“Mawar, ini Rama. Dia temanku yang ingin melamar pekerjaan di sini,” ujar Sarah.
Ingatan Mawar tentang Rama adalah orang yang ia temui beberapa bulan lalu, membuat Sarah dan Mawar semakin penasaran. Mereka pun sengaja membuat jadwal untuk bertemu pada jam makan siang hari itu.
Mawar mengangguk dan bersalaman dengan laki-laki muda yang ada di depannya.
“Saya Rama, saya sangat merasa senang bisa diundang makan siang oleh Bu Mawar. Sebelumnya maaf kalau saya lancang, tapi apa makan siang kali ini menandakan bahwa saya diterima bekerja di tempat Ibu?” Laki-laki itu langsung mengarah pada tujuan utamanya.
Mawar terkekeh mendengar pertanyaan Rama. “Sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk bisa bekerja di tempat saya, ya?”
“Saya sedang butuh uang, Bu. Untuk biaya sekolah adik saya dan biaya kuliah saya. Saya tidak ingin adik saya putus sekolah, maka saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk diterima kerja di tempat Ibu dan saya bisa membiayai sekolah adik saya,” jelas Rama.
“Kamu tidak punya orang tua?” tanya Mawar.
“Tidak ada,” jawab Rama dengan raut wajah datar.
Mawar yang mendengar hal itu semakin merasa penasaran. Raut wajah Rama berubah sangat cepat setelah membahas tentang keluarganya.
“Kamu pasti mengerti kan tentang keutamaan pekerja yang sudah memiliki gelar dan pengalaman? Saya lihat di CV kamu tidak ada semua itu. Jadi, saya belum tentu bisa menerima kamu menjadi pekerja di kantor saya,” jelas Mawar.
“Bu, saya bisa mengerjakan apa pun, walau hanya menjadi OB di kantor itu. Saya akan melakukan apa pun, asalkan saya bisa bekerja,” ujar Rama.
Mawar melihat kesungguhan pada diri Rama. Saat itu ia langsung menoleh dan menatap Sarah dengan tatapan penuh arti.
Ia merasa Sarah pun akan mengerti dengan apa yang ia pikirkan saat ini.
“Ini kesempatan, kan?” tanya Mawar.
“Kayaknya kita harus bicara dulu!” Sarah langsung menarik tangan Mawar dan mengajaknya sedikit menjauh dari Rama.
“Kenapa?” tanya Mawar.
“Kamu yakin mau pakai dia sebagai suami pura-pura? Dia masih terlalu muda.” Sarah menatap Mawar dengan tatapan aneh.
“Nggak masalah, memang ada yang melarang pernikahan jika suami lebih muda daripada istri? Semua itu adalah hal yang wajar. Aku juga melihat kesempatan, jika dia terlihat lebih muda dari aku, maka aku bisa memainkan drama dan menuduhnya atas apa yang terjadi. Ini kesempatan bagus, apalagi jika dia benar adalah laki-laki di rumah sakit itu,” jelas Mawar.
“Drama apa? Kesempatan bagus apa?” tanya Sarah.
“Drama bahwa dia yang melakukan kesalahan itu, dengan begitu nama baikku di mata keluarga tidak akan terlalu hancur. Jika memang dia adalah laki-laki itu, maka dia bisa jadi menyayangi Dio. Sebagai seorang ibu, aku juga ingin Dio mendapatkan kasih sayang dari laki-laki yang bisa menyayanginya,” jelas Mawar.
“Kamu mau serius sama dia?” tanya Sarah.
“Nggak mungkin, nggak setara kekayaanku dengannya. Masa iya aku yang nafkahin keluarga,” gumam Mawar. “Aku hanya ingin minimal Dio mendapatkan kasih sayang dari laki-laki yang menyayanginya sampai dia benar-benar mendapatkan ayah yang pas untuknya.”
“Kamu mau cari ayah untuk Dio?” tanya Sarah.
“Aku tidak ingin Dio tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Aku hanya ingin mencukupi kasih sayang untuk dirinya, sesuai dengan apa yang harusnya ia dapatkan. Aku hanya ingin menjalankan kewajiban dan tugas sebagai seorang Ibu,” jelas Mawar.
“Aku nggak bisa paksa dan atur kehidupan kamu. Kamu yang tau apa yang kamu dan Dio butuhkan. Maka, lakukan apa yang menurut kamu benar, asalkan itu tidak menjerumuskan kamu dan Rama ke hal yang tidak benar,” ujar Sarah.
Mawar mengangguk dan tersenyum. Setelahnya mereka berdua pun kembali ke meja makan dan mengobrol kembali bersama dengan Rama.
“Maaf agak lama, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan tadi,” ujar Mawar. “Oh iya, Rama. Saya ingin sedikit bertanya, apa sebelumnya kita ini pernah bertemu?”
Rama mengerutkan keningnya, mencoba mengingat wajah Mawar. “Ingatan saya agak buruk, Bu. Saya tidak yakin kalau kita pernah bertemu sebelumnya.”
“Kamu masih muda, apa ingatanmu seburuk itu?” tanya Mawar.
“Ya, ingatan saya memang buruk,” sahut Rama.
Mawar menatap Rama dengan tatapan penuh selidik. Ia tidak percaya dengan apa yang Rama ucapkan saat itu. Ia yakin kalau Rama adalah laki-laki itu dan dia pasti mengingat kejadian malam itu.
“Rumah Sakit Hana ruangan nomor 123. Kamu yakin tidak mengingat suatu kejadian di sana?” tanya Mawar.
Rama hanya menggeleng, ia benar-benar tidak mengingat apa pun saat ini.
“Sudahlah, siapa tau memang ingatannya buruk jadi dia tidak ingat kejadian itu. Jangan memaksa dia. Langsung saja pada tujuanmu,” ujar Sarah.
Mawar menarik napas panjang. Sebenarnya ia masih sangat penasaran dengan Rama, tetapi sepertinya ia tidak perlu membuang waktu lebih banyak lagi, ia harus segera mendapatkan suami pura-pura.
“Rama, saya bisa memberikan kamu pekerjaan dengan bayaran yang cukup tinggi. Bahkan kamu bisa menyekolahkan adikmu di sekolah Internasional dengan bayaranmu ini. Namun, harus ada persetujuan yang jelas dalam kerja sama ini. Apa kamu mau?” tanya Mawar.
“Pekerjaan seperti apa itu? Apa saya bisa? Saya belum lulus S1.” Rama mengerutkan keningnya.
“Saya membutuhkan seorang laki-laki untuk berpura-pura menjadi suami saya. Sepertinya kamu cocok dengan peran itu,” jawab Mawar.
“Suami pura-pura? Untuk apa? Memangnya suami Ibu ke mana?” tanya Rama.
“Saya akan jelaskan lebih rinci nanti setelah kamu sepakat dengan tawaran yang saya berikan. Saya akan memberikan apa pun untukmu, mulai dari gaji yang besar, bahkan kalau kamu perlu sesuatu, saya akan memberikannya. Asalkan kamu pura-pura untuk menikah dengan saya,” jelas Mawar.
“Saya harus benar-benar menikahi Ibu?” tanya Rama.
“Tidak, saya akan buatkan surat nikah palsu. Saya tidak akan merugikan kamu dan membuat kamu menjadi duda saat kita bercerai nanti. Pernikahan ini hanya sementara, kita tidak akan melibatkan perasaan di antara kita,” jelas Mawar.
Rama terdiam dan berpikir. Ia merasa bahwa tidak ada salahnya ia mengambil pekerjaan itu. Toh tidak ada kerugian untuknya sebagai seorang laki-laki, ia malah memikirkan keuntungan yang bisa ia dapatkan dari pernikahan pura-pura itu.
“Baiklah, saya akan menerima tawaran itu. Sekarang, saya boleh tau apa saja yang harus saya lakukan dalam pernikahan pura-pura itu?” Rama menatap Mawar dengan tatapan penuh tanya.
Mawar langsung tersenyum mendengar hal itu. Tujuannya terlaksana dengan baik dan tepat sasaran.
“Berlakulah kepada saya dan keluarga saya seolah kamu benar-benar suami saya. Buat kemesraan di antara kita saat kita berada di depan keluarga besar saya. Kamu harus berpura-pura menjadi orang kaya dan memiliki perusahaan agar mereka percaya dengan hubungan kita. Lakukan semua yang para suami lakukan pada istrinya, kecuali kemesraan dalam satu kamar,” jelas Mawar dengan tatapan serius.
“Kak, bagaimana? Apa biaya sekolahku sudah ada?” tanya seorang perempuan yang menyambut kepulangan Rama.Rama tersenyum dan mengangguk di depan adiknya. Meski ia belum memegang uang itu, tetapi ia tidak ingin membuat adiknya bersedih.“Kamu tenang saja, Hana. Kakak akan usahakan,” ujar Rama.“Kak, jika uangnya tidak ada, tidak masalah. Lusa adalah hari terakhir bayaran, jika memang uangnya belum ada maka aku sudah siap untuk berhenti sekolah. Aku tidak ingin merepotkan Kakak terus,” ucap Hana.“Kakak tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Kakak janji untuk membayarkan biaya itu besok. Kamu adalah tanggung jawab Kakak, kamu seperti ini karena Kakak. Jadi, apa pun yang menyangkut kehidupanmu, maka itu urusan Kakak,” jelas Rama.“Kak, kehidupan kita berubah sejak ....”Rama meletakkan jari telunjuknya di depan mulut Hana agar adiknya itu tidak melanjutkan ucapannya.“Sudah, kamu masuk kamar dan istirahatlah! Kakak juga sudah mengantuk dan ingin segera tidur setelah menyelesaikan tugas-tu
“Pagi, Bu Mawar!” Rama menyapa Mawar yang baru saja datang ke kantornya.Mawar yang baru saja turun dari mobilnya dan mendapati sambutan kecil dari Rama pun langsung tersenyum dengan tatapan licik.“Apa kamu ke sini untuk menerima tawaran yang saya berikan?” tanya Mawar.“Ya, saya sudah mempertimbangkannya. Saya akan menerima tawaran itu, dengan beberapa syarat yang mungkin saya ajukan setelah ini. Apa Bu Mawar sendiri bersedia dengan beragam syarat dari saya?” tanya Rama.“Selagi itu tidak memberatkan saya, maka saya tidak akan mempermasalahkannya. Asalkan kamu tetap mengikuti syarat yang sudah saya tentukan sebelumnya,” sahut Mawar. “Mari masuk dan bicarakan ini di dalam.”Mawar berjalan lebih dulu memasuki kantornya, ia langsung mengajak Rama untuk pergi ke ruangannya.“Saya tidak ingin basa-basi lagi, saya ingin langsung pada inti hubungan kita. Jika Ibu memang menginginkan saya untuk menjadi suami pura-pura, Ibu. Saya bersedia, tetapi berikan dulu uang sejumlah 50 juta untuk awal
Suasana dalam mobil Mawar kini terasa menegangkan. Di sebelahnya Rama menyetir dan Mawar duduk seraya menggendong Dio. Pikirannya dipenuhi dengan apa yang akan ia lakukan bersama Rama di depan keluarganya nanti.“Bocah! Kamu harus terlihat dewasa di depan orang tuaku nanti, agar mereka tidak curiga kalau usiamu di bawahku,” ujar Mawar.“Saat di depan mereka aku akan berperan sebagai suamimu, jadi kamu tenang saja, kedewasaan dan kewibawaanku akan tertampak,” sahut Rama.Mawar mendengkus dan menatap Rama dengan tatapan sinis. “Aku kira selama ini kamu orang yang pendiam, nyatanya kamu banyak tingkah seperti ini.”“Sikapku tergantung apa yang kamu berikan. Sekarang kamu sudah memberikan apa yang aku inginkan, jadi aku akan bersikap baik dan ramah seperti ini,” jawab Rama.“Ramah? Kamu kira ini ramah? Kamu hanya bocah yang banyak bercanda,” sinis Mawar.Rama hanya tersenyum tipis. Saat itu mereka sudah sampai di depan rumah Mawar.Mata Rama langsung memperhatikan seluruh bagian rumah ter
“Aku sekarang tau kenapa kamu sangat kuat menjalani kehidupan ini. Nyatanya, kekuatan itu menurun dari ibumu. Dia sangat kuat sekali menahan perlakuan tidak menyenangkan itu selama bertahun-tahun, bahkan sampai saat ini di saat ayahmu sudah tiada, dia masih bersama dengan keluargamu,” ujar Rama.“Ibuku sangat menyayangi Nenek, hanya Nenek yang menerima ibuku di keluarga ini. Maka dari itu, untuk merawat Nenek yang sering sakit, Ibu memilih untuk bertahan,” jelas Mawar.Rama tersenyum sinis. “Kasih sayang memang bisa mengalahkan segalanya, termasuk rasa sakit yang menyiksa diri.”Mawar menoleh dan menatap Rama dengan tatapan bingung. “Mengapa wajahmu seperti itu? Sepertinya kamu muak dengan yang namanya kasih sayang.”“Ya! Kasih sayang, cinta, dan semacamnya hanya akan menghancurkan diri kita, membuat kita bodoh, dan tidak bisa melihat dunia dengan selayaknya,” gumam Rama.“Sepertinya
Suara tangisan mengusik tidur Rama. Membuatnya bangun karena risih akan suara tangisan tersebut. Ia segera turun dari kasurnya dan pergi ke kamar Mawar.“Kamu terbangun karena Dio? Maaf, dia sedang rewel,” ujar Mawar saat melihat Rama mendekat ke arahnya.Jelas ia merasa tidak enak karena menganggu waktu tidur Rama. Biasanya hanya waktu tidurnya yang terganggu dengan suara tangis Dio.“Mau kubantu? Mungkin dia bosan, aku akan ajak dia ke balkon dan melihat pemandangan luar,” ujar Rama.Mawar mengerutkan keningnya. Ia kira Rama akan marah kepadanya karena terganggu dengan tangisan tersebut.Rama mendekat dan beralih menggendong Dio. “Kamu istirahatlah! Biar aku yang jaga dia, kamu pasti lelah mengurusnya seharian.”“Seharusnya kamu saja yang istirahat, tidak perlu direpotkan dengan Dio. Kamu bukan siapa-siapanya, kamu tidak wajib mengurusnya,” ucap Mawar.“Aku sudah menerima bayaran besar untuk peran sebagai suami dan ayah untuk Dio. Jadi, aku akan memainkan peranku dengan baik, sesua
“Kamu ada waktu untuk ke kantor kapan?” tanya Mawar yang kini sedang merias wajahnya.“Pagi sampai siang ini aku bisa ke kantor, sorenya aku pergi kuliah,” jawab Rama.“Baiklah, kita akan ke kantor pagi ini, aku akan memberikan apa yang kamu minta,” ujar Mawar.Rama mengangguk dan tersenyum senang. Di pangkuannya kini sudah ada Dio yang duduk dengan santai.“Kamu akan ajak Dio ke kantor hari ini?” tanya Rama.“Selagi pengasuhnya belum kembali, mau tidak mau aku harus mengajak dia ke kantor. Ada Sarah juga yang bisa bergantian denganku untuk menjaga Dio,” jawab Mawar.“Sepulang kuliah nanti aku akan ke kantor untuk mengajak Dio main, jadi kamu bisa selesaikan pekerjaanmu nanti,” ujar Rama.“Semalam kamu sudah menjaga Dio dan tidak tidur karena kebangun dengan suara tangisnya, sudah cukup. Kamu tidak perlu direpotkan lagi dengan Dio.” Mawar menunjukkan tatapan tidak enak pada Rama.“Tenang saja, aku suka bermain dengan Dio. Aku juga bisa bosan dengan jadwal kuliahku, jadi lebih baik aku
“Aku akan pergi ke kantor dengan taksi, kamu gunakanlah mobil untuk pergi ke kampus nanti,” ujar Mawar.“Bawa saja mobil itu. Teman-temanku akan merasa aneh jika tiba-tiba aku membawa mobil sebagus itu ke kampus, mereka semua mengetahui tentang susahnya hidupku selama ini,” jawab Rama.“Baiklah. Jika kamu butuh kendaraan entah itu motor atau mobil, katakan saja kepadaku, aku akan memenuhinya,” ucap Mawar.Rama mengangguk dan tersenyum mendengar hal itu. Sementara itu Mawar kini mengambil tasnya dan bersiap untuk pergi meninggalkan Rama di kantornya itu.“Aku percayakan perusahaan ini padamu, jadi kelolalah dengan baik,” ucap Mawar sebelum ia meninggalkan ruangan tersebut.“Aku memang punya tujuan dengan perusahaan ini, tetapi akan kupastikan perusahaan ini tidak akan menerima kerugiannya,” sahut Rama.Mawar mengangguk, lalu ia segera keluar dari ruangan tersebut.Rama kini duduk di meja kerjanya, di sana ia langsung membuka laptop yang tersedia di sana. Ia langsung mempelajari beberap
Rama kini sedang sibuk di ruangannya. Ia masih bergelut dengan semua data dan informasi yang ia kumpulkan mengenai perusahaan musuhnya itu.“Permisi, Pak. Bu Mawar tadi mengingatkan saya bahwa hari ini Bapak ada perkuliahan. Jadi, Bu Mawar ingin Bapak segera pergi ke kampus dan meninggalkan pekerjaan ini sementara waktu,” ujar Galih.Rama yang masih fokus dengan pekerjaannya hanya mengangguk. Ia bahkan tidak sadar dengan ucapan sekretarisnya saat itu.“Bapak bisa telat jika Bapak tidak segera pergi,” tambah Galih.“Kamu–”Ucapan Rama terhenti saat menyadari bahwa Galih mengetahui tentang identitasnya yang masih seorang mahasiswa itu.Ia yang tadinya hendak marah karena Galih yang rewel memberitahunya, kini menatap Galih dengan tatapan bingung.“Kamu tau?” tanya Rama.“Iya, Bu Mawar memberitahu saya sebelum dia pergi tadi,” jawab Galih. “Bu Mawar juga meminta saya untuk mengantar Bapak sampai dekat kampus agar Bapak tidak telat. Mari!”Rama masih tidak mengerti dengan hal itu, tetapi s