Aku dan Arsen sama-sama terkejut saat melihat Bu Hanum yang ternyata sudah ada bersama Tuan Gavin.
Kekhawatiran ku pada Bu Hanum karena kecelakaan pesawat itu sedikit berkurang saat melihat keadaan beliau nampak baik-baik saja.Meskipun saat ini Bu Hanum sedang berada dibawah ancaman Tuan Gavin, tapi setidaknya ada harapan untuk bisa menyelamatkan beliau."Lepaskan ibuku!" ucap Arsen penuh penekanan."Itu hal yang mudah, Arsen! Kamu tenang saja, aku akan melepaskan ibumu, tapi kamu ... kamu juga harus melepaskan Zea! Tepati perjanjian yang sudah kamu sepakati sebelumnya!" ujar Tuan Gavin.Kulihat Bu Hanum hanya diam, namun dari sorot matanya ia sangatlah tertekan. Ingin sekali rasanya aku berhambur dan menolong wanita yang sudah kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri itu. Namun, apalah daya, aku hanya seorang pecundang yang tak punya keberanian!"Kenapa kamu masih diam?" Tuan Gavin kembali bertanya saat Arsen masih bergeming."Radit, apa yang sudah kamu lakukan? Apa kamu juga yang mengadukan semuanya pada Tuan Gavin?" tanyaku saat kini hanya ada aku dan Radit saja dalam ruangan bernuansa krem ini."Kalau iya, memangnya kenapa?" sahut Radit membuatku sangat terkejut."Aku muak sama kamu, Ze! Kamu sadar gak, sih? Fara meninggal itu gara-gara kamu?! Dan kamu, sama aja kaya mereka! Saat aku dikurung dan disiksa oleh Arsen, kamu juga cuma bisa diam 'kan?" sambungnya."Aku gak bermaksud seperti itu, Dit!" gumamku."Lalu, bagaimana, hah?!" sentaknya."Seandainya saja aku tak bisa menyelamatkan diriku sendiri, mungkin aku juga sudah mati!" sambungnya."Sekarang, kamu juga harus rasain bagaimana rasanya terpisah dari orang yang dicintai. Dan jangan harap hidupmu akan tenang disini!" ancamnya.Radit berlalu dan membanting pintu cukup keras. Terdengar juga sepertinya ia mengunci pintunya. Aku hanya bisa menghela nafas berat. Orang yang kuanggap teman ki
"Disini hanya ada aku dan kamu! Pokonya aku gak mau tau, kamu habiskan semua masakanmu itu!"Kali ini aku yang membulatkan kedua mata saat mendengar ucapan Tuan Gavin barusan.Ingin sekali rasanya aku mengumpat.Sudah capek-capek buat makanan sebanyak itu, tapi nyatanya yang makan hanya dua orang saja.Lagian, siapa sangka coba, rumah sebesar ini hanya dihuni oleh satu orang?Namun, karena tak ingin berlarut-larut dalam perdebatan, kubiarkan saja Tuan Gavin menikmati makanannya. Masalah sisanya yang masih banyak nanti biar kupikirkan lagi saja baiknya aku apakan.Setelah selesai makan, aku lekas mengamankan sisa makanan yang tadi kubuat. Setelah itu bergegas menuju lantai atas untuk segera masuk kedalam kamarku.Kulihat, Tuan Gavin nampak heran melihat tingkahku, namun aku tidak peduli dan langsung mengunci kamarku dari dalam.Mengingat di rumah ini hanya ada aku dan dia saja, makanya aku harus waspada!
Hari telah berganti malam.Waktu yang ditunggu-tunggu sejak tadi oleh Tuan Gavin telah tiba. Satu persatu tamu Tuan Gavin mulai berdatangan ke rumahnya.Beberapa orang pria yang kutebak anak buah Tuan Gavin sudah siap sedari tadi dan berjaga di berbagai pintu. Kali ini mereka tidak memakai topeng seperti saat menangkap aku dan Arsen dulu, hingga aku bisa melihat wajah mereka secara langsung termasuk Radit."Layani semua tamu dengan baik dan jangan buat kekacauan!" ucap Tuan Gavin memperingatkan saat aku hendak membawa aneka minuman ke depan.Aku hanya mengangguk seperti biasanya lalu melanjutkan langkahku.Beberapa pasang mata di ruang luas yang sudah kutata sedemikian rupa kini tertuju padaku. Tak hanya laki-laki, bahkan wanita pun sama menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.Aku memindai pakaianku dari atas hingga bawah setelah menaruh nampan yang kubawa.Tak ada yang aneh!Aku berpakaian cukup sopan ma
Radit terus menarik paksa tubuhku, bahkan kini ada beberapa pria juga yang mulai membantunya. Tangan mereka mulai kurang ajar menyentuhku. Hal itu tentu saja membuatku sangat benci pada Radit yang menjadi awal dari ini semua."Lepaskan! Kalian semua bajingan!" umpatku. Namun nyatanya mereka semakin menjadi.Sreet!Dress yang kukenakan sobek saat seseorang menariknya dengan cukup keras. Aku bahkan hampir terjatuh karena ulahnya.Sebisa mungkin kedua tanganku mempertahankan dressku agar tidak jatuh.Kali ini aku sudah tidak bisa melawan lagi. Mungkin aku akan benar-benar mengalami apa yang dulu Fara alami."Hentikan!" teriak suara yang tak asing ditelingaku.Tak berselang lama, satu persatu pria yang mengelilingiku menjauh saat seseorang menarik paksa mereka dan menghajarnya satu persatu."Arsen?" gumamku.Arsen dan beberapa anak buahnya kini terlibat perkelahian dengan anak buah Tuan Gavin dan juga tamun
"Tapi aku tidak akan pernah mau mengakui tuan sebagai saudara jika sampai Arsen kenapa-kenapa!" gumamku membuatnya langsung menoleh padaku."Kenapa begitu?! Yang membuat Arsen seperti ini kan bukan aku!" ucapnya."Kalau saja tuan tidak memisahkan kami, tentu saja kejadian ini tidak akan pernah terjadi!" kesalku.Tuan Gavin menarik nafas dalam, tak lama kemudian dia merangkul pundak ku dan menyandarkan kepalaku dibahunya."Maaf, Ze! Aku benar-benar tidak tau kalau kamu adalah adikku," bisiknya."Dan aku juga belum percaya kenapa aku bisa sampai punya saudara sejahat ini," gumamku membuat Tuan Gavin langsung menjauhkan tubuhku seraya berdecak dan menatapku dengan kesal."Kamu akan tau ceritanya nanti! Tidak usah langsung memberikan penilaian buruk padaku!" ketusnya."Sekarang, berdoa saja untuk kesembuhan suami yang sangat kamu cintai itu! Bahkan dengan suka rela kamu bilang mau melakukan apa saja demi dia. Hih, memalukan
Dokter bilang, Arsen harus dirawat untuk beberapa hari kedepan sampai luka di kepalanya kering. Oleh sebab itu, aku juga menginap di rumah sakit untuk menjaganya.Bu Hanum sengaja tidak diberitahu soal masalah ini, Arsen bilang dia tidak ingin membuat Bu Hanum khawatir. Apalagi saat ini Bu Hanum sedang berusaha untuk merintis bisnis barunya."Ze, aku gak mau makanan rumah sakit," keluh Arsen saat aku hendak menyuapinya."Terus, kamu maunya makan apa?" tanyaku."Aku mau nasi Padang aja. Kebetulan disebrang rumah sakit ini ada penjual nasi Padang. Beliin, ya!" ucapnya."Ya udah. Mana uangnya?" tanyaku seraya mengulurkan tangan padanya.Arsen lantas mengambil dompetnya dan memberikan satu lembar uang merah padaku."Beli nasinya satu porsi aja, ya! Terus sama es tehnya juga satu," pesannya.Aku mengernyitkan dahiku seraya mengambil uang tersebut. Beberapa kali aku menatap Arsen dan uang itu secara bergantian.
Brukk!Aku dan Arsen reflek menoleh ke sumber suara saat terdengar suara benda jatuh.Ternyata di ambang pintu sudah berdiri Dokter Siska dengan parsel buah yang nampaknya tak sengaja ia jatuhkan.Aku dan Arsen saling menatap untuk beberapa saat, kemudian segera bangun seraya tersenyum kikuk."Maaf, aku tidak ketuk pintu terlebih dahulu! Maaf sudah mengganggu!" ucap Dokter Siska seraya hendak kembali."Ah, dokter boleh masuk, kok! Kita gak keganggu sama sekali," ucapku mempersilahkan.Dokter Siska nampak tersenyum kemudian mengambil parselnya dan menghampiri Arsen."Bagaimana keadaan kamu sekarang?" tanyanya."Sudah jauh lebih baik," sahut Arsen singkat."Memangnya, apa yang terjadi? Kenapa sampai banyak sekali bekas lebam seperti ini?" tanyanya seraya menatap wajah dan kedua tangan Arsen dengan teliti."Tidak apa-apa. Hanya masalah kesalah pahaman saja," sahut Arsen datar.Dokter Sisk
Aku menolak suapan Arsen saat Dokter Siska sudah keluar dari ruangan. Hal itu membuat Arsen mengernyitkan dahinya seraya menatapku."Kamu kenapa sih, gak pura-pura idiot lagi didepan Dokter Siska?" tanyaku seraya merengut."Loh, kamu lebih suka lihat aku dikira idiot?" tanyanya."Ya nggak gitu juga sih. Tapi, gara-gara itu kamu lihat sendiri kan Dokter Siska kayanya punya suatu harapan sama kamu!" ketusku."Ya itu terserah dia, sayang! Yang penting harapanku ya cuma kamu!" sahut Arsen seraya tersenyum."Udah, pokonya sekarang kita gak usah bahas masalalu lagi, ya! Sebaiknya, kita tata masa depan agar lebih baik lagi," sambungnya."Tapi, kamu gak berubah didepan Dokter Siska doang 'kan?" tanyaku lagi."Enggak, dong! Mulai hari ini Arsen udah gak idiot lagi!" terangnya kemudian mengedipkan sebelah mata."Itu artinya, kamu udah gak akan lakuin kejahatan-kejahatan lagi 'kan?" tanyaku antusias dan Arsen langsung meng
"Sorry, gue gak bisa tepatin janji gue dulu!" ucap Arsen pada Bang Gavin yang baru saja datang.Sekarang Arsen sudah dipindah ke ruang rawat. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari tadi malam. Bahkan, dia baru saja menghabiskan semangkuk penuh bubur yang kuberikan."Wuih ... gak bisa gitu dong! Jangan mentang-mentang loe lagi sakit gini. Janji tetap janji, loe harus tepatin bro!" sahut Bang Gavin.Pria itu mengambil alih tempat duduk ku. Tatapannya dan Arsen saling beradu, hal itu membuatku sedikit khawatir, apa mungkin dalam keadaan seperti ini pun mereka akan tetap berantem?"Ya loe mikirlah! Memangnya dalam kondisi gue yang seperti ini gue bisa apa?!" ketus Arsen kemudian memalingkan wajahnya."Ya emangnya loe udah tau gue mau minta apa?" sahut Bang Gavin tak kalah sengit.Arsen kembali menoleh. Tatapan mereka kembali beradu. Untuk beberapa saat, keheningan terjadi hingga membuat suasana cenderung menjadi menegangkan."Hahaha!"Tawa mereka pecah bahkan hampir bersamaan.Aku, Keyla d
Lima pistol sudah mengarah ke kepala kami masing-masing. Tanganku sudah hilang rasa. Aku tak bisa menggambarkan ketakutan ku saat ini. Dalam hati, mungkin inilah akhir dari hidupku.Kutatap Arsen dengan lekat. Aku tak ingin kehilangan momen terakhirku untuk menatap wajahnya yang kini tak sadarkan diri.Dialah pria yang sudah membawaku kedalam cerita ini. Cerita yang penuh dengan konflik dan juga rahasia yang harus selalu kujaga.Dialah pria yang sudah membuatku jatuh cinta dengan segala kegilaannya.Dialah pria yang membuatku mengerti kenapa orang berkata bahwa cinta itu buta."Ze," Lirih Bu Hanum memanggilku.Aku menoleh padanya. Wajahnya sudah dibanjiri oleh keringat dan juga air mata.Kami sama-sama takut. Kami sama-sama tak bisa berbuat apa-apa."Tolong jangan bunuh aku! Aku gak tau apa-apa!" lirih Keyla.Pandanganku beralih pada Bang Gavin, ia memang nampak lebih tenang daripada kami. Namun, wajahnya tetap saja tak bisa menyembunyikan ketakutannya saat ini."Melenyapkan kami sebe
"Loh, tempat apa ini? Kok sepi banget?" gumam Keyla begitu kami sampai.Saat ini kami memang bukan mengunjungi kantor polisi tempat aku dan Arsen dijebak tempo hari.Erlangga, atau lebih tepatnya Jendral Erlangga suaminya Dokter Siska yang menurutku tak pantas dipanggil gelarnya itu memintaku untuk datang ke tempat ini.Ternyata selama beberapa hari kebelakang, Arsen dikurung di tempat kumuh dan terpencil ini. Mereka seharusnya tak pantas disebut sebagai polisi karena mereka menangkap untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.Memang mereka tak sepenuhnya salah. Karena yang mereka tangkap dan mereka peras adalah orang yang salah juga. Hanya saja, apa yang mereka pinta sungguh diluar batas kemampuan manusia biasa sepertiku dan Arsen.Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan kami. Lalu, apa bedanya mereka dengan kami para penjahat?"Kamu yakin ini tempatnya, Ze?" tanya Bang Gavin seraya menoleh ke arahku."Menurut lokasi yang Dokter Siska share sih, benar
Setelah acara selesai, aku dan Bu Hanum memilih untuk duduk di luar. Menjauh dari keramaian adalah salah satu cara kami untuk lebih menenangkan diri."Ze, kira-kira kita harus jual apalagi untuk mengumpulkan uang sebanyak itu?" ucap Bu Hanum memecah keheningan diantara kami."Entahlah, Bu. Bukannya yang kita punya saat ini hanya tinggal rumah itu saja?" sahutku."Jika rumah itu dijual, lalu dimana kita akan tinggal?" sambungku."Iya Ze. Kamu benar. Tapi, gimana kalau sebagian uangnya kita belikan rumah yang lebih kecil. Yang penting jumlah uang yang kita butuhkan bertambah," timpal Bu Hanum membuatku langsung mengangkat wajah."Tak ada salahnya juga sih, Bu! Ayo, kita tawarkan mulai hari ini juga, semoga bisa cepat laku!" ucapku antusias."Gak usah!"Bang Gavin tiba-tiba saja sudah berada dibelakang kami. Ia dan Keyla mulai mendekat menghampiri aku dan Bu Hanum."Aku ada cara lain buat membebaskan Arsen. Ya, semoga saja berhasil!" ucap Bang Gavin seraya duduk disampingku."Cara apa, b
Rumah, mobil, butik, dan juga restoran sudah terjual. Semuanya lenyap hanya dalam tiga hari. Itu juga berkat bantuan Bang Gavin, namun nyatanya uang yang diperlukan masih kurang banyak. Sedangkan, besok adalah hari pernikahan Bang Gavin dan Keyla.Entahlah!Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Kini, yang tersisa hanyalah rumah yang kami tempati. Bahkan isinya saja sudah berkurang. Karena kami benar-benar menjual apapun yang bisa diuangkan."Bagaimana ini, Bu? Rasanya aku gak akan bisa hadir ke pesta jika Arsen tak ada," gumamku saat aku dan Bu Hanum sedang duduk berdua."Ibu juga pusing Ze," sahut Bu Hanum singkat.Hari ini Bu Hanum nampak lebih murung dari kemarin. Mungkin lelahnya sama denganku, atau justru mungkin lebih?"Bu?" Kuusap bahunya pelan saat ia tertunduk lesu."Kita pasti bisa, Bu! Katanya, doa seorang ibu dan istri itu menembus langit. Kita perkuat lagi doa dan ikhtiar nya, ya! Kita harus semangat!" ucapku mencoba untuk menguatkan.Menguatkan diri sendiri dan
"Ya Allah ... cobaan apalagi ini?!" pekik Bu Hanum dengan tangan bergetar.Surat yang baru saja ia baca bahkan hampir terjatuh karenanya."Bagaimana menurut ibu?" tanyaku pelan."Entahlah, Ze. Apakah semua harta kita bisa cukup atau tidak untuk memenuhi perjanjian ini," sahutnya lemas."Tapi, ibu setuju 'kan untuk berusaha membuat Arsen bebas?" tanyaku lagi.Bu Hanum mengangkat wajahnya, ia lantas memberikan surat itu keatas pangkuanku."Ya tentu saja, Ze! Semua ini terjadi juga awalnya karena kesalahan ibu. Jika Arsen harus bertanggung jawab dan dihukum, maka ibu juga harus dihukum. Tapi, jika memang ada cara lain, kenapa tidak? Ibu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini," tutur Bu Hanum seraya beranjak dari duduknya."Ibu mau kemana?" tanyaku cepat kemudian menyusul langkahnya."Ibu mau ambil surat-surat penting. Hari ini juga, kita harus dapatkan uangnya!" tegas Bu Hanum membuatku langsung meneteskan air mata."Terimakasih, Bu!" ucapku bergetar kemudian memeluknya.Kamipun lantas
"Ya tentu saja serius! Memangnya kamu pikir dengan uang itu nyawa orang-orang yang sudah melayang itu bisa kembali apa?" sinis Dokter Siska."Iya memang tidak. Tapi, uang sebanyak itu juga memangnya mau kalian apakan?" tanyaku geram."Ya buat kami nikmati lah! Kamu pikir tutup mulut itu gampang apa? Apalagi, ini soal tindak kriminal yang sangat besar. Gak mudah loh, buat kami menutupi sebuah kejahatan," timpal Dokter Siska yang disambut anggukan oleh suaminya."Biar saja, Ze! Gak usah tanggapi mereka. Mungkin, ini memang saatnya aku mempertanggung jawabkan semuanya. Aku minta maaf untuk selama ini, Ze!" ucap Arsen seraya merangkul bahuku."Uuh, so sweet!" cibir Dokter Siska."Nggak! Kamu gak boleh nyerah. Kamu udah terlanjur bawa aku kedalam hidupmu, Arsen. Jadi, kamu harus tanggung jawab padaku dan tetap bersamaku karena kita harus membesarkan anak ini bersama-sama," tekanku seraya mengusap perutku."Justru demi kamu dan anak kita. Aku tak akan sudi memberikan sepeserpun hartaku pada
"Tidak! Tolong lepaskan kami!" ucapku cepat.Pria itu tersenyum seraya mengalihkan tatapannya padaku. Ia menjentikkan jarinya lalu seorang wanita datang menghampirinya."Do-dokter Siska?" gumamku kala sudah melihat wanita itu dari dekat."Iya, ini aku. Dan ini, suamiku!" terangnya yang langsung membuatku ternganga."Oh, jadi ini suamimu?" desis Arsen seraya menatap Dokter Siska dan pria dengan name tag Erlangga."Iya, aku adalah istri seorang jendral. Bagaimana? Sudah merasa tertipu dengan aktingku selama ini?" tanya Dokter Siska seraya tersenyum kecut."Dokter Siska, tolong bebaskan kami. Arsen sudah berubah, ia tidak seperti yang kalian tuduhkan," ucapku mengiba."Zea, kamu tenang saja. Anggap sja disini, statusmu adalah korban, karena kamu juga pernah hendak dijual pada Pak Seno. Jadi, kamu tidak akan kami tahan," tutur Dokter Siska seraya menghampiriku.Polisi yang sedari tadi meringkus kedua tanganku kebelakang kini langsung melepaskannya begitu dapat perintah dari Dokter Siska.
Sesampainya di Polsek. Aku dan Arsen segera turun. Tak lupa, Arsen juga memastikan bahwa satpam tadi juga ada bersama kami.Dengan tergesa, Arsen kembali menarik paksa wanita tadi untuk segera masuk."Selamat siang! Ada yang bisa kami bantu?" sapa seorang polisi yang tengah berjaga."Saya mau membuat laporan!" tegas Arsen."Baik, silahkan duduk!" ucapnya.Arsen duduk di kursi yang sudah disediakan. Disampingnya wanita itu juga turut duduk. Sedangkan aku berdiri di belakang Arsen bersama satpam tadi."Siapa namanya, pak?" tanya polisi tadi seraya menatap Arsen."Arsen!" sahut Arsen singkat."Boleh nama lengkapnya?" tuturnya lagi."Arsenio Cleosa Raymond!" sahut Arsen cepat."Alamat?" polisi itu kembali bertanya. Setiap pertanyaan yang ia ajukan selalu dimintai jawaban yang detail.Arsenpun terus menjawab setiap pertanyaan yang ditujukan padanya. Hingga ujungnya polisi tersebut meminta KTP milik Arsen.Arsen mengernyitkan dahinya. Ia pun lantas bertanya balik."Maaf, pak! Disini saya ma