Aku menatap arloji kecil yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah lebih dari limabelas menit dan Claire belum juga nampak batang hidungnya sama sekali. Padahal aku tahu dengan jelas bahwa Claire adalah tipe orang yang selalu tepat waktu. Bahkan sering pula ia yang menungguku. Jadi malam ini ia begitu aneh dengan telatdi acara pertemuan yang sudah kami rancang beberapa hari ini.Setelah kembali menunggu lima menit, dan mobil Claire juga belum terlihat masuk ke dalam restoran, aku mulai cemas. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan perempuan itu. Dengan cepat aku membuka handbag yang sejak tadi ku pegang erat, dari sana aku mengeluarkan ponselku dan dengan cepat mencari nama Claire di kontak teleponku.Setelah bunyi ‘tuuut’ ketiga perempuan itu mengangkat teleponnya.“Claire kau dimana? Aku sudah menunggu hampir setengah jam di depan restoran dengan penampilan yang……” aku berdecak dan menelisik penampilanku. Sangat formal sekali aku pikir. Karena Claire yang memintaku berpakaian demi
Aku tahu jika Brian sedang tidak main-main dengan kata-katanya. Dan aku juga tahu, bahwa pria itu juga sungguh-sungguh dengan niatannya untuk menikah denganku. Namun semua hal tidak akan semudah itu. Andai saja aku tidak mengalami trauma dengan masa laluku, mungkin Brian adalah salah satu pria yang bisa kuperhitungkan. Hanya saja, untuk saat ini luka yang singgah di hatiku dua tahu lalu sama sekali belum mengering dengan sempurna. Ada saja nyeri yang masih menusuk hatiku setiap ingat tentang hal itu.Bukankah ada suatu pepatah yaitu, jika kamu masih teringat trauma masa lalumu dan hatimu sudah tidak sakit lagi, berarti lukamu sudah sembuh? Sedangkan aku, setiap mengingat saat-saat itu, hatiku masih sakit seperti biasanya.Setelah menjawab kalimat Brian dengan. “Brian, aku tidak bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa. Lupakan aku dan carilah wanita lain yang bisa memberimu semua hal yang kamu inginkan.”, aku segera menghabiskan makanku dan mengajakny untuk pulang.Meskipun berulang ka
Lydia, seorang wanita berusaha setengah abad lebih, namun terlihat masih begitu muda dan cantik meskipun kali ini ia terlihat pucat dan terbaring lemah di rumah sakit.Melihat kedatanganku dan Brian, perempuan itu berusaha untuk duduk dengan dibantu seorang wanita yang usianya tak jauh berbeda. Di luar tadi Brian sempat cerita bahwa perempuan itu adalah seorang bibi yang Lydia bawa dari Indonesia, namanya Yohana.“Siapa ini Brian?” matanya berbinar saat menatapku. Kelihatan ia sangat terkejut namun juga bahagia.Aku hanya mengulum senyum sedangkan Brian tiba-tiba merangkulku, dan reflek giliran aku yang sekarang terkejut.“Brian kan sudah bilang ma, kalau ini adalah pacar Brian.”Aku melotot tidak percaya. Setidaknya Brian harus mengenalkanku sebagai sahabatnya saja, bukan pacarnya. Lagipula kami juga tidak dalam hubungan seperti itu bukan? Saat Brian menyatakan cintanya saja, aku menolak.“Brian…..”Desisku dengan alis berkerut. Tidak nyaman saja dengan apa yang dia lakukan.Bukannya
Marina langsung memelukku ketika kami saling berhadapan. Pelukannya sangat erat, seakan ini wujud pelampiasan rindunya yang ia tahan untukku selama ini. Karena memang semenjak perceraian itu, aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Bahkan saat bercerai, aku hanya mengabarinya lewat telepon dan itu benar-benar membuat Marina menangis terisak-isak.“Julia, aku tak menyangka bahwa akan bertemu denganmu lagi.” Perempuan itu melepaskan pelukannya, lalu mengusap ujung matanya yang basah. Marina tak banyak berubah. Wajah perempuan itu masih saja terlihat cantik. Hanya saja rambutnya kini berubah warna menjadi coklat terang.“Aku juga tidak menyangka jika kamu akan menelponku Marina. Bagaimana kabarmu? Dan dimana si kecil Lily?” tanyaku bertubi-tubi. Mataku beralih pandang ke sekeliling. Tapi aku tak menemukan Lily di sekitar sini. Padahal aku sudah berharap akan menemukan gadis cantik itu disana. Lily sudah berusia kurang lebih lima tahun sekarang. Dan pasti ia akan bertambah cantik dan men
Aku hanya tersenyum ketika melihat Claire yang sudah asyik berbincang dengan seorang pria yang baru dikenalnya. Pria itu bernama Jo dan seorang keponakan dari teman sekelas kami. Pria itu masih single dan terlihat jika Jo maupun Claire saling tertarik satu sama lain. Maka dari itu, sebagai teman yang baik aku memberi mereka ruang untuk saling berbincang, lagipula sebentar lagi Marina juga akan datang menemuiku.“Kamu seharusnya di dalam, di luar begitu dingin.” Brian datang menyusulku.Aku menoleh padanya. Aku pikir setelah apa yang dilakukannya semalam dengan tiba-tiba menungguku di depan pintu apartement, lalu memelukku akan membuatnya canggung ketika bertemu denganku. Namun kenyataannya, pria itu malah semakin memperlihatkan perasaannya kepadaku. Ia begitu hangat, bahkan sore tadi ia datang menjemputku. Mengabaikan bisik-bisik dari orang-orang di kampus yang menerka-nerka tentang hubungan kami.“Aku sedang menunggu Marina.” Sahutku.“Perempuan kemarin?” Ia mengerutkan dahinya. Memp
Sejam lalu, Brian menelponku agar aku bisa menyisihkan waktu untuk menemani mama-nya check up ke rumah sakit. Awalnya aku bingung, apakah yang terjadi antara aku dan dia beberapa malam yang lalu itu membuat hubungan kami berubah? Apakah sebuah ciuman memang bisa merubah status seseorang dari lajang menjadi berpacaran?Aku sulit memahami itu. Namun dari yang tersirat, sepertinya Brian memang sudah menganggap aku sebagai kekasihnya. Mungkin tindakan yang aku lakukan malam itu memang sepenuhnya tidak benar, aku terlalu terpukul sehingga logikaku memang tidak jalan. Saat itu aku butuh sebuah sandaran, sebuah kekuatan. Dan nyatanya kekuatan itu hadir dari ciuman Brian yang berhasil membuat dadaku terasa nyaman.“Maaf bibi, sudah menunggu lama.” aku berjalan tergesa untuk menemui Lydia yang sudah menungguku di depan rumah sakit. Wanita itu sendirian, aku tak menemukan Yohana di sampingnya.“Tidak. Bibi juga baru datang kok.” Sahut Lydia tersenyum manis ke arahku.“Bibi Yohana kemana?” tanya
“Halo ma……” Brian mencium pipi mamanya, lalu menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana.“Kenapa baru datang? Mama dan Julia sudah menunggu kamu sejak tadi.” Sahut Lydia ketika putranya tersebut sudah duduk.“Tadi sore setelah kelas terakhir, Brian ada keperluan dengan rector.” Brian menoleh kepadaku. “Kamu sudah pesan makan?” tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan mengedik kearah meja. Ada beberapa makanan yang tersaji di sana, dan semua itu Lydia-lah yang memesan. Perutku masih cukup kenyak meskipun baru terisi makanan ketika sarapan tadi. Tapi pertemuanku dengan Reinard tadi berhasil membuatku tidak berselera makan.“Kami berdua sudah pesan, tinggal kamu Brian.” Lydia yang menyahut.Brian memanggil salah satu waiters lalu memesan beberapa makanan. Selama menunggu makanan tiba, kami berbincang.“Bagaimana kesehatan mama?” Tanya Brian sambil menuang air putih ke dalam gelas.“Kata dokter mama sudah membaik kok.” Sahut Lydia. “Iya kan Julia?”Aku mengangguk. “Iya bibi.” Meskipun sebe
Seandainya bisa, aku ingin memutar waktu kembali ke satu jam yang lalu. Dimana aku mengenyahkan perasaanku dan menggunakan logikaku untuk berfikir. Karena yang terjadi sekarang, aku menyesal dengan tindakan gegabahku dan bertemu dengan Reinard.Aku bisa melihat jika sorot mata pria yang duduk di hadapanku sekarang ini begitu bahagia. Mungkin karena aku datang setelah ia menunggu berjam-jam.“Kenapa baru datang sekarang Jul?” tanyanya dengan nada lembut.“Awalnya aku tidak ingin datang.” Sahutku ketus.“Tapi nyatanya kamu datang kan?” ia tertawa kecil.Aku membuang wajahku keluar jendela. Hujan masih terlihat rintik-rintik dan beberapa orang masih menggunakan payung agar terhindar dari basah, dan beberapa yang tidak membawa payung tengah berteduh di emperan toko yang sudah tutup.“Aku memang sengaja datang di jam segini. Aku pikir kamu sudah tidak ada.” Jawabku pada akhirnya, menahan malu.“Aku kan sudah bilang, kalau aku bakalan nungguin kamu disini Julia.”“Kalau aku tidak datang?” a