Aku memperhatikan sekitar, dalam hati aku bertanya, "Adakah di antara mereka yang memiliki masalah lebih berat dariku?"Tidak lama seorang nenek lewat di depanku, ia terlihat berjalan dengan kakinya yang pincang. Ia terus mendorong kursi roda suaminya dengan pelan. Pakaian mereka sangat lusuh, aku terus melihat mereka karena menarik perhatianku.Nenek itu duduk sejenak di bangku panjang yang tidak jauh dariku, kudengar ia berkata, "Kita berhenti dulu ya, Bang! Kakiku sudah terasa keram."Seketika aku merasa cobaan nenek itu pasti juga berat, kakinya sendiri sakit, tapi masih harus mengurus suaminya yang sakit. Aku lihat mereka asik bercerita dan sesekali tertawa, hingga aku simpulkan nenek itu ikhlas dan sabar menjalani cobaannya.Mereka yang sudah renta saja masih kuat menjalani cobaan, apalagi aku yang masih muda. Sekarang aku menata hatiku kembali agar lebih ikhlas lagi menjalani cobaan ini. Aku sadari satu hal, Allah SWT sedang mengujiku untuk mengangkat derajatku.Aku menarik naf
Aku tersenyum meremehkan, ternyata itu yang tadi membuat Siska berlutut di kakiku. Sangat mudah baginya memfitnah kami beberapa hari yang lalu. Sekarang sangat mudah pula mengakuinya, zaman memang seaneh itu."Kenapa dia mengaku, Pak?"Harusnya aku bersyukur ia telah mengaku tapi aku malah bertanya kenapa. Iya aku sungguh heran, baru kemarin dia membuat drama yang sangat meyakinkan, sekarang dia sendiri yang mengakuinya. Apa sebenarnya yang terjadi pada Siska?"Jadi begini, Mas! Dari yang saya dengar, tangannya Siska itu semakin parah! Tadi pagi ia mengaku telah memfitnah Mbak Kinan pada warga. Ia juga mengaku melakukannya atas dasar ide dari Panji.""Eh ... bagaimana?" aku bertanya kembali, karena belum terlalu paham.Jadi tangannya Siska semakin parah, separah apa hingga membuat ia mengaku. Aku jadi penasaran.Bu RW menjelaskan kepada kami, "Jadi, Siska nekat memfitnah kalian karena Panji berjanji akan menikahinya!"Aku hanya mangut-mangut, masih di luar nalar aku rasa. Apa hubungan
"Aku hampir kehilangan kewarasan! Kau tahu 'kan? Aku lagi hamil, kau berikan aku tekanan yang sangat luar biasa. Aku juga hampir kehilangan janinku, jika saja Bang Alfa tidak berada di sisiku," pekik Kinanti meluapkan emosinya.Ia benar-benar menyampaikan isi hatinya. Ia begitu terlihat berapi-api saat bicara pada Siska, seandainya ia kuat untuk berdiri, aku yakin ia sudah memukul Siska.Kinanti benar, ia hampir kehilangan segalanya. Ia juga hampir gila, aku kemaren beberapa kali melihatnya menerawang jauh, beberapa kali juga ia berteriak histeris sampai hilang kesadaran. Saat ini pun janin kami masih dalam keadaan lemah.Kinanti akhirnya kembali menangis. Nafasnya sangat cepat. Aku masih berdiri mematung di samping ranjangnya. Mixi dan Yura dengan sigap menghapus setiap air mata yang menetes di pipi ibu mereka."Betapa sulit bagi saya untuk bertahan, jika tidak memikirkan Mixi dan Yura yang sudah tidak punya siapa-siapa mungkin aku biarkan setan menarikku dalam ke tidak warasan. Kau
"Sayang, tenang ya! Pak RW akan mengganti semua kerugian kita," bujukku.Aku sempat terkejut mendengar suara pekikan Kinanti yang sangat kencang. Aku istighfar dalam hati, "Astaghfirullah."Mixi dan Yura juga menangis. "Boneka kami bagaimana, Bu?"Ternyata saat mengetahui rumah di rusak warga dan pakaian telah dibakar yang mereka khawatirkan adalah boneka. Lucu sekali pikiran anak-anak. Ada banyak barang di rumah mengapa memilih mengkhawatirkan boneka?"Kalian cuma ingat boneka saja? Emang kalian nggak sedih kalau seragam sekolah kalian yang di bakar?" tanyaku iseng.Mereka berdua saling pandang, lalu semakin menangis. Mungkin mereka tersadar kalau ada hal-hal lain di rumah yang juga harus mereka khawatirkan."Ibu, bagaimana kami akan sekolah? Hiks ... hiks!" Mereka semakin menangis tersedu-sedu. Ya ampun aku jadi pusing, ada rasa menyesal menggoda mereka barusan. Mandengar anak-anak nangis begini ternyata sangat memekakkan telinga.Kinanti mencoba menenangkan mereka, "Sudah ya, Sayan
Ia terlihat sangat lemah tapi masih memaksakan untuk tetap bicara padaku. Aku mengusap kepalanya, ku berikan senyum terbaikku. Aku sungguh tidak masalah direpotkan olehnya."Tidak apa-apa! Abang bersihkan dulu ya."Sebenarnya dulu aku sangat jijik dengan muntah dan kotoran, tapi entah kenapa sekarang semuanya telah berubah. Sedari di rumah sakit kemarin aku telah membersihkan muntahan Kinanti siang dan malam, itu sama sekali tidak menjijikkan bagiku. Aku ikhlas melakukannya seperti dia yang ikhlas mengandung buah hatiku.Aku pergi ke belakang mengambil kain pel dan membersihkan muntahan itu. Setelah selesai, kususun kembali barang-barang yang telah kami bawa dari rumah sakit tadi.Akhirnya semua selesai. Sekarang aku pun merasa lapar, aku pamit pada isteriku untuk membeli makan siang, "Sayang, Abang sudah laparnih! Abang rasa anak-anak juga sudah lapar.""Iya, Bang! Sudah sesiang ini mereka belum makan siang!""Abang beli lauk dulu, ya!" pamitku.Aku pun keluar dari kamar, namun tak k
Beberapa menit berlalu, belum juga ada tanda-tanda mereka bangun. Akhirnya kuketok lebih keras pintu itu hingga beberapa kali."Iya, Ayah!" Terdengar langkah kaki menuju pintu, aku pun bergeser ke kiri agar tidak melihat isi kamar anak-anak gadis itu.Ternyata Mixi yang ke luar. Wajahnya benar-benar lelah, ia menguap sambil menutup mulutnya."Sudah maghrib! Bangunkan Yura, ayo sholat!"Gadis itu masih bengong beberapa saat."Oh iya, tadi Ayah sudah belikan speaker mini buat dengar sholawat." Aku menyerahkan speaker itu pada Mixi. "Nanti habis sholat kalian bisa dengar nyanyi sholawat."Mixi tersenyum padaku, wajah lelah dan mengantuknya hilang ketika, saat mendapat speaker itu. "Makasih, Ayah!"Saat speaker itu beralih ke tangannya ia langsung mencoba menyalakan dan memencet tombol on. Terdengar seseorang mengucapkan bahasa Inggris, entahlah apa artinya. Ia memperhatikan tombol lain di speaker sambil menyerngitkan dahi. Ini benda baru bagi Mixi, hingga ia terlihat sangat penasaran.Ak
Bu Guru itu tersenyum, lalu bicara padaku, "Pak, sebenarnya seragam sekolah Yura dan kakaknya ada di rumah saya!"Aku heran mendengar penuturannya, sontak aku pun bertanya, "Bagaimana, Bu?"Ia menarik nafas dalam dan mulai bercerita, "Malam kemaren aku dengar dari suami, katanya warga yang biasa nongkrong di kedai bersamanya akan membakar pakaian Bapak dan keluarga. Tujuan mereka supaya Bapak tidak perlu lagi datang ke rumah itu setelah ibunya Yura keluar dari rumah sakit, warga ingin Bapak dan keluarga langsung mencari tempat baru,Tengah malam, warga sudah berkumpul termasuk saya yang ingin melihat-lihat saja. Pakaian itu sudah terkumpul dan siap menunggu api. Namun hati saya tidak tega melihat seragam menjadi debu, akhirnya saya putuskan untuk memungutnya sebelum warga menyiramnya dengan bensin," papar Bu Guru itu.Rumah kami memang tidak terlalu jauh, jadi sangat mungkin jika Bu guru Yura ini hadir dalam peristiwa pembakaran malam kemarin. Aku pun hanya bisa memakhlumi, bersyukur
"Benar, Sayang! Ibunya si Sholeh seratus persen benar! Semua yang terjadi pada kita memang berat, tapi kita jadi mengetahui Allah sangat mencintai kita."Kami sama-sama tersenyum, senyumnya begitu lembut penuh cinta. Kucium dahinya lalu kupandang wajah yang yang sangat aku cintai itu. Terimakasih ya Allah telah engkau gariskan jodohku dengannya."Abang berangkat ke Balai Desa dulu ya?" pamitku sambil berdiri.Baru satu langkah, aku berbalik lagi dan mencium perut tipis istriku. "Sayang baik-baik di dalam ya! Ingat jangan bolehkan ibu turun dari ranjang, jika ibu nakal tendang saja, ya!" ucapku pada si Sholeh."Aku belum bisa nendang, Ayah!" jawab Kinanti mewakili si Sholeh.Aku tidak peduli dan terus mengajak si Sholeh ngobrol, "Kalian berdua harus bed rest!" pesanku seolah janin itu bisa mendengar dan merespon yang aku ucapkan."Baik ayah hati-hati di jalan ya," balas istriku kembali menirukan suara anak kecil.Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh. Aku bergegas menuju becak mot
Aku telah sampai di rumah, sama seperti tadi, Mixi masih tertinggal di belakang. Aku segera memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak sabar ingin menyampaikan berita ini pada Kinanti."Assalamualaikum, Sayang!" Aku mengucap salam dan langsung mencari keberadaan istriku.Beberapa saat ia belum juga muncul, aku bergegas mencarinya ke dapur, eh malah tidak ada!"Sayang!" panggilku lagi.Tak lama suaranya muncul dari dalam kamar. "Iya, Bang!"Aku langsung menyusulnya, kami hampir bertabrakan di sekat pembatas ruang tengah dan dapur. "Astaghfirullah!" Aku terlonjak kaget."Hei, Abang ada berita bagus buat kamu!" Aku melangkah semakin mendekatinya dan menarik tangan istriku untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu panjang cerita yang akan aku sampaikan hingga kami harus duduk. Aku begitu bahagia mengetahui kalau benda itu bukanlah milik Mixi.Kami baru saja mendaratkan bokong di sofa, terdengar salam Mixi dari pintu, "Assalamualaikum!"Kami menoleh bersamaan dan menjawab salam jug
Pagi ini aku ingin pergi ke sekolah Mixi, apa yang dilakukan anak itu harus aku selesaikan. Dia harus tetap bersekolah hingga ujian akhir walaupun semalam telah resmi menikah.Setelah sarapan aku sudah siap untuk pergi, tapi anak itu sama sekali belum bersiap. Aku lupa memberitahu Mixi kalau aku akan ke sekolahnya hari ini. Al hasil aku harus menunggunya bersiap dan kami berangkat agak siang dengan motor masing-masing.Aku telah sampai dan melihat jam di pergelangan tanganku. "Sudah pukul 09.00," gumamku.Aku memarkirkan motor lalu memandang ke belakang mencari keberadaan Mixi. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya anak itu sampai juga."Cepatlah!" desisku.Aku berjalan terlebih dahulu, gadis itu berjalan pelan di belakangku terdengar kakinya seperti diseret. Aku memutar badan dan bicara padanya."Kau, cepatlah sedikit, dasar anak bandel!" Aku masih terus menghardiknya karena aku tak habis pikir dengan kelakuan anakku itu.Mixi tak berani menatapku, ia terus menunduk sepanjang jalan. A
"Kenapa?" sentak Erhan."Karena kau non muslim!" tunjukku.Seketika aku merasa menemukan jalan buntu. Aku tidak mau Mixi menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Di satu sisi aku tidak mungkin diam saja saat mereka sudah melakukan hal di luar batas.Erhan berdehem, "Hmm, kalau itu Abang tidak perlu khawatir, aku sudah mualaf kok!" ungkapnya sambil cengengesan.Pemuda ini benar-benar ajaib, sama sekali tidak ada risau di wajahnya, walaupun babak belur ia tetap terlihat happy. Hal itu berbanding terbalik dengan gadis yang duduk di sampingnya, Mixi hanya menunduk, sama sekali tidak happy."Kapan?" tanyaku singkat."Dua bulan yang lalu! Kalau Abang tidak percaya silahkan telpon Ustad Habibi, beliau yang sampai saat ini masih membimbing saya," tutur Erhan.Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengulurkan padaku memintaku menelepon ustad yang ia maksud.Aku sungguh tidak kenal dengan ustad Habibi itu, dari pada aku menghubungi orang yang tidak aku kenal, lebih baik aku te
Pikiranku mendadak kacau, aku ingin segera berbicara dengan Mixi. Aku langsung mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Aku tidak jadi menjemput Kinanti, acara jalan-jalan berdua terpaksa batal, lain kali saja!Sampai di rumah aku melihat motor yang tidak aku kenali terparkir di depan teras. Namun, suasana rumah terlihat sangat sepi dan pintu rumah juga masih ditutup."Motor siapa, ya?" tanyaku dalam hati. Siapa yang sudah pulang? Apa salah satu dari anak-anak?Mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Aku langsung teringat dengan cerita Bu Er tentang pemuda ganteng yang diajak Mixi ke sekolah, mungkinkah itu—. Berarti Mixi di dalam dengan pemuda itu? Berdua saja? Aku harus selidiki, aku tidak ingin diperbodoh.Aku langsung membuka pintu perlahan agar mereka tidak mengetahui aku pulang. Rencana menyergap mereka diam-diam sudah tersusun di otakku. Begitu pintu terbuka aku terbelalak terkejut dengan apa yang aku lihat."Astaghfirullah, ternyata ini kelakuan kalian?" teriakku yang lang
Hari sudah pukul empat sore. Tinggal satu motor saja yang belum dibenarkan, biarlah menjadi tugas Parto buat nambah gaji karyawanku itu. Eh iya, Parto bukan hanya karyawanku, ia juga adalah suami Tiani.Aku memilih pulang ke rumah."To, Abang pulang dulu, ya! Yang ini masih amankan?" pamitku sambil menunjuk motor yang masih belum dibenarkan."Aman, Bang! Sebentar saja siap tu!" balasnya.Sampai di rumah ternyata sangat sepi tidak ada siapa-siapa, aku lupa kalau sedari pagi isteriku di tempat tetangga yang sedang hajatan. Sedangkan Mixi, Yura dan Uwais belum pulang, pasti mereka masih belum selesai les. Aku duduk di depan teras tanpa membuka pintu, malas masuk rumah kalau tidak ada siapa pun begini.Aku teringat sudah lama tidak jalan-jalan berdua dengan isteriku. Akhirnya aku mengirim pesan singkat untuk menjemputnya, "Yang, sudah selesai? Abang jemput sekarang?"Beberapa saat menunggu, tidak ada balasan dari Kinanti. Mungkin ia sedang sibuk dan tidak menyadari aku mengirim pesan. "Ya
Aku mengambil sertifikat itu lalu bicara pada Miko, "Sudah terbayar 'kan nazar lo?"Miko mengangguk, ia terlihat tersenyum puas setelah berhasil membuatku menerima sertifikat pemberiannya.Miko bahkan memeluk ku. "Lo emang teman gue dunia akhirat, Al! Lo nggak hanya menyelamatkan harta gue di dunia tapi juga di akhir kelak. Makasih ya, Bro!!!"Ia lalu menepuk-nepuk pelan punggungku. Ya, ya, biarkan saja begini untuk beberapa menit ke depan. Begitu bahagianya Miko telah berhasil membayar nazarnya. Aku menikmati momen ini, aku juga bahagia melihat temanku bahagia.Setelahnya aku mengambil tangan Miko dan meletakkan kembali sertifikat itu. "Sekarang gue mau nitip sertifikat ini lagi sama lo!""Eh, apaan? Nggak bisa gitu, Al!" protesnya. Miko tidak mau memegang surat berharga itu hingga jatuh ke lantai begitu saja.Turun sudah harga diri sertifikat sebagai barang berharga karena ulah kami yang saling menolak keberadaannya. Padahal ia begitu sangat berharga, disaat yang lain rela membunuh s
"Nggak apa-apa, biarkan dia makan telur," selaku. "Kebetulan Kinanti tadi goreng telur juga untuk Uwais."Aku heran dengan sikap Tiani, padahal nggak apa-apa Cia makan di rumah kami. Apa dia masih menganggap kami orang asing?"Sebentar ya, Cia!" Kinanti melanjutkan langkahnya ke dapur.Tak lama ia kembali membawa sebakul nasi, sepiring sambal dan sebuah telur dadar. "Kita makan bersama, ya!""Kakak ambil piring dan minum dulu!" Ia izin kembali lagi ke dapur, lalu balik dengan piring dan juga air minum di tangannya.Kinanti telah duduk kembali, ia mengulurkan piring sebagai alas nasi bungkus yang sedang dimakan Cia. Ia juga meletakkan telur dadar di atas nasi itu. "Makan yang banyak, Sayang!"Bocah itu tersenyum cerah. "Makacih, Ante! Cia cuka."Sekarang nasi itu sudah memiliki lauk, tidak hanya nasi putih saja seperti tadi. Aku masih terus memperhatikan bocah itu, senyum dan tingkahnya lebih mirip Yura.Cia memandang ibunya, tangan mungil itu mencoba menggeser piring lebih dekat denga
Keesokan paginya, aku dan Miko langsung menuju bank tempat aku menitipkan surat berharganya. Tak lupa aku membawa kunci SDB. Kami berangkat berboncengan dengan si Jack Blue.Sampai di bank tidak perlu proses yang lama, petugas bank langsung mengembalikan surat-surat itu padaku. Aku menyerahkannya pada Miko."Al, makasih ya sudah menjaganya. Kalau nggak ada lo, mungkin setelah bebas dari penjara gue akan menjadi gembel," tutur Miko saat surat-surat berharga sudah di tangannya.Aku mengangguk dan tersenyum, rasanya lega sekali melihat surat itu telah berhasil aku kembalikan pada pemiliknya. Beban amanah dari Miko di pundakku hilang seketika.Kami melanjutkan langkah ke luar dari bank setelah berterima kasih dan pamit pada petugas bank. Kami berjalan beriringan, aku sangat bersyukur sahabatku ini akhirnya berada di sisiku lagi artinya ia telah melewati masa-masa sulit."Kita cari makan dulu, Al! Lapar gue."Mendadak langkahku berhenti mendengar ajakan Miko. "Gue masih kenyang Kokot. Apa
"Gue kira lo bakal nikah sama si dokter itu!" Suara Miko begitu keras, aku takut Kinanti mendengar dari dalam dan ia akan salah paham jika hanya mendengar sepenggal saja.Mataku langsung beralih melihat ke dalam ruko, benar saja aku melihat siluet istriku baru masuk ke dalam kamar. Aku yakin Kinanti dapat mendengar percakapan kami, apa lagi suara Miko yang sangat keras ditambah ruko ini yang hanya seluas telapak tangan. Setelah ini Kinanti akan menuntut membahas Melda padaku."Ya, nggaklah! Gue setia ama bini gue, Ko! Lo 'kan tau gue setiap hari sibuk bengkel sama ngurus anak bayi, mana pernah terniat nikah lagi." Sengaja aku menjawab dengan suara yang juga cukup keras. Aku harap jawabanku barusan bisa membuat istriku tidak marah nantinya. Aku harus bersiap menceritakan tentang Melda setelah ini. Aduh Miko cari masalah buatku aja, hanya berharap Kinanti tidak salah paham.Selama ini bukan aku bermaksud menyembunyikan tentang Melda dari Kinanti, hanya saja aku menunggu waktu yang tepa