Doni menggeliat dari tidurnya, pundaknya terasa ngilu karena semalam dia tidur di sofa ruang kerjanya. Dia meraih ponselnya, ada tanda pesan masuk tertera dilayarnya.
[Saya diluar pagi ini, Mas Doni mau kemana]
Pesan pemberitahuan dari Lia.
Doni termenung sejenak. Alasan apa yang akan diberikannya pada Renata agar bisa keluar, karena hari ini hari minggu. Dia mengabaikan pesan dari Lia dan bergegas ke kamar untuk mandi lalu turun sarapan. Sepertinya Renata sudah dibawah, Doni mendengar suaranya, berbicara dengan Bik Sumi.
Tak perlu waktu yang lama untuk mandi, kini Doni sudah rapi dengan baju santainya celana pendek hitam dan kaos oblong putih, terlihat sangat gagah dan akan membuat siapapun terpesona melihatnya.
Doni menuruni anak tangga dan menuju ruang makan, disana terlihat Renata sedang terduduk sendiri mengaduk susu nya.
"Selamat pagi, Ren," sapanya.
"Pagi, Mas," jawab Renata dengan dingin, matanya tak lepas dari gelas susu yang sedang di aduknya.
Doni memperhatikan Renata dengan heran, istrinya terus mengaduk gelas susunya dengan wajah tanpa ekspresi.
"Ren … Rena," sapanya sambil menggoyangkan lima jarinya dihadapan Renata.
"Eh — ih — ada apa, Mas?" tanyanya gugup.
'kamu ada masalah?" tanya Doni lagi.
Renata seketika mendelik ke arah Doni dengan tatapan membunuh.
Lagi Doni heran, " Ren, kamu baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi.
"Emh … saya sudah selesai makan, Mas," terang Renata.
"Lantas?"
"Mau ke kamar, kepalaku pusing," jawab Renata sekenanya, padahal dia muak dengan Doni yang berlaku tanpa dosa.
"Mari mainkan permainan ini Mas!" batinnya menjerit hancur. Renata menaiki undakan tangga dengan langkah tegap, dia berusaha menguatkan dirinya agar tak ada yang berani mengasihaninya.
Sejak kecil hidupnya selalu penuh dengan airmata. Tapi ada neneknya yang selalu meyakinkan untuk terus melangkah menggapai semua cita-citanya. Dan ketika dirinya sampai pada tahapan apa yang dulu diimpikan beliau, neneknya sudah meninggal jauh sebelum menyaksikannya sukses.
Tes … dua bulir bening lolos melewati pipinya, kini Renata hanya bisa menangisi sebuah foto. Foto saat bersama neneknya, pada waktu mereka liburan di kebun bunga, senyumnya tanpa beban. "Akh," dia mendesah menahan rindu pada perempuan tua yang selalu menyayanginya tanpa syarat.
Seketika kenangan bersama neneknya berputar kembali di memori kepalanya,
Kasih sayangnya begitu tulus tanpa noda pada si yatim-piatu itu. hingga dia tumbuh besar serta berhasil mencapai apa yang sulit didapatkannya dulu.
"Mak," Renata mengusap gambar wajah sang Nenek.
"Seandainya, Emak, masih ada mungkin, Rena, tidak akan selemah ini."
Dia mengusap kasar air matanya, saat mendengar derap langkah mendekat.
Renata melihat Doni masuk ke kamar, lalu menuju walk in closet, sepertinya dia berganti pakaian. "Sudah tentu akan pergi menemui gundiknya," geram Renata dalam hatinya.
"Aku keluar sebentar, Ren," ucapnya sambil meraih dompet di atas nakas.
"Mau pesan, Apa?" tanyanya dan berhenti di ujung pintu.
"Aku ikut," sahut Renata, sambil bangkit.
Hah?!"
Doni menganga mendengar penuturan istrinya yang tiba-tiba ingin keluar bersamanya.
"Aku mau ke dokter kandungan, ada jadwal check up hari ini," terangnya.
"Baiklah, aku tunggu di bawah," ujar Doni sambil melangkah keluar.
Pikirannya berkecamuk dan ingin mengumpat pada istrinya, tadi di ruang makan Renata bilang pusing, sekarang malah ingin ikut keluar dengannya. Sementara diluar sana Lia sudah siap sedang menunggunya. Akhirnya dia menekan tanda gagang telepon di ponselnya dengan segera.
"Kamu sudah diluar?" tanya Doni saat teleponnya tersambung.
"iya, Mas."
"Maaf … tiba-tiba perutku sakit, jadi sepertinya aku gak jadi keluar."
"Hah?!" Eh, baiklah, Lia tersentak kaget dengan apa yang Doni ucapkan.
"Semoga lekas sehat," pungkasnya, suaranya jelas bernada kecewa karena tidak bisa bertemu dengan Doni.
"Maaf," cicit Doni.
"Tak apa, Mas." sahutnya lemah, sambungan telepon pun terputus.
Sementara diujung tangga Renata berdiri tegap mendengarkan percakapan suaminya dengan perempuan itu. Hatinya terbakar cemburu dan amarah! Ingin rasanya merampas ponsel yang sedang dipegang suaminya itu. lalu menghajarnya sedemikian rupa. Tapi Renata tidak punya keberanian sejauh itu.
"Sudah siap?" tanya Doni saat berbalik dan menemukan istrinya mematung beberapa meter dari tempatnya berdiri. Kaget luar biasa sebenarnya saat menemukan Renata berada tak jauh dari tempatnya berada.
"Aku kok pusing ya, Mas," celutuk Renata tiba-tiba sambil memegangi kepalanya.
Doni sigap menghampiri "ayo! Sini ku gendong," ucap suaminya, terlihat panik.
Renata membiarkan tubuhnya di bopong oleh Doni ke dalam mobil, bau aroma tubuh suaminya membuatnya memejamkan mata. Dan terkenang betapa dulu bau itu adalah candu buatnya. Perih dan sakit hatinya saat mengingat kecurangan Doni.
Doni menurunkan tubuh istri cantiknya yang dikhianatinya dengan hati-hati. Ada gurat sesal di wajahnya telah mencurangi wanita yang sangat ia cintai tapi itu dulu. Karena kini perasaannya entah apa yang tersisa untuk Renata. Semua dunianya kini dipenuhi wanita mungil yang berhijab lebar itu.
Mobil melaju dengan pelan membelah jalan raya yang sedikit padat merayap karena hari minggu. Setiap orang sibuk dengan dirinya sendiri termasuk Doni.
Ditengah alunan suaranya Richard Mark tiba-tiba ponsel Doni berbunyi dan nama Lia terpampang jelas disana. Doni tersentak dan spontan mengerem mendadak hingga suaranya berdecit hebat. Sementara kepala Renata terbentur kaca samping mobil.
"Aaaw !?" teriak Renata sambil tangannya menumpu pada dasbor mobil. Benturan di kepalanya terasa berdenyut dan membuat penglihatannya mengabur, sementara ponsel Doni terus meraung-raung menandakan si penelpon sangat ingin berbicara.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya, Doni seketika panik dan gemetar, melihat istrinya memejamkan mata dan bersandar pada sandaran jok.
Renata tidak menjawab, nyeri pada kepalanya kian berdenyut, dan perutnya terasa kram.
Doni meraih tangan Renata dan meremasnya. Beberapa orang mengetuk kaca mobilnya terlihat mengkhawatirkan Doni dan Renata.
"Kami baik-baik saja pak," tegas Doni saat kaca mobil telah diturunkan. Terima Kasih Doni menangkupkan kedua tangan di dadanya sambil mengangguk.
Orang-orang yang tadi berkerumun pun membubarkan diri setelah memastikan pengemudi mobil dalam keadaan baik-baik saja. Lalu Doni melajukan kembali mobilnya ke tempat tujuan mereka.
Kram di perut Renata kian menjadi sepertinya sang bayi dalam perut tidak nyaman, Renata meringis sambil memegangi perutnya.
"Aaargh …. rintihnya.
"Ren," panggil Doni terlihat khawatir mendengar rintihan istrinya.
Tapi Renata malah mengunci rapat mulutnya.
Kini tujuan Doni tidak lagi ke dokter kandungan, tapi ke IGD sebuah rumah sakit terdekat, dia turun di depan IGD dan memanggil penjaga agar membawa brankar untuk Renata yang terus meringis.
Beberapa petugas sigap menghampiri mobilnya Doni, dengan membawa brankar. Renata di pindahkan oleh suaminya, lalu petugas mendorong nya, seorang suster menghampiri Doni.
"Ini kenapa pak?" tanyanya.
"Tadi saya ngerem mendadak dan istri saya kepalanya terbentur dan kesakitan terus sus," bebernya.
"Baiklah, Bapak urus administrasi dulu sebelah sana, kami akan menangani istri Anda," tutur suster dan meninggalkan Doni.
Doni membuang napasnya dengan kasar, dan menjambak rambutnya sendiri. Dia panik tidak terkira, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Renata dan kandungannya. Bagaimana kalau anaknya ada apa-apa.
Bodoh sekali. Doni merutuki perbuatannya sendiri.
Satu jam berlalu Doni masih terduduk di ruang tunggu IGD. Dia nampak gelisah memikirkan Renata didalam sana.Tiba-tiba ponselnya berkedip dan lagi nama Lia terpampang di layarnya. Dengan kasar Doni mengusap tanda gagang telepon dan menempelkannya ketelinganya."Assalamualaikum," ucap suara di seberang sana yang terasa bagaikan siraman es di tengah panas terik matahari, sangat menyejukkan."Waalaikumsalam," jawab Doni agak gugup."Mas," panggil Lia begitu merdu di pendengaran Doni."Iya, Li," sahut Doni. "Ada apa?" tanyanya"Emh … a—aku kangen," tutur Lia terbata."Apa?!" Doni terlonjak kaget."Maaf," cicit Lia dan langsung mematikan teleponnya.Jantungnya terasa copot kaget dengan reflek dia bilang kangen pada Doni, setelah Doni tadi menyatakan pertemuan mereka batal karena Doni
Renata merebahkan tubuhnya diatas ranjang ukuran King size dalam kamar bernuansa putih itu. Jarinya lincah mengetik sesuatu di aplikasi hijau diponselnya.[Bi, dimana?][Di rumah! Kenapa?][Kangeeen][Kenapa?][Ada apa?]Belum sempet Renata membalas pesan Bianca, di layar ponselnya terpampang wajah sahabatnya yang menelpon via WhatsApp. Langsung saja dia mengusap tanda hijaunya."Ada apa, Ren?" tanya Bianca tanpa basa-basi Setelah melihat jelas wajah sahabatnya."Kangeeen," jawab
Bianca sungguh geram sekali pada Doni. entah dimana pikirannya. Bermain hati dengan keadaan istrinya yang sedang hamil besar. Emosinya memuncak. Ingin sekali ia menghajar Doni hingga lelaki babak belur. Renata sangat terpukul setelah dia mengetahui saat ia terbaring di IGD pun, Doni masih menerima panggilan masuk dari pelakor syar'i itu. "Ren." Renata tak menyahut, hanya melihat ke wajah Bianca. "Kapan kamu akan bongkar perselingkuhan suami tercintamu itu?" "Aku belum tau, Bi." "Aku gak mau ya, Ren, melihat kamu terus begini!" "Lalu?" "Entahlah, aku sendiri bingung." "Apa aku bongkar saja sekarang?" "Jangan! Gak seru." "Kita grebek aja pas Doni ketemuan, gimana?" Seru Bianca sambil nyengir menampilkan deretan behel barunya. "Nanti ada yang rekam, lalu viral, Bi?" "Itu memang maksudku, Re — na — ta!" Bianca gemas sekali dengan lemotnya pikiran sahabatnya itu. justru ia ingin mereka viral. Membiarkan hukum netizen yang berlak
Sepeninggal Bianca aku masih pada posisi yang sama, memeluk diri sendiri. Memeluk perihnya hati yang tiada terkira, memeluk luka yang semakin menganga. Ingin ku enyahkan segala rasa, ingin kucampakan semua duka, tapi aku tak bisa. Aku kehilangan arah saat semuanya tak lagi berlaku. Aku tak boleh kalah! Aku tak boleh egois. Bagaimana nasib anakku yang akan lahir ini? Haruskah aku mengakhiri ini semua? Kepalaku rasanya mau pecah memikirkan semua ini. Apakah aku yang salah? Hingga Suamiku punya wanita idaman lain di luar rumah? Apakah kurangku? Dan masih banyak lagi apakah-apakah lainnya. Sungguh tega dirimu Mas! Kau hancurkan aku hingga porak-poranda tak bersisa. Kini aku tak mau menangis lagi. Aku hanya punya dua pilihan, terus bersama suami yang pengkhianat demi bayiku atau aku harus menyelesaikan nya dengan perceraian? Akh, aku butuh Bianca lagi, padahal dia baru saja pulang dua jam lalu. Aku bangkit, lalu mencuci mukaku yang mengenaskan akibat tak terse
Renata tengah mematut dirinya di depan cermin. Dia bermaksud untuk pergi ke butik miliknya, sudah seminggu ini dia tidak tahu bagaimana kabar butiknya itu. Masalahnya dengan Doni membuat dunianya beku dalam segala hal. Renata tersenyum sendiri melihat pantulan dirinya sendiri, cantik, tinggi, putih, namun tidak lantas membuat lelakinya setia. Hidup macam apa ini pikirnya. "Astaghfirullah," Renata mengucapkan istighfar saat sadar, dia seolah meragukan takdir sang pemilik alam. Doni keluar dari kamar mandi, diapun akan bersiap untuk pergi kekantor "Mau kemana?" tanyanya saat melihat istri cantiknya telah berdandan rapi. "Ke butik." "Oh." Doni berlalu dan bersiap untuk pergi kekantor, dia mengenakan celana panjang navy, kemeja putih dan jas warna senada dengan celananya. Tampan dan gagah, ucapan yang akan dilontarkan siapa saja yang melihat penampilannya. Karena memang Doni dan Renata itu pasangan yang sangat serasi dalam hal perawakan dan penampilan. Siapa
"Memang aku kurangnya apa, Mas?" lirih Lia sambil terisak. Hatinya sungguh terluka dengan unggahan status Ahmad di F******k, siang itu. Seperti biasa Ahmad selalu membuat status tentang poligami yang selalu diamini oleh teman-temannya.Selain kecewa dan terluka, Lia merasa dirinya dipermalukan sampai titik terendah. Bagaimana tidak! Bahkan usia pernikahan nya pun belum genap 5 tahun."Jawab aku, Mas!" ucap Lia dengan gemas. Ketika melihat suaminya malah diam membisu."Jika, Mas, sudah tidak mencintai saya, kembalikan saya pada Abah. Jangan permalukan saya seperti ini!" sungut Lia penuh emosi.Sementara Ahmad malah diam membisu, sebenarnya dia hanya iseng saja update status seperti itu, hanya untuk bercanda dan meramaikan beranda F******k nya. Tapi Lia, malah menanggapinya lain, dan ini bukan kali pertama ia update status tentang poligami. Tapi hari ini, entah kerasukan apa istrinya itu, hingga perihal status saja dia ngamuk seperti ini. Jadi males ada di rumah. Pikir
"Menyebalkan," gerutunya, lalu tiba-tiba tangisnya pecah, merasakan sesak dari semua yang dialaminya."Mas Ahmad dan Mas Doni sama saja. Mereka hanya menoreh luka di hatiku," jerit batinnya.Wanita berbadan mungil itu, menelungkupkan wajahnya di atas bantal, Lalu menangisi nasib diri yang dirasa sangat menyakitkan baginya. Ia gamang harus bagaimana. Ia kira Doni akan jadi pengobat luka hatinya. Namun kenyataannya malah menambah kehancuran hidupnya saja."Apakah salahku hingga kedua lelaki itu begitu kompak hadir di hidupku hanya untuk menyakiti dan menghancurkanku secara bersamaan!" batinnya bertanya kenapa dan kenapa.———Renata tersenyum melihat story' yang dibuatnya telah dilihat oleh Lia, dering panggilan pun beberapa kali di ulangi.Akhirnya setelah berhenti Renata dengan sigap menghapus unggahannya juga
"Ya, gi—gitu ... biar aku over aja deh sama Bianca," sahut Renata pelan. Dia bingung membahasakannya bagaimana seharusnya agar tak menyinggung hati suaminya juga keluarganya."Ibu dan Dina, pasti akan tersinggung, Ren!" cicit Doni."Karena begitu, Mas, aku ngomong sama kamu sekarang," lirihnya.Keduanya sama-sama diam tanpa kata.———Bianca sudah meluncur menuju rumah Ibunya di kawasan Depok. Dia bermaksud pamit untuk terbang besok pagi, pasti diomelin karena tidak menginap. Entahlah, setelah bekerja Bianca lebih memilih hidup mandiri daripada tetap tinggal dengan orang tuanya.Awalnya dia hanya ngekos di daerah Tangerang dengan biaya yang mahal menurut bundanya. Yang akhirnya dia memutuskan memilih rumah tipe cluster dengan harga yang lumayan, untuk ukuran gaji dia sekarang ini. Tapi lebih murah kalau diban
Renata menggelar resepsi pernikahan di sebuah Waterboom yang menyediakan taman yang luas, dan fasilitas untuk wedding. Tema pestanya adalah outdoor. Pagi yang cerah disertai sinar mentari yang hangat, menambah indah minggu pagi ini. Annisa kecil sejak tadi sudah sempurna memakai gaun putih persis seperti yang dipakai Renata. Gadis kecil itu berlari kesana kemari sambil memegang balon. Renata begitu terlihat sangat cantik, dengan riasan yang serba nude, membuat penampilanya terlihat sangat elegan, dengan bagian rambut yang masih tersisa beberapa yang telah di curly juga. Bunda Hani mengusap air matanya melihat senyuman bahagia dari pengantin wanita yang telah dianggap anak olehnya. Pak Harun pun demikian, Adit dan Bian beserta istrinya juga telah hadir semenjak kemarin. Begitupun paman dari Renata yang selama ini tak pernah bersua kini hadir beserta keluarganya guna menjadi wali pada pernikahan keponakannya. P
"E—emh." ucapnya dengan melirik ke arah Bara. "Modusnyaaaaa, juaraa!" cibir Bianca. "Nda, ayo!" ajak Annisa dengan menarik tangan ibunya. Membuat Renata kebingungan. Bara yang paham situasinya, seketika mengangguk dan memegang pundak Renata. Walau bagaimanapun ada Annisa yang harus dijaga perasaannya. Anak itu belum paham kenapa dia punya dua Papa kini. Annisa menarik juga tangan Bara yang disambut tawa ngakak oleh Bianca. Ketika yang ditarik tangan Bara dan Renata bukan Doni. Sungguh puas hatinya hari ini melihat mantan suami sahabatnya menekuk muka 180° ibarat telah kehilangan uang milyaran rupiah. Akhirnya tak hanya berfoto bertiga, tapi ber-enam dengan Bianca dan Aisyah. ———— Satu bulan setelah Bara dan Renata sepakat akan menikah, kini keduanya tengah sibuk menyiapkan pernikahan mereka. Mulai dari tempat, fitting baju juga catering untuk jamuan para
POV Renata.Hari ini ulang tahun Annisa yang pertama, anak Perempuanku sudah mulai aktif berlari kesana kemari, di usia sepuluh bulan selain mulai berbicara kata Mama Papa, dia juga mulai melangkah, alhasil usia satu tahun dia sudah bisa berlari meski kadang terjatuh, kosa katanya semakin banyak meski belum bisa merangkai kalimat, cerewet sekali anak itu.Mas Doni dan keluarganya bahkan menanggung acara ulang tahun Annisa yang kami laksanakan di sebuah cafe ternama dengan tema Frozen. Cantik sekali anakku memakai gaun warna biru langit. Semenjak hari itu, aku tak pernah membatasi Mas Doni untuk kerumah menemui Annisa. Dan aku yang memilih menghindar, karena kamar Annisa di bawah dan kamarku di atas, jadi kami jarang bertemu. Mas Doni pun sepertinya paham aku menghindarinya, ia tak pernah memaksa untuk berinteraksi denganku meski tetap selalu mencari celah untuk bisa bertemu denganku. Aku tak membencinya hanya rasa kecewa dan sakit hati membu
"Jadi, bagaimana, Bu, setujukan kalau aku melamar Renata?" tanyaku lagi."Lamar lah jika memang kamu mencintainya, tapi… pastikan dia juga mencintaimu juga keluargamu. Pilihlah perempuan yang akan menganggap ibumu ini juga adikmu keluarganya," tegas Ibu, pandangannya kosong entah kemana."Renata anak yatim piatu, Bu, semoga setelah menikah, Ibu bisa jadi pengganti orang tuanya," jawabku dengan harapan yang besar.Kenapa aku jadi sok tahu begini, kayak yang iya aja bakal di terima. Bahkan untuk melamar Renata aja baru modal cincin karena nyali ini sedikit masih ciut sih. Tapi yang penting Restu Ibu sudah kudapat. Semoga melalui izin dari Ibu akan membuahkan hasil seperti yang aku inginkan.Dari segi apapun, aku sudah layak untuk melamar seorang perempuan, tapi yang ingin ku lamar adalah Renata. Wanita yang pernah aku tinggalkan! Mungkin bagi orang lain dia tak ada artinya, t
POV Bara."Seriusan ini bagus, is?" tanyaku pada Aisyah yang memilihkan cincin bermata ungu itu."Aku sih, suka ya, Kak, tapi gak tahu kak Renata," ucapnya sambil nyengir. Adikku itu sungguh tak bisa diajak jadi pendukung yang handal. Buktinya ia juga malah meragukan pilihannya sendiri.Ya, aku ingin melamar Renata, meski jawaban iya darinya belum pernah aku terima. Namun dari sikapnya, sepertinya ia sudah bisa menerimaku.Meski kulihat gurat lesu di wajah Ibu, setelah aku menceritakan tentang Renata semuanya. Bahkan Ibu, agak terkejut saat aku bilang status Renata yang janda beranak satu. Sedangkan Aisyah dia tidak berkomentar lebih karena sudah pernah ku ajak main ke rumah Renata waktu itu.Tak ada patahan kata yang menyinggung atau penolakan dari Ibu saat itu, aku hanya menangkap tak ada semangat dari wajahnya."Is, Ibu ada
Renata mengerutkan keningnya, selama ini dirinya merasa tak pernah memiliki musuh, tapi kok ada yang jahat dan ingin mencelakakan dirinya.Renata merogoh tas selempangnya mengambil ponsel dan menunjukan poto Doni pada lelaki itu."Ini orangnya bukan, koh?""Lah, ini mah suamimu bukan?" Pemilik toko itu balik bertanya. Renata mengangguk."Saya tidak pernah bermasalah dengan siapapun, tapi saya dan Mas Doni sudah bercerai, siapa tahu dia marah dan ingin mencelakakan saya untuk mengambil hak asuh anak kami," tutur Renata dengan lesu."Gak mungkinlah, si Doni gak ada tampang kriminal hanya pengkhianat saja," bela lelaki gempal itu. Lalu kami sama-sama diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing."Baiklah, saya permisi, Koh, dan terima kasih atas waktu dan keterangannya," pamit Renata."Sama-sama, dan maafkan saya tidak bisa membantu," jawabnya
Siapa pelakunya bagian 1.Lancang sekali ucapan mantan Ibu mertua Renata itu, pikir Bara. Padahal sudah jelas yang salah adalah anaknya. Tapi tetap saja yang disalahkan perempuan yang duduk di sampingnya.Bara telah membuka mulutnya berniat membalas tudingan konyol Bu tuti , namun Renata mengusap-usap serta mengamati kepalanya. "Aku yang laki-laki saja tak tahan mendengar setiap ucapannya! Tapi Renata masih memilih tenang, luar biasa, jadi jika aku Renata, berarti aku tak akan salah calon istri," gumamnya.Doni
Pov Doni.Niat awal mencari rumah barunya Renata selain ingin bertemu anakku juga ingin kembali mendekatinya. Renata itu tipe perempuan bucin dan labil, gampang sekali kalau di rayu. Jadi aku bulatkan tekad kesana dengan meminjam mobilnya Raka. Bagaimana aku mendapat alamat Renata? Tentu saja aku memaksa Dian ditengah jalan agar memberi tahu alamat bosnya. Meski penuh ancaman dan intimidasi aku berhasil mengetahui rumah kediaman mantan istriku itu.Namun saat sampai disana, kulihat Renata tengah duduk berdua dengan seorang pria. Ya … dia Bara, teman sekolahku dulu bahkan mereka hampir saya berciuman jika aku tak memberinya tepuk tangan. Entah bagaimana mereka bisa sedekat ini.Cemburu? Tentu saja bahkan ingin aku menghajarnya, dia telah mencuri start ku duluan untuk mendekati Renata. Akh syal*n.Ibu memegang tanganku dengan erat, aku tau maksudnya agar aku tak menghajar lelaki yang duduk
Kuremas kesepuluh jariku dengan cara ditautkan. Cemas dan takut berbaur jadi satu, hatiku tak nyaman seolah-olah terancam dengan kedatangan Mas Doni serta Ibunya ke rumah ini. Namun tak dapat kupungkiri ia mempunyai hak yang sama denganku dalam pengasuhan Annisa.Bara mengusap-ngusap bahuku dengan pelan, ia mencoba menenangkan kegelisahan hati ini. Aku masih beruntung kali ini, Mas Doni datang saat Bara ada di rumahku.Sudah berulang kali lelaki dari masa laluku itu mencoba mengutarakan niatnya, ingin melanjutkan kisah kami yang dulu. Namun kegamangan hatiku terlalu besar, hingga sampai saat ini belum ku temukan jawabannya.Dulu aku terluka olehnya, lalu menikah dengan Mas Doni yang kuanggap sebagai penyembuh luka namun pada nyatanya dia bahkan memberi luka yang tak berujung. Harga diriku, nama baikku hancur olehnya.Malu yang diberikan Mas Doni seolah mencopot satu persatu tulangku, membuatku lungla