"Ikut ibu!" seru Bu Hanum seraya menarik tangan Arsen.
Jika dilihat dari mimik wajahnya, nampaknya Bu Hanum marah besar. Wajah merah padam dengan tangan yang nampak bergetar cukup untuk menandakan bahwa Bu Hanum sedang memendam kemarahan yang siap untuk meledak.Aku hanya bisa berdoa, berharap semoga tak terjadi perang antara ibu dan anak.****Dua hari berlalu.Setelah Bu Hanum memergoki percakapan antara aku dan Arsen pagi itu. Bu Hanum jadi jarang bicara. Sepertinya dia memang benar-benar marah pada Arsen. Imbasnya, Arsen juga jadi murung.Padahal, rasanya baru sebentar aku bisa melihat Arsen dengan sikapnya yang hangat dan bersahabat.Kini, aku harus kembali melihat Arsen yang dingin. Lebih dingin daripada saat ia berpura-pura idiot.Seperti hari ini.Arsen pulang lebih awal dari Bu Hanum, namun ia malah memilih untuk menyendiri di halaman belakang. Tak seperti biasanya yang sering memanfaatkan keadSetelah kejadian kemarin, sikap Arsen kembali seperti semula. Mungkin dia juga sedikit lega karena sudah menceritakan tentang perasaannya.Masalahnya kini tinggal Bu Hanum saja. Tapi sayang, ia lebih jarang berada di rumah hingga aku tak punya banyak waktu untuk berbicara dengannya.Hari ini adalah hari Minggu, hari dimana Arsen biasa menghabiskan waktu luang di rumah saja. Sejak Bu Hanum berangkat, Arsen langsungturun tangan dan membantuku melakukan pekerjaan rumah. Meski kebanyakan dia hanya merecoki saja.Seperti pada saat aku hendak mencuci pakaian. Arsen malah berulah."Ze, lihat deh! Cocok gak?" serunya seraya membeberkan B-H kotorku didadanya."Ish Arsen apa-apaan sih? Geli tau lihatnya! Apa gak sekalian aja kamu pakai tangtop dan rok mininya?" ucapku seraya tertawa melihat tingkah konyolnya."Sebenarnya aku cuma kangen aja sih, sama benda ini. Memangnya kenapa?" tanyanya sembari cengengesan."Apaan sih? Yaud
"Tapi ini sakit banget! Kamu tega sama aku? Kamu gak mikirin anak kita?" cercaku.Arsen tak menjawab, ia mengambil beberapa kain dari dalam lemari lalu dengan cekatan mengganti handuk yang kini sudah dipenuhi oleh darah."Ya ampun, Arsen! Zea kenapa?" tanya Bu Hanum yang baru saja datang."Zea jatuh, Bu! Ayo, bantu aku!" ucap Arsen seraya mengangkat tubuhku.Aku sudah tak mampu bicara lagi, tubuhku rasanya lemas seiring dengan rasa sakit yang semakin menjadi.Aku hanya bisa bertanya dalam hati saat Arsen malah membawaku ke kamar sebelah. Kamar sempit dengan pintu yang didobel oleh jeruji besi.Kupejamkan mataku setiap rasa sakit itu muncul. Aku tak habis pikir kenapa Arsen bisa setega ini padaku dan membiarkanku kesakitan tanpa mau membawaku ke rumah sakit."Arsen cepat! Jika terus begini, Zea bisa kehilangan banyak darah!"Samar kudengar suara Bu Hanum disusul dengan suara bising seperti sedang mencari sesuatu.
Hari telah berganti. Namun, aku masih belum bisa menerima kenyataan.Tak hanya menyalahkan diri sendiri. Entah mengapa aku juga jadi kesal pada Arsen. Sudah beberapa hari ini aku tidak banyak bicara padanya. Begitupun pada Bu Hanum.Rumah terasa sepi meskipun kami bertiga sedang berkumpul. Rasa kehilangan yang mendalam membuatku jadi tidak bisa berpikir dengan jernih, aku menyalahkan diri sendiri dan juga menyalahkan orang lain. Bahkan Bu Hanum yang tidak tau apa-apa pun terkena imbasnya.Meski begitu, sikap Arsen padaku tetaplah baik. Bahkan Bu Hanum juga mulai menunjukan rasa pedulinya padaku.Ditengah masa pemulihan ku, Bu Hanum dengan sabar dan telaten mengurus segala kebutuhanku. Bahkan hari ini, Bu Hanum tidak keluar rumah sama sekali. Sempat terdengar ia membatalkan janjinya pada beberapa orang via telepon.Harusnya aku bersyukur, karena harapanku pada sikap Bu Hanum perlahan sudah mulai terwujud. Namun entah mengapa aku merasa mas
Aku menghampiri mereka seraya berdehem, membuat mereka terlihat terkejut dengan kehadiranku. Namun, detik berikutnya Bu Hanum dan Arsen langsung menghampiriku."Kenapa kamu gak bilang kalau mau keluar kamar? Padahal aku bisa bantu kamu. Menaiki tangga sendiri dengan kondisi kamu yang masih seperti ini, itu bahaya," omel Arsen seraya membantuku duduk."Tapi nyatanya aku gak papa 'kan?" sahutku."Kamu lapar, Ze?" tanya Bu Hanum."Enggak, Bu. Aku hanya tidak bisa tidur saja," sahutku."Ya sudah, malam ini kita tidur di kamar biasa, ya!" ajak Arsen.Tok! Tok! Tok!Kami bertiga langsung saling melempar pandang saat terdengar seseorang yang mengetuk pintu di depan sana.Kiranya, siapa yang bertamu malam-malam seperti ini?Apalagi, ini ditengah hutan!Setauku baru Pak Seno saja yang pernah berkunjung kesini.Ah, apa mungkin itu juga Pak Seno?Aku mulai khawatir."Biar aku ya
"Arsen ...! Jangan!"Bu Hanum histeris, saat Arsen hendak melempar api pada wajah Pak Seno.Dengan cepat, Bu Hanum bangun seraya menutupi sebagian tubuhnya yang terbuka. Akupun segera menghampiri beliau dan memeluknya."Ibu mohon, jangan lakukan itu!" pintanya."Dia sudah kurang ajar, Bu! Tidak ada ampun untuk bajingan ini!" geram Arsen.Pak Seno yang sudah babak belur dan lemas sudah tak bisa berkata-kata lagi. Bahkan nampaknya pria tua itu hanya bisa pasrah saja meski Arsen hendak membunuhnya.Radit yang menjadi andalan Pak Seno juga sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Pria itu bahkan nampak sudah tak sadarkan diri dengan banyak luka lebam ditubuhnya."Ibu gak mau kamu terlibat masalah yang lebih besar, Arsen!" ucap Bu Hanum seraya terisak."Aku tidak peduli, Bu! Dia sudah merendahkan ibu, jadi dia harus terima konsekuensinya!" berang Arsen.Duar!Api langsung menyambar wajah Pak Seno begitu Ar
Dengan tergesa, Bu Hanum mengambil defribrilator lalu memberikannya pada Arsen.Satu kali percobaan, belum ada reaksi. Arsen kembali mencoba untuk yang kedua kalinya namun hasilnya masih sama. Hingga dipercobaan ketiga, Pak Seno tiba-tiba membuka kedua matanya.Arsen tersenyum kecut seraya mengusap keringat didahinya."Pe-peng-hi-an-at!" lirih Pak Seno. Luka bakar dibagian mulutnya membuat ucapannya tidak begitu jelas."Aku tak mungkin melakukan ini jika kamu tidak memulai terlebih dahulu," sahut Arsen kemudian tersenyum miring.Perlahan, Pak Seno kembali menutup mata, membuat Bu Hanum kembali terlihat khawatir."Bagaimana ini?" gumamnya."Ibu tenang aja, dia sudah melewati masa kritisnya. Untuk sementara waktu kita biarkan saja dulu," sahut Arsen."Tapi, barusan dia ...-" Bu Hanum menggantung ucapannya seraya menatap Arsen dan Pak Seno bergantian."Apakah justru tindakan ini lebih membahayakan posisi k
"Radit, apa kamu marah padaku?" tanyaku pelan.Ia menggeleng, detik kemudian Radit kembali menundukan wajahnya."Disini bau, Ze! Lebih baik kamu pergi dari sini," ucapnya."Gak papa, Dit! Aku sengaja datang kesini mumpung Bu Hanum dan Arsen gak ada di rumah," jelasku."Memangnya ada apa?" tanyanya. Kali ini Radit menatapku."Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan. Terutama tentang Fara," jelasku.Raut wajah Radit kembali berubah saat mendengar nama Fara kusebut."Kamu tau kalau Fara sudah meninggal?" tanyaku pelan."Ya, aku tau," sahut Radit singkat."Dimana kamu saat itu? Kenapa aku tidak melihatmu? Apa kamu ikut dengan Pak Seno?" sederet pertanyaan aku lontarkan padanya."Ya, saat itu Pak Seno memang mengajakku pergi. Tapi, seandainya aku tau Fara akan-"Radit tak melanjutkan ucapannya, ia tertunduk seraya menutup wajahnya."Aku juga sangat terpukul karena kepergiannya, Dit
Semakin hari, waktu terasa semakin cepat berlalu.Aku sudah tidak tahan dan kasihan melihat kondisi Radit yang kini sudah sangat memprihatinkan. Kesehatan tubuhnya pun nampaknya sudah mulai terganggu karena kotornya ruangan dan tubuhnya yang tidak pernah Arsen beri kesempatan untuk membersihkan diri.Semakin hari, kulihat Radit semakin kurus dan murung. Dia juga sepertinya sudah malas bicara denganku.Aku paham. Mungkin Radit juga kesal padaku karena aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.Aku menyerah!Sudah dua hari ini aku tak pernah lagi mengunjungi Radit. Namun saat aku tak sengaja melihat Arsen sedang memasukan sesuatu kedalam minuman Radit, aku memutuskan untuk cepat-cepat memberitahu Radit agar tidak meminumnya.Entah paham atau tidak, Radit tidak merespon kode dariku. Sedangkan aku sendiri yang buru-buru dan takut ketauan langsung menulis surat peringatan untuknya. Lalu melemparkannya bersama dengan botol air m
"Sorry, gue gak bisa tepatin janji gue dulu!" ucap Arsen pada Bang Gavin yang baru saja datang.Sekarang Arsen sudah dipindah ke ruang rawat. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari tadi malam. Bahkan, dia baru saja menghabiskan semangkuk penuh bubur yang kuberikan."Wuih ... gak bisa gitu dong! Jangan mentang-mentang loe lagi sakit gini. Janji tetap janji, loe harus tepatin bro!" sahut Bang Gavin.Pria itu mengambil alih tempat duduk ku. Tatapannya dan Arsen saling beradu, hal itu membuatku sedikit khawatir, apa mungkin dalam keadaan seperti ini pun mereka akan tetap berantem?"Ya loe mikirlah! Memangnya dalam kondisi gue yang seperti ini gue bisa apa?!" ketus Arsen kemudian memalingkan wajahnya."Ya emangnya loe udah tau gue mau minta apa?" sahut Bang Gavin tak kalah sengit.Arsen kembali menoleh. Tatapan mereka kembali beradu. Untuk beberapa saat, keheningan terjadi hingga membuat suasana cenderung menjadi menegangkan."Hahaha!"Tawa mereka pecah bahkan hampir bersamaan.Aku, Keyla d
Lima pistol sudah mengarah ke kepala kami masing-masing. Tanganku sudah hilang rasa. Aku tak bisa menggambarkan ketakutan ku saat ini. Dalam hati, mungkin inilah akhir dari hidupku.Kutatap Arsen dengan lekat. Aku tak ingin kehilangan momen terakhirku untuk menatap wajahnya yang kini tak sadarkan diri.Dialah pria yang sudah membawaku kedalam cerita ini. Cerita yang penuh dengan konflik dan juga rahasia yang harus selalu kujaga.Dialah pria yang sudah membuatku jatuh cinta dengan segala kegilaannya.Dialah pria yang membuatku mengerti kenapa orang berkata bahwa cinta itu buta."Ze," Lirih Bu Hanum memanggilku.Aku menoleh padanya. Wajahnya sudah dibanjiri oleh keringat dan juga air mata.Kami sama-sama takut. Kami sama-sama tak bisa berbuat apa-apa."Tolong jangan bunuh aku! Aku gak tau apa-apa!" lirih Keyla.Pandanganku beralih pada Bang Gavin, ia memang nampak lebih tenang daripada kami. Namun, wajahnya tetap saja tak bisa menyembunyikan ketakutannya saat ini."Melenyapkan kami sebe
"Loh, tempat apa ini? Kok sepi banget?" gumam Keyla begitu kami sampai.Saat ini kami memang bukan mengunjungi kantor polisi tempat aku dan Arsen dijebak tempo hari.Erlangga, atau lebih tepatnya Jendral Erlangga suaminya Dokter Siska yang menurutku tak pantas dipanggil gelarnya itu memintaku untuk datang ke tempat ini.Ternyata selama beberapa hari kebelakang, Arsen dikurung di tempat kumuh dan terpencil ini. Mereka seharusnya tak pantas disebut sebagai polisi karena mereka menangkap untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.Memang mereka tak sepenuhnya salah. Karena yang mereka tangkap dan mereka peras adalah orang yang salah juga. Hanya saja, apa yang mereka pinta sungguh diluar batas kemampuan manusia biasa sepertiku dan Arsen.Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan kami. Lalu, apa bedanya mereka dengan kami para penjahat?"Kamu yakin ini tempatnya, Ze?" tanya Bang Gavin seraya menoleh ke arahku."Menurut lokasi yang Dokter Siska share sih, benar
Setelah acara selesai, aku dan Bu Hanum memilih untuk duduk di luar. Menjauh dari keramaian adalah salah satu cara kami untuk lebih menenangkan diri."Ze, kira-kira kita harus jual apalagi untuk mengumpulkan uang sebanyak itu?" ucap Bu Hanum memecah keheningan diantara kami."Entahlah, Bu. Bukannya yang kita punya saat ini hanya tinggal rumah itu saja?" sahutku."Jika rumah itu dijual, lalu dimana kita akan tinggal?" sambungku."Iya Ze. Kamu benar. Tapi, gimana kalau sebagian uangnya kita belikan rumah yang lebih kecil. Yang penting jumlah uang yang kita butuhkan bertambah," timpal Bu Hanum membuatku langsung mengangkat wajah."Tak ada salahnya juga sih, Bu! Ayo, kita tawarkan mulai hari ini juga, semoga bisa cepat laku!" ucapku antusias."Gak usah!"Bang Gavin tiba-tiba saja sudah berada dibelakang kami. Ia dan Keyla mulai mendekat menghampiri aku dan Bu Hanum."Aku ada cara lain buat membebaskan Arsen. Ya, semoga saja berhasil!" ucap Bang Gavin seraya duduk disampingku."Cara apa, b
Rumah, mobil, butik, dan juga restoran sudah terjual. Semuanya lenyap hanya dalam tiga hari. Itu juga berkat bantuan Bang Gavin, namun nyatanya uang yang diperlukan masih kurang banyak. Sedangkan, besok adalah hari pernikahan Bang Gavin dan Keyla.Entahlah!Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Kini, yang tersisa hanyalah rumah yang kami tempati. Bahkan isinya saja sudah berkurang. Karena kami benar-benar menjual apapun yang bisa diuangkan."Bagaimana ini, Bu? Rasanya aku gak akan bisa hadir ke pesta jika Arsen tak ada," gumamku saat aku dan Bu Hanum sedang duduk berdua."Ibu juga pusing Ze," sahut Bu Hanum singkat.Hari ini Bu Hanum nampak lebih murung dari kemarin. Mungkin lelahnya sama denganku, atau justru mungkin lebih?"Bu?" Kuusap bahunya pelan saat ia tertunduk lesu."Kita pasti bisa, Bu! Katanya, doa seorang ibu dan istri itu menembus langit. Kita perkuat lagi doa dan ikhtiar nya, ya! Kita harus semangat!" ucapku mencoba untuk menguatkan.Menguatkan diri sendiri dan
"Ya Allah ... cobaan apalagi ini?!" pekik Bu Hanum dengan tangan bergetar.Surat yang baru saja ia baca bahkan hampir terjatuh karenanya."Bagaimana menurut ibu?" tanyaku pelan."Entahlah, Ze. Apakah semua harta kita bisa cukup atau tidak untuk memenuhi perjanjian ini," sahutnya lemas."Tapi, ibu setuju 'kan untuk berusaha membuat Arsen bebas?" tanyaku lagi.Bu Hanum mengangkat wajahnya, ia lantas memberikan surat itu keatas pangkuanku."Ya tentu saja, Ze! Semua ini terjadi juga awalnya karena kesalahan ibu. Jika Arsen harus bertanggung jawab dan dihukum, maka ibu juga harus dihukum. Tapi, jika memang ada cara lain, kenapa tidak? Ibu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini," tutur Bu Hanum seraya beranjak dari duduknya."Ibu mau kemana?" tanyaku cepat kemudian menyusul langkahnya."Ibu mau ambil surat-surat penting. Hari ini juga, kita harus dapatkan uangnya!" tegas Bu Hanum membuatku langsung meneteskan air mata."Terimakasih, Bu!" ucapku bergetar kemudian memeluknya.Kamipun lantas
"Ya tentu saja serius! Memangnya kamu pikir dengan uang itu nyawa orang-orang yang sudah melayang itu bisa kembali apa?" sinis Dokter Siska."Iya memang tidak. Tapi, uang sebanyak itu juga memangnya mau kalian apakan?" tanyaku geram."Ya buat kami nikmati lah! Kamu pikir tutup mulut itu gampang apa? Apalagi, ini soal tindak kriminal yang sangat besar. Gak mudah loh, buat kami menutupi sebuah kejahatan," timpal Dokter Siska yang disambut anggukan oleh suaminya."Biar saja, Ze! Gak usah tanggapi mereka. Mungkin, ini memang saatnya aku mempertanggung jawabkan semuanya. Aku minta maaf untuk selama ini, Ze!" ucap Arsen seraya merangkul bahuku."Uuh, so sweet!" cibir Dokter Siska."Nggak! Kamu gak boleh nyerah. Kamu udah terlanjur bawa aku kedalam hidupmu, Arsen. Jadi, kamu harus tanggung jawab padaku dan tetap bersamaku karena kita harus membesarkan anak ini bersama-sama," tekanku seraya mengusap perutku."Justru demi kamu dan anak kita. Aku tak akan sudi memberikan sepeserpun hartaku pada
"Tidak! Tolong lepaskan kami!" ucapku cepat.Pria itu tersenyum seraya mengalihkan tatapannya padaku. Ia menjentikkan jarinya lalu seorang wanita datang menghampirinya."Do-dokter Siska?" gumamku kala sudah melihat wanita itu dari dekat."Iya, ini aku. Dan ini, suamiku!" terangnya yang langsung membuatku ternganga."Oh, jadi ini suamimu?" desis Arsen seraya menatap Dokter Siska dan pria dengan name tag Erlangga."Iya, aku adalah istri seorang jendral. Bagaimana? Sudah merasa tertipu dengan aktingku selama ini?" tanya Dokter Siska seraya tersenyum kecut."Dokter Siska, tolong bebaskan kami. Arsen sudah berubah, ia tidak seperti yang kalian tuduhkan," ucapku mengiba."Zea, kamu tenang saja. Anggap sja disini, statusmu adalah korban, karena kamu juga pernah hendak dijual pada Pak Seno. Jadi, kamu tidak akan kami tahan," tutur Dokter Siska seraya menghampiriku.Polisi yang sedari tadi meringkus kedua tanganku kebelakang kini langsung melepaskannya begitu dapat perintah dari Dokter Siska.
Sesampainya di Polsek. Aku dan Arsen segera turun. Tak lupa, Arsen juga memastikan bahwa satpam tadi juga ada bersama kami.Dengan tergesa, Arsen kembali menarik paksa wanita tadi untuk segera masuk."Selamat siang! Ada yang bisa kami bantu?" sapa seorang polisi yang tengah berjaga."Saya mau membuat laporan!" tegas Arsen."Baik, silahkan duduk!" ucapnya.Arsen duduk di kursi yang sudah disediakan. Disampingnya wanita itu juga turut duduk. Sedangkan aku berdiri di belakang Arsen bersama satpam tadi."Siapa namanya, pak?" tanya polisi tadi seraya menatap Arsen."Arsen!" sahut Arsen singkat."Boleh nama lengkapnya?" tuturnya lagi."Arsenio Cleosa Raymond!" sahut Arsen cepat."Alamat?" polisi itu kembali bertanya. Setiap pertanyaan yang ia ajukan selalu dimintai jawaban yang detail.Arsenpun terus menjawab setiap pertanyaan yang ditujukan padanya. Hingga ujungnya polisi tersebut meminta KTP milik Arsen.Arsen mengernyitkan dahinya. Ia pun lantas bertanya balik."Maaf, pak! Disini saya ma