Semakin hari, waktu terasa semakin cepat berlalu.
Aku sudah tidak tahan dan kasihan melihat kondisi Radit yang kini sudah sangat memprihatinkan. Kesehatan tubuhnya pun nampaknya sudah mulai terganggu karena kotornya ruangan dan tubuhnya yang tidak pernah Arsen beri kesempatan untuk membersihkan diri.Semakin hari, kulihat Radit semakin kurus dan murung. Dia juga sepertinya sudah malas bicara denganku.Aku paham. Mungkin Radit juga kesal padaku karena aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.Aku menyerah!Sudah dua hari ini aku tak pernah lagi mengunjungi Radit. Namun saat aku tak sengaja melihat Arsen sedang memasukan sesuatu kedalam minuman Radit, aku memutuskan untuk cepat-cepat memberitahu Radit agar tidak meminumnya.Entah paham atau tidak, Radit tidak merespon kode dariku. Sedangkan aku sendiri yang buru-buru dan takut ketauan langsung menulis surat peringatan untuknya. Lalu melemparkannya bersama dengan botol air mAku dan Arsen tertawa bersama begitu permainan kami selesai."Katanya gak mau, tapi kok paling heboh?" ledeknya seraya mencubit hidungku."Ish, enggak, kok! Kamu kali!" sahutku seraya mencubit pinggangnya.Ini memanglah bukan kali pertama, namun karena setelah sekian lama berpuasa, sensasinya terasa berbeda. Tak bisa dipungkiri, kami memang sama-sama saling membutuhkan dan menginginkan.Arsen mengecup keningku sebelum ia beranjak dari tempat tidur dan memakai kembali pakaiannya."Ini kan sudah larut malam, kamu mau kemana?" tanyaku."Aku ke kamar sebelah dulu. Mau cek kondisi Pak Seno, sepertinya hari ini aku lupa tidak memberinya obat," jelas Arsen."Memangnya tidak bahaya kalau dikasih obat tiap hari? Ini udah lebih dari satu bulan loh," ucapku."Kalau untuk nyawa sih, enggak. Tapi, kalau merusak saraf, memang itu tujuannya. Aku cuma mau buat dia kehilangan kewarasannya aja, kok!" jelas Arsen."T
Aku bergumam pelan. Kasihan juga saat melihat Radit nampak lemah tak berdaya. Namun, ulahnya tadi juga membuatku sedikit takut."Mendingan, kalian lanjutin aja kerjaannya. Aku mau disini dulu sebentar," ucapku setelah sekian lama menimbang."Biar mereka aja yang kerja, ya Bu bos! Ekye temenin, Bu bos aja disini! Soalnya, curut ini kayanya berbahaya deh, buat Bu bos!" ucap Septi alias Sapto memberi usul."Eits, enak aja! Mending ekye aja yang temenin Bu bos! Kamu yang bersihin ta-i di kamar sana!" celetuk Nina alias Roy dengan suara kemayu juga."Lebih endol, ekye aja yang disini sama Bu Bos! Ekye kan yang paling muda dan paling cantik, sedangkan kalian berdua kan udah pada tuir, jelek dan serem lagi. Nanti yang ada Bu Bos malah takut sama kalian," tutur Yanti alias Yanto panjang lebar. Ia juga menggunakan suara wanitanya.Aku menggeleng pelan seraya menahan senyum saat mulai terjadi pertengkaran rempong diantara mereka.
Aku terjaga saat kurasa sebuah belaian halus diwajahku."Arsen?!" gumamku begitu membuka mata.Arsen tersenyum, kemudian mengecup bibirku singkat."Ini udah siang, loh! Nyenyak banget sih tidurnya?" bisiknya.Aku mengusap wajahku seraya bangun, kulihat jam didinding memang sudah menunjukan angka sembilan.Entah jam berapa aku tidur semalam, sampai-sampai aku bisa bangun se siang ini."Maaf, kayanya semalam aku tidurnya udah pagi deh. Makanya kesiangan," ucapku."Aku buatin sarapan dulu buat kamu dan ibu, ya!" sambungku.Arsen menahan tubuhku. Ia lalu kembali memintaku untuk duduk disampingnya."Aku dan ibu udah sarapan dua jam yang lalu. Kami juga beliin buat kamu, jadi ... kamu gak perlu repot-repot masak," jelasnya seraya mencubit pelan hidungku.Aku mengerutkan dahiku karena sikapnya.Kutatap wajahnya yang nampak begitu cerah. Senyuman yang selalu membuatku candu itu terus terlukis
Mulai hari ini aku bisa menjalani hidup dengan normal. Berjalan-jalan keluar rumah, berbelanja, dan berinteraksi dengan orang lain. Untuk saat ini aku menikmati hidupku meski diluar rumah aku terpaksa harus mengikuti sandiwara Bu Hanum dan juga Arsen.Mereka mengenalku sebagai seorang istri dari pria idiot. Terkadang, ada yang mengatakan bahwa aku adalah wanita yang materialistis. Aku mau menikah dengan Arsen karena harta orang tuanya.Tapi, disamping itu ada juga yang memujiku sebagai wanita baik hati yang mau menerima pria dengan keterbelakangan mental sebagai suami.Namun, apapun yang mereka katakan aku tidak ambil pusing. Karena sejatinya aku sendiri tak tau wanita macam apa diriku ini.Mengaku bertuhan, namun tetap bertahan dijalan yang jelas-jelas menyesatkan!Jika mereka tau yang sebenarnya, tentu penilaian mereka akan jauh lebih buruk dari itu.Hari ini, Arsen ikut belanja bersamaku di salah satu toko yang tak j
Mengingat sejak awal Arsen memang tidak suka pada Radit, aku jadi curiga kalau kebakaran itu juga bagian dari rencananya.Bisa saja 'kan Arsen menyuruh ketiga anak buahnya itu untuk melenyapkan Radit. Lalu, membuat tragedi kebakaran untuk mengelabuiku agar aku tidak marah padanya?Ah!Terlalu sering melihat aksi kejahatan didepan mata membuat otakku jadi berpikiran negatif.Aku tidak boleh menuduh sembarangan, aku harus mencari bukti terlebih dahulu."Loh, Zea?" seru Arsen begitu ia menoleh.Arsen langsung memasukan kembali ponselnya kedalam saku."Kamu ngapain disini?" tanya Arsen seraya menghampiriku."Aku nyusul kamu lah! Tadi kelihatannya kamu marah," sahutku apa adanya."Iya, aku cuma kesel aja sih, sama kamu! Sampai segitunya gara-gara pria lain," cetus Arsen."Ya udah, iya, iya! Aku udahan sedihnya. Tapi, kamu jangan uring-uringan lagi," tuturku."Oke! Tapi ada syaratnya!" ucap
Sesampainya di rumah, kulihat ada Sapto, Yanto dan juga Roy. Mereka nampaknya sedang menunggu kami.Arsen langsung menghampiri mereka begitu ia turun dari mobil. Begitupun dengan aku.Kuharap, mereka membawa kabar tentang Radit."Masuk!" ajak Arsen. Sedangkan dia memberi kode pada pria yang menjadi supir kita tadi untuk tidak ikut masuk.Semuanya menurut.Aku segera menutup pintu, lalu ikut duduk bersama mereka berempat."Maaf bos, untuk kerugian yang bos alami karena kecerobohan kita!" ucap Sapto memulai pembicaraan."Sebenarnya kalau aku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Tapi, kalau ibu lain lagi," ucap Arsen membuat ketiga anak buahnya itu langsung menunduk."Tapi, kalian tenang saja. Sepertinya kekecewaan ibu sudah sedikit terobati. Soalnya dia lagi pergi liburan," sambung Arsen, membuat mereka terlihat bernafas lega."Gimana sih ceritanya, kok bisa jadi kebakaran?" tanyaku penasaran
Arsen tak menjawab, apalagi ketiga anak buahnya."Arsen, siapa yang harus dicari?" tanyaku sekali lagi."Seseorang! Kamu gak akan tau, Ze!" sahut Arsen singkat."Em, aku pikir ...-""Apa? Radit lagi?!" ketus Arsen."Ya, soalnya tadi kalian kan emang lagi bahas soal kebakaran. Kali aja gitu, Radit kabur pas kebakaran," celetukku membuat Arsen membulatkan kedua matanya."Mulai so tau, ya!" cibirnya kemudian tersenyum tipis."Tapi kalau analisaku benar, kamu gak boleh menyangkalnya!" ucapku seraya menatapnya tajam."Memangnya kenapa?" tanya Arsen seraya melipat kedua tangannya didada."Soalnya aku pernah berharap tiba-tiba saja memiliki keahlian sebagai seorang detektif!" sahutku membuat Arsen mengernyitkan dahinya."Kenapa?" beonya."Kalau sampai hal itu terwujud, aku mau mengusut ulang kasus bapak!" celetukku membuat Arsen menatapku seraya menyipitkan kedua matanya.Beberapa sa
"Surprise nya gak kaya gini juga, Arsen sayang ...!" ucapku lagi seraya menghampiri Arsen."Restu, maafin Arsen, ya!" pintaku kemudian tersenyum kikuk padanya."Iya, gak papa. By the way, ini siapa sih? Adik kamu?" tanya Restu.Mataku langsung membulat kala Arsen disangka sebagai adikku. Jiwa sensitif ku lagi-lagi meronta dan tidak terima.Setua itukah wajahku?Aku melirik Arsen yang nampak cengengesan. Aku tau, itu bukan tawa palsu. Dia pasti sedang mentertawakan ku!"Kenalin, ini suamiku!" ucapku penuh penekanan.Kali ini Restu yang nampak terkejut."S-suami?" beonya.Aku hanya mengangguk!"Maaf, aku pikir-""Iya, gak papa. O, iya! Sekali lagi maafin ulah Arsen, ya!" tukasku."Em, iya. Kalau gitu, aku pamit pulang dulu!" Restu menganggukan kepalanya kemudian berlalu.Aku hanya bisa merengut kesal saat teringat pada ucapan Restu. Sedangkan Arsen sendiri masih dalam m
"Sorry, gue gak bisa tepatin janji gue dulu!" ucap Arsen pada Bang Gavin yang baru saja datang.Sekarang Arsen sudah dipindah ke ruang rawat. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari tadi malam. Bahkan, dia baru saja menghabiskan semangkuk penuh bubur yang kuberikan."Wuih ... gak bisa gitu dong! Jangan mentang-mentang loe lagi sakit gini. Janji tetap janji, loe harus tepatin bro!" sahut Bang Gavin.Pria itu mengambil alih tempat duduk ku. Tatapannya dan Arsen saling beradu, hal itu membuatku sedikit khawatir, apa mungkin dalam keadaan seperti ini pun mereka akan tetap berantem?"Ya loe mikirlah! Memangnya dalam kondisi gue yang seperti ini gue bisa apa?!" ketus Arsen kemudian memalingkan wajahnya."Ya emangnya loe udah tau gue mau minta apa?" sahut Bang Gavin tak kalah sengit.Arsen kembali menoleh. Tatapan mereka kembali beradu. Untuk beberapa saat, keheningan terjadi hingga membuat suasana cenderung menjadi menegangkan."Hahaha!"Tawa mereka pecah bahkan hampir bersamaan.Aku, Keyla d
Lima pistol sudah mengarah ke kepala kami masing-masing. Tanganku sudah hilang rasa. Aku tak bisa menggambarkan ketakutan ku saat ini. Dalam hati, mungkin inilah akhir dari hidupku.Kutatap Arsen dengan lekat. Aku tak ingin kehilangan momen terakhirku untuk menatap wajahnya yang kini tak sadarkan diri.Dialah pria yang sudah membawaku kedalam cerita ini. Cerita yang penuh dengan konflik dan juga rahasia yang harus selalu kujaga.Dialah pria yang sudah membuatku jatuh cinta dengan segala kegilaannya.Dialah pria yang membuatku mengerti kenapa orang berkata bahwa cinta itu buta."Ze," Lirih Bu Hanum memanggilku.Aku menoleh padanya. Wajahnya sudah dibanjiri oleh keringat dan juga air mata.Kami sama-sama takut. Kami sama-sama tak bisa berbuat apa-apa."Tolong jangan bunuh aku! Aku gak tau apa-apa!" lirih Keyla.Pandanganku beralih pada Bang Gavin, ia memang nampak lebih tenang daripada kami. Namun, wajahnya tetap saja tak bisa menyembunyikan ketakutannya saat ini."Melenyapkan kami sebe
"Loh, tempat apa ini? Kok sepi banget?" gumam Keyla begitu kami sampai.Saat ini kami memang bukan mengunjungi kantor polisi tempat aku dan Arsen dijebak tempo hari.Erlangga, atau lebih tepatnya Jendral Erlangga suaminya Dokter Siska yang menurutku tak pantas dipanggil gelarnya itu memintaku untuk datang ke tempat ini.Ternyata selama beberapa hari kebelakang, Arsen dikurung di tempat kumuh dan terpencil ini. Mereka seharusnya tak pantas disebut sebagai polisi karena mereka menangkap untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.Memang mereka tak sepenuhnya salah. Karena yang mereka tangkap dan mereka peras adalah orang yang salah juga. Hanya saja, apa yang mereka pinta sungguh diluar batas kemampuan manusia biasa sepertiku dan Arsen.Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan kami. Lalu, apa bedanya mereka dengan kami para penjahat?"Kamu yakin ini tempatnya, Ze?" tanya Bang Gavin seraya menoleh ke arahku."Menurut lokasi yang Dokter Siska share sih, benar
Setelah acara selesai, aku dan Bu Hanum memilih untuk duduk di luar. Menjauh dari keramaian adalah salah satu cara kami untuk lebih menenangkan diri."Ze, kira-kira kita harus jual apalagi untuk mengumpulkan uang sebanyak itu?" ucap Bu Hanum memecah keheningan diantara kami."Entahlah, Bu. Bukannya yang kita punya saat ini hanya tinggal rumah itu saja?" sahutku."Jika rumah itu dijual, lalu dimana kita akan tinggal?" sambungku."Iya Ze. Kamu benar. Tapi, gimana kalau sebagian uangnya kita belikan rumah yang lebih kecil. Yang penting jumlah uang yang kita butuhkan bertambah," timpal Bu Hanum membuatku langsung mengangkat wajah."Tak ada salahnya juga sih, Bu! Ayo, kita tawarkan mulai hari ini juga, semoga bisa cepat laku!" ucapku antusias."Gak usah!"Bang Gavin tiba-tiba saja sudah berada dibelakang kami. Ia dan Keyla mulai mendekat menghampiri aku dan Bu Hanum."Aku ada cara lain buat membebaskan Arsen. Ya, semoga saja berhasil!" ucap Bang Gavin seraya duduk disampingku."Cara apa, b
Rumah, mobil, butik, dan juga restoran sudah terjual. Semuanya lenyap hanya dalam tiga hari. Itu juga berkat bantuan Bang Gavin, namun nyatanya uang yang diperlukan masih kurang banyak. Sedangkan, besok adalah hari pernikahan Bang Gavin dan Keyla.Entahlah!Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Kini, yang tersisa hanyalah rumah yang kami tempati. Bahkan isinya saja sudah berkurang. Karena kami benar-benar menjual apapun yang bisa diuangkan."Bagaimana ini, Bu? Rasanya aku gak akan bisa hadir ke pesta jika Arsen tak ada," gumamku saat aku dan Bu Hanum sedang duduk berdua."Ibu juga pusing Ze," sahut Bu Hanum singkat.Hari ini Bu Hanum nampak lebih murung dari kemarin. Mungkin lelahnya sama denganku, atau justru mungkin lebih?"Bu?" Kuusap bahunya pelan saat ia tertunduk lesu."Kita pasti bisa, Bu! Katanya, doa seorang ibu dan istri itu menembus langit. Kita perkuat lagi doa dan ikhtiar nya, ya! Kita harus semangat!" ucapku mencoba untuk menguatkan.Menguatkan diri sendiri dan
"Ya Allah ... cobaan apalagi ini?!" pekik Bu Hanum dengan tangan bergetar.Surat yang baru saja ia baca bahkan hampir terjatuh karenanya."Bagaimana menurut ibu?" tanyaku pelan."Entahlah, Ze. Apakah semua harta kita bisa cukup atau tidak untuk memenuhi perjanjian ini," sahutnya lemas."Tapi, ibu setuju 'kan untuk berusaha membuat Arsen bebas?" tanyaku lagi.Bu Hanum mengangkat wajahnya, ia lantas memberikan surat itu keatas pangkuanku."Ya tentu saja, Ze! Semua ini terjadi juga awalnya karena kesalahan ibu. Jika Arsen harus bertanggung jawab dan dihukum, maka ibu juga harus dihukum. Tapi, jika memang ada cara lain, kenapa tidak? Ibu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini," tutur Bu Hanum seraya beranjak dari duduknya."Ibu mau kemana?" tanyaku cepat kemudian menyusul langkahnya."Ibu mau ambil surat-surat penting. Hari ini juga, kita harus dapatkan uangnya!" tegas Bu Hanum membuatku langsung meneteskan air mata."Terimakasih, Bu!" ucapku bergetar kemudian memeluknya.Kamipun lantas
"Ya tentu saja serius! Memangnya kamu pikir dengan uang itu nyawa orang-orang yang sudah melayang itu bisa kembali apa?" sinis Dokter Siska."Iya memang tidak. Tapi, uang sebanyak itu juga memangnya mau kalian apakan?" tanyaku geram."Ya buat kami nikmati lah! Kamu pikir tutup mulut itu gampang apa? Apalagi, ini soal tindak kriminal yang sangat besar. Gak mudah loh, buat kami menutupi sebuah kejahatan," timpal Dokter Siska yang disambut anggukan oleh suaminya."Biar saja, Ze! Gak usah tanggapi mereka. Mungkin, ini memang saatnya aku mempertanggung jawabkan semuanya. Aku minta maaf untuk selama ini, Ze!" ucap Arsen seraya merangkul bahuku."Uuh, so sweet!" cibir Dokter Siska."Nggak! Kamu gak boleh nyerah. Kamu udah terlanjur bawa aku kedalam hidupmu, Arsen. Jadi, kamu harus tanggung jawab padaku dan tetap bersamaku karena kita harus membesarkan anak ini bersama-sama," tekanku seraya mengusap perutku."Justru demi kamu dan anak kita. Aku tak akan sudi memberikan sepeserpun hartaku pada
"Tidak! Tolong lepaskan kami!" ucapku cepat.Pria itu tersenyum seraya mengalihkan tatapannya padaku. Ia menjentikkan jarinya lalu seorang wanita datang menghampirinya."Do-dokter Siska?" gumamku kala sudah melihat wanita itu dari dekat."Iya, ini aku. Dan ini, suamiku!" terangnya yang langsung membuatku ternganga."Oh, jadi ini suamimu?" desis Arsen seraya menatap Dokter Siska dan pria dengan name tag Erlangga."Iya, aku adalah istri seorang jendral. Bagaimana? Sudah merasa tertipu dengan aktingku selama ini?" tanya Dokter Siska seraya tersenyum kecut."Dokter Siska, tolong bebaskan kami. Arsen sudah berubah, ia tidak seperti yang kalian tuduhkan," ucapku mengiba."Zea, kamu tenang saja. Anggap sja disini, statusmu adalah korban, karena kamu juga pernah hendak dijual pada Pak Seno. Jadi, kamu tidak akan kami tahan," tutur Dokter Siska seraya menghampiriku.Polisi yang sedari tadi meringkus kedua tanganku kebelakang kini langsung melepaskannya begitu dapat perintah dari Dokter Siska.
Sesampainya di Polsek. Aku dan Arsen segera turun. Tak lupa, Arsen juga memastikan bahwa satpam tadi juga ada bersama kami.Dengan tergesa, Arsen kembali menarik paksa wanita tadi untuk segera masuk."Selamat siang! Ada yang bisa kami bantu?" sapa seorang polisi yang tengah berjaga."Saya mau membuat laporan!" tegas Arsen."Baik, silahkan duduk!" ucapnya.Arsen duduk di kursi yang sudah disediakan. Disampingnya wanita itu juga turut duduk. Sedangkan aku berdiri di belakang Arsen bersama satpam tadi."Siapa namanya, pak?" tanya polisi tadi seraya menatap Arsen."Arsen!" sahut Arsen singkat."Boleh nama lengkapnya?" tuturnya lagi."Arsenio Cleosa Raymond!" sahut Arsen cepat."Alamat?" polisi itu kembali bertanya. Setiap pertanyaan yang ia ajukan selalu dimintai jawaban yang detail.Arsenpun terus menjawab setiap pertanyaan yang ditujukan padanya. Hingga ujungnya polisi tersebut meminta KTP milik Arsen.Arsen mengernyitkan dahinya. Ia pun lantas bertanya balik."Maaf, pak! Disini saya ma