Hari menjelang malam, kumandang adzan Maghrib sudah lewat beberapa menit lalu.
Setelah solat, aku masih berada di dalam kamar mertuaku sedang memakai kerudung. Saat aku hendak keluar kamar, tiba-tiba kudengar obrolan ibu-ibu di luar kamar yang membicarakanku.
"Kasihan, ya, Mbak Dira, harus dimadu sama suaminya. Padahal mereka nikah belum lama, loh. Malah sekarang istri muda suaminya lagi hamil, tapi Mbak Dira belum hamil juga," ucap salah seorang wanita.
Aku berdiri sambil melihat mereka dari balik pintu yang sedikit terbuka. Mereka tengah duduk di lantai membentuk lingkaran dengan dus-dus kecil dan kue-kue di depannya. Kue-kue itu dikemas ke dalam dus kecil tersebut. Ada juga yang sedang mengemas nasi kotak ke dalam plastik kresek. Semua itu untuk bingkisan para tamu.
"Iya, ya, kasihan," sahut yang lainnya.
"Apa karena Mbak Dira belum hamil, jadi Mas Yusuf nikah lagi. Jangan-jangan Mbak Dira...." Wanita itu menggantung kalimatnya.
Aku masih belum percaya dengan apa yang dilakukan Naura padaku saat di dapur tadi. Saat ini, ia tengah duduk manis di sofa sambil memainkan ponsel dan tampak senyum-senyum sendiri. Entah apa yang ia lihat di layar ponselnya.Aku tengah membereskan ruangan yang baru saja dipakai untuk acara pengajian. Mas Yusuf membantuku menggulung karpet kemudian menyimpannya di kamar belakang. Para tetangga sudah pulang, karena mereka membantu sejak pagi. Jadi, kami dan saudara-saudara Mas Yusuf yang membereskan sisanya. Saat semuanya sudah rapi dan bersih, akupun ke kamar Bu Ranti, ibu mertuaku, untuk pamit pulang. Sebelum aku masuk, kuketuk pintu kamarnya yang sedikit terbuka.Tok! Tok!"Ibu, boleh aku masuk?" tanyaku meminta izin seraya menjebulkan kepalaku."Nadhira ... masuklah, Nak!" sahut ibu.Akupun segera masuk dan kulihat ia sedang sibuk memasukkan barang-barang bawaannya ke koper. Aku duduk di sisi tempat tidur dan ikut membantunya."Alham
"Non!" panggil Bi Ira yang baru saja dari luar. "Ya, Bi, ada apa?" sahutku. Bi Ira bergegas menghampiriku yang sedang menikmati sarapan. "Di depan sepertinya ada mobil Mas Adrian," kata Bi Ira seraya ibu jari menunjuk ke arah luar. "Adrian? Bukankah semalam dia sudah pulang?" gumanku dengan kerutan tercetak di dahi. "Ya, sudah, Bi, biar aku lihat," ucapku. Aku meletakkan roti sandwich yang baru kumakan setengah ke atas piring lalu bergegas keluar untuk melihatnya, sedangkan Bi Ira melanjutkan pekerjaannya di dapur setelah tadi ia keluar rumah untuk membuang sampah. Ternyata benar, Adrian menepati perkataannya semalam, ia datang menjemputku. Kulihat mobil Avan*a silver yang terparkir di depan pagar rumahku memang mobilnya. Kulirik jam di pergelangan tangan. Baru jam 6 lebih 10 menit, tapi dia sudah sampai di rumahku. Entah jam berapa dia berangkat? Padahal jarak rumahnya ke rumahku cukup jauh, belum lagi jalanan yang macet. Aku keluar p
Aku sedang berada di ruanganku. Aku tengah mengerjakan pekerjaan Naura dan menggantikan tugasnya memeriksa beberapa berkas penting yang berhubungan dengan kelangsungan perusahaan. Perusahaan yang bergerak di bidang industri itu harus ia kelola setelah ayahnya meninggal dua tahun lalu akibat sakit yang dideritanya.Namun saat ini, istri keduaku itu sedang cuti dari pekerjaannya. Ia tidak boleh capek. Apalagi jarak dari rumah ke kantor kami cukup jauh. Butuh waktu tempuh hingga satu setengah jam karena jalanan kota Jakarta yang selalu macet. Kasihan bila ia masih harus bekerja di tengah kehamilannya yang membesar. Ia pun akan kelelahan saat di perjalanan. Karena itu, aku menyuruh Naura untuk beristirahat saja di rumah. Lagipula perkiraan kelahiran anak kami yang pertama, tidak lama lagi.Ah, aku tidak sabar menantikan kelahiran bayi mungil yang diperkirakan berjenis kelamin perempuan.Di tengah kesibukanku menelaah berkas-berkas di meja, dering ponselku mema
Naura sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP, ruangan dengan fasilitas yang lengkap. Satu ranjang pasien berukuran besar yang di sampingnya ada sebuah nakas. Sofa panjang dan meja kaca di depannya, lemari besar tempat menyimpan pakaian, sebuah televisi layar datar yang menempel di dinding, juga lemari pendingin berisi makanan, ikut memenuhi ruangan yang luas dan berkelas itu. Kamar rumah sakit bak hotel. Ruangan itu pun dilengkapi kamar mandi yang super bersih. Saat memasuki ruangan terasa dingin, karena air conditioner yang menyala. Aku pikir, Naura akan merasa nyaman selama proses pemulihan pasca operasi.Kondisi Naura mulai membaik. Namun, aku belum bisa meninggalkannya sendiri, karena baik ibuku ataupun mamanya Naura belum datang ke rumah sakit untuk menggantikanku. Jika sudah ada mereka yang menjaganya, aku bisa pulang ke rumah untuk berganti pakaian.Aku dan Naura tengah berada di ruang rawat itu. Saat ini, kami sangat menikmati peran baru kami menjadi orang tua. N
Bugh. Tubuhku tersungkur ke lantai setelah seseorang mendaratkan pukulan ke wajahku. Aku menoleh pada sosok yang dengan cepat menarik tubuhku hingga aku berdiri. "Kau memang laki-laki yang tidak punya perasaan, Yusuf! Sampai kapan kau terus menyakiti Nadhira? Kalau kau sudah tidak menginginkannya lagi, lebih baik lepaskan dia!" bentaknya sambil mencengkram kerah kemejaku. "Adrian!" ucapku sambil menahan cengkraman tangannya, mencoba membuat perlawanan pada lelaki itu. Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba ia marah dan mengapa juga ia ada di rumahku saat aku tidak ada? "Apa maksudmu, Adrian? Mengapa kau tiba-tiba memukulku? Sedang apa kau di sini? Mana Nadhira?" tanyaku sambil melihat ke dalam mencari Nadhira. "Untuk apa kau menanyakan dia? Bukankah kau sudah tidak peduli padanya?" Adrian malah balik bertanya. "Aku suaminya, tentu saja aku peduli pada istriku dan aku ke sini untuk membawa Nadhira ke dokter karena dia sedang sakit
Aku masih berada di klinik bersalin tidak jauh rumahku. Bi Ira menemaniku yang sedang menunggu Andrian mengurus administrasi pembayaran selama aku dirawat semalam di klinik tersebut. Karena tidak ingin berlama-lama di tempat itu, aku pun meminta Adrian agar mengurus kepulanganku. Setelah keadaanku membaik, bidan yang menanganiku, mengizinkan aku untuk pulang. Kebetulan sekali, kemarin Adrian ke rumahku. Entah mau apa lelaki itu datang ke rumah dan aku belum menanyakan maksud kedatangannya. Namun, itu tidak penting bagiku. Aku bersyukur, Adrian datang dan menolongku di saat yang tepat. Ia begitu panik ketika melihatku kesakitan dan wajahku yang mulai pucat. Dengan cepat, ia membawaku ke klinik terdekat. Setelah Adrian selesai mengurus biaya administrasi persalinanku, kamipun segera pulang. Aku dan Bi Ira sudah berada di mobil Adrian. Wanita paruh baya itu dengan setia menemani dan menjagaku. Sepanjang jalan, ia menenangkan diriku dan memint
Aku terbangun saat sorot mentari menerpa hangat di wajahku. Rupanya hari sudah pagi. Kulihat jendela kamar sudah terbuka. Apa sejak kemarin jendela itu dibiarkan terbuka atau memang laki-laki itu yang sudah membukanya. Entahlah, aku tidak ingat. Karena saat ia ikut berbaring di sisiku semalam, aku langsung terlelap dalam pelukannya.Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tidak kutemukan sosok yang sedang aku benci di kamar. Aku menegakkan tubuh perlahan karena kondisiku yang masih lemah. Aku turun dari ranjang kemudian berjalan gontai ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Tak lama, aku sudah rapi dalam balutan gamis dan kerudung bergo berwarna hitam. Aku melihat wajah dari pantulan cermin di depanku. Wajahku sangat pucat dengan lingkaran hitam di sekeliling mataku, karena kurang tidur. Kelopak mataku pun bengkak karena seringnya aku menangis.Aku masih sedih karena kehilangan anak yang belum sempat aku lahirkan. Namun, aku teringat akan perka
Beberapa hari berlalu. Kondisi kesehatanku mulai membaik. Hari ini, aku melakukan check up ke rumah sakit bersama Bi Ira. Dokter yang memeriksaku berpesan agar aku beristirahat dan jangan melakukan aktivitas fisik yang membuat aku lelah. Aku sudah bangkit dan tidak berlarut dalam kesedihan. Kegiatanku hanya di rumah saja, karena aku masih dalam masa cuti mengajar. Aku diberi cuti hingga kondisiku benar-benar pulih. Mas Yusuf memintaku untuk resign dari pekerjaanku. Ia tidak ingin aku kelelahan. Namun, sayang rasanya bila aku harus berhenti, karena menjadi guru adalah cita-citaku. Hubunganku dengan Mas Yusuf mulai membaik, walau aku belum sepenuhnya memaafkan dia. Beberapa hari kemarin ia mengurusku, tapi sekarang ia sedang berada di rumah Naura. Aku maklum, mungkin dia ingin bersama anaknya. Kalaupun Mas Yusuf harus bersamaku, hanya kesepian yang dirasakannya. Tidak ada tangis dan celoteh bayi di rumah karena aku belum bisa memberinya
Alhamdulillah... akhirnya rampung juga novel Suami Bersama. Terima kasih atas dukungan kakak-kakak yang sudah menyempatkan waktu dan membeli koin untuk membaca ceritaku sampai akhir. Semoga Allah menggantinya dengan rezeki yang lebih banyak lagi. Aamiin... Dukungan, vote, dan komen positif yang kalian berikan seperti penyemangat buatku. Sehingga aku semakin bersemangat untuk melanjutkan cerita. Mohon maaf bila dalam penulisan cerita ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Aku juga selalu menggantung cerita dan lama tidak menulis, karena pekerjaan di dunia nyata yang sangat banyak. Moga kalian suka dengan cerita yang aku suguhkan. Ambil yang baiknya dan buang yang jelek. Biar authornya gak dosa. Karena apa yang kita perbuat, akan dimintain pertanggungjawaban kelak. Semoga ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari kisah ini. Sekali lagi terima kasih readers tercinta. Sampai jumpa di novelku berikutnya. Salam dan peluk jauh d
Adrian sudah menyiapkan tiket pesawat untuk pergi berbulan madu bersama Nadhira. Turki adalah tujuan wisata yang dipilihnya karena Nadhira pernah berkata padanya bahwa ia ingin sekali pergi ke sana. Tidak hanya keindahan alamnya yang menjadi daya tarik para wisatawan untuk pergi ke sana, di negara itu juga banyak tempat bersejarah yang wajib untuk dikunjungi. Nadhira sangat suka mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Dan sekarang waktunya Adrian mewujudkan impian sang istri tercinta untuk pergi ke sana.Pagi ini mereka sudah bersiap pergi ke bandara. Nadhira tampak bersedih saat akan pamit pada ayah dan ibu mertuanya."Bu, titip Andra ya," ucap Nadhira sambil memeluk ibu mertuanya."Kamu tenang saja, Nak. Ibu dan Bapak akan menjaga anakmu dengan baik," balas Bu Widya, ibu mertuanya.Tak lama, Nadhira melerai pelukan lalu mengusap air matanya. Nadhira menangis karena inilah kali pertama ia akan meninggalkan Andra jauh. Namun, ia tidak khawatir l
Beberapa hari berlalu ....Setelah resmi menjadi istri Adrian dan berganti status sebagai nyonya Mahesa, Nadhira ikut bersama suaminya pindah ke Jakarta. Pagi-pagi sekali, ia menyiapkan barang-barangnya dan kebutuhan Andra ke koper. Setelah itu, ia pun pamit pada ayahnya."Ayah, aku pamit ya. Jaga diri Ayah baik-baik. Jaga kesehatan Ayah," ucap Nadhira dengan derai air mata. Dipeluknya sang ayah dengan erat. Rasanya berat sekali meninggalkan lelaki itu. Apalagi di usia Abah Abdur yang semakin senja. "Aku janji akan sering-sering ke sini menjenguk ayah," ucapnya lagi sambil terisak."Iya, Nak. Kamu tidak usah mengkhawatirkan ayah. Sekarang Ayah tenang, kamu udah ada yang jagain. Berbahagialah bersama suamimu di rumahmu yang baru. Ingat, jadilah istri yang baik untuk suamimu," sahut Abah Abdur. Lelaki itu tak kuasa menahan tangisnya.Anak perempuan satu-satunya yang ia miliki, harus ia relakan untuk laki-laki lain. Ia tidak bisa mencegah kepergian san
Acara resepsi yang diadakan sejak siang hari hingga menjelang Maghrib telah selesai digelar. Keluarga Adrian pun sudah pulang dari rumah Nadhira. Hanya Adrian yang masih berada di rumah itu karena sekarang ia sudah resmi menjadi suami Nadhira. Pernikahan di kampung tidak seperti pernikahan di kota. Suasana hajatan di sini masih terlihat ramai, walau deretan acara telah selesai dilaksanakan dan hari mulai malam. Tamu masih saja berdatangan. Mereka baru menyempatkan diri datang untuk memenuhi undangan setelah pulang dari bekerja. Kerabat Nadhira yang datang dari jauh memilih menginap dan mereka akan pulang esok hari. Adrian maklum, karena memang saudara dari istrinya itu jarang sekali menyambangi rumah kediaman mertuanya. Mereka baru berkumpul di saat ada acara-acara khusus saja, seperti hari ini. *** Adrian tengah bersama saudara-saudara istrinya. Lelaki itu dikerumuni oleh adik-adik sepupu dan keponakan dari sang istri. Ia diajak bermain adu panco kar
"Saya terima nikah dan kawinnya Nadhira Putri binti Abdurrahman dengan Mas kawin ... " "Adrian...!" Kalimat Adrian terputus saat suara ibu memanggilnya. Suara sang ibu terdengar menggelegar hingga ke kamar mandi Adrian. Saat ini Adrian sedang berada di dalam kamar mandi. Ia berdiri di depan wastafel dengan menghadap cermin tengah menghapal bacaan ijab kabul yang akan ia ucapkan saat pernikahannya nanti. Lelaki itu belum bersiap juga. Ia masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. "Aaah ... ibu mengganggu saja. Aku harus menghapal kalimat itu, supaya lancar nanti saat ijab kabul," keluhnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Adrian, cepat sedikit! Kamu lagi ngapain sih, di dalam, lama banget? Ini udah jam berapa? Nanti kita terlambat sampai di sana!" seru Bu Widya lagi dari depan pintu kamar Adrian. "Iya, Bu, sebentar lagi aku keluar!" sahut Adrian dengan sedikit berteriak agar sang i
Adrian dan Nadhira sedang melakukan fitting baju pengantin di salah satu butik ternama di Jakarta. Sebuah gaun pengantin model kebaya berwarna putih dengan taburan payet, yang panjangnya menjuntai dan menutupi seluruh tubuhnya hingga kaki dan dipadukan dengan kain kebaya dengan motif yang mewah dan elegan, sangat pas di tubuh Nadhira yang sedikit berisi. Nadhira tampak cantik dalam balutan kebaya pengantin yang diserasikan dengan kerudung berwarna senada.Semua persiapan pernikahan lainnya sudah diurus oleh keluarga Adrian. Mulai dari dekorasi, catering, sampai undangan pernikahan. Pernikahan mereka akan digelar secara meriah dan dilaksanakan di rumah mempelai wanita.Sebenarnya, Nadhira ingin pernikahan yang sederhana saja yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Namun, Adrian menolak. Dan itu sempat membuat keduanya bertengkar.Mana mungkin Adrian memberikan yang sederhana saja untuk seorang wanita yang begitu spesial di hatinya. Bahkan sebuah cinc
Tiba di hari lamaran. Adrian bersama keluarganya sedang dalam perjalanan menuju rumah Nadhira untuk melakukan lamaran malam itu. Sejumlah barang seserahan seperti pakaian, alas kaki berupa sepatu dan sandal, tas branded, sampai perlengkapan make up sudah memenuhi kabin belakang mobil yang dikendarai Hadi. Padahal Nadhira tidak meminta semua itu. Namun, ini sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian masyarakat dalam acara lamaran. Selain itu, orang tua Adrian juga sudah menyiapkan barang berharga berupa seperangkat perhiasan emas untuk calon menantunya sebagai hadiah. Belum lagi sejumlah uang yang dipersiapkan Adrian untuk calon istrinya. Adrian yang duduk di kursi penumpang samping Hadi tampak gugup sambil memainkan ponselnya. Baru saja ia mengirim pesan pada Nadhira. Lelaki itu kemudian melihat ke arah kaca spion di depannya untuk mengecek penampilannya. "Gimana, Di, penampilan Masmu? Udah keren, kan?" tanyanya pada Hadi sambil merapikan tatanan rambutnya.
Hari itu juga Adrian pulang dari klinik. Nadhira tidak ikut mengantar Adrian ke rumahnya karena hari sudah hampir malam. Selain itu juga, ia harus segera pulang untuk memberi tahu Andra bahwa ayahnya baik-baik saja. Agar anak itu tidak khawatir. Sekarang mereka sedang berada di depan klinik. "Nadhira, kamu ikut kami saja pulangnya. Ini sudah malam," ajak Bu Widya saat mereka akan pulang. "Gak usah, Bu, terima kasih. Aku bawa motor," tolak Nadhira halus. Sebenarnya, ia merasa canggung dengan Bu Widya bila harus pulang bersama. Lagipula jarak klinik ke rumahnya tidak begitu jauh. "Beneran gak apa-apa?" tanya Bu Widya memastikan. "Gak apa-apa, Bu," jawab Nadhira sambil mengulas senyum. "Ya udah, ibu duluan ya," ucap Bu Widya kemudian masuk ke mobil. "Iya, Bu, hati-hati," sahut Nadhira. Ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Sikap wanita paruh baya itu berubah drastis terhadapnya. Lebih ramah dibanding saat
Nadhira tersentak saat seseorang menghubunginya dan memberi tahu bahwa Adrian kecelakaan. Baru saja siang tadi, lelaki itu mengantarkan ia dan anaknya pulang dari rumah sakit lalu pergi lagi dengan tergesa-gesa. Dan tiba-tiba, ia mendapat kabar buruk bahwa lelaki itu kecelakaan. Dengan perasaan cemas, ia bergegas pergi ke klinik untuk mengecek keadaan Adrian. Karena orang yang meneleponnya memberi tahu bahwa Adrian ada di klinik dekat pertigaan kampung, tidak jauh tempat tinggalnya. Sebelumnya, ia pamit pada ayah juga anaknya. Mereka tidak kalah terkejut saat mendengar kabar buruk itu. Terutama Andra, anak kecil itu menangis saat mendengar ayahnya kecelakaan. Nadhira menenangkan Andra sebentar, sebelum akhirnya pergi ke klinik. Ia meminta agar Andra berdoa untuk ayah angkatnya. "Bunda mau lihat Ayah di klinik, kamu doakan Ayah Rian agar dia baik-baik saja ya, Nak," ucap Nadhira. "Iya, Bunda," sahut Andra terisak. Nadhira pe