Entah kenapa semenjak baru saja melihatnya tadi emosiku langsung naik, ditambah lagi pemuda itu dengan sengaja beberapa kali menggodaku."Sudah siap difoto, Bang? Jangan cemberut nggak akan bagus hasilnya." Dia masih saja menggodaku dengan gayanya yang terkesan sok keren.Benar juga sih, jika aku tidak tersenyum percuma pakai kamera bagus pasti hasilnya tidak akan bagus. Akhirnya aku ikhlas hari ini mengalah pada pemuda yang belum kuketehui namanya itu, biarlah ia mengejek atau mengolok-olokku, kupaksakan tersenyum demi hasil yang bagus."Ok, saya sudah siap!" jawabku setelah menetralkan perasaanku.Pemuda itu mulai mengarahkan kami. Berbagai gaya maternity yang simpel tapi unik diberitahukannya pada kami. Kami tinggal mengikuti arahannya dan tersenyum di depan kamera. Aku merasa jadi artis saja sekarang, aku bahkan lebih percaya diri dibanding Mang Ardhan tadi.Setelah beberapa kali berinteraksi dengan pemuda itu, aku baru menyadari ternyata memang kepribadiannya suka bercanda, semak
Beberapa saat, ia mengembalikan ponselku, terlihat di situ akun sosial media dengan nama Xander E Cavillano.Tak lama ia mengeluarkan ponselnya dan berkata padaku, "Sudah aku konfirmasi pertemanannya, Bang! Nanti kuedit sedikit supaya lebih bagus. Ditunggu, ya!"Aku hanya membalasnya dengan anggukan. Tak terasa warna jingga yang indah sudah berubah menjadi gelap, berarti senja sudah berubah menjadi malam.Pemuda itu pamit pada kami setelah berjanji akan mengirimkan gambar lewat media sosial nantinya.Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. "Mang, habis ini ke mana? Cari penginapan di mana?" Aku menggeser duduk lebih dekat dengan Mang Ardhan."Kalau penginapan Mamang tahu yang murah, Al! Coba lihat ke sana saja?" ajak Mang Ardhan padaku."Ok, Mang!" Aku setuju nginap di mana pun yang penting nyaman. Besok masih ingin jalan-jalan jadi malam ini harus cari penginapan biar besok terasa segar kembali. Masih banyak tempat yang ingin aku kunjungi di kota. Ke mall belum, ke kolam berenang jug
"Belum, Mas!" Bapak itu tersenyum, kulihat di sampingnya terdapat segelas kopi dan satu toples kue kering. "Mari duduk dulu, biar saya buatkan kopi!"Aku melangkah dan duduk di kursi yang satunya lagi."Sebentar, ya! Saya buatkan kopi dulu. Mas duduk saja." Bapak itu masuk ke dalam rumah setelah pamit dan mempersilahkan aku duduk.Aku memperhatikan sekitar, lingkungan rumah ini terlihat sangat bersih. Ada taman kecil di samping kanan dengan kolam ikan dan air mancur. Suasana terlihat sangat indah meskipun tidak banyak bunga-bunga yang menghiasi."Bagus juga," komentarku yang hanya aku ucap dalam hati.Tadi aku belum sempat memperhatikannya ternyata halaman ini lumayan luas. Aku terkejut saat melihat ke arah kiri ternyata ada dua mobil di bagasi yang letaknya di samping rumah, di sana memang agak sedikit gelap tapi aku tahu kalau itu mobil. "Ternyata orang kaya!"Tak lama bapak itu datang dengan segelas kopi dan satu toples kue kering lagi di tangannya. Ia meletakkan kopi dan kue itu d
Pantas saja fisik bapak ini terlihat masih sangat kuat, ternyata dia orang terlatih. Padahal rambut di kepalanya sudah menjadi uban semua, sedangkan bagian atas kepalanya sudah terlihat berkilat karena sudah tidak ada rambut yang menghuni bagian itu."Jadi karena itu Bapak masih terlihat sangat sehat, ternyata orang terlatih! Coba saya tebak, usia Bapak sudah hampir 75 tahun," tebakku iseng."Haha .... Bukan hampir lagi, Mas! Sudah lebih, tahun ini masuk 78."Obrolan kami berlanjut sangat random. Tak terasa sudah pukul sebelas malam, aku sudah sangat mengantuk tapi masih semangat mendengar cerita si pemilik rumah.Malam ini begitu asik ngobrol di teras rumah mewah ini, benar-benar terasa akrab. Ternyata nama bapak tua itu adalah Muslim, ia biasa di panggil Pak Mus. Seorang pensiunan TNI yang dalam pencapaian karirnya sudah bintang tiga, sungguh luar biasa menurutku.Dari cerita beliau dapat aku bayangkan pahit manisnya perjalanan yang sudah ditempuh selama bertugas. Bagaimana ia harus
kami hampir sampai di pinggiran kota, ternyata air terjun yang dimaksud Pak Mus ada di pertengahan bukit. Hingga untuk sampai di tempat itu kami harus mendaki lereng bukit sekitar satu jam lagi, beruntung jalan masih bisa dilalui mobil. Baru saja mobil mulai mendaki, suasananya langsung berbeda dari suasana kota tadi, di sini terlihat sangat rimbun dan asri. Beberapa kendaraan terlihat di depan dan belakang kami, pasti juga ingin wisata ke air terjun itu.Setelah satu jam akhirnya kami sampai, untunglah Mang Ardan sangat lihai mengemudikan mobil padahal aku sempat khawatir karena medan yang ditempuh cukup terjal. "Alhamdulillah, sampai!" Udara segar langsung memanjakan hidungku. Segarnya terasa sampai ke hati. Aku memuji keindahan ciptaan Yang Maha Kuasa.Kami semua sudah turun dari mobil, tinggal Mang Ardhan saja yang belum turun, entah apa yang ia lakukan hingga begitu lama turun dari mobil. Beberapa saat akhirnya ia ke luar juga dengan baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana,
Saat aku tersadar kepalaku benar-benar sakit. Aku langsung ingat pada Sang Pencipta. "Ya Allah!!!" seruku dalam hati, kulanjutkan dengan syahadat, barangkali sebentar lagi aku akan bertemu malaikat maut. Tidak ada yang akan menolongku selain Allah Tuhanku.Beberapa saat selanjutnya masih gelap yang aku rasakan, aku masih belum mampu menghilangkan rasa pusing berputar-putar di kepalaku. Semakin aku mencoba membuka mata semakin berputar-putar pula dunia ini aku rasakan.Aku masih harus mencoba, kali ini kucoba menggerakkan jari tanganku entahlah itu akan berhasil atau tidak. Beberapa saat setelahnya aku mendengar sebuah suara."Abang!!!" Itu suara yang sangat aku kenali, tapi aku sedikit lupa itu suara siapa. Lalu terdengar suara kaki berlari menjauh."Al, Bangun, Al! Ini ibu!" Suara lembut lainnya terdengar, kali ini aku pastikan itu suara ibuku.Ya Allah aku rindu sekali dengan ibu. Aku semakin semangat untuk dapat membuka mata ingin melihat wajah ibu.Kutenangkan pikiranku sesaat, ag
"Al, isterinya Ardhan telah berpulang!" ucap ibu dengan pelan."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un," sahutku dengan rasa duka yang teramat dalam.Ya Allah, bagaimana keadaan Mang Ardhan sekarang? Ia pasti sangat sedih dan kehilangan. Rasanya aku ingin berada di sisi Mang Ardhan untuk menemani dan menguatkannya. Aku kembali menyesali ketidak berdayaan ini."Apa sudah dimakamkan?" tanyaku spontan."Kau tidak sadarkan diri selama seminggu, mereka jelas sudah dimakamkan!" jawab ibuku kembali."Mereka?" Aku bingung dengan kata mereka, berarti yang meninggal bukan hanya Teh Yusri seorang."Iya, mereka! Isterinya Ardhan dan seorang laki-laki tua yang satu mobil denganmu, mereka meninggal di tempat kejadian dan di makamkan di hari itu juga!" jelas ayah.Aku lupa menanyakan kabar Pak Mus ternyata pria tua yang tidak sombong juga baik hati itu pun telah berpulang dalam kecelakaan ini. Aku langsung mengirimkan alfatihah untuk mereka berdua. Hanya doa yang bisa aku kirimkan, semoga keluarganya dibe
"Bantu Abang ke tempat si Sholeh, Ney!" Keinginanku untuk menemui putraku sudah tidak dapat dibendung lagi.Sebenarnya tadi aku sudah berniat setelah mereka selesai makan, aku ingin diantar ke sana. Siapa sangka aku malah ketiduran selama 3 jam.Sekarang saat aku tahu Seorang perawat memanggil Ayah dan Ibu ke tempat si soleh aku menjadi sangat khawatir. Mungkinkah kondisi anakku memburuk? Hanya itu yang ada dalam pikiranku.Aku mencoba menurunkan kaki dari ranjang pesakitan itu. Kali ini berhasil, kakiku sudah menapak di lantai namun untuk berdiri dan mengangkat bokongku rasanya sulit sekali. Kondisi ini pasti belum memungkin aku untuk berjalan."Tapi bagaimana, Bang?" Neysa terlihat bingung. "Aku nggak kuat bantu Abang berdiri!"Benar juga, Neysa seorang gadis dengan badan yang mungil tenaganya pasti tidak seberapa jika harus membantuku berdiri. Seandainya yang tinggal bersamaku tadi ayah pasti bisa membantuku berdiri."Coba ambil kursi roda, Ney!"Neysa mengangguk, ia bergegas ke lua
Aku telah sampai di rumah, sama seperti tadi, Mixi masih tertinggal di belakang. Aku segera memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak sabar ingin menyampaikan berita ini pada Kinanti."Assalamualaikum, Sayang!" Aku mengucap salam dan langsung mencari keberadaan istriku.Beberapa saat ia belum juga muncul, aku bergegas mencarinya ke dapur, eh malah tidak ada!"Sayang!" panggilku lagi.Tak lama suaranya muncul dari dalam kamar. "Iya, Bang!"Aku langsung menyusulnya, kami hampir bertabrakan di sekat pembatas ruang tengah dan dapur. "Astaghfirullah!" Aku terlonjak kaget."Hei, Abang ada berita bagus buat kamu!" Aku melangkah semakin mendekatinya dan menarik tangan istriku untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu panjang cerita yang akan aku sampaikan hingga kami harus duduk. Aku begitu bahagia mengetahui kalau benda itu bukanlah milik Mixi.Kami baru saja mendaratkan bokong di sofa, terdengar salam Mixi dari pintu, "Assalamualaikum!"Kami menoleh bersamaan dan menjawab salam jug
Pagi ini aku ingin pergi ke sekolah Mixi, apa yang dilakukan anak itu harus aku selesaikan. Dia harus tetap bersekolah hingga ujian akhir walaupun semalam telah resmi menikah.Setelah sarapan aku sudah siap untuk pergi, tapi anak itu sama sekali belum bersiap. Aku lupa memberitahu Mixi kalau aku akan ke sekolahnya hari ini. Al hasil aku harus menunggunya bersiap dan kami berangkat agak siang dengan motor masing-masing.Aku telah sampai dan melihat jam di pergelangan tanganku. "Sudah pukul 09.00," gumamku.Aku memarkirkan motor lalu memandang ke belakang mencari keberadaan Mixi. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya anak itu sampai juga."Cepatlah!" desisku.Aku berjalan terlebih dahulu, gadis itu berjalan pelan di belakangku terdengar kakinya seperti diseret. Aku memutar badan dan bicara padanya."Kau, cepatlah sedikit, dasar anak bandel!" Aku masih terus menghardiknya karena aku tak habis pikir dengan kelakuan anakku itu.Mixi tak berani menatapku, ia terus menunduk sepanjang jalan. A
"Kenapa?" sentak Erhan."Karena kau non muslim!" tunjukku.Seketika aku merasa menemukan jalan buntu. Aku tidak mau Mixi menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Di satu sisi aku tidak mungkin diam saja saat mereka sudah melakukan hal di luar batas.Erhan berdehem, "Hmm, kalau itu Abang tidak perlu khawatir, aku sudah mualaf kok!" ungkapnya sambil cengengesan.Pemuda ini benar-benar ajaib, sama sekali tidak ada risau di wajahnya, walaupun babak belur ia tetap terlihat happy. Hal itu berbanding terbalik dengan gadis yang duduk di sampingnya, Mixi hanya menunduk, sama sekali tidak happy."Kapan?" tanyaku singkat."Dua bulan yang lalu! Kalau Abang tidak percaya silahkan telpon Ustad Habibi, beliau yang sampai saat ini masih membimbing saya," tutur Erhan.Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengulurkan padaku memintaku menelepon ustad yang ia maksud.Aku sungguh tidak kenal dengan ustad Habibi itu, dari pada aku menghubungi orang yang tidak aku kenal, lebih baik aku te
Pikiranku mendadak kacau, aku ingin segera berbicara dengan Mixi. Aku langsung mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Aku tidak jadi menjemput Kinanti, acara jalan-jalan berdua terpaksa batal, lain kali saja!Sampai di rumah aku melihat motor yang tidak aku kenali terparkir di depan teras. Namun, suasana rumah terlihat sangat sepi dan pintu rumah juga masih ditutup."Motor siapa, ya?" tanyaku dalam hati. Siapa yang sudah pulang? Apa salah satu dari anak-anak?Mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Aku langsung teringat dengan cerita Bu Er tentang pemuda ganteng yang diajak Mixi ke sekolah, mungkinkah itu—. Berarti Mixi di dalam dengan pemuda itu? Berdua saja? Aku harus selidiki, aku tidak ingin diperbodoh.Aku langsung membuka pintu perlahan agar mereka tidak mengetahui aku pulang. Rencana menyergap mereka diam-diam sudah tersusun di otakku. Begitu pintu terbuka aku terbelalak terkejut dengan apa yang aku lihat."Astaghfirullah, ternyata ini kelakuan kalian?" teriakku yang lang
Hari sudah pukul empat sore. Tinggal satu motor saja yang belum dibenarkan, biarlah menjadi tugas Parto buat nambah gaji karyawanku itu. Eh iya, Parto bukan hanya karyawanku, ia juga adalah suami Tiani.Aku memilih pulang ke rumah."To, Abang pulang dulu, ya! Yang ini masih amankan?" pamitku sambil menunjuk motor yang masih belum dibenarkan."Aman, Bang! Sebentar saja siap tu!" balasnya.Sampai di rumah ternyata sangat sepi tidak ada siapa-siapa, aku lupa kalau sedari pagi isteriku di tempat tetangga yang sedang hajatan. Sedangkan Mixi, Yura dan Uwais belum pulang, pasti mereka masih belum selesai les. Aku duduk di depan teras tanpa membuka pintu, malas masuk rumah kalau tidak ada siapa pun begini.Aku teringat sudah lama tidak jalan-jalan berdua dengan isteriku. Akhirnya aku mengirim pesan singkat untuk menjemputnya, "Yang, sudah selesai? Abang jemput sekarang?"Beberapa saat menunggu, tidak ada balasan dari Kinanti. Mungkin ia sedang sibuk dan tidak menyadari aku mengirim pesan. "Ya
Aku mengambil sertifikat itu lalu bicara pada Miko, "Sudah terbayar 'kan nazar lo?"Miko mengangguk, ia terlihat tersenyum puas setelah berhasil membuatku menerima sertifikat pemberiannya.Miko bahkan memeluk ku. "Lo emang teman gue dunia akhirat, Al! Lo nggak hanya menyelamatkan harta gue di dunia tapi juga di akhir kelak. Makasih ya, Bro!!!"Ia lalu menepuk-nepuk pelan punggungku. Ya, ya, biarkan saja begini untuk beberapa menit ke depan. Begitu bahagianya Miko telah berhasil membayar nazarnya. Aku menikmati momen ini, aku juga bahagia melihat temanku bahagia.Setelahnya aku mengambil tangan Miko dan meletakkan kembali sertifikat itu. "Sekarang gue mau nitip sertifikat ini lagi sama lo!""Eh, apaan? Nggak bisa gitu, Al!" protesnya. Miko tidak mau memegang surat berharga itu hingga jatuh ke lantai begitu saja.Turun sudah harga diri sertifikat sebagai barang berharga karena ulah kami yang saling menolak keberadaannya. Padahal ia begitu sangat berharga, disaat yang lain rela membunuh s
"Nggak apa-apa, biarkan dia makan telur," selaku. "Kebetulan Kinanti tadi goreng telur juga untuk Uwais."Aku heran dengan sikap Tiani, padahal nggak apa-apa Cia makan di rumah kami. Apa dia masih menganggap kami orang asing?"Sebentar ya, Cia!" Kinanti melanjutkan langkahnya ke dapur.Tak lama ia kembali membawa sebakul nasi, sepiring sambal dan sebuah telur dadar. "Kita makan bersama, ya!""Kakak ambil piring dan minum dulu!" Ia izin kembali lagi ke dapur, lalu balik dengan piring dan juga air minum di tangannya.Kinanti telah duduk kembali, ia mengulurkan piring sebagai alas nasi bungkus yang sedang dimakan Cia. Ia juga meletakkan telur dadar di atas nasi itu. "Makan yang banyak, Sayang!"Bocah itu tersenyum cerah. "Makacih, Ante! Cia cuka."Sekarang nasi itu sudah memiliki lauk, tidak hanya nasi putih saja seperti tadi. Aku masih terus memperhatikan bocah itu, senyum dan tingkahnya lebih mirip Yura.Cia memandang ibunya, tangan mungil itu mencoba menggeser piring lebih dekat denga
Keesokan paginya, aku dan Miko langsung menuju bank tempat aku menitipkan surat berharganya. Tak lupa aku membawa kunci SDB. Kami berangkat berboncengan dengan si Jack Blue.Sampai di bank tidak perlu proses yang lama, petugas bank langsung mengembalikan surat-surat itu padaku. Aku menyerahkannya pada Miko."Al, makasih ya sudah menjaganya. Kalau nggak ada lo, mungkin setelah bebas dari penjara gue akan menjadi gembel," tutur Miko saat surat-surat berharga sudah di tangannya.Aku mengangguk dan tersenyum, rasanya lega sekali melihat surat itu telah berhasil aku kembalikan pada pemiliknya. Beban amanah dari Miko di pundakku hilang seketika.Kami melanjutkan langkah ke luar dari bank setelah berterima kasih dan pamit pada petugas bank. Kami berjalan beriringan, aku sangat bersyukur sahabatku ini akhirnya berada di sisiku lagi artinya ia telah melewati masa-masa sulit."Kita cari makan dulu, Al! Lapar gue."Mendadak langkahku berhenti mendengar ajakan Miko. "Gue masih kenyang Kokot. Apa
"Gue kira lo bakal nikah sama si dokter itu!" Suara Miko begitu keras, aku takut Kinanti mendengar dari dalam dan ia akan salah paham jika hanya mendengar sepenggal saja.Mataku langsung beralih melihat ke dalam ruko, benar saja aku melihat siluet istriku baru masuk ke dalam kamar. Aku yakin Kinanti dapat mendengar percakapan kami, apa lagi suara Miko yang sangat keras ditambah ruko ini yang hanya seluas telapak tangan. Setelah ini Kinanti akan menuntut membahas Melda padaku."Ya, nggaklah! Gue setia ama bini gue, Ko! Lo 'kan tau gue setiap hari sibuk bengkel sama ngurus anak bayi, mana pernah terniat nikah lagi." Sengaja aku menjawab dengan suara yang juga cukup keras. Aku harap jawabanku barusan bisa membuat istriku tidak marah nantinya. Aku harus bersiap menceritakan tentang Melda setelah ini. Aduh Miko cari masalah buatku aja, hanya berharap Kinanti tidak salah paham.Selama ini bukan aku bermaksud menyembunyikan tentang Melda dari Kinanti, hanya saja aku menunggu waktu yang tepa