Bagai seekor burung yang terbang tinggi lalu dalam sekejap mata ia terhempas jatuh ke dasar bumi, sakit. Itulah yang dirasa hati ini.
Di saat ada secercah harapan untuk merajut asa bersamanya, dan di saat itu pula semua angan beterbangan bak tertiup angin kencang.Aku menganggukkan kepala tanpa kata, apalah daya aku tak bisa memaksanya untuk tetap bersama, jika cinta ingin pergi maka lepaskanlah jangan pernah menahannya."Kamu setuju 'kan, Mir, kalau kita berpisah?" tanya Mas Heri.Lidah ini kelu tak sanggup menjawabnya, hanya bisa diam sambil menahan buliran bening yang mungkin akan mengalir deras."Apa ini semua karena perempuan tadi?" tanyaku dengan tenggorokan tercekat."Bukan, Mir. Aku ... aku cuma pengen kita bahagia aja, selama kita bersama aku ga pernah rasakan itu dan aku juga yakin kamu pun merasakan hal yang sama seperti aku," jelasnya sambil merubah posisi duduk."Mas, aku hamil," ujarku dengan wajah biasa saja.Mas Heri dan ibu menatapku bersamaan."Ah yang bener? bukannya kamu sering minum pil KB? kok bisa hamil," jawab Mas Heri.Tak ada raut bahagia yang terpancar, hal yang bisa membahagiakannya memang hanya uang dan harta."Sudah pasti kebobolan tuh, kamu sih ga hati-hati," sahut ibu, entah menyalahkanku atau Mas Heri."Kok bisa begitu sih," ujar lelaki yang bergelar suami itu.Aku hanya menelan ludah melihat tanggapannya yang biasa saja, padahal anak itu anugerah dalam pernikahan."Gagal deh rencana kita," bisik ibu tapi masih terdengar oleh telingaku."Rencana apa, Bu?" tanyaku ngegas.Entah mengapa kali ini aku tak bisa bersikap sabar seperti sebelumnya, kehadiran janin ini seolah menambah kekuatan dalam diri."Ga usah kepo!" jawab ibu tak kalah ngegas"Kamu punya rencana apa, Mas
bab 15. AAda bisikan dalam dada untuk mencegah dan menghajar mereka. Namun, di sisi lain aku pun berfikir jika sikap seperti itu tak ada gunanya, membiarkan Mas Heri menemui wanita itu mungkin akan mempercepat proses perpisahan kita, dan itu sangat menguntungkan untukku.Aku ingin mereka mendapatkan penyesalan yang terdalam saat sudah membuangku, sebuah penyesalan yang tak bertepi.Setelah selesai membuat pentol untuk jualan esok, jemariku bergulir membuka aplikasi belanja online, untuk menghindari diri dari lamunan yang tak berguna, aku belanja apa saja yang dapat menyenangkan hati."Amira, bangun sudah subuh."Sebuah tepukan di pipi membuat mataku mengerjap."Hei."Orang itu menepuk pipiku lagi, saat mata terbuka aku begitu terperangah ternyata ia Mas Heri, tumben sekali membangunkanku untuk salat subuh, biasanya ia akan begitu jika minta dibuatkan makanan karena lapar."Sudah adzan
Bab 15. B"Kondangan ke mana? tumben ngajak-ngajak," jawabku dengan nada santai."Ke temenku, nanti kamu pakai ini."Ia menyodorkan sebuah plastik putih berlogo toko pakaian, saat kubuka ternyata isinya sebuah gaun berwarna tosca."Ini buat aku?"Ia menganggukkan kepala."Beli baru atau dikasih orang?" tanyaku lagi"Baru lah, beres makan cobain muat apa engganya."Gaun berwarna tosca dan dihiasi banyak Payet berbentuk mutiara ini menempel sempurna di tubuhku, ukurannya sama sekali tak kebesaran atau kelonggaran."Hemm bagus, kalau kerudungnya pakai yang ini cocok?" tanyaya sambil menyodorkan kerudung pashmina warna putih."Cocok sih," jawabku dengan perasaan aneh.Ini kali pertama ia membelikanku baju, biasanya juga hanya memberikan uangnya saja, tak mau tahu cukup atau tidak ketika dibelanjakan."Ya udah pakai itu, sendalnya ada
Bab 16.AAku membalikkan badan lalu pergi meninggalkan mereka yang sedang berdampingan, dengan langkah tegak melangkah keluar padahal sebelumnya ada sepasang high heels yang menghambat perjalanan.Tapi kali ini kedua kakiku berjalan dengan mudahnya menuju keluar gedung nan megah ini, menghampiri motor di parkiran, beruntung sekali kuncinya aku yang pegang.Kutinggalkan Mas Heri di sini dengan wanita perus*k itu, sekarang berbahagialah, Mas. Ada saatnya kalian merasa hancur seperti yang kurasakan.Semenjak mengendarai motor ponselku berdering entah siapa yang menelpon, karena tak ingin kehilangan konsentrasi saat mengemudi kuabaikan saja panggilan itu."Nasya, kita nginep di rumah nenek yuk," pintaku pada gadis kecil yang sedang belajar di kamarnya.Ia mendongak menatap wajahku yang nampak sembab, ia sudah besar bisa membedakan antara tangisan dan kelilipan."Mama kenapa nangis? bukannya tadi pergi k
Bab 16. B"Ayo kita pergi, Sayang, dia bukan nenekmu." Kugenggam pergelangan Nasya menuju motor, memasukkan barang bawaan dan segera melajukannya.Hari ini kebetulan hari Jum'at ibu dan bapak pasti ada di rumah tak berjualan di pasar, begitu aku turun dari motor ibu langsung menyambut dengan senyuman hangat."Kok bawa barang-barangnya banyak banget?" tanya ibu, bapak pun menatapku dengan keheranan."Aku akan bercerai sama Mas Heri, Bu, selama ini dia sudah mempermainkan pernikahan ini dan juga kesetiaanku."Mereka berdua tercenung menatapku bersamaan, hal yang paling mereka benci kini harus terjadi pada diri ini, bagaimana lagi aku sudah muak hidup dalam tekanan dan hinaan.Perbuatan Mas Heri yang baru saja dilakukan adalah penghinaan yang paling besar dan tak layak dimaafkan."Ada masalah apa, Amira? 'kan bisa dibicarakan baik-baik." Bapak masih berbicara selembut kapas."Mbak Am
Bab 17. A"Apa keputusanmu, Heri?" tanya Bapak, sekaligus tanyaku juga.Perasaan gelisah dan deg-degan bercampur menjadi satu, takut sekali jika lelaki itu akan membawaku lagi ke nerakanya.Jika iya rasanya aku tak sanggup, terlebih aku mengandung anak kedua, aku ingin anak ini tak seperti Nasya yang selalu menyaksikan pertikaian kedua orangtuanya.Mas Heri menatapku hingga pandangan kami bertemu, sudah kurasakan diantara kami tak ada lagi cinta, jika pernikahan ini diteruskan maka hanya akan saling menggoreskan luka."Amira, jika kita bercerai apa kamu mau?" tanya Mas Heri
Bab 17. BBegitulah orang yang tak faham agama, hidupnya diperbudak harta dunia, semua tolak ukurnya ya dari uang bukan dari keimanan."Kita lihat saja nanti doa orang miskin ini bakal dikabul atau engganya." Ibu menyeringai sinis."Aduh sudahlah jangan debat terus. Heri keputusanmu apa? cepat katakan saya mau siap-siap salat Jum'at sebentar lagi," sela bapak yang sudah terlihat jengah.Mas Heri terlihat menghirup napas dan mengembuskannya perlahan."Baiklah, Amira aku talak kamu kita bukan suami istri lagi, mulai dari sekarang aku kembalikan kamu kepada bapak."Mata ini terpejam lalu kuhirup oksigen dalam-dalam, berusaha meyakinkan diri jika keputusan ini memang yang terbaik."Baiklah, saya akan terima Amira dan juga kedua anaknya dengan lapang, tapi kamu harus ingat pada kedua anakmu, kasih mereka uang setiap bulannya, walaupun kalian berpisah tapi Nasya dan calon bayi itu tetap akan jadi anakmu,
Bab 18. ASuasana rumah berubah riuh lantaran ibu meracau tak karuan, sedangkan aku, ibu dan bapak nampak biasa saja tak terlihat panik atau gelisah karena musibah yang mendera mereka.Entah apa maksud sang pencipta menghendaki rumah itu terbakar, padahal aku tak lagi menginginkan rumah itu untuk dihuni, karena percaya akan ada istana yang lebih megah dan nyaman untuk ditinggali di masa depan.Mungkin, Tuhan tak menghendaki sebuah kedzaliman dan hendak membungkam kesombongan ibu, memperlihatkan padanya jika sang pencipta berkuasa dan berperan penting atas gerak-gerik hidupnya."Ibu ini gimana sih masak air kok bisa lupa matiin kompor." Mas Heri memarahi ibunya."Tadi Ibu mau ngopi eh kamu malah ngajak ke sini jadinya Ibu lupa," jawab ibu.Dapat kulihat wajah ibu mertua berubah pucat, sedang Mas Heri terlihat sangat kesal dan jengkel, itulah balasan bagi orang yang sombong, suka menghina orang dan suka mera
"Aku selalu menelponmu tapi percuma jarang diangkat, sekali pun diangkat cuma sebentar padahal banyak yang ingin aku ceritakan soal Ibu, cerita juga mending kalau kamunya percaya, ya sudah sejak itu aku tak ingin lagi berhubungan denganmu," lanjut Ardan mengungkapkan kekecewaannya.Aku terduduk di bangku plastik miliknya, raga ini lemas mendengar semua kenyataan yang sebenarnya."Aku minta maaf, Ardan. Harus gimana supaya kamu memaafkan," ucapku dengan pasrah.Ia diam sibuk dengan pekerjaannya, haruskah aku berlutut di kakinya?"Ini ada uang buat modal tambahan usahamu, pakailah tadinya uang itu untuk pegangan beberapa bulan ke depan." Aku menyerahkan ATM sekaligus password-nya."Aku ga butuh, lagi pula sekarang bisa cari uang sendiri berikan saja uang itu untuk istrimu," jawab Ardan dengan culas."Ambil aja itu untuk pengobatan ibu kalau kamu ga mau, maafkan aku Ardan, sedikit pun aku ga pernah niat menelantarkanmu dan Ibu, ini semua karena Tania pandai memutar balikkan fakta, dan b*
(POV HERI)Satu tahun lamanya aku tak pulang ke kampung halaman, sebenarnya enam bulan yang lalu aku hendak pulang, tetapi keadaan tak memungkinkan dan banyak pula hambatan.Sengaja tak memberikan kabar kepulangan ini pada Tania ataupun Ardan, entah kenapa anak itu kini nomornya sudah tak aktif lagi, aku pun bertanya pada Tania katanya Ardan baik-baik saja dan ia sibuk bekerja.Aku turut bersuka cita atas perubahan anak itu, yang dulu ia manja dan lalai terhadap tanggung jawab, kini bisa mandiri dan mencari uang sendiri.Pesawat tiba di Jakarta tepat pukul sembilan pagi, untuk menuju kota kelahiranku dibutuhkan waktu sekitar dua jam lagi.Usai adzan Dzuhur berkumandang, akhirnya aku tiba di halaman rumah Tania, semuanya masih sama hanya warna cat rumah yang memudar.Aku melangkah masuk ke dalam pagar, memencet bel berkali-kali hingga pintu itu terbuka, nampaklah Tania yang berpenampilan berbeda.Rambutnya dipotong sebahu, wajahnya terlihat makin cerah dengan polesan make-up seperti bi
"Mbak Naya, bisa berhenti di depan?" tanyaku pada supir baru, Mas Satria sengaja memilih seorang wanita agar tidak ada ikhtilat diantara kami berdua saat bersama."Bisa, Bu," sebentar ya." Ia menuruti perintahku."Tolong jagain Hanan sebentar ya, saya mau nemuin orang itu.""Oh iya, Bu, sini Dedek Hanannya."Kuserahkan Hanan yang tertidur lelap ke pangkuan Naya, beruntung anak itu tak menangis.Aku segera berlari menembus kemacetan hingga akhirnya tubuhku sudah ada di hadapan ibu."Bu, kenapa di sini?" tanyaku sedikit berteriak."Ibuu!" teriakku sekali lagi, karena ia tak merespon panggilanku."Ibu, ngapain di sini?" Aku menyentuh pundaknya.Ia menepis dengan kasar lalu memandangku dengan berang."Diam! Aku lagi nunggu mantuku, Amira, dia janji mau ngajak shoping hari ini," jawabnya ngelantur.Tiba-tiba ponselku berdering, ternyata Mas Satria yang menelpon, karena takut ia marah aku segera menjawabnya."Sayang kamu di mana? kok belum nyampe juga?""Iya sebentar lagi nyampe kok, ini se
(POV AMIRA)Rumah seluas lima belas meter kali kali sepuluh meter menjadi hunian baru untukku dan anak-anak, Mas Satria membelikan hadiah ini sebagai hadiah pernikahan.Ia mengatakan jika rumah ini kurang besar dan mewah maka ia akan merenovasinya, tentu saja menurutku hal itu terlalu berlebihan, karena rumah ini seluas lapangan bola, mungkin jika orang tuaku tinggal di sini rumah ini pun takkan kesempitan.Tak sampai di situ Mas Satria pun mempekerjakan asisten rumah tangga dan seorang supir wanita khusus untuk mengantarku ke mana-mana, ah betapa bahagianya diperlakukan layaknya nyonya.Hari ini ia mulai bekerja setelah satu Minggu lebih menghabiskan masa cuti pernikahan di rumah, sengaja kami tak liburan ke mana-mana karena diluar pandemi masih melanda."Aku pergi dulu ya, Sayang," ucapnya sambil mengecup kening.Jika di hadapan anak-anak ia akan memanggil 'mama' tapi jika tak ada siapa-siapa, kata sayang adalah panggilan untuk kami berdua.Sungguh romantis dan harmonis."Hati-hati
.Sedangkan Tania dan Tante Eva terlihat santai tak terpancing dengan omongan ibu. Akan tetapi, tetap saja mereka berdua membalas ucapan ibu dengan pedasnya membuat ibu makin emosi dan tak bisa mengontrol diri.Kepala ini pusing pasalnya jika pulang ke rumah selalu saja melihat keributan antara ibu dan Tania, mereka tak ada yang mengalah saling mempertahankan egonya."Ayo kita ke kamar, Bu. Aku beliin makanan," ujarku sambil merangkul pundak ibu."Makanan apa? itu dikasih Amira ya? dia emang menantu baik dan pengertian ga kaya kamu!" Ibu menunjuk wajah Tania.Aku kesal melihat tingkahnya, bagaimana jika Tania tak tahan dengan ibu lalu mengusir kita, akan tinggal di mana kami berdua."Sudah, ayo kita masuk kamar." Aku merangkul paksa dan membawanya menuju kamar."Ardan kamu harus usir Tania dari rumah ini dan bawa Amira kembali ya, Ibu itu cuma pengen punya menantu yang kaya ga kaya Tania bisanya ngabisin uang saja," cerocos ibu tak bisa diam."Sekarang Ibu makan dulu ya." Aku menyuapi
(POV Ardan)Nasib Bu Ninik.Sudah satu bulan lebih kakakku Heri berada di perantauan, ia mengatakan setiap tanggal satu akan mengirimkan transferan.Sedangkan kondisi ibu semakin hari kian memperhatikan, ia lebih banyak mengurung diri di kamar, karena jika berpapasan dengan Tania bawaannya terlihat emosi, tak jarang ia marah-marah tanpa alasan."Mbak, Heri udah kirim uang?" tanyaku pada kakak ipar yang sedang menggunting kukunya.Ia malah menatapku sinis, seolah aku ini seorang pengemis."Mau apa emang?!" tanyanya sedikit membentak.Apa ia lupa? atau pura-pura lupa jika dalam uang itu ada hak mertua juga adik iparnya, dasar serakah! Entah apa yang dipikirkan kakakku hingga menggantikan Amira dengan wanita macam dia."Ya mau minta bagian, Heri 'kan janji kalau udah gajian mau bawa ibu ke psikiater," balasku tak kalah sinis.Untuk makan sehari-hari kami berdua terpaksa aku yang kerja, beruntung bengkel milik Adi setiap hari selalu ramai banyak kendaraann yang berdatangan, sehingga aku t
"Ok bagus." Tante Tamara melanjutkan langkahnya dengan wajah masam.Sedangkan Rista bersalaman dengan kami tanpa mengeluarkan suara, matanya menatapku penuh kebencian, bagiku tak masalah toh tak meminta uang padanya.Pesta hampir usai, tamu undangan pun satu persatu mulai berpamitan pulang, mama memintaku untuk bersiap berganti pakaian, ibu bilang malam ini Hanan biar tidur dengannya saja agar aku bisa menikmati malam pertama bersama Satria.Diperlakukan seperti itu aku jadi malu sendiri, padahal Satria tak keberatan jika Hanan tidur dengan kami, baik itu di malam pertama atau di malam-malam selanjutnya, karena anakku telah menjadi anak Satria juga, begitu katanya."Jangan bantah, malam ini Ibu mau tidur sama Hanan, udah sana ganti pakaian, besok Ibu akan antarkan Hanan ke rumah mertuamu," ucap ibu sedikit memaksa.Kulihat bayi mungil itu terlelap di pangkuannya."Kalau Hanan rewel telpon aja ya, Bu," ujarku sebelum pergi.Saat melangkah ada Rista berdiri menghalangi, tatapannya penuh
(POV Amira)Di sebuah gedung pernikahanku dan Satria dilaksanakan, sebenarnya aku malu menyelenggarakan pesta. Namun, apalah daya keluarga besar Satria yang menginginkannya.Acara akad sekaligus resepsi hari ini memang tergolong sederhana, tapi tetap saja aku tak nyaman harus bersanding di pelaminan, sementara anak-anakku takut tak diperhatikan.Ijab kabul dimulai ada perasaan haru dan tegang mendominasi, ibu dan juga kedua anak-anakku tak pernah jauh mereka selalu ada di sisi.Kebaya warna putih dengan jilbab senanda dipadukan dengan rok batik berwarna coklat membalut tubuhku dengan indahnya, aku tersenyum melihat pantulan diri di cermin, rasa bahagia terlukis sempurna di wajah ini."Sah."Akhirnya kata itu terucap di bibir orang-orang banyak, akhirnya aku resmi jadi nyonya Satria Bagaskara, kami menandatangani bekas-bekas dari KUA, lalu penghulu memberikan sepasang surat nikah.Ciuman pertama sungguh terasa menggetarkan jiwa, terlebih saat aku mencium takzim punggung tangannya, sudu
Aku masih diam menatapnya dalam sambil mendengarkan penjelasan pekerjaan apa yang akan kulakukan di sebrang pulau sana."Emang sih kerjanya capek, tapi 'kan duitnya gede." Tania masih membujuk, memang yang ada dalam otak wanita ini hanyalah uang, tak masalah walaupun harus jauh dari suami.Ah menyebalkan!"Terus ibuku gimana? tar kamu jadikan pembantu lagi di sini," jawabku ketus."Iya aku ga bakalan jadikan ibumu pembantu, lagi pula 'kan ada Ardan biarin aja dia yang ngurus ibumu, aku ga mau ikut campur," jawab Tania tak kalah ketus."Nanti aku fikirkan." Aku beranjak pergi karena berada di dekatnya tak menemukan kenyamanan yang ada ia terus memberikan tuntutan.Sempat terdengar ia mengoceh dan menghina. Namun, untuk kesekian kalinya aku bungkam karena malas dengan pertengkaran, lama-lama aku pun jadi terbiasa atas semua ocehan dan hinaan Tania.Cukup lama nongkrong di warung kopi memikirkan tawaran Tania diterima atau tidak, aku pun sudah meminta pendapat teman-teman dan mereka meng