Aku memikirkan perkataan Rania saat di cafe kemarin. Kebetulan malam ini Mas Yusuf pulang ke rumahku, dan aku harus berbicara dengannya.
Aku sedang berdandan di depan meja rias di kamarku. Mematut penampilanku di depan kaca. Ku lirik jam di ponselku, waktu sudah menunjukkan pukul 16.45. Sebentar lagi Mas Yusuf pulang. Jadi, aku harus terlihat cantik saat menyambutnya nanti. Aku tidak boleh kalah cantik dari maduku.
Sambil menunggu suamiku pulang, aku merebahkan tubuhku di kasur. Aku menyalakan layar datar yang menempel di tembok. Jemariku asyik memencet remot mencari acara kesukaanku. Apalagi kalau bukan drama rumah tangga yang berbau bawang. Kadang drama yang aku tonton sama seperti kehidupanku. Aku terbawa suasana hingga meneteskan air mata karena merasakan penderitaan seorang istri yang dimadu oleh suaminya. Tapi, ah... aku tidak boleh lemah seperti tokoh utama itu.
Tiba-tiba, mataku terasa ngantuk. Aku mengerjapkan mata agar tidak tertidur karena me
Aku terbangun dari tidurku dan merasakan pening yang hebat di kepala. Akhir-akhir ini aku tidur larut dan tidak nyenyak. Saat adzan subuh berkumandang, aku bangun untuk menunaikan kewajibanku pada Tuhan, lalu kembali tertidur. Ternyata benar, tidur setelah subuh memang tidak baik bagi kesehatan. Badanku lemas dan kepalaku berat. Semalaman aku menangis mengingat kejadian pagi kemarin saat di cafe. Mas Yusuf tega sekali mengatakan obrolan tentang jatah hari yang kuminta katanya tidak penting. Ia marah karena aku mengajak Naura ketemuan, sehingga mengakibatkan perut istri mudanya itu sakit. Padahal Naura hanya pura-pura. Aku tahu dan maklum atas sikap Mas Yusuf kemarin. Ia terlalu posesif karena khawatir terjadi sesuatu pada anak dalam kandungan Naura. Anak yang ia idam-idamkan selama ini, yang belum bisa aku berikan. Tapi, seharusnya ia juga tahu bahwa Naura itu licik. "Sudah siang rupanya," ujarku seraya melihat ke arah jendela. Terlihat sinar mentari menyorot
Cukup lama aku tertidur di dalam kamar. Kepalaku masih terasa pusing, saat mencoba untuk bangun. Aku menyandarkan tubuhku di kepala ranjang agar kondisiku lebih baik. Ternyata beginilah rasanya hamil. Baru sehari saja, tubuhku sudah merasa lemas. Pantas saja Mas Yusuf begitu intens menemani Naura di awal kehamilan istri keduanya itu. Sekarang, aku mengerti setelah aku mengalaminya sendiri. Aku berharap Mas Yusuf ada bersamaku di saat seperti ini. Adrian bilang, menurut dokter yang berbicara dengannya tadi, ini biasa terjadi di tiga semester pertama masa kehamilan. Setelah itu, akan hilang dengan sendirinya. Beruntung ada Adrian yang menolongku saat aku pingsan di apotik tadi dan ia yang membawaku ke rumah sakit. Adrian memang selalu ada di saat aku membutuhkan pertolongan. Ia seperti berada di dekatku dan menolongku di saat yang tepat. Adrian? Apa lelaki itu sudah pulang? Atau... masih di ruang tamu menungguku bangun? "Kenapa aku bisa melupakan
Aku menyesali sikapku pada Nadhira. Tidak seharusnya aku meninggalkannya sendiri di cafe kemarin. Saat itu aku panik karena Naura merasakan sakit di perutnya. Sebagai suami yang belum berpengalaman ketika istrinya mengandung anak pertama mereka, tentunya aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan selain melarikannya ke rumah sakit. Aku khawatir dan takut terjadi sesuatu pada anak yang ada dalam kandungan Naura sehingga aku melampiaskan kemarahanku pada Nadhira. Kalau saja dia tidak mengajak Naura bertemu, pasti Naura akan baik-baik saja. Karena jika di rumah pun, istri keduaku itu sering mengeluh sakit dan selalu meneleponku agar cepat pulang. Aku pergi meninggalkan cafe dan segera membawa Naura ke rumah sakit. "Hahh...!" Aku menghela napas frustasi. Apa yang aku lakukan pada Nadhira kemarin? Aku merasa bersalah padanya. Bahkan aku sudah keterlaluan dengan membentaknya di depan umum dan meninggalnya sendiri di cafe. Nadhira pasti terluka karena s
Adrian pergi meninggalkanku setelah Nadhira siuman. Aku merasa bersalah padanya. Apa lagi yang bisa aku ucapkan pada Adrian selain kata maaf. Seharusnya aku berterima kasih padanya, karena ia telah menolong istriku saat aku tidak ada. Namun, aku malah memukulinya karena rasa cemburuku. Nadhira sudah lebih baik. Aku membawanya pulang dan saat ini ia sedang tidak ingin berbicara denganku. Aku mengerti dengan suasana hatinya saat ini dan aku tidak ingin mengganggunya. Kubiarkan ia menenangkan diri di dalam kamar. Setelah cukup lama, barulah aku ke kamar dan membawakan makanan untuknya. Hingga malam menjelang, ia belum mau makan. Aku khawatir akan kesehatannya juga janin yang dikandungnya. Ah... rasanya seperti mimpi. Akhirnya aku akan mempunyai anak dari Nadhira, istri pertamaku yang sangat aku cintai. "Sayang!" panggilku sambil membuka pintu dengan susah payah dan perlahan karena kedua tanganku membawa nampan yang di atasnya ada semangkuk bubur
"Saya duluan, ya, Bapak, Ibu," pamitku pada rekan-rekan seprofesiku. Mereka sedang asyik menikmati rujak yang dibelikan Rania untukku. Namun, aku hanya mencicipi sedikit saja karena tidak kuat dengan rasa pedasnya. "Hati-hati di jalan, Nad! Jaga baik-baik kandunganmu dan pelan-pelan bawa motornya!" Salah seorang seniorku, Bu Mira, mengingatkan. Rekan kerjaku di sekolah sudah tahu kalau aku sedang hamil. Untuk kabar gembira ini, tentu aku tidak menutupinya. "Iya," jawabku singkat lalu keluar ruangan. Aku baru saja selesai melaksanakan tugasku di sekolah. Hari ini acara pengajian walimatus shafar ibunya Mas Yusuf yang akan pergi umroh beberapa hari lagi. Aku memutuskan untuk langsung saja ke rumah ibu mertuaku sepulang sekolah siang ini. "Kamu mau kemana, Nad? Kok buru-buru?" tanya Rania saat kami berpapasan di pintu masuk ruang guru. "Aku mau ke rumah ibu mertuaku. Ada acara di sana," jawabku sambil berjalan ke lapangan parkir yang ber
Hari menjelang malam, kumandang adzan Maghrib sudah lewat beberapa menit lalu. Setelah solat, aku masih berada di dalam kamar mertuaku sedang memakai kerudung. Saat aku hendak keluar kamar, tiba-tiba kudengar obrolan ibu-ibu di luar kamar yang membicarakanku. "Kasihan, ya, Mbak Dira, harus dimadu sama suaminya. Padahal mereka nikah belum lama, loh. Malah sekarang istri muda suaminya lagi hamil, tapi Mbak Dira belum hamil juga," ucap salah seorang wanita. Aku berdiri sambil melihat mereka dari balik pintu yang sedikit terbuka. Mereka tengah duduk di lantai membentuk lingkaran dengan dus-dus kecil dan kue-kue di depannya. Kue-kue itu dikemas ke dalam dus kecil tersebut. Ada juga yang sedang mengemas nasi kotak ke dalam plastik kresek. Semua itu untuk bingkisan para tamu. "Iya, ya, kasihan," sahut yang lainnya. "Apa karena Mbak Dira belum hamil, jadi Mas Yusuf nikah lagi. Jangan-jangan Mbak Dira...." Wanita itu menggantung kalimatnya.
Aku masih belum percaya dengan apa yang dilakukan Naura padaku saat di dapur tadi. Saat ini, ia tengah duduk manis di sofa sambil memainkan ponsel dan tampak senyum-senyum sendiri. Entah apa yang ia lihat di layar ponselnya.Aku tengah membereskan ruangan yang baru saja dipakai untuk acara pengajian. Mas Yusuf membantuku menggulung karpet kemudian menyimpannya di kamar belakang. Para tetangga sudah pulang, karena mereka membantu sejak pagi. Jadi, kami dan saudara-saudara Mas Yusuf yang membereskan sisanya. Saat semuanya sudah rapi dan bersih, akupun ke kamar Bu Ranti, ibu mertuaku, untuk pamit pulang. Sebelum aku masuk, kuketuk pintu kamarnya yang sedikit terbuka.Tok! Tok!"Ibu, boleh aku masuk?" tanyaku meminta izin seraya menjebulkan kepalaku."Nadhira ... masuklah, Nak!" sahut ibu.Akupun segera masuk dan kulihat ia sedang sibuk memasukkan barang-barang bawaannya ke koper. Aku duduk di sisi tempat tidur dan ikut membantunya."Alham
"Non!" panggil Bi Ira yang baru saja dari luar. "Ya, Bi, ada apa?" sahutku. Bi Ira bergegas menghampiriku yang sedang menikmati sarapan. "Di depan sepertinya ada mobil Mas Adrian," kata Bi Ira seraya ibu jari menunjuk ke arah luar. "Adrian? Bukankah semalam dia sudah pulang?" gumanku dengan kerutan tercetak di dahi. "Ya, sudah, Bi, biar aku lihat," ucapku. Aku meletakkan roti sandwich yang baru kumakan setengah ke atas piring lalu bergegas keluar untuk melihatnya, sedangkan Bi Ira melanjutkan pekerjaannya di dapur setelah tadi ia keluar rumah untuk membuang sampah. Ternyata benar, Adrian menepati perkataannya semalam, ia datang menjemputku. Kulihat mobil Avan*a silver yang terparkir di depan pagar rumahku memang mobilnya. Kulirik jam di pergelangan tangan. Baru jam 6 lebih 10 menit, tapi dia sudah sampai di rumahku. Entah jam berapa dia berangkat? Padahal jarak rumahnya ke rumahku cukup jauh, belum lagi jalanan yang macet. Aku keluar p
Alhamdulillah... akhirnya rampung juga novel Suami Bersama. Terima kasih atas dukungan kakak-kakak yang sudah menyempatkan waktu dan membeli koin untuk membaca ceritaku sampai akhir. Semoga Allah menggantinya dengan rezeki yang lebih banyak lagi. Aamiin... Dukungan, vote, dan komen positif yang kalian berikan seperti penyemangat buatku. Sehingga aku semakin bersemangat untuk melanjutkan cerita. Mohon maaf bila dalam penulisan cerita ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Aku juga selalu menggantung cerita dan lama tidak menulis, karena pekerjaan di dunia nyata yang sangat banyak. Moga kalian suka dengan cerita yang aku suguhkan. Ambil yang baiknya dan buang yang jelek. Biar authornya gak dosa. Karena apa yang kita perbuat, akan dimintain pertanggungjawaban kelak. Semoga ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari kisah ini. Sekali lagi terima kasih readers tercinta. Sampai jumpa di novelku berikutnya. Salam dan peluk jauh d
Adrian sudah menyiapkan tiket pesawat untuk pergi berbulan madu bersama Nadhira. Turki adalah tujuan wisata yang dipilihnya karena Nadhira pernah berkata padanya bahwa ia ingin sekali pergi ke sana. Tidak hanya keindahan alamnya yang menjadi daya tarik para wisatawan untuk pergi ke sana, di negara itu juga banyak tempat bersejarah yang wajib untuk dikunjungi. Nadhira sangat suka mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Dan sekarang waktunya Adrian mewujudkan impian sang istri tercinta untuk pergi ke sana.Pagi ini mereka sudah bersiap pergi ke bandara. Nadhira tampak bersedih saat akan pamit pada ayah dan ibu mertuanya."Bu, titip Andra ya," ucap Nadhira sambil memeluk ibu mertuanya."Kamu tenang saja, Nak. Ibu dan Bapak akan menjaga anakmu dengan baik," balas Bu Widya, ibu mertuanya.Tak lama, Nadhira melerai pelukan lalu mengusap air matanya. Nadhira menangis karena inilah kali pertama ia akan meninggalkan Andra jauh. Namun, ia tidak khawatir l
Beberapa hari berlalu ....Setelah resmi menjadi istri Adrian dan berganti status sebagai nyonya Mahesa, Nadhira ikut bersama suaminya pindah ke Jakarta. Pagi-pagi sekali, ia menyiapkan barang-barangnya dan kebutuhan Andra ke koper. Setelah itu, ia pun pamit pada ayahnya."Ayah, aku pamit ya. Jaga diri Ayah baik-baik. Jaga kesehatan Ayah," ucap Nadhira dengan derai air mata. Dipeluknya sang ayah dengan erat. Rasanya berat sekali meninggalkan lelaki itu. Apalagi di usia Abah Abdur yang semakin senja. "Aku janji akan sering-sering ke sini menjenguk ayah," ucapnya lagi sambil terisak."Iya, Nak. Kamu tidak usah mengkhawatirkan ayah. Sekarang Ayah tenang, kamu udah ada yang jagain. Berbahagialah bersama suamimu di rumahmu yang baru. Ingat, jadilah istri yang baik untuk suamimu," sahut Abah Abdur. Lelaki itu tak kuasa menahan tangisnya.Anak perempuan satu-satunya yang ia miliki, harus ia relakan untuk laki-laki lain. Ia tidak bisa mencegah kepergian san
Acara resepsi yang diadakan sejak siang hari hingga menjelang Maghrib telah selesai digelar. Keluarga Adrian pun sudah pulang dari rumah Nadhira. Hanya Adrian yang masih berada di rumah itu karena sekarang ia sudah resmi menjadi suami Nadhira. Pernikahan di kampung tidak seperti pernikahan di kota. Suasana hajatan di sini masih terlihat ramai, walau deretan acara telah selesai dilaksanakan dan hari mulai malam. Tamu masih saja berdatangan. Mereka baru menyempatkan diri datang untuk memenuhi undangan setelah pulang dari bekerja. Kerabat Nadhira yang datang dari jauh memilih menginap dan mereka akan pulang esok hari. Adrian maklum, karena memang saudara dari istrinya itu jarang sekali menyambangi rumah kediaman mertuanya. Mereka baru berkumpul di saat ada acara-acara khusus saja, seperti hari ini. *** Adrian tengah bersama saudara-saudara istrinya. Lelaki itu dikerumuni oleh adik-adik sepupu dan keponakan dari sang istri. Ia diajak bermain adu panco kar
"Saya terima nikah dan kawinnya Nadhira Putri binti Abdurrahman dengan Mas kawin ... " "Adrian...!" Kalimat Adrian terputus saat suara ibu memanggilnya. Suara sang ibu terdengar menggelegar hingga ke kamar mandi Adrian. Saat ini Adrian sedang berada di dalam kamar mandi. Ia berdiri di depan wastafel dengan menghadap cermin tengah menghapal bacaan ijab kabul yang akan ia ucapkan saat pernikahannya nanti. Lelaki itu belum bersiap juga. Ia masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. "Aaah ... ibu mengganggu saja. Aku harus menghapal kalimat itu, supaya lancar nanti saat ijab kabul," keluhnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Adrian, cepat sedikit! Kamu lagi ngapain sih, di dalam, lama banget? Ini udah jam berapa? Nanti kita terlambat sampai di sana!" seru Bu Widya lagi dari depan pintu kamar Adrian. "Iya, Bu, sebentar lagi aku keluar!" sahut Adrian dengan sedikit berteriak agar sang i
Adrian dan Nadhira sedang melakukan fitting baju pengantin di salah satu butik ternama di Jakarta. Sebuah gaun pengantin model kebaya berwarna putih dengan taburan payet, yang panjangnya menjuntai dan menutupi seluruh tubuhnya hingga kaki dan dipadukan dengan kain kebaya dengan motif yang mewah dan elegan, sangat pas di tubuh Nadhira yang sedikit berisi. Nadhira tampak cantik dalam balutan kebaya pengantin yang diserasikan dengan kerudung berwarna senada.Semua persiapan pernikahan lainnya sudah diurus oleh keluarga Adrian. Mulai dari dekorasi, catering, sampai undangan pernikahan. Pernikahan mereka akan digelar secara meriah dan dilaksanakan di rumah mempelai wanita.Sebenarnya, Nadhira ingin pernikahan yang sederhana saja yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Namun, Adrian menolak. Dan itu sempat membuat keduanya bertengkar.Mana mungkin Adrian memberikan yang sederhana saja untuk seorang wanita yang begitu spesial di hatinya. Bahkan sebuah cinc
Tiba di hari lamaran. Adrian bersama keluarganya sedang dalam perjalanan menuju rumah Nadhira untuk melakukan lamaran malam itu. Sejumlah barang seserahan seperti pakaian, alas kaki berupa sepatu dan sandal, tas branded, sampai perlengkapan make up sudah memenuhi kabin belakang mobil yang dikendarai Hadi. Padahal Nadhira tidak meminta semua itu. Namun, ini sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian masyarakat dalam acara lamaran. Selain itu, orang tua Adrian juga sudah menyiapkan barang berharga berupa seperangkat perhiasan emas untuk calon menantunya sebagai hadiah. Belum lagi sejumlah uang yang dipersiapkan Adrian untuk calon istrinya. Adrian yang duduk di kursi penumpang samping Hadi tampak gugup sambil memainkan ponselnya. Baru saja ia mengirim pesan pada Nadhira. Lelaki itu kemudian melihat ke arah kaca spion di depannya untuk mengecek penampilannya. "Gimana, Di, penampilan Masmu? Udah keren, kan?" tanyanya pada Hadi sambil merapikan tatanan rambutnya.
Hari itu juga Adrian pulang dari klinik. Nadhira tidak ikut mengantar Adrian ke rumahnya karena hari sudah hampir malam. Selain itu juga, ia harus segera pulang untuk memberi tahu Andra bahwa ayahnya baik-baik saja. Agar anak itu tidak khawatir. Sekarang mereka sedang berada di depan klinik. "Nadhira, kamu ikut kami saja pulangnya. Ini sudah malam," ajak Bu Widya saat mereka akan pulang. "Gak usah, Bu, terima kasih. Aku bawa motor," tolak Nadhira halus. Sebenarnya, ia merasa canggung dengan Bu Widya bila harus pulang bersama. Lagipula jarak klinik ke rumahnya tidak begitu jauh. "Beneran gak apa-apa?" tanya Bu Widya memastikan. "Gak apa-apa, Bu," jawab Nadhira sambil mengulas senyum. "Ya udah, ibu duluan ya," ucap Bu Widya kemudian masuk ke mobil. "Iya, Bu, hati-hati," sahut Nadhira. Ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Sikap wanita paruh baya itu berubah drastis terhadapnya. Lebih ramah dibanding saat
Nadhira tersentak saat seseorang menghubunginya dan memberi tahu bahwa Adrian kecelakaan. Baru saja siang tadi, lelaki itu mengantarkan ia dan anaknya pulang dari rumah sakit lalu pergi lagi dengan tergesa-gesa. Dan tiba-tiba, ia mendapat kabar buruk bahwa lelaki itu kecelakaan. Dengan perasaan cemas, ia bergegas pergi ke klinik untuk mengecek keadaan Adrian. Karena orang yang meneleponnya memberi tahu bahwa Adrian ada di klinik dekat pertigaan kampung, tidak jauh tempat tinggalnya. Sebelumnya, ia pamit pada ayah juga anaknya. Mereka tidak kalah terkejut saat mendengar kabar buruk itu. Terutama Andra, anak kecil itu menangis saat mendengar ayahnya kecelakaan. Nadhira menenangkan Andra sebentar, sebelum akhirnya pergi ke klinik. Ia meminta agar Andra berdoa untuk ayah angkatnya. "Bunda mau lihat Ayah di klinik, kamu doakan Ayah Rian agar dia baik-baik saja ya, Nak," ucap Nadhira. "Iya, Bunda," sahut Andra terisak. Nadhira pe