Dokter bilang, Arsen harus dirawat untuk beberapa hari kedepan sampai luka di kepalanya kering. Oleh sebab itu, aku juga menginap di rumah sakit untuk menjaganya.
Bu Hanum sengaja tidak diberitahu soal masalah ini, Arsen bilang dia tidak ingin membuat Bu Hanum khawatir. Apalagi saat ini Bu Hanum sedang berusaha untuk merintis bisnis barunya."Ze, aku gak mau makanan rumah sakit," keluh Arsen saat aku hendak menyuapinya."Terus, kamu maunya makan apa?" tanyaku."Aku mau nasi Padang aja. Kebetulan disebrang rumah sakit ini ada penjual nasi Padang. Beliin, ya!" ucapnya."Ya udah. Mana uangnya?" tanyaku seraya mengulurkan tangan padanya.Arsen lantas mengambil dompetnya dan memberikan satu lembar uang merah padaku."Beli nasinya satu porsi aja, ya! Terus sama es tehnya juga satu," pesannya.Aku mengernyitkan dahiku seraya mengambil uang tersebut. Beberapa kali aku menatap Arsen dan uang itu secara bergantian.Brukk!Aku dan Arsen reflek menoleh ke sumber suara saat terdengar suara benda jatuh.Ternyata di ambang pintu sudah berdiri Dokter Siska dengan parsel buah yang nampaknya tak sengaja ia jatuhkan.Aku dan Arsen saling menatap untuk beberapa saat, kemudian segera bangun seraya tersenyum kikuk."Maaf, aku tidak ketuk pintu terlebih dahulu! Maaf sudah mengganggu!" ucap Dokter Siska seraya hendak kembali."Ah, dokter boleh masuk, kok! Kita gak keganggu sama sekali," ucapku mempersilahkan.Dokter Siska nampak tersenyum kemudian mengambil parselnya dan menghampiri Arsen."Bagaimana keadaan kamu sekarang?" tanyanya."Sudah jauh lebih baik," sahut Arsen singkat."Memangnya, apa yang terjadi? Kenapa sampai banyak sekali bekas lebam seperti ini?" tanyanya seraya menatap wajah dan kedua tangan Arsen dengan teliti."Tidak apa-apa. Hanya masalah kesalah pahaman saja," sahut Arsen datar.Dokter Sisk
Aku menolak suapan Arsen saat Dokter Siska sudah keluar dari ruangan. Hal itu membuat Arsen mengernyitkan dahinya seraya menatapku."Kamu kenapa sih, gak pura-pura idiot lagi didepan Dokter Siska?" tanyaku seraya merengut."Loh, kamu lebih suka lihat aku dikira idiot?" tanyanya."Ya nggak gitu juga sih. Tapi, gara-gara itu kamu lihat sendiri kan Dokter Siska kayanya punya suatu harapan sama kamu!" ketusku."Ya itu terserah dia, sayang! Yang penting harapanku ya cuma kamu!" sahut Arsen seraya tersenyum."Udah, pokonya sekarang kita gak usah bahas masalalu lagi, ya! Sebaiknya, kita tata masa depan agar lebih baik lagi," sambungnya."Tapi, kamu gak berubah didepan Dokter Siska doang 'kan?" tanyaku lagi."Enggak, dong! Mulai hari ini Arsen udah gak idiot lagi!" terangnya kemudian mengedipkan sebelah mata."Itu artinya, kamu udah gak akan lakuin kejahatan-kejahatan lagi 'kan?" tanyaku antusias dan Arsen langsung meng
Sesampainya di rumah aku langsung disambut oleh Bu Hanum.Wanita yang sudah kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri itu langsung berhambur memelukku dengan mata yang berkaca-kaca."Kalian liburannya lama banget, sih?!" ucap Bu Hanum seraya menatap aku dan Arsen secara bergantian."Padahal ibu udah kangen banget sama Zea dan mau ngucapin banyak terimakasih sama kamu," sambungnya seraya menggenggam kedua tanganku."Maklum lah, Bu! Kita kan udah lama gak ketemu, ya wajar dong kalau butuh waktu untuk berdua saja?" seloroh Arsen membuatku tersenyum tipis.Dengan raut bahagia, Bu Hanum langsung menggiring aku dan Arsen untuk duduk. Ia lalu membawakan beberapa cemilan dan air minum untuk kami.Andai saja Bu Hanum tau apa yang sudah terjadi pada Arsen, hal pertama yang akan ia lakukan pastilah menanyakan tentang keadaan anak semata wayangnya itu. Tapi, Arsen yang begitu pandai menyembunyikan keadaannya saat itu membuat Bu Hanum percaya sa
Malam telah tiba.Usai membersihkan diri aku langsung berhambur ke tempat tidur dan merebahkan diri disana. Setelah beberapa hari menjadi babu paksa di rumah Tuan Gavin alias Bang Gavin, aku sungguh sangat merindukan masa-masa bersantai seperti ini.Aku merentangkan kedua tanganku untuk meregangkan otot-otot yang terasa kaku setelah tiga hari kemarin berbagi ranjang rumah sakit yang sempit bersama Arsen."Ah, nikmat mana lagi yang kau dustakan?" gumamku kemudian berguling-guling diatas ranjang yang memang cukup luas."Akhirnya bisa bersantai juga!" seruku kemudian tengkurap dengan gaya yang paling nyaman.Mataku hampir saja terpejam kala menikmati rasa nyaman itu. Namun, tiba-tiba saja Arsen melompat keatas ranjang seraya menarik tubuhku untuk kembali bangun."Ish, Arsen apa-apaan sih?!" protesku kesal."Enak banget ya, jam segini udah mau tidur!" ucapnya kemudian berkecak pinggang."Lah, terus aku harus ngapain
Tok! Tok! Tok!"Arsen, Zea, kalian ada didalam 'kan?"Samar telingaku mendengar suara ketukan pintu dan juga suara Bu Hanum di luar sana. Hal itu membuatku mengerjapkan mata dan mencoba untuk memulihkan kesadaran ku."Astagfirullah!"Reflek aku terbangun saking kagetnya saat melihat diluar sana sudah terang benderang."Ya ampun!"Kutepuk jidatku kemudian mengusap wajah dengan kasar saat kulihat jam sudah menunjukkan angka sepuluh.Kulihat Arsen yang masih terlelap dalam tidurnya lalu menggoyang kan lengannya beberapa kali agar ia terbangun."Hemm ... apa sih, Ze? Masih mau?" gumamnya seraya menggeliat.Aku mencebikkan bibirku kemudian menggeleng pelan mendengar ucapannya."Arsen, ini udah siang! Kamu kok gak bangunin aku, sih?" omelku.Arsen akhirnya membuka matanya lalu bangun dengan malas."Perasaan baru merem deh, Ze!" gumamnya seraya menguap.Tok! Tok! Tok!
"T-Tuan Gavin?" gumam Bu Hanum bergetar."Silahkan masuk, tuan!" ucapnya setelah sekian lama terdiam.Tuan Gavin dan juga Radit langsung masuk dan melempar senyum padaku dan juga Arsen yang tengah menghampirinya juga."Silahkan duduk, tuan! Biar aku ambilkan minum dulu!" ucapku seramah mungkin."Ck! Jangan panggil aku Tuan, panggil Bang Gavin!" decaknya, membuat Bu Hanum langsung menoleh padaku dengan raut heran."Eh, iya! Aku lupa, bang! Tunggu sebentar, aku ambilkan minum dulu, ya!" ucapku kemudian tersenyum padanya.Aku bergegas membuat empat gelas teh manis untuk mereka lalu tak lupa membawa sepiring pisang goreng buatan Bu Hanum."Silahkan!" ucapku seraya menyodorkan apa yang sudah kubawa dari dapur."Ze, duduk sini!" titah Bang Gavin seraya menepuk-nepuk sofa disampingnya.Hal itu langsung membuat Arsen menoleh seraya memberikan tatapan tajam padaku.Aku hanya bisa tersenyum kikuk, kemudi
Seulas cerita yang disampaikan oleh Bang Gavin tadi membuatku sedikit tau tentang masalalu dan alasan mengapa ia memilih menjalani hidup yang terbilang keras.Namun, meski begitu aku hanya bisa menyimak dan mendoakan yang terbaik untuknya. Semoga saja, suatu hari nanti ia bisa menghentikan bisnis gelapnya itu.Untuk saat ini, aku ingin fokus pada keluarga kecilku dulu. Aku harap apa yang akan Arsen mulai bisa membawa kami menuju kehidupan yang lebih baik lagi nantinya.Sesuatu yang diawali dengan niat baik, semoga saja membuahkan hasil yang baik pula.Sesuai rencana yang sudah Arsen bahas, siang ini aku dan Arsen langsung meluncur menuju tempat yang sebelumnya sudah Arsen dapatkan melalui iklan dari seseorang di media sosial.Ia sudah membuat janji untuk bertemu di lokasi dan berencana untuk langsung melakukan transaksi jika tempatnya benar-benar cocok."Wah, ternyata tempatnya sesuai dengan apa yang sudah dideskripsikan. Jadi, gimana menurut kamu, Ze?" ucap Arsen begitu kami turun da
Tak ingin membuang waktu, Arsen langsung menghubungi beberapa tukang untuk merenovasi bangunan yang baru saja Arsen beli kemarin. Ia memberikan contoh model bangunan yang ia inginkan lalu mulai mempersiapkan kebutuhan apa saja untuk restoran nya selama ia menunggu proses renovasi selesai.Tak hanya mempersiapkan soal furniture, dekorasi, dan juga beberapa barang, Arsen juga mulai mempersiapkan anak buahnya untuk bekerja.Ia melatih mereka untuk melakukan tugas yang sudah Arsen berikan sebelumnya, terutama untuk seorang koki. Tentu saja, sebelum terjun langsung melayani pembeli, Arsen melakukan tes untuk mencicipi masakannya terlebih dahulu."Oh, jadi ternyata kamu bisa masak juga, ya?" ucapku saat Arsen mempertemukan kembali aku dengan Yanto."Iya dong, Bu bos! Gini-gini aku pandai masak karena sejak kecil sudah terbiasa hidup mandiri," sahut Yanto seraya membusungkan dada.Aku tersenyum karenanya, jika dulu ia dan kedua temannya sempat bertingkah bak seorang waria, tapi kali ini di d
Sudah genap satu bulan sejak kejadian mengerikan malam itu. Sejauh ini akhirnya aku dan Arsen bisa kembali bernafas lega. Menjalani hari dengan normal tanpa ada gangguan ataupun ancaman.Bang Gavin dan Keyla sendiri nampaknya juga sedang menikmati momen indah mereka sebagai pengantin baru. Ya, ternyata saran Arsen saat di rumah sakit disetujui oleh Bang Gavin. Mereka akhirnya pergi bulan madu tanpa harus membuat ulang pesta.Tadinya Arsen hendak membayarkan tiket untuk mereka sebagai hadiah, namun sepertinya Bang Gavin merasa kasihan pada kondisi keuangan kami yang sedang acak-acakan hingga ia menolaknya dengan halus."Ah, syukurlah, Ze! Akhirnya resto itu bisa kembali lagi ke tangan kita. Lusa, mungkin berkas-berkasnya sudah beres, jadi ... kita bisa kembali mengelolanya," ucap Arsen seraya duduk disampingku."Syukurlah. Semoga kali ini berjalan lancar," sahutku penuh harap.Aku baru saja hendak menyandarkan kepalaku di bahunya, akan tetapi dering ponsel justru membuat Arsen bangkit
"Sorry, gue gak bisa tepatin janji gue dulu!" ucap Arsen pada Bang Gavin yang baru saja datang.Sekarang Arsen sudah dipindah ke ruang rawat. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari tadi malam. Bahkan, dia baru saja menghabiskan semangkuk penuh bubur yang kuberikan."Wuih ... gak bisa gitu dong! Jangan mentang-mentang loe lagi sakit gini. Janji tetap janji, loe harus tepatin bro!" sahut Bang Gavin.Pria itu mengambil alih tempat duduk ku. Tatapannya dan Arsen saling beradu, hal itu membuatku sedikit khawatir, apa mungkin dalam keadaan seperti ini pun mereka akan tetap berantem?"Ya loe mikirlah! Memangnya dalam kondisi gue yang seperti ini gue bisa apa?!" ketus Arsen kemudian memalingkan wajahnya."Ya emangnya loe udah tau gue mau minta apa?" sahut Bang Gavin tak kalah sengit.Arsen kembali menoleh. Tatapan mereka kembali beradu. Untuk beberapa saat, keheningan terjadi hingga membuat suasana cenderung menjadi menegangkan."Hahaha!"Tawa mereka pecah bahkan hampir bersamaan.Aku, Keyla d
Lima pistol sudah mengarah ke kepala kami masing-masing. Tanganku sudah hilang rasa. Aku tak bisa menggambarkan ketakutan ku saat ini. Dalam hati, mungkin inilah akhir dari hidupku.Kutatap Arsen dengan lekat. Aku tak ingin kehilangan momen terakhirku untuk menatap wajahnya yang kini tak sadarkan diri.Dialah pria yang sudah membawaku kedalam cerita ini. Cerita yang penuh dengan konflik dan juga rahasia yang harus selalu kujaga.Dialah pria yang sudah membuatku jatuh cinta dengan segala kegilaannya.Dialah pria yang membuatku mengerti kenapa orang berkata bahwa cinta itu buta."Ze," Lirih Bu Hanum memanggilku.Aku menoleh padanya. Wajahnya sudah dibanjiri oleh keringat dan juga air mata.Kami sama-sama takut. Kami sama-sama tak bisa berbuat apa-apa."Tolong jangan bunuh aku! Aku gak tau apa-apa!" lirih Keyla.Pandanganku beralih pada Bang Gavin, ia memang nampak lebih tenang daripada kami. Namun, wajahnya tetap saja tak bisa menyembunyikan ketakutannya saat ini."Melenyapkan kami sebe
"Loh, tempat apa ini? Kok sepi banget?" gumam Keyla begitu kami sampai.Saat ini kami memang bukan mengunjungi kantor polisi tempat aku dan Arsen dijebak tempo hari.Erlangga, atau lebih tepatnya Jendral Erlangga suaminya Dokter Siska yang menurutku tak pantas dipanggil gelarnya itu memintaku untuk datang ke tempat ini.Ternyata selama beberapa hari kebelakang, Arsen dikurung di tempat kumuh dan terpencil ini. Mereka seharusnya tak pantas disebut sebagai polisi karena mereka menangkap untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.Memang mereka tak sepenuhnya salah. Karena yang mereka tangkap dan mereka peras adalah orang yang salah juga. Hanya saja, apa yang mereka pinta sungguh diluar batas kemampuan manusia biasa sepertiku dan Arsen.Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan kami. Lalu, apa bedanya mereka dengan kami para penjahat?"Kamu yakin ini tempatnya, Ze?" tanya Bang Gavin seraya menoleh ke arahku."Menurut lokasi yang Dokter Siska share sih, benar
Setelah acara selesai, aku dan Bu Hanum memilih untuk duduk di luar. Menjauh dari keramaian adalah salah satu cara kami untuk lebih menenangkan diri."Ze, kira-kira kita harus jual apalagi untuk mengumpulkan uang sebanyak itu?" ucap Bu Hanum memecah keheningan diantara kami."Entahlah, Bu. Bukannya yang kita punya saat ini hanya tinggal rumah itu saja?" sahutku."Jika rumah itu dijual, lalu dimana kita akan tinggal?" sambungku."Iya Ze. Kamu benar. Tapi, gimana kalau sebagian uangnya kita belikan rumah yang lebih kecil. Yang penting jumlah uang yang kita butuhkan bertambah," timpal Bu Hanum membuatku langsung mengangkat wajah."Tak ada salahnya juga sih, Bu! Ayo, kita tawarkan mulai hari ini juga, semoga bisa cepat laku!" ucapku antusias."Gak usah!"Bang Gavin tiba-tiba saja sudah berada dibelakang kami. Ia dan Keyla mulai mendekat menghampiri aku dan Bu Hanum."Aku ada cara lain buat membebaskan Arsen. Ya, semoga saja berhasil!" ucap Bang Gavin seraya duduk disampingku."Cara apa, b
Rumah, mobil, butik, dan juga restoran sudah terjual. Semuanya lenyap hanya dalam tiga hari. Itu juga berkat bantuan Bang Gavin, namun nyatanya uang yang diperlukan masih kurang banyak. Sedangkan, besok adalah hari pernikahan Bang Gavin dan Keyla.Entahlah!Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Kini, yang tersisa hanyalah rumah yang kami tempati. Bahkan isinya saja sudah berkurang. Karena kami benar-benar menjual apapun yang bisa diuangkan."Bagaimana ini, Bu? Rasanya aku gak akan bisa hadir ke pesta jika Arsen tak ada," gumamku saat aku dan Bu Hanum sedang duduk berdua."Ibu juga pusing Ze," sahut Bu Hanum singkat.Hari ini Bu Hanum nampak lebih murung dari kemarin. Mungkin lelahnya sama denganku, atau justru mungkin lebih?"Bu?" Kuusap bahunya pelan saat ia tertunduk lesu."Kita pasti bisa, Bu! Katanya, doa seorang ibu dan istri itu menembus langit. Kita perkuat lagi doa dan ikhtiar nya, ya! Kita harus semangat!" ucapku mencoba untuk menguatkan.Menguatkan diri sendiri dan
"Ya Allah ... cobaan apalagi ini?!" pekik Bu Hanum dengan tangan bergetar.Surat yang baru saja ia baca bahkan hampir terjatuh karenanya."Bagaimana menurut ibu?" tanyaku pelan."Entahlah, Ze. Apakah semua harta kita bisa cukup atau tidak untuk memenuhi perjanjian ini," sahutnya lemas."Tapi, ibu setuju 'kan untuk berusaha membuat Arsen bebas?" tanyaku lagi.Bu Hanum mengangkat wajahnya, ia lantas memberikan surat itu keatas pangkuanku."Ya tentu saja, Ze! Semua ini terjadi juga awalnya karena kesalahan ibu. Jika Arsen harus bertanggung jawab dan dihukum, maka ibu juga harus dihukum. Tapi, jika memang ada cara lain, kenapa tidak? Ibu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini," tutur Bu Hanum seraya beranjak dari duduknya."Ibu mau kemana?" tanyaku cepat kemudian menyusul langkahnya."Ibu mau ambil surat-surat penting. Hari ini juga, kita harus dapatkan uangnya!" tegas Bu Hanum membuatku langsung meneteskan air mata."Terimakasih, Bu!" ucapku bergetar kemudian memeluknya.Kamipun lantas
"Ya tentu saja serius! Memangnya kamu pikir dengan uang itu nyawa orang-orang yang sudah melayang itu bisa kembali apa?" sinis Dokter Siska."Iya memang tidak. Tapi, uang sebanyak itu juga memangnya mau kalian apakan?" tanyaku geram."Ya buat kami nikmati lah! Kamu pikir tutup mulut itu gampang apa? Apalagi, ini soal tindak kriminal yang sangat besar. Gak mudah loh, buat kami menutupi sebuah kejahatan," timpal Dokter Siska yang disambut anggukan oleh suaminya."Biar saja, Ze! Gak usah tanggapi mereka. Mungkin, ini memang saatnya aku mempertanggung jawabkan semuanya. Aku minta maaf untuk selama ini, Ze!" ucap Arsen seraya merangkul bahuku."Uuh, so sweet!" cibir Dokter Siska."Nggak! Kamu gak boleh nyerah. Kamu udah terlanjur bawa aku kedalam hidupmu, Arsen. Jadi, kamu harus tanggung jawab padaku dan tetap bersamaku karena kita harus membesarkan anak ini bersama-sama," tekanku seraya mengusap perutku."Justru demi kamu dan anak kita. Aku tak akan sudi memberikan sepeserpun hartaku pada
"Tidak! Tolong lepaskan kami!" ucapku cepat.Pria itu tersenyum seraya mengalihkan tatapannya padaku. Ia menjentikkan jarinya lalu seorang wanita datang menghampirinya."Do-dokter Siska?" gumamku kala sudah melihat wanita itu dari dekat."Iya, ini aku. Dan ini, suamiku!" terangnya yang langsung membuatku ternganga."Oh, jadi ini suamimu?" desis Arsen seraya menatap Dokter Siska dan pria dengan name tag Erlangga."Iya, aku adalah istri seorang jendral. Bagaimana? Sudah merasa tertipu dengan aktingku selama ini?" tanya Dokter Siska seraya tersenyum kecut."Dokter Siska, tolong bebaskan kami. Arsen sudah berubah, ia tidak seperti yang kalian tuduhkan," ucapku mengiba."Zea, kamu tenang saja. Anggap sja disini, statusmu adalah korban, karena kamu juga pernah hendak dijual pada Pak Seno. Jadi, kamu tidak akan kami tahan," tutur Dokter Siska seraya menghampiriku.Polisi yang sedari tadi meringkus kedua tanganku kebelakang kini langsung melepaskannya begitu dapat perintah dari Dokter Siska.