!" jawab Mixi begitu tegas.Aku sedih mendengar Yura bicara seperti itu namun aku juga tersenyum mendengar jawaban Mixi. Rupanya Yura tidak percaya kalau aku akan menjaganya, tapi Mixi siap mengambil tanggung jawab menjaga adiknya."Lihat saja nanti!" batinku.Setelah berkemas kami bertiga pulang dengan bus. Empat jam perjalanan akhirnya kami sampai juga di rumah.Rasa lelah di perjalanan tidak aku hiraukan karena aku ingin segera menemui Mang Ardhan."Kalian kemasi barang-barang kalian jangan lupa keperluan sekolah!" perintahku pada kedua anak itu, mereka langsung masuk ke kamar mereka. "Anak yang penurut," pujiku.Aku sendiri mengambil kunci dan berjalan cepat menuju becak motor yang terparkir di samping teras.Aku memutar becak motor kesayangan yang sudah menemaniku setahun ini, langsung menyalakan mesinnya. "Syukurlah masih mau menyala."Ku panask
"Kenapa, Mang?" tanyaku refleks."Al!" Mang Ardhan menggenggam tanganku."Iya, Mang!" balasku dengan sangat serius.Aku merasa atmosfer di sekitarku berubah, ada hawa panas yang aku rasakan. Aku menunggu Mang Ardhan bicara, sebenarnya apa yang akan ia sampaikan hingga harus seserius ini?"Al, aku telah berdosa dan itu sangat besar," ungkapnya yang membuat aku semakin penasaran.Mataku membola mendengar penuturannya, dosa besar apa yang telah ia lakukan? Aku tidak ingin menebaknya karena aku tidak ingin berperasangka buruk. "Ceritalah, Mang! Ada apa?" Wajahnya kini terlihat memerah dan Mang Ardhan pun bercerita, "Aku terlalu terpuruk hingga lupa sholat beberapa hari ini. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan, aku lupa kalau isteriku pasti menunggu aku mendoakan dan mengirim Fatihah untuknya! Ya Allah ampuni hamba!"Pria itu kembali menangis. Ternyata itu yang membuatnya mengucap istighfar dengan sangat keras tadi, rupanya beberapa hari ini Mang Ardhan meninggalkan sholat. Rasa sedih diti
Kedatangan pemuda itu membuat aku terkejut, ku kira siapa, tak taunya Gavin. Ia masih berdiri di depan pintu dengan membawa dua gelas kopi. Gavin melangkah perlahan ke arah kami."Iya, Bang! Akhirnya ayah kita telah kembali," kelakar Gandi yang disertai kekehan kecil menjawab pertanyaan kakaknya.Gavin menggeser meja agar lebih dekat denganku. Ia meletakkan dua gelas kopi di atas meja dan mempersilahkan aku minum, "Minum dulu, Bang!"Pemuda itu juga mengambil sebuah kursi dan kami duduk berhadapan.Mataku langsung tertuju pada kopi yang disuguhkan Gavin. Sedari jam sebelas aku duduk di sini, Mang Ardhan sama sekali tidak menyuguhkan aku apa pun. Sangat berbeda jika Teh Yusri masih ada, beliau langsung menanyai aku mau minum apa."Iya, Vin!" Aku mengambil segelas, asap kopi langsung mengepul ketika aku meniupnya. Karena masih terlalu panas, aku mengambil piring yang ada di bawah gelas dan menuangkannya ke piring kecil itu agar lebih cepat dingin. Aku meniup lalu mulai minum perlahan."M
Aku telah sampai di rumah, sama seperti tadi, Mixi masih tertinggal di belakang. Aku segera memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak sabar ingin menyampaikan berita ini pada Kinanti."Assalamualaikum, Sayang!" Aku mengucap salam dan langsung mencari keberadaan istriku.Beberapa saat ia belum juga muncul, aku bergegas mencarinya ke dapur, eh malah tidak ada!"Sayang!" panggilku lagi.Tak lama suaranya muncul dari dalam kamar. "Iya, Bang!"Aku langsung menyusulnya, kami hampir bertabrakan di sekat pembatas ruang tengah dan dapur. "Astaghfirullah!" Aku terlonjak kaget."Hei, Abang ada berita bagus buat kamu!" Aku melangkah semakin mendekatinya dan menarik tangan istriku untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu panjang cerita yang akan aku sampaikan hingga kami harus duduk. Aku begitu bahagia mengetahui kalau benda itu bukanlah milik Mixi.Kami baru saja mendaratkan bokong di sofa, terdengar salam Mixi dari pintu, "Assalamualaikum!"Kami menoleh bersamaan dan menjawab salam jug
Pagi ini aku ingin pergi ke sekolah Mixi, apa yang dilakukan anak itu harus aku selesaikan. Dia harus tetap bersekolah hingga ujian akhir walaupun semalam telah resmi menikah.Setelah sarapan aku sudah siap untuk pergi, tapi anak itu sama sekali belum bersiap. Aku lupa memberitahu Mixi kalau aku akan ke sekolahnya hari ini. Al hasil aku harus menunggunya bersiap dan kami berangkat agak siang dengan motor masing-masing.Aku telah sampai dan melihat jam di pergelangan tanganku. "Sudah pukul 09.00," gumamku.Aku memarkirkan motor lalu memandang ke belakang mencari keberadaan Mixi. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya anak itu sampai juga."Cepatlah!" desisku.Aku berjalan terlebih dahulu, gadis itu berjalan pelan di belakangku terdengar kakinya seperti diseret. Aku memutar badan dan bicara padanya."Kau, cepatlah sedikit, dasar anak bandel!" Aku masih terus menghardiknya karena aku tak habis pikir dengan kelakuan anakku itu.Mixi tak berani menatapku, ia terus menunduk sepanjang jalan. A
"Kenapa?" sentak Erhan."Karena kau non muslim!" tunjukku.Seketika aku merasa menemukan jalan buntu. Aku tidak mau Mixi menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Di satu sisi aku tidak mungkin diam saja saat mereka sudah melakukan hal di luar batas.Erhan berdehem, "Hmm, kalau itu Abang tidak perlu khawatir, aku sudah mualaf kok!" ungkapnya sambil cengengesan.Pemuda ini benar-benar ajaib, sama sekali tidak ada risau di wajahnya, walaupun babak belur ia tetap terlihat happy. Hal itu berbanding terbalik dengan gadis yang duduk di sampingnya, Mixi hanya menunduk, sama sekali tidak happy."Kapan?" tanyaku singkat."Dua bulan yang lalu! Kalau Abang tidak percaya silahkan telpon Ustad Habibi, beliau yang sampai saat ini masih membimbing saya," tutur Erhan.Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengulurkan padaku memintaku menelepon ustad yang ia maksud.Aku sungguh tidak kenal dengan ustad Habibi itu, dari pada aku menghubungi orang yang tidak aku kenal, lebih baik aku te
Pikiranku mendadak kacau, aku ingin segera berbicara dengan Mixi. Aku langsung mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Aku tidak jadi menjemput Kinanti, acara jalan-jalan berdua terpaksa batal, lain kali saja!Sampai di rumah aku melihat motor yang tidak aku kenali terparkir di depan teras. Namun, suasana rumah terlihat sangat sepi dan pintu rumah juga masih ditutup."Motor siapa, ya?" tanyaku dalam hati. Siapa yang sudah pulang? Apa salah satu dari anak-anak?Mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Aku langsung teringat dengan cerita Bu Er tentang pemuda ganteng yang diajak Mixi ke sekolah, mungkinkah itu—. Berarti Mixi di dalam dengan pemuda itu? Berdua saja? Aku harus selidiki, aku tidak ingin diperbodoh.Aku langsung membuka pintu perlahan agar mereka tidak mengetahui aku pulang. Rencana menyergap mereka diam-diam sudah tersusun di otakku. Begitu pintu terbuka aku terbelalak terkejut dengan apa yang aku lihat."Astaghfirullah, ternyata ini kelakuan kalian?" teriakku yang lang
Hari sudah pukul empat sore. Tinggal satu motor saja yang belum dibenarkan, biarlah menjadi tugas Parto buat nambah gaji karyawanku itu. Eh iya, Parto bukan hanya karyawanku, ia juga adalah suami Tiani.Aku memilih pulang ke rumah."To, Abang pulang dulu, ya! Yang ini masih amankan?" pamitku sambil menunjuk motor yang masih belum dibenarkan."Aman, Bang! Sebentar saja siap tu!" balasnya.Sampai di rumah ternyata sangat sepi tidak ada siapa-siapa, aku lupa kalau sedari pagi isteriku di tempat tetangga yang sedang hajatan. Sedangkan Mixi, Yura dan Uwais belum pulang, pasti mereka masih belum selesai les. Aku duduk di depan teras tanpa membuka pintu, malas masuk rumah kalau tidak ada siapa pun begini.Aku teringat sudah lama tidak jalan-jalan berdua dengan isteriku. Akhirnya aku mengirim pesan singkat untuk menjemputnya, "Yang, sudah selesai? Abang jemput sekarang?"Beberapa saat menunggu, tidak ada balasan dari Kinanti. Mungkin ia sedang sibuk dan tidak menyadari aku mengirim pesan. "Ya
Aku mengambil sertifikat itu lalu bicara pada Miko, "Sudah terbayar 'kan nazar lo?"Miko mengangguk, ia terlihat tersenyum puas setelah berhasil membuatku menerima sertifikat pemberiannya.Miko bahkan memeluk ku. "Lo emang teman gue dunia akhirat, Al! Lo nggak hanya menyelamatkan harta gue di dunia tapi juga di akhir kelak. Makasih ya, Bro!!!"Ia lalu menepuk-nepuk pelan punggungku. Ya, ya, biarkan saja begini untuk beberapa menit ke depan. Begitu bahagianya Miko telah berhasil membayar nazarnya. Aku menikmati momen ini, aku juga bahagia melihat temanku bahagia.Setelahnya aku mengambil tangan Miko dan meletakkan kembali sertifikat itu. "Sekarang gue mau nitip sertifikat ini lagi sama lo!""Eh, apaan? Nggak bisa gitu, Al!" protesnya. Miko tidak mau memegang surat berharga itu hingga jatuh ke lantai begitu saja.Turun sudah harga diri sertifikat sebagai barang berharga karena ulah kami yang saling menolak keberadaannya. Padahal ia begitu sangat berharga, disaat yang lain rela membunuh s
"Nggak apa-apa, biarkan dia makan telur," selaku. "Kebetulan Kinanti tadi goreng telur juga untuk Uwais."Aku heran dengan sikap Tiani, padahal nggak apa-apa Cia makan di rumah kami. Apa dia masih menganggap kami orang asing?"Sebentar ya, Cia!" Kinanti melanjutkan langkahnya ke dapur.Tak lama ia kembali membawa sebakul nasi, sepiring sambal dan sebuah telur dadar. "Kita makan bersama, ya!""Kakak ambil piring dan minum dulu!" Ia izin kembali lagi ke dapur, lalu balik dengan piring dan juga air minum di tangannya.Kinanti telah duduk kembali, ia mengulurkan piring sebagai alas nasi bungkus yang sedang dimakan Cia. Ia juga meletakkan telur dadar di atas nasi itu. "Makan yang banyak, Sayang!"Bocah itu tersenyum cerah. "Makacih, Ante! Cia cuka."Sekarang nasi itu sudah memiliki lauk, tidak hanya nasi putih saja seperti tadi. Aku masih terus memperhatikan bocah itu, senyum dan tingkahnya lebih mirip Yura.Cia memandang ibunya, tangan mungil itu mencoba menggeser piring lebih dekat denga
Keesokan paginya, aku dan Miko langsung menuju bank tempat aku menitipkan surat berharganya. Tak lupa aku membawa kunci SDB. Kami berangkat berboncengan dengan si Jack Blue.Sampai di bank tidak perlu proses yang lama, petugas bank langsung mengembalikan surat-surat itu padaku. Aku menyerahkannya pada Miko."Al, makasih ya sudah menjaganya. Kalau nggak ada lo, mungkin setelah bebas dari penjara gue akan menjadi gembel," tutur Miko saat surat-surat berharga sudah di tangannya.Aku mengangguk dan tersenyum, rasanya lega sekali melihat surat itu telah berhasil aku kembalikan pada pemiliknya. Beban amanah dari Miko di pundakku hilang seketika.Kami melanjutkan langkah ke luar dari bank setelah berterima kasih dan pamit pada petugas bank. Kami berjalan beriringan, aku sangat bersyukur sahabatku ini akhirnya berada di sisiku lagi artinya ia telah melewati masa-masa sulit."Kita cari makan dulu, Al! Lapar gue."Mendadak langkahku berhenti mendengar ajakan Miko. "Gue masih kenyang Kokot. Apa
"Gue kira lo bakal nikah sama si dokter itu!" Suara Miko begitu keras, aku takut Kinanti mendengar dari dalam dan ia akan salah paham jika hanya mendengar sepenggal saja.Mataku langsung beralih melihat ke dalam ruko, benar saja aku melihat siluet istriku baru masuk ke dalam kamar. Aku yakin Kinanti dapat mendengar percakapan kami, apa lagi suara Miko yang sangat keras ditambah ruko ini yang hanya seluas telapak tangan. Setelah ini Kinanti akan menuntut membahas Melda padaku."Ya, nggaklah! Gue setia ama bini gue, Ko! Lo 'kan tau gue setiap hari sibuk bengkel sama ngurus anak bayi, mana pernah terniat nikah lagi." Sengaja aku menjawab dengan suara yang juga cukup keras. Aku harap jawabanku barusan bisa membuat istriku tidak marah nantinya. Aku harus bersiap menceritakan tentang Melda setelah ini. Aduh Miko cari masalah buatku aja, hanya berharap Kinanti tidak salah paham.Selama ini bukan aku bermaksud menyembunyikan tentang Melda dari Kinanti, hanya saja aku menunggu waktu yang tepa