Hari-hari telah berlalu. Kedekatan Kim dan Sunna semakin terjalin, membuat keduanya tanpa sadar merasakan sebuah kenyamanan tersendiri. Kenyamanan yang lalu berubah menjadi getaran indah saat saling berdekatan.Hari ini, Kim sudah mulai bekerja.Kim masih bekerja, tetapi matanya terus melirik jam tangannya.Sial! Kenapa sore datangnya sangat lambat?Kim menggerutu di dalam hati. Tetapi tiba-tiba dia tersenyum-senyum sendiri. Dia seperti orang bodoh yang tiba-tiba menunggu waktu dengan tidak sabaran.Kim kembali memusatkan pikiran, untuk menatap komputer di depannya. Belum lagi tumpukan berkas yang perlu diperiksa.Kim lagi-lagi melirik jam tangannya.Dua jam lagi,Kim kembali mendengus. Baiklah.Sekarang Dia berjanji akan menunggu dengan sabar. Tangannya kembali bekerja meskipun pikirannya sudah kemana-mana.Namun tiba-tiba Kim berdiri. "Bodo amat lah. Besok masih ada waktu. Aku bisa berangkat pagi pagi buta untuk menyelesaikan ini."Kim kemudian memutuskan untuk pulang.Dia tahu apa
Tidak tahu ini jam berapa, Kim terbangun. Tapi setelah melirik jam yang yang tergantung di sudut dinding, waktu ini rupanya menunjukkan pukul Dua dini malam. Kim mengerjapkan mata beberapa kali saat menatap punggung Sunna yang tidur disampingnya dengan posisi membelakanginya.Rambut Sunna terurai ke atas menampakan leher jenjangnya yang halus sementara selimut hanya menutupi sebatas dada Sunna, kulit punggung putih mulus serta kulit lengan Sunna tampak terlihat dengan jelas. Ini menandakan jika sedang tidak memakai sehelai benang pun.Kim melirik dirinya sendiri yang juga tidak memakai pakaian satupun, lalu menoleh ke samping kiri. Ada satu guling jatuh di bawah lantai, sedangkan pakaiannya dan pakaian Sunna berserak di sana.Kim sedikit linglung namun langsung tersadar jika semalam, jika semalam mereka telah melakukan Adegan dewasa diatas Ranjang ini.Otak Kim membeku saat ingatannya benar-benar pulih. Semalam itu dia hanya ingin menyentuh bibir Sunna, namun kemudian sentuhan jemar
Aaron masih berguling di atas kasur sambil terus merintih. Sakit perut yang dialaminya ini bukan seperti sakit perut biasa. Mules dengan frekuensi yang berbeda. Sebentar kemudian menghilang dengan sendirinya, kemudian datang kembali lebih sakit dari yang pertama.Pinggangnya pun terkadang sakit luar biasa disertai rasa panas yang menjalar.Sementara Emily sudah kembali dari memanggil Mertuanya, dia hanya bisa kebingungan melihat suaminya kesakitan."Aaron." Emily mulai menangis. "Emily, mana ibu? Ini sakit sekali Emily , aku tidak tahan...!" Aaron yang biasanya selalu kuat, kali ini benar-benar merengek dan merintih seperti anak kecil saja."Sabar ya sayang, sebentar lagi mereka kemari.""Argh..! Aku ingin ke kamar mandi lagi, Emily." Aaron menggeliat lalu merangkak menuruni Ranjang."Biar ku bantu ya?" ucap Emily segera bersiap membantu Aaron."Tidak tidak, aku masih kuat. Sakitnya sedang berkurang sekarang." Aaron berjalan ke kamar mandi sambil memegangi pinggangnya mirip sepert
Keringat sudah membasahi wajah dan seluruh tubuh Emily, rasanya dia sudah tidak tahan lagi untuk menunggu. Tetapi lagi-lagi Dokter Zea mengatakan sebentar lagi, karena memang pembukaan belum sepenuhnya terjadi.Di ruang lain,Aaron masih meringis kesakitan. Tapi kali ini, entah mendapat kekuatan dari mana ia berusaha sekuatnya untuk mencoba bangun."Khale. Kemarilah!" Aaron memanggil Khale yang sedang mondar-mandir menunggu Dokter datang.Khale segera mendekati Aaron yang sudah duduk di tepi ranjang."Kak Aaron. Kenapa?"Aaron memberi isyarat pada Khale untuk lebih mendekat. Khale menurut dengan patuh."Bantu aku berjalan. Aku harus menemui kakak ipar." Aaron menggapai pundak Khale yang sudah mendekat."Kak Aaron! Kamu sedang sakit, tidak boleh pergi kemana-mana. Dokter juga sebentar lagi akan datang." cegah Khale."Aku harus mendampingi kakak ipar. Dia pasti sedang kesakitan. Ayo bantu aku mumpung sakit ini sedikit berkurang." Aaron langsung berdiri dengan berpegangan pada pundak Kha
Hari ini, Emily sudah diperbolehkan pulang. Perawatan akan dilanjutkan di Rumah Utama. Seluruh penghuni Rumah Besar Keluarga Albarez berbahagia menyambut kedatangan Calon Penerus Keluarga Albarez.Ibu dan Ayah Emily juga sudah terlihat berdiri di teras besar rumah itu untuk menyambut kedatangan cucunya. Mereka telah mendapatkan kabar gembira ini dari Erina tentunya yang langsung menghubungi mereka ketika Emily selesai melahirkan.Air mata Chloe sudah mengalir sejak pertama Erina menelponnya. Alan juga terisak. Mereka benar-benar sangat bahagia dengan kehadiran Cucu pertama mereka yang sudah pasti akan menjadi pewaris Keluarga Albarez.Lalu saat ini semua orang sibuk mengurus Emily dan Bayinya dengan perasaan bahagia yang meluap.Setelah semuanya selesai, Aaron ingin mengambil Jagoan ciliknya dari tangan Sang Ibu. Dengan senyuman berkembang, Erina pun mengulurkan cucunya. Aaron menerima dengan hati-hati. Sekali lagi, Aaron menatap bayi mungil yang ada didekapannya itu."Putraku! Sel
Halilintar mendengar Mamanya sedang memarahi Papanya, lalu dia datang ke kamar mereka untuk menolong Aaron. Tetapi Emily langsung menyuruhnya kembali ke dalam kamar sendiri."Azze. Cepat masuk ke kamarmu!"Halilintar merasa khawatir ketika Mamanya menyuruhnya masuk ke dalam kamar. Dia meraih Kedua tangan Emily dan memohon,"Mam. Jangan hukum Papa. Dia tidak bersalah. Az yang menginginkan semua itu. Az yang minta Papa untuk mengajari aku menembak dan berkelahi."Wajah Emily acuh, dia tidak ingin peduli dengan permohonan Halilintar. Meskipun dalam hati dia begitu khawatir dengan pengakuan Halilintar yang mengatakan jika menginginkan sendiri untuk belajar menembak.Rasanya itu tidak masuk akal, jika anak seusia Halilintar menginginkan sesuatu yang ekstrim seperti itu."Hal," Aaron memanggil putranya dengan panggilan kesayangannya, "Mama hanya menyuruhmu ke kamar. Bukan untuk memarahi Papa. Ayo pergilah." bujuk Aaron. Dia tahu jika Putranya itu begitu peduli padanya."Benarkah Mam?" Halil
Di ruangan Presdir,Halilintar menatap tiga pria berbadan kekar yang sudah berdiri di depannya itu. Satu orang berwajah sangar yang tak pernah ia lihat itu sedang berbisik dengan dua rekannya yang lain yang langsung terlihat waspada.Seorang dari mereka menggerakkan tangannya ke arah komputer milik Aaron, namun tangan kecil Halilintar lebih cepat mencabut USB yang berisi cip penting di dalamnya dan menggenggamnya erat ketika Halilintar menyadari maksud tujuan dari mereka."Bocah kecil! Serahkan benda itu dan kami tidak akan mencelakaimu!" ucap seorang dari mereka, lalu dengan cepat menodongkan pistol ke arah Halilintar."Itu tidak mungkin ku lakukan paman." sahut Halilintar, tanpa rasa takut meski tidak dipungkiri saat itu detak jantungnya berdegup sangat cepat ketika melirik moncong pistol terarah tepat ke kepalanya."Cepat! Atau," ancam Mereka."Atau orang tuaku akan segera membuat perhitungan kepada Paman-Paman yang berusaha mencuri sesuatu di perusahaan kami?" selesai menjawab, sec
Zha, adalah seorang gadis yang berusia sekitar 23 tahun.Dia mempunyai masa lalu yang tidak indah untuk diingat. Suatu masalah yang penuh teka-teki dalam keluarganya yang belum terungkap sampai Kedua orang tuanya meninggal dunia.Dalam kesepian hidupnya, Zha bahkan melupakan tujuannya sendiri. Ketika seseorang mengangkatnya menjadi seorang anak dan memberi kehidupan baru padanya. Mendidiknya untuk menjadi seorang Mafia dan pembunuh bayaran. Sekarang dia fokus dengan profesi barunya ini.Senyum manisnya yang bagi sebagian orang sangat membawa kedamaian, tapi jika mereka berpikir senyum indahnya itu adalah milik semua orang, maka mereka salah besar. Di kalangan Mafia, jika Gadis Beracun ini sudah tersenyum demikian, maka akan menjadi pertanda buruk yang berujung kematian bagi kehidupan Targetnya.Zha , panggilan gadis yang bernama lengkap Kanzha Al'Fhatunisa itu memilih jalan yang tidak sesuai dengan keinginan ibunya yang berharap ia bisa hidup sebaik nama pemberiannya.Sakit hati karena