Sepulang Mas Yusuf dari Bandung, ia langsung memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya sudah ia dengar jawabannya. Saat aku meluruskan pernyataan Bu Lucy, ibu mertuanya. Ia masih saja menanyakan tentang hubunganku dengan Adrian. Padahal ia tahu, kami hanya berteman.
"Aku gak ada apa-apa sama Adrian, Mas!" tegasku pada Mas Yusuf.
"Bohong!" bentaknya. Manik mata yang biasanya teduh, kini memanas menatapku.
Ia benar-benar sudah termakan omongan ibu mertuanya atau mungkin istrinya juga. Sejak pertama bertemu denganku, ibunya Naura memang tidak menyukaiku. Sehingga ia menyebarkan rumor yang tidak sedap tentang aku dan Adrian kepada para tamu. Dan Mas Yusuf percaya saja dengan semua itu.
"Mas, kamu percaya yang Bu Lucy katakan daripada aku, istri kamu sendiri? Aku ini selalu ada bersama kamu. Mengapa kamu lebih percaya sama orang yang tinggal jauh di sana?" tanyaku.
"Bagaimana aku bisa percaya sama kamu, Nadhira? Kamu sendiri tidak
Beberapa bulan berlalu. Hubunganku dengan Mas Yusuf mengalami pasang surut. Setelah pertengkaran hebat siang itu sepulang suamiku dari Bandung, kami tidak saling bicara selama beberapa hari. Ia kembali ke rumah, tapi aku tidak menemuinya. Aku lebih banyak mengurung diri di kamar, sementara ia tidur di kamar lain. Aku dan Mas Yusuf seperti dua orang asing yang tinggal dalam satu atap. Walaupun begitu, aku masih menjalankan kewajibanku sebagai istri, menyiapkan makan, pakaian, dan memenuhi segala kebutuhannya. Selama pernikahan, aku banyak menerima ketidakadilan dalam rumah tanggaku bersamanya, tetapi aku memilih bertahan dan memaafkan lelaki itu. Biarlah orang menganggap diriku ini bodoh, karena masih mau mempertahankan pernikahan yang sudah tidak sehat sejak awal. Sejak kemunculan Naura di kehidupan kami ditambah sosok baru dalam hidupnya, Mas Yusuf semakin banyak berubah. Namun, ia tidak pernah mau mengakui perubahan sikapnya itu. Memang susah berdebat dengan
Aku masih melakukan aktivitas mengajar, setelah meminta pengertian Mas Yusuf, agar aku bisa menyelesaikan tugas sampai akhir tahun pelajaran. Sekitar tiga bulan lagi dan ia pun menyetujuinya. Aku sudah rapi dengan pakaian dinasku. Hari ini aku tidak mengajar, tetapi melaksanakan tugas luarku yaitu mengawas ruang ujian di sekolah lain. Pelaksanaan Ujian Nasional diselenggarakan di sekolah-sekolah menengah atas secara serempak selama tiga hari. Selama tiga hari itu, siswa kelas XII berjuang untuk mendapatkan kelulusan mereka setelah tiga tahun belajar di sekolah. Tiga hari itu juga menjadi penentuan masa depan mereka untuk memasuki jenjang yang lebih tinggi. Ini adalah hari terakhirku mengawas Ujian Nasional. Aku baru tahu ternyata sekolah tempatku mengawas tidak jauh dari kantor Adrian setelah ia memberitahuku. Mungkin setelah melaksanakan tugasku ini, aku bisa mampir ke kantornya. "Pagi, Mas!" sapaku pada Mas Yusuf yang baru saja turun. Ia sudah
Pagi ini, aku sudah rapi dengan pakaian kerja. Aku menuruni tangga hendak bergegas pergi. Saat ingin menghindarinya, panggilan Nadhira mengalihkanku. Aku segera menghampirinya."Pagi, Mas!" sapanya ramah dengan senyum kemunafikan. Tangannya sibuk menyiapkan sarapan untukku. Dan wanita itu juga sudah rapi dengan pakaian dinasnya, bersiap untuk berangkat.Aku duduk di kursi, sedangkan Nadhira bangkit dari duduknya. Ia sudah selesai sarapan."Aku berangkat, ya, Mas," pamitnya, lalu mencium tanganku."Bekas sarapannya, tinggalin aja! Nanti Bi Ira yang beresin," ucapnya lagi sebelum akhirnya ia pergi.Aku menangkap ada yang berbeda pada Nadhira. Banyak perubahan dari sikap istriku itu. Ia mulai berani membantah dan tidak menuruti permintaanku akhir-akhir ini. Aku menyuruhnya berhenti bekerja. Namun, Nadhira bersikukuh menolaknya dan tetap melakukan aktivitas mengajarnya. Ia bilang hanya sampai akhir tahun saja ia mengajar. Sekitar tiga bulan lagi
Setelah percintaan yang penuh pemaksaan itu, Nadhira menangis dan duduk sendiri di atas kasur, sementara aku duduk di lantai sembari bersandar pada sisi ranjang dan membelakanginya.Aku telah berlaku kasar pada istriku, tapi semua itu karena rasa cemburu pada lelaki yang dekat dengannya."Maafkan aku!" Hanya kalimat itu yang mampu aku ucapkan."Maafkan aku, Nadhira!" ucapku lagi. Aku menyesal setelah apa yang aku perbuat padanya.Sesaat hening menyelimuti kami. Hanya isak tangis istriku yang memilukan terdengar nyaring memenuhi ruangan bernuasa kelabu. Cahaya temaram dari lampu di atas nakas juga layar televisi yang sedari tadi menyala, memantul di wajah Nadhira yang basah. Aku kembali melakukan kesalahan dan menyakitinya.Aku belum beranjak dari tempat dudukku. Sesekali aku menoleh ke arahnya. Namun, tak berani netra ini menatap sorot matanya yang sendu. Aku malu karena telah berlaku kasar padanya. Aku terlalu emosi, sehingga tidak bisa berp
"Aargh!" aku mengerang merasakan sekujur tubuh yang sakit juga kepala terasa pusing. Saat mata terbuka, kulihat langit-langit berwarna putih. Ini bukan kamarku. Bau obat menyeruak di hidung. Seketika membuatku semakin mual. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Rupanya ini di rumah sakit. Apa yang terjadi padaku? Cairan infus nampak menggantung di tiang sisi tempat tidur dan terhubung ke pergelangan tanganku. Aku merasakan sesuatu menindih kakiku di bawah sana. Kulirik ke samping kanan ranjang, rupanya seorang laki-laki tengah tertidur di dekatku dengan menelungkupkan kepala, sedangkan satu tangannya berada di atas kakiku. "Aargh!" Aku mengerang kembali. Sontak lelaki yang mengenakan kaos putih itu terbangun. Ia bangkit dan menghampiriku yang terbaring lemah. "Sayang," panggilnya lembut seraya memegang tanganku. "Syukurlah kau sudah sadar. Beri tahu aku, mana yang sakit?" tanyanya khawatir. Lelaki itu begitu dekat, hingga hembusa
Aku sudah tidak mengajar lagi. Saat ini kegiatanku hanya di rumah saja. Tidak ada kesibukan selain berdiam diri sambil menikmati acara favorit di televisi atau berselancar di dunia maya, melihat-lihat postingan teman-temanku di akun media sosial mereka."Ah, enak sekali jadi mereka, bisa bekerja dan keluar rumah," gumamku sendiri sembari jemari ini asyik menggeser layar ponsel.Seperti yang kulihat pada postingan Rania, rekan mengajarku dulu. Ia mengunggah kegiatan pentas seni yang diadakan sekolah. Kegiatan itu diselenggarakan setiap akhir tahun pelajaran untuk menampilkan bakat anak-anak muridnya, seperti menari, bernyanyi, puisi, atau band. Seharusnya, aku juga ikut dalam kegiatan tersebut. Namun, karena sudah resign, aku hanya bisa menikmati acara itu melalui video yang Rania unggah di akun medsosnya.Keputusan untuk tetap bersama lelaki arogan itu, ternyata salah. Aku seperti terkurung dalam sangkar. Ruang gerakku terbatas, hanya sekita
"Ayah," panggilku. Lelaki paruh baya itupun menoleh. "Nadhira, putriku," sahutnya sembari berdiri. Aku langsung berhambur memeluk lelaki yang usianya semakin senja itu dengan penuh haru. "Kenapa kamu pulang sendiri, Nak? Ke mana suamimu?" tanya ayah setelah melerai pelukannya. Kuhapus jejak air mata di pipiku, lalu menjawab, "Dia sedang ada pekerjaan, Yah. Aku sendiri di rumah. Jadi, aku mau menginap di rumah Ayah. Aku kangen sama ayah." Aku kembali memeluknya dan ia menyambutku penuh hangat. Tenang sekali berada dalam pelukan cinta pertamaku itu. Tak lama, ayah mengurai pelukannya. "Anak Ayah udah gede masih manja aja. Kamu itu ... sebentar lagi mau punya anak," ujarnya seraya mencubit pipiku. "Ayah...." Aku mengusap pipiku yang sakit karena cubitannya. Selain sakit, ternyata pipiku juga kotor akibat tanah dari sarung tangan karetnya. "Pipiku jadi kotor, kan," ujarku lagi. Ayah
Aku terbangun dari tidurku. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tidak kutemukan ayah dan Bi Asih pagi itu. Kemana mereka? Pandanganku lalu tertuju pada sosok laki-laki yang tengah tertidur di sofa dengan tangan menyilang dan kaki di tekuk. Sofa itu rupanya terlalu kecil untuk tubuhnya. Lagi-lagi, lelaki itu ada di saat aku membutuhkan pertolongan. Diakah malaikat penolong yang dikirim Tuhan padaku? Aku banyak berhutang budi padanya. Bahkan sepulang ia bekerja, lelaki itu menyempatkan diri ikut menungguiku di rumah sakit bersama ayah dan Bi Asih. Dia sangat baik. Sampai kapanpun aku tidak akan bisa membalas semua kebaikannya. Awal aku mengenal Adrian yaitu saat aku dan seorang teman tengah mencari buku referensi di perpustakaan untuk tugas kuliah kami. Saat itu, aku kesulitan mengambil buku yang sedang aku cari karena letaknya berada di rak bagian atas dan tidak terjangkau olehku. Aku melompat untuk mendapatkannya. Namun, teta
Alhamdulillah... akhirnya rampung juga novel Suami Bersama. Terima kasih atas dukungan kakak-kakak yang sudah menyempatkan waktu dan membeli koin untuk membaca ceritaku sampai akhir. Semoga Allah menggantinya dengan rezeki yang lebih banyak lagi. Aamiin... Dukungan, vote, dan komen positif yang kalian berikan seperti penyemangat buatku. Sehingga aku semakin bersemangat untuk melanjutkan cerita. Mohon maaf bila dalam penulisan cerita ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Aku juga selalu menggantung cerita dan lama tidak menulis, karena pekerjaan di dunia nyata yang sangat banyak. Moga kalian suka dengan cerita yang aku suguhkan. Ambil yang baiknya dan buang yang jelek. Biar authornya gak dosa. Karena apa yang kita perbuat, akan dimintain pertanggungjawaban kelak. Semoga ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari kisah ini. Sekali lagi terima kasih readers tercinta. Sampai jumpa di novelku berikutnya. Salam dan peluk jauh d
Adrian sudah menyiapkan tiket pesawat untuk pergi berbulan madu bersama Nadhira. Turki adalah tujuan wisata yang dipilihnya karena Nadhira pernah berkata padanya bahwa ia ingin sekali pergi ke sana. Tidak hanya keindahan alamnya yang menjadi daya tarik para wisatawan untuk pergi ke sana, di negara itu juga banyak tempat bersejarah yang wajib untuk dikunjungi. Nadhira sangat suka mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Dan sekarang waktunya Adrian mewujudkan impian sang istri tercinta untuk pergi ke sana.Pagi ini mereka sudah bersiap pergi ke bandara. Nadhira tampak bersedih saat akan pamit pada ayah dan ibu mertuanya."Bu, titip Andra ya," ucap Nadhira sambil memeluk ibu mertuanya."Kamu tenang saja, Nak. Ibu dan Bapak akan menjaga anakmu dengan baik," balas Bu Widya, ibu mertuanya.Tak lama, Nadhira melerai pelukan lalu mengusap air matanya. Nadhira menangis karena inilah kali pertama ia akan meninggalkan Andra jauh. Namun, ia tidak khawatir l
Beberapa hari berlalu ....Setelah resmi menjadi istri Adrian dan berganti status sebagai nyonya Mahesa, Nadhira ikut bersama suaminya pindah ke Jakarta. Pagi-pagi sekali, ia menyiapkan barang-barangnya dan kebutuhan Andra ke koper. Setelah itu, ia pun pamit pada ayahnya."Ayah, aku pamit ya. Jaga diri Ayah baik-baik. Jaga kesehatan Ayah," ucap Nadhira dengan derai air mata. Dipeluknya sang ayah dengan erat. Rasanya berat sekali meninggalkan lelaki itu. Apalagi di usia Abah Abdur yang semakin senja. "Aku janji akan sering-sering ke sini menjenguk ayah," ucapnya lagi sambil terisak."Iya, Nak. Kamu tidak usah mengkhawatirkan ayah. Sekarang Ayah tenang, kamu udah ada yang jagain. Berbahagialah bersama suamimu di rumahmu yang baru. Ingat, jadilah istri yang baik untuk suamimu," sahut Abah Abdur. Lelaki itu tak kuasa menahan tangisnya.Anak perempuan satu-satunya yang ia miliki, harus ia relakan untuk laki-laki lain. Ia tidak bisa mencegah kepergian san
Acara resepsi yang diadakan sejak siang hari hingga menjelang Maghrib telah selesai digelar. Keluarga Adrian pun sudah pulang dari rumah Nadhira. Hanya Adrian yang masih berada di rumah itu karena sekarang ia sudah resmi menjadi suami Nadhira. Pernikahan di kampung tidak seperti pernikahan di kota. Suasana hajatan di sini masih terlihat ramai, walau deretan acara telah selesai dilaksanakan dan hari mulai malam. Tamu masih saja berdatangan. Mereka baru menyempatkan diri datang untuk memenuhi undangan setelah pulang dari bekerja. Kerabat Nadhira yang datang dari jauh memilih menginap dan mereka akan pulang esok hari. Adrian maklum, karena memang saudara dari istrinya itu jarang sekali menyambangi rumah kediaman mertuanya. Mereka baru berkumpul di saat ada acara-acara khusus saja, seperti hari ini. *** Adrian tengah bersama saudara-saudara istrinya. Lelaki itu dikerumuni oleh adik-adik sepupu dan keponakan dari sang istri. Ia diajak bermain adu panco kar
"Saya terima nikah dan kawinnya Nadhira Putri binti Abdurrahman dengan Mas kawin ... " "Adrian...!" Kalimat Adrian terputus saat suara ibu memanggilnya. Suara sang ibu terdengar menggelegar hingga ke kamar mandi Adrian. Saat ini Adrian sedang berada di dalam kamar mandi. Ia berdiri di depan wastafel dengan menghadap cermin tengah menghapal bacaan ijab kabul yang akan ia ucapkan saat pernikahannya nanti. Lelaki itu belum bersiap juga. Ia masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. "Aaah ... ibu mengganggu saja. Aku harus menghapal kalimat itu, supaya lancar nanti saat ijab kabul," keluhnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Adrian, cepat sedikit! Kamu lagi ngapain sih, di dalam, lama banget? Ini udah jam berapa? Nanti kita terlambat sampai di sana!" seru Bu Widya lagi dari depan pintu kamar Adrian. "Iya, Bu, sebentar lagi aku keluar!" sahut Adrian dengan sedikit berteriak agar sang i
Adrian dan Nadhira sedang melakukan fitting baju pengantin di salah satu butik ternama di Jakarta. Sebuah gaun pengantin model kebaya berwarna putih dengan taburan payet, yang panjangnya menjuntai dan menutupi seluruh tubuhnya hingga kaki dan dipadukan dengan kain kebaya dengan motif yang mewah dan elegan, sangat pas di tubuh Nadhira yang sedikit berisi. Nadhira tampak cantik dalam balutan kebaya pengantin yang diserasikan dengan kerudung berwarna senada.Semua persiapan pernikahan lainnya sudah diurus oleh keluarga Adrian. Mulai dari dekorasi, catering, sampai undangan pernikahan. Pernikahan mereka akan digelar secara meriah dan dilaksanakan di rumah mempelai wanita.Sebenarnya, Nadhira ingin pernikahan yang sederhana saja yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Namun, Adrian menolak. Dan itu sempat membuat keduanya bertengkar.Mana mungkin Adrian memberikan yang sederhana saja untuk seorang wanita yang begitu spesial di hatinya. Bahkan sebuah cinc
Tiba di hari lamaran. Adrian bersama keluarganya sedang dalam perjalanan menuju rumah Nadhira untuk melakukan lamaran malam itu. Sejumlah barang seserahan seperti pakaian, alas kaki berupa sepatu dan sandal, tas branded, sampai perlengkapan make up sudah memenuhi kabin belakang mobil yang dikendarai Hadi. Padahal Nadhira tidak meminta semua itu. Namun, ini sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian masyarakat dalam acara lamaran. Selain itu, orang tua Adrian juga sudah menyiapkan barang berharga berupa seperangkat perhiasan emas untuk calon menantunya sebagai hadiah. Belum lagi sejumlah uang yang dipersiapkan Adrian untuk calon istrinya. Adrian yang duduk di kursi penumpang samping Hadi tampak gugup sambil memainkan ponselnya. Baru saja ia mengirim pesan pada Nadhira. Lelaki itu kemudian melihat ke arah kaca spion di depannya untuk mengecek penampilannya. "Gimana, Di, penampilan Masmu? Udah keren, kan?" tanyanya pada Hadi sambil merapikan tatanan rambutnya.
Hari itu juga Adrian pulang dari klinik. Nadhira tidak ikut mengantar Adrian ke rumahnya karena hari sudah hampir malam. Selain itu juga, ia harus segera pulang untuk memberi tahu Andra bahwa ayahnya baik-baik saja. Agar anak itu tidak khawatir. Sekarang mereka sedang berada di depan klinik. "Nadhira, kamu ikut kami saja pulangnya. Ini sudah malam," ajak Bu Widya saat mereka akan pulang. "Gak usah, Bu, terima kasih. Aku bawa motor," tolak Nadhira halus. Sebenarnya, ia merasa canggung dengan Bu Widya bila harus pulang bersama. Lagipula jarak klinik ke rumahnya tidak begitu jauh. "Beneran gak apa-apa?" tanya Bu Widya memastikan. "Gak apa-apa, Bu," jawab Nadhira sambil mengulas senyum. "Ya udah, ibu duluan ya," ucap Bu Widya kemudian masuk ke mobil. "Iya, Bu, hati-hati," sahut Nadhira. Ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Sikap wanita paruh baya itu berubah drastis terhadapnya. Lebih ramah dibanding saat
Nadhira tersentak saat seseorang menghubunginya dan memberi tahu bahwa Adrian kecelakaan. Baru saja siang tadi, lelaki itu mengantarkan ia dan anaknya pulang dari rumah sakit lalu pergi lagi dengan tergesa-gesa. Dan tiba-tiba, ia mendapat kabar buruk bahwa lelaki itu kecelakaan. Dengan perasaan cemas, ia bergegas pergi ke klinik untuk mengecek keadaan Adrian. Karena orang yang meneleponnya memberi tahu bahwa Adrian ada di klinik dekat pertigaan kampung, tidak jauh tempat tinggalnya. Sebelumnya, ia pamit pada ayah juga anaknya. Mereka tidak kalah terkejut saat mendengar kabar buruk itu. Terutama Andra, anak kecil itu menangis saat mendengar ayahnya kecelakaan. Nadhira menenangkan Andra sebentar, sebelum akhirnya pergi ke klinik. Ia meminta agar Andra berdoa untuk ayah angkatnya. "Bunda mau lihat Ayah di klinik, kamu doakan Ayah Rian agar dia baik-baik saja ya, Nak," ucap Nadhira. "Iya, Bunda," sahut Andra terisak. Nadhira pe