Kecelakaan.Renata tersenyum sumringah melihat penghasilan beberapa hari ini terus meningkat, apalagi yang dijual di e-commerce. Cepat sekali barang yang dipajangnya habis. Hari ini ia berniat ke bank untuk setor uang, agar memudahkannya untuk transaksi dengan pihak pengirim barang. Ia bergegas mengantongi uang sebesar hampir 300 juta dengan kantong plastik hitam dan langsung meminjam kunci motor milik Dian.Ia berniat ke Bank seperti banyak orang umumnya, memakai sandal swallow dan membawa kantong plastik hitam. Namun penampilannya tak bisa menyembunyikan kecantikannya, meski hanya memakai celana jeans belel juga kaos oblong putih, tapi dengan wajah yang glowing, sudah pasti sekali lirik orang akan tahu wanita seperti apa Renata itu."Itu, Bu Rena, seriusan pake motor tanpa jaket?" tanya Adit yang baru kali ini melihat sang bos tidak tampil wah."Kalau mau setor duit begitu, biar gak mencolok, lagia
"Bruuuuuk!?" Lalu ia tancap gas dengan sekencang-kencangnya. Mobil Brio yang sejak tadi mengikuti dan memasang kamera video call dengan seorang perempuan cantik yang tersenyum lebar kini mobil itu berhenti di bahu jalan, untuk menyaksikan korbannya berlumuran darah.Renata tersungkur ke arah kiri, badannya terpental ke trotoar atas, lengan kirinya menghantam jalanan, kepalanya seketika berdarah Karena terbentur trotoar lalu ia tak sadarkan diri, karena memang ia sangat phobia dengan darah.Beberapa orang yang berada disekitar, banyak yang keluar dari ruko setelah mendengar suara barang jatuh, dan berlari ke arah Renata untuk menolongnya."Astaghfirullah, ini nabrak atau sengaja ditabrak?" ucap seorang perempuan berhijab."Ini, Mbak pemilik butik diujung jalan sana," ucap seorang anak muda berkaos merah."Bawa kerumah sakit, ayo!" seru Ibu berhijab
Siapa pelakunya."Awas kamu, Don, akan ku buat perhitungan atas kasus ini!" gumamnya sambil mengepalkan tangannya."Mbak administrasinya belum diselesaikan, kami lupa bawa uang," ucap Dian."Hah?! Aku malah gak bawa dompet!" Bianca merogoh saku piyamanya dia hanya mengantongi uang 200 ribu saja."Kalau begitu, saya sama Adit ke butik dulu ambil uang!" ujar Dian."Baiklah, saya bahkan belum mandi, baru mau beli sarapan!" tukas Bianca dengan lirih. Ia tadi bangun siang, lalu merasa suntuk di rumahnya, akhirnya dia keluar mengelilingi komplek mencari yang jualan sarapan, meski jam menunjukan pukul 11 siang.Akhirnya Bianca menuju ke bagian administrasi untuk mengisi data yang diketahuinya dan menjaminkan uang 200 ribu yang dipegangnya dengan alasan lagi ambil uang. Ia merutuki dirinya sendiri. Dan berjanji tidak akan
"Ini apa?" tanya Dian."Buka saja!" Lalu aku secepat kilat kembali ke mobil, tak sabar rasanya melihat keadaan Renata. Bahkan tadi aku sampai lupa menanyakan kondisi wanita itu pada Dian, Duh paniknya.Kulajukan mobil bak kebelet poop, tak ku hiraukan mereka yang kaget karena ku salip, sumpah serapah mereka bagai angin lalu, aku tak mendengarkannya karena aku melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Sialnya menuju ke rumah sakit itu harus melalui dua kali lampu merah.Ya … Tuhan, siapa ini yang merancang rumah sakit yang jalan menuju kesana butuh dua kali menunggu lampu merah.——Kuparkir mobil dengan kasar, lalu berlari melalui pintu masuk, dan akh, aku lupa tidak menanyakan dimana ruangan Renata. Kurogoh sakuku lalu kucari nomor Bianca, dan syukurlah tersambung."Ya, kenapa?" Suara Bianca terdengar parau disebrang sana.
Ancaman untuk Rindi.Rindi tersenyum setelah menyaksikan video call yang barusan ia lakukan. Wajahnya Sumringah menyaksikan Renata terpental dengan sekali tendangan dari anak buah Baron, dan tanpa jeda lama darah pun menggenang di trotoar, kepala wanita itu seketika bocor karena menghantam kerasnya jalan, karena tidak menggunakan helm.———Keesokan harinya.Ia mematikan ponselnya lalu turun ke bawah setelah mendengar percakapan antara Ayah dan Kakaknya dimeja makan. "Mereka tidak ke kantor kah?" pikirnya.Undakan demi undakan tangga ia langkahi dengan anggun, sebagai seorang putri pemilik perusahaan besar di Indonesia, aura nya begitu terlihat seperti bintang. Hanya sayang ia tumbuh dengan egois yang sangat tinggi."Papa sama Kakak belum ngantor?" tanyanya dengan mencomot sebuah anggur di meja makan. Ayah dan anak itu
"Ceritakan!" titahnya."Ceritakan, apa?" tanya Rindi dengan gemetaran, dia shock dengan amukan dari Bima, selama ini ia tak pernah dibentak oleh siapapun di rumahnya."Rindi, ceritakan!" ulang pak Usman dengan terus menatap tajam ke arah Rindi."Ceritakan atau aku laporkan ke polisi!" bentak Bima."Bima!" bentak Pak Usman, walau bagaimanapun ia tak rela Rindi dibentak oleh anak lelakinya. Meski ia tahu kesalahan Rindi sudah bukan main-main.Bima mengepalkan tangannya melihat pembelaan ayahnya, padahal dengan jelas adiknya itu sudah melakukan hal yang melanggar hukum. Ia akhirnya memilih duduk di kursi makan terhalang dua kursi dengan ayahnya. Ia menatap adiknya dengan nyalang."Ceritakanlah!" ucap pak Usman untuk ketiga kalinya. Akhirnya Rindi menyerah dan menceritakan segala alasan mencelakakan Renata. Pak Usman menarik nafasnya dengan kasar.
Tangisan Rindi."Aaaaaarght!?" teriaknya membuat para art-nya yang semula hendak menghampiri untuk membereskan pecahan piring yang berserakan, mereka mundur lagi, kecuali Mbok ijah, perempuan tua itu sudah bekerja dari awal Rindi belum lahir jadi ia hafal tabiat anak gadis majikannya itu.Mbok Ijah mengusap pundaknya dengan lembut, Rindi mengangkat wajahnya yang basah oleh airmata. "Mbok""Minum dulu," titah Mbok Ijah menyodorkan segelas air putih dari tangan kanannya. Rindi hanya meneguk saja air putihnya lalu meletakkannya di meja."Ayo kita ke ruangan tv, biar ruang makannya di bersihkan oleh Darmi sama Minah," ajaknya sambil menarik lengan Rindi, gadis itu hanya menurut pada asisten rumah tangga di rumahnya itu.Rindi mengelap air matanya oleh tissu yang disodorkan Mbok Ijah. Wanita tua itu menatapnya dengan penuh iba, ia mendengar percakapan keluarga Wisesa dirua
POV Bima.Sungguh kesal aku dibuatnya, tak pernah terlintas dalam benakku, Rindi akan senekat itu, aku menuruti semua inginnya ku kira hanya sebatas mencari informasi tentang lelaki itu. Selama hidup, meski aku terasing di asrama, namun aku tak kekurangan akhlak seperti Rindi yang mencoba menghalalkan segala cara demi keinginannya, liar sekali adik bungsuku itu.Kutatap tajam wajahnya yang menyiratkan ketakutan, akibat bentakanku aku sungguh tak bisa mengendalikan emosiku kali ini. Ini bukan tindakan biasa saja. Karirku yang sedang berada di puncaknya bisa hancur oleh masalah Rindi. Astaga, kuremas rambut kepalaku mencoba meredakan emosi yang rasanya ingin ku makan bulat-bulat adikku itu.Kudengar ajakan Papa untuk berangkat ke kantor, lelaki tua itu sama halnya denganku namun ia bisa meredam emosinya, beda sekali perlakuan Papa saat aku atau Kak Risa berbuat salah. Akh sudahlah, semoga dengan masalah ini, Papa jadi tahu
Renata menggelar resepsi pernikahan di sebuah Waterboom yang menyediakan taman yang luas, dan fasilitas untuk wedding. Tema pestanya adalah outdoor. Pagi yang cerah disertai sinar mentari yang hangat, menambah indah minggu pagi ini. Annisa kecil sejak tadi sudah sempurna memakai gaun putih persis seperti yang dipakai Renata. Gadis kecil itu berlari kesana kemari sambil memegang balon. Renata begitu terlihat sangat cantik, dengan riasan yang serba nude, membuat penampilanya terlihat sangat elegan, dengan bagian rambut yang masih tersisa beberapa yang telah di curly juga. Bunda Hani mengusap air matanya melihat senyuman bahagia dari pengantin wanita yang telah dianggap anak olehnya. Pak Harun pun demikian, Adit dan Bian beserta istrinya juga telah hadir semenjak kemarin. Begitupun paman dari Renata yang selama ini tak pernah bersua kini hadir beserta keluarganya guna menjadi wali pada pernikahan keponakannya. P
"E—emh." ucapnya dengan melirik ke arah Bara. "Modusnyaaaaa, juaraa!" cibir Bianca. "Nda, ayo!" ajak Annisa dengan menarik tangan ibunya. Membuat Renata kebingungan. Bara yang paham situasinya, seketika mengangguk dan memegang pundak Renata. Walau bagaimanapun ada Annisa yang harus dijaga perasaannya. Anak itu belum paham kenapa dia punya dua Papa kini. Annisa menarik juga tangan Bara yang disambut tawa ngakak oleh Bianca. Ketika yang ditarik tangan Bara dan Renata bukan Doni. Sungguh puas hatinya hari ini melihat mantan suami sahabatnya menekuk muka 180° ibarat telah kehilangan uang milyaran rupiah. Akhirnya tak hanya berfoto bertiga, tapi ber-enam dengan Bianca dan Aisyah. ———— Satu bulan setelah Bara dan Renata sepakat akan menikah, kini keduanya tengah sibuk menyiapkan pernikahan mereka. Mulai dari tempat, fitting baju juga catering untuk jamuan para
POV Renata.Hari ini ulang tahun Annisa yang pertama, anak Perempuanku sudah mulai aktif berlari kesana kemari, di usia sepuluh bulan selain mulai berbicara kata Mama Papa, dia juga mulai melangkah, alhasil usia satu tahun dia sudah bisa berlari meski kadang terjatuh, kosa katanya semakin banyak meski belum bisa merangkai kalimat, cerewet sekali anak itu.Mas Doni dan keluarganya bahkan menanggung acara ulang tahun Annisa yang kami laksanakan di sebuah cafe ternama dengan tema Frozen. Cantik sekali anakku memakai gaun warna biru langit. Semenjak hari itu, aku tak pernah membatasi Mas Doni untuk kerumah menemui Annisa. Dan aku yang memilih menghindar, karena kamar Annisa di bawah dan kamarku di atas, jadi kami jarang bertemu. Mas Doni pun sepertinya paham aku menghindarinya, ia tak pernah memaksa untuk berinteraksi denganku meski tetap selalu mencari celah untuk bisa bertemu denganku. Aku tak membencinya hanya rasa kecewa dan sakit hati membu
"Jadi, bagaimana, Bu, setujukan kalau aku melamar Renata?" tanyaku lagi."Lamar lah jika memang kamu mencintainya, tapi… pastikan dia juga mencintaimu juga keluargamu. Pilihlah perempuan yang akan menganggap ibumu ini juga adikmu keluarganya," tegas Ibu, pandangannya kosong entah kemana."Renata anak yatim piatu, Bu, semoga setelah menikah, Ibu bisa jadi pengganti orang tuanya," jawabku dengan harapan yang besar.Kenapa aku jadi sok tahu begini, kayak yang iya aja bakal di terima. Bahkan untuk melamar Renata aja baru modal cincin karena nyali ini sedikit masih ciut sih. Tapi yang penting Restu Ibu sudah kudapat. Semoga melalui izin dari Ibu akan membuahkan hasil seperti yang aku inginkan.Dari segi apapun, aku sudah layak untuk melamar seorang perempuan, tapi yang ingin ku lamar adalah Renata. Wanita yang pernah aku tinggalkan! Mungkin bagi orang lain dia tak ada artinya, t
POV Bara."Seriusan ini bagus, is?" tanyaku pada Aisyah yang memilihkan cincin bermata ungu itu."Aku sih, suka ya, Kak, tapi gak tahu kak Renata," ucapnya sambil nyengir. Adikku itu sungguh tak bisa diajak jadi pendukung yang handal. Buktinya ia juga malah meragukan pilihannya sendiri.Ya, aku ingin melamar Renata, meski jawaban iya darinya belum pernah aku terima. Namun dari sikapnya, sepertinya ia sudah bisa menerimaku.Meski kulihat gurat lesu di wajah Ibu, setelah aku menceritakan tentang Renata semuanya. Bahkan Ibu, agak terkejut saat aku bilang status Renata yang janda beranak satu. Sedangkan Aisyah dia tidak berkomentar lebih karena sudah pernah ku ajak main ke rumah Renata waktu itu.Tak ada patahan kata yang menyinggung atau penolakan dari Ibu saat itu, aku hanya menangkap tak ada semangat dari wajahnya."Is, Ibu ada
Renata mengerutkan keningnya, selama ini dirinya merasa tak pernah memiliki musuh, tapi kok ada yang jahat dan ingin mencelakakan dirinya.Renata merogoh tas selempangnya mengambil ponsel dan menunjukan poto Doni pada lelaki itu."Ini orangnya bukan, koh?""Lah, ini mah suamimu bukan?" Pemilik toko itu balik bertanya. Renata mengangguk."Saya tidak pernah bermasalah dengan siapapun, tapi saya dan Mas Doni sudah bercerai, siapa tahu dia marah dan ingin mencelakakan saya untuk mengambil hak asuh anak kami," tutur Renata dengan lesu."Gak mungkinlah, si Doni gak ada tampang kriminal hanya pengkhianat saja," bela lelaki gempal itu. Lalu kami sama-sama diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing."Baiklah, saya permisi, Koh, dan terima kasih atas waktu dan keterangannya," pamit Renata."Sama-sama, dan maafkan saya tidak bisa membantu," jawabnya
Siapa pelakunya bagian 1.Lancang sekali ucapan mantan Ibu mertua Renata itu, pikir Bara. Padahal sudah jelas yang salah adalah anaknya. Tapi tetap saja yang disalahkan perempuan yang duduk di sampingnya.Bara telah membuka mulutnya berniat membalas tudingan konyol Bu tuti , namun Renata mengusap-usap serta mengamati kepalanya. "Aku yang laki-laki saja tak tahan mendengar setiap ucapannya! Tapi Renata masih memilih tenang, luar biasa, jadi jika aku Renata, berarti aku tak akan salah calon istri," gumamnya.Doni
Pov Doni.Niat awal mencari rumah barunya Renata selain ingin bertemu anakku juga ingin kembali mendekatinya. Renata itu tipe perempuan bucin dan labil, gampang sekali kalau di rayu. Jadi aku bulatkan tekad kesana dengan meminjam mobilnya Raka. Bagaimana aku mendapat alamat Renata? Tentu saja aku memaksa Dian ditengah jalan agar memberi tahu alamat bosnya. Meski penuh ancaman dan intimidasi aku berhasil mengetahui rumah kediaman mantan istriku itu.Namun saat sampai disana, kulihat Renata tengah duduk berdua dengan seorang pria. Ya … dia Bara, teman sekolahku dulu bahkan mereka hampir saya berciuman jika aku tak memberinya tepuk tangan. Entah bagaimana mereka bisa sedekat ini.Cemburu? Tentu saja bahkan ingin aku menghajarnya, dia telah mencuri start ku duluan untuk mendekati Renata. Akh syal*n.Ibu memegang tanganku dengan erat, aku tau maksudnya agar aku tak menghajar lelaki yang duduk
Kuremas kesepuluh jariku dengan cara ditautkan. Cemas dan takut berbaur jadi satu, hatiku tak nyaman seolah-olah terancam dengan kedatangan Mas Doni serta Ibunya ke rumah ini. Namun tak dapat kupungkiri ia mempunyai hak yang sama denganku dalam pengasuhan Annisa.Bara mengusap-ngusap bahuku dengan pelan, ia mencoba menenangkan kegelisahan hati ini. Aku masih beruntung kali ini, Mas Doni datang saat Bara ada di rumahku.Sudah berulang kali lelaki dari masa laluku itu mencoba mengutarakan niatnya, ingin melanjutkan kisah kami yang dulu. Namun kegamangan hatiku terlalu besar, hingga sampai saat ini belum ku temukan jawabannya.Dulu aku terluka olehnya, lalu menikah dengan Mas Doni yang kuanggap sebagai penyembuh luka namun pada nyatanya dia bahkan memberi luka yang tak berujung. Harga diriku, nama baikku hancur olehnya.Malu yang diberikan Mas Doni seolah mencopot satu persatu tulangku, membuatku lungla