Seorang pria yang sedang tiduran sambil mengayun buaian anaknya di depan TV menjawab salam itu, "Waalaikumussalam!"Ia berdiri dan berjalan menghampiri Kinanti di depan pintu ruko. "Cari siapa, ya?" Raut wajahnya terlihat sangat tidak ramah. Rambut dan kumis sedikit panjang seperti tidak terurus ditambah lagi badan kurus itu tidak memakai baju, hingga tulang rusuk terlihat saking kurusnya pria ini.Aku dan anak-anak berjalan lebih cepat lagi, mereka aku arahkan duduk di bangku depan ruko bersama Mang Ardhan dan Teh Yusri. Aku langsung berdiri di belakang isteriku, niat hati akan langsung memeluknya jika seandainya ini tempat yang salah lagi."Aku cari Tiani? Betul ini rumahnya?" tanya isteriku dengan sopan.Pria itu berteriak, "Dek! Ada yang nyariin!" Tanpa menjawab Kinanti, pria itu langsung memanggil isterinya."Syukurlah kalau ini benaran rumah Tiani," batinku, aku memandang isteriku yang ternyata juga tengah memandangku dengan senyuman, matanya terlihat berbinar."Siapa, Bang?" te
"T-tidak, jangan bicara seperti itu! Kakak tahu, kakak telah melakukan kesalahan yang sangat besar!" Isteriku berkata dan menangis tersedu-sedu."Kalau memang sudah tahu, ya sudah pergi sana!" usir Tiani kembali.Kasihan sekali isteriku, aku takut dia akan tertekan dan akan kembali berdampak buruk pada kesehatannya. Ada rasa menyesal di hatiku saat mengikuti permintaan Kinanti untuk menemui keluarganya, kukira semua akan baik-baik saja. Ku kira keluarganya akan menyambutnya apalagi ini masih suasana lebaran, momen yang pas untuk saling memaafkan.Jika tahu begini lebih baik besok-bsok saja mencari keluarganya, saat si Sholeh sudah besar misalnya."Jangan salahkan aku yang tidak mau memaafkanmu! Kau tidak tahu betapa hancurnya kehidupanku saat kau meninggal aku!" Tiani mulai mengeluarkan isi hatinya, wanita itu bicara dengan keras dan penuh emosi.Kami masih berdiri menyimak apa yang akan ia sampaikan. Baru beberapa kalimat yang ia ucapkan aku dapat mengukur seberapa sulitnya hidup Tian
Isteriku memejamkan mata sambil memegang perutnya. Aku merasa panik melihat peluh mulai bercucuran di dahinya."Apa terasa sakit?" Aku bertanya dengan penuh khawatir aku pun mengelus perut buncit itu."Ya Allah, kuatkan istriku!" Aku berdoa dalam hati.Aku sungguh tidak sanggup lagi jika harus menghadapi kenyataan kalau si Sholeh mengalami masalah kembali. Di bulan-bulan awal dulu kandungan isteriku sempat lemah jangan sampai dia sakit lagi, hanya itu harapanku.Sementara di bangku belakang, Mixi dan Yura terus berteriak memanggil Ibu mereka. "Ibu ... Ibu sakit?"Mereka berdiri dan mengulurkan tangan pada ibu mereka yang tengah berbaring dan berbantal di pahaku. Isteriku tidak menjawab, ia masih mengelus perutnya seperti menahan sesuatu.Anak-anak itu bertanya padaku, "Ayah!!! Ibu —?""DIAM!!!" bentakku. Belum sempat mereka bertanya aku sudah bicara keras pada mereka. Entah karena apa, aku tega membentak mereka. Rasanya hatiku gelisah sekali, mungkin karena lelah badan dan pikiran. Se
Menjadi pertanyaan besar di hatiku, apa maksud Kinanti bicara kalau ia takut tidak bisa ke sini lagi nanti? Aku bisa saja mengajaknya ke pantai lagi besok. Tinggal di daerah sini pun aku bersedia."Nggak ada, Bang! Dulu aku pernah ke sini dengan abak dan Tiani. Mungkin waktu seumuran mereka." Ia menunjuk pada anak-anaknya.Mungkin ia bersikeras minta ke pantai tadi karena ingin mengingat masa-masa itu. Aku menggenggam tangannya lalu tersenyum lembut."Besok kita ajak juga si Sholeh, terus kita main pasir dari pagi sampai sore. Pasti seru!" Terbayang olehku, saat nanti keadaan sudah kondusif, saat anak dalam kandungan isteriku sudah bisa berjalan.Kaki kecilnya berlarian menginjak pasir, kami kejar-kejaran sambil tertawa. Ya ampun! Aku jadi tidak sabar. Aku mengelus perut isteriku, benar saja ia menendang merespon telapak tanganku.Aku berjongkok, lalu mencium perut itu."Ayah! Besok ajak aku ke pantai ya! Aku mau main pasir sama kak Mixi dan kak Yura!" Aku menirukan suara anak kecil s
Beberapa saat setelahnya aku mulai berselancar di ponsel, mencari gaya foto maternity biar kayak artis-artis yang sedang menunggu momen kelahiran buah hati mereka.Beberapa foto yang menarik dan mudah diterapkan sudah aku simpan di galeri ponsel. Tiba-tiba aku terkejut saat seseorang merebut ponselku dan kini ponsel itu sudah berpindah tangan."Apasih, Yang?" protesku saat Kinanti merebutnya begitu saja."Abang tu yang apaan, dari tadi diajak ngobrol juga! Ngapain sih, Bang?" sungutnya terlihat kesal."Nggak ada!" jawabku pelan."Abang selingkuh?" salaknya. Ia melihat ponselku, lalu tersenyum begitu saja sambil berkata, "Abang mau foto kayak gini?"Aku mengangguk lalu menaik turunkan alisku. "Bagus 'kan? Bisa buat kenang-kenangan si Sholeh ketika masih dalam perut!"Isteriku tersenyum semakin lebar dan sekarang malah ia yang asik sendiri melihat foto-foto itu. "Seperti ini, Bang?" Ia memperlihatkan foto artis yang sangat bagus dengan memakai mahkota dan makeup. Prianya berdiri dan wan
Pemuda asing itu menggaruk kepala, lalu melepas kamera dari tangannya begitu saja. Kamera itu langsung tersangkut karena ada tali yang ia kalungkan di leher. Penampilannya terlihat seperti seorang fotografer sungguhan dengan baju kaos oblong dan kemeja yang dilepas kancingnya, lalu dipadukan dengan celana pendek selutut.Dia berjalan mendekati kami, aku menurunkan istriku dari gendongan. Merubah mimik wajah menjadi sedikit sangar."Maaf, Bang! Aku tidak bermaksud mencuri foto Abang, hanya sedang mengabadikan momen matahari terbenam kebetulan melihat Abang sedang berfoto romantis sekali, tangan saya langsung ingin mengabadikannya," terangnya panjang lebar seperti tanpa rasa bersalah."Tapi untuk apa?" tanyaku kembali dengan nada yang sedikit lebih keras.Isteriku sampai memegang lenganku, mungkin ia takut aku akan terbawa emosi kepada pemuda itu."Bukan untuk apa-apa, Bang! Ini namanya hobi." Ia memandangku lekat. "Abang tahu apa itu hobi 'kan?"Oh, berani sekali dia berkata demikian, o
Entah kenapa semenjak baru saja melihatnya tadi emosiku langsung naik, ditambah lagi pemuda itu dengan sengaja beberapa kali menggodaku."Sudah siap difoto, Bang? Jangan cemberut nggak akan bagus hasilnya." Dia masih saja menggodaku dengan gayanya yang terkesan sok keren.Benar juga sih, jika aku tidak tersenyum percuma pakai kamera bagus pasti hasilnya tidak akan bagus. Akhirnya aku ikhlas hari ini mengalah pada pemuda yang belum kuketehui namanya itu, biarlah ia mengejek atau mengolok-olokku, kupaksakan tersenyum demi hasil yang bagus."Ok, saya sudah siap!" jawabku setelah menetralkan perasaanku.Pemuda itu mulai mengarahkan kami. Berbagai gaya maternity yang simpel tapi unik diberitahukannya pada kami. Kami tinggal mengikuti arahannya dan tersenyum di depan kamera. Aku merasa jadi artis saja sekarang, aku bahkan lebih percaya diri dibanding Mang Ardhan tadi.Setelah beberapa kali berinteraksi dengan pemuda itu, aku baru menyadari ternyata memang kepribadiannya suka bercanda, semak
Beberapa saat, ia mengembalikan ponselku, terlihat di situ akun sosial media dengan nama Xander E Cavillano.Tak lama ia mengeluarkan ponselnya dan berkata padaku, "Sudah aku konfirmasi pertemanannya, Bang! Nanti kuedit sedikit supaya lebih bagus. Ditunggu, ya!"Aku hanya membalasnya dengan anggukan. Tak terasa warna jingga yang indah sudah berubah menjadi gelap, berarti senja sudah berubah menjadi malam.Pemuda itu pamit pada kami setelah berjanji akan mengirimkan gambar lewat media sosial nantinya.Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. "Mang, habis ini ke mana? Cari penginapan di mana?" Aku menggeser duduk lebih dekat dengan Mang Ardhan."Kalau penginapan Mamang tahu yang murah, Al! Coba lihat ke sana saja?" ajak Mang Ardhan padaku."Ok, Mang!" Aku setuju nginap di mana pun yang penting nyaman. Besok masih ingin jalan-jalan jadi malam ini harus cari penginapan biar besok terasa segar kembali. Masih banyak tempat yang ingin aku kunjungi di kota. Ke mall belum, ke kolam berenang jug
Aku telah sampai di rumah, sama seperti tadi, Mixi masih tertinggal di belakang. Aku segera memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak sabar ingin menyampaikan berita ini pada Kinanti."Assalamualaikum, Sayang!" Aku mengucap salam dan langsung mencari keberadaan istriku.Beberapa saat ia belum juga muncul, aku bergegas mencarinya ke dapur, eh malah tidak ada!"Sayang!" panggilku lagi.Tak lama suaranya muncul dari dalam kamar. "Iya, Bang!"Aku langsung menyusulnya, kami hampir bertabrakan di sekat pembatas ruang tengah dan dapur. "Astaghfirullah!" Aku terlonjak kaget."Hei, Abang ada berita bagus buat kamu!" Aku melangkah semakin mendekatinya dan menarik tangan istriku untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu panjang cerita yang akan aku sampaikan hingga kami harus duduk. Aku begitu bahagia mengetahui kalau benda itu bukanlah milik Mixi.Kami baru saja mendaratkan bokong di sofa, terdengar salam Mixi dari pintu, "Assalamualaikum!"Kami menoleh bersamaan dan menjawab salam jug
Pagi ini aku ingin pergi ke sekolah Mixi, apa yang dilakukan anak itu harus aku selesaikan. Dia harus tetap bersekolah hingga ujian akhir walaupun semalam telah resmi menikah.Setelah sarapan aku sudah siap untuk pergi, tapi anak itu sama sekali belum bersiap. Aku lupa memberitahu Mixi kalau aku akan ke sekolahnya hari ini. Al hasil aku harus menunggunya bersiap dan kami berangkat agak siang dengan motor masing-masing.Aku telah sampai dan melihat jam di pergelangan tanganku. "Sudah pukul 09.00," gumamku.Aku memarkirkan motor lalu memandang ke belakang mencari keberadaan Mixi. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya anak itu sampai juga."Cepatlah!" desisku.Aku berjalan terlebih dahulu, gadis itu berjalan pelan di belakangku terdengar kakinya seperti diseret. Aku memutar badan dan bicara padanya."Kau, cepatlah sedikit, dasar anak bandel!" Aku masih terus menghardiknya karena aku tak habis pikir dengan kelakuan anakku itu.Mixi tak berani menatapku, ia terus menunduk sepanjang jalan. A
"Kenapa?" sentak Erhan."Karena kau non muslim!" tunjukku.Seketika aku merasa menemukan jalan buntu. Aku tidak mau Mixi menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Di satu sisi aku tidak mungkin diam saja saat mereka sudah melakukan hal di luar batas.Erhan berdehem, "Hmm, kalau itu Abang tidak perlu khawatir, aku sudah mualaf kok!" ungkapnya sambil cengengesan.Pemuda ini benar-benar ajaib, sama sekali tidak ada risau di wajahnya, walaupun babak belur ia tetap terlihat happy. Hal itu berbanding terbalik dengan gadis yang duduk di sampingnya, Mixi hanya menunduk, sama sekali tidak happy."Kapan?" tanyaku singkat."Dua bulan yang lalu! Kalau Abang tidak percaya silahkan telpon Ustad Habibi, beliau yang sampai saat ini masih membimbing saya," tutur Erhan.Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengulurkan padaku memintaku menelepon ustad yang ia maksud.Aku sungguh tidak kenal dengan ustad Habibi itu, dari pada aku menghubungi orang yang tidak aku kenal, lebih baik aku te
Pikiranku mendadak kacau, aku ingin segera berbicara dengan Mixi. Aku langsung mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Aku tidak jadi menjemput Kinanti, acara jalan-jalan berdua terpaksa batal, lain kali saja!Sampai di rumah aku melihat motor yang tidak aku kenali terparkir di depan teras. Namun, suasana rumah terlihat sangat sepi dan pintu rumah juga masih ditutup."Motor siapa, ya?" tanyaku dalam hati. Siapa yang sudah pulang? Apa salah satu dari anak-anak?Mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Aku langsung teringat dengan cerita Bu Er tentang pemuda ganteng yang diajak Mixi ke sekolah, mungkinkah itu—. Berarti Mixi di dalam dengan pemuda itu? Berdua saja? Aku harus selidiki, aku tidak ingin diperbodoh.Aku langsung membuka pintu perlahan agar mereka tidak mengetahui aku pulang. Rencana menyergap mereka diam-diam sudah tersusun di otakku. Begitu pintu terbuka aku terbelalak terkejut dengan apa yang aku lihat."Astaghfirullah, ternyata ini kelakuan kalian?" teriakku yang lang
Hari sudah pukul empat sore. Tinggal satu motor saja yang belum dibenarkan, biarlah menjadi tugas Parto buat nambah gaji karyawanku itu. Eh iya, Parto bukan hanya karyawanku, ia juga adalah suami Tiani.Aku memilih pulang ke rumah."To, Abang pulang dulu, ya! Yang ini masih amankan?" pamitku sambil menunjuk motor yang masih belum dibenarkan."Aman, Bang! Sebentar saja siap tu!" balasnya.Sampai di rumah ternyata sangat sepi tidak ada siapa-siapa, aku lupa kalau sedari pagi isteriku di tempat tetangga yang sedang hajatan. Sedangkan Mixi, Yura dan Uwais belum pulang, pasti mereka masih belum selesai les. Aku duduk di depan teras tanpa membuka pintu, malas masuk rumah kalau tidak ada siapa pun begini.Aku teringat sudah lama tidak jalan-jalan berdua dengan isteriku. Akhirnya aku mengirim pesan singkat untuk menjemputnya, "Yang, sudah selesai? Abang jemput sekarang?"Beberapa saat menunggu, tidak ada balasan dari Kinanti. Mungkin ia sedang sibuk dan tidak menyadari aku mengirim pesan. "Ya
Aku mengambil sertifikat itu lalu bicara pada Miko, "Sudah terbayar 'kan nazar lo?"Miko mengangguk, ia terlihat tersenyum puas setelah berhasil membuatku menerima sertifikat pemberiannya.Miko bahkan memeluk ku. "Lo emang teman gue dunia akhirat, Al! Lo nggak hanya menyelamatkan harta gue di dunia tapi juga di akhir kelak. Makasih ya, Bro!!!"Ia lalu menepuk-nepuk pelan punggungku. Ya, ya, biarkan saja begini untuk beberapa menit ke depan. Begitu bahagianya Miko telah berhasil membayar nazarnya. Aku menikmati momen ini, aku juga bahagia melihat temanku bahagia.Setelahnya aku mengambil tangan Miko dan meletakkan kembali sertifikat itu. "Sekarang gue mau nitip sertifikat ini lagi sama lo!""Eh, apaan? Nggak bisa gitu, Al!" protesnya. Miko tidak mau memegang surat berharga itu hingga jatuh ke lantai begitu saja.Turun sudah harga diri sertifikat sebagai barang berharga karena ulah kami yang saling menolak keberadaannya. Padahal ia begitu sangat berharga, disaat yang lain rela membunuh s
"Nggak apa-apa, biarkan dia makan telur," selaku. "Kebetulan Kinanti tadi goreng telur juga untuk Uwais."Aku heran dengan sikap Tiani, padahal nggak apa-apa Cia makan di rumah kami. Apa dia masih menganggap kami orang asing?"Sebentar ya, Cia!" Kinanti melanjutkan langkahnya ke dapur.Tak lama ia kembali membawa sebakul nasi, sepiring sambal dan sebuah telur dadar. "Kita makan bersama, ya!""Kakak ambil piring dan minum dulu!" Ia izin kembali lagi ke dapur, lalu balik dengan piring dan juga air minum di tangannya.Kinanti telah duduk kembali, ia mengulurkan piring sebagai alas nasi bungkus yang sedang dimakan Cia. Ia juga meletakkan telur dadar di atas nasi itu. "Makan yang banyak, Sayang!"Bocah itu tersenyum cerah. "Makacih, Ante! Cia cuka."Sekarang nasi itu sudah memiliki lauk, tidak hanya nasi putih saja seperti tadi. Aku masih terus memperhatikan bocah itu, senyum dan tingkahnya lebih mirip Yura.Cia memandang ibunya, tangan mungil itu mencoba menggeser piring lebih dekat denga
Keesokan paginya, aku dan Miko langsung menuju bank tempat aku menitipkan surat berharganya. Tak lupa aku membawa kunci SDB. Kami berangkat berboncengan dengan si Jack Blue.Sampai di bank tidak perlu proses yang lama, petugas bank langsung mengembalikan surat-surat itu padaku. Aku menyerahkannya pada Miko."Al, makasih ya sudah menjaganya. Kalau nggak ada lo, mungkin setelah bebas dari penjara gue akan menjadi gembel," tutur Miko saat surat-surat berharga sudah di tangannya.Aku mengangguk dan tersenyum, rasanya lega sekali melihat surat itu telah berhasil aku kembalikan pada pemiliknya. Beban amanah dari Miko di pundakku hilang seketika.Kami melanjutkan langkah ke luar dari bank setelah berterima kasih dan pamit pada petugas bank. Kami berjalan beriringan, aku sangat bersyukur sahabatku ini akhirnya berada di sisiku lagi artinya ia telah melewati masa-masa sulit."Kita cari makan dulu, Al! Lapar gue."Mendadak langkahku berhenti mendengar ajakan Miko. "Gue masih kenyang Kokot. Apa
"Gue kira lo bakal nikah sama si dokter itu!" Suara Miko begitu keras, aku takut Kinanti mendengar dari dalam dan ia akan salah paham jika hanya mendengar sepenggal saja.Mataku langsung beralih melihat ke dalam ruko, benar saja aku melihat siluet istriku baru masuk ke dalam kamar. Aku yakin Kinanti dapat mendengar percakapan kami, apa lagi suara Miko yang sangat keras ditambah ruko ini yang hanya seluas telapak tangan. Setelah ini Kinanti akan menuntut membahas Melda padaku."Ya, nggaklah! Gue setia ama bini gue, Ko! Lo 'kan tau gue setiap hari sibuk bengkel sama ngurus anak bayi, mana pernah terniat nikah lagi." Sengaja aku menjawab dengan suara yang juga cukup keras. Aku harap jawabanku barusan bisa membuat istriku tidak marah nantinya. Aku harus bersiap menceritakan tentang Melda setelah ini. Aduh Miko cari masalah buatku aja, hanya berharap Kinanti tidak salah paham.Selama ini bukan aku bermaksud menyembunyikan tentang Melda dari Kinanti, hanya saja aku menunggu waktu yang tepa