"Aku yang memberikannya, kenapa?"Sontak Sinta menoleh ke belakangnya, dia spontan membekalkan dengan raut muka terkejut dan panik. Segera dia membungkuk pada Maxim, "Pa--Pak Maxim."Maxim berlalu begitu saja, berjalan ke arah Aayara–mengabaikan perempuan yang membungkuk padanya. Setelah di depan istrinya dengan jarak yang cukup dekat, Maxim memasangkan topi itu ke kepala Aayara lagi. 'Se--seperti biasa, Pak Maxim akan datang sebagai hero.' batin Aayara, cukup salah tingkah serta gugup ketika Maxim memasang kembali topi tersebut ke kepalanya. Sedangkan Maxim, dia terus menatap wajah menggemaskan istrinya–dia memperhatikan mata Rachel yang cantik serta berbinar-binar seperti berlian dalam laut, lalu beralih menatap bibir Aayara. Shit! Sangat menggiurkan. Ranum dan manis! Yah, Maxim tak lupa dengan rasanya."Siapapun yang berani menertawakan poni istriku, dia akan berhadapan denganku!" ucap Maxim dengan dingin, tanpa menatap ke arah para karyawannya yang menertawakan Aayara tadi. Dia h
"Sebenarnya … Aayara merupakan adik kandung saya, Tuan dan Nyonya."Alfa, Gabriel, Sati dan Keena sontak mengerutkan kening. Namun, mereka juga tak mengatakan apapun agar pria di depan mereka ini lebih leluasa mengungkapkan isi pikirannya.Yah, tiba-tiba Aesya menyuruh mereka berkumpul, katanya Aesya ingin mengatakan sesuatu pada mereka semua–mengenai Aayara dan keluarga Aayara. Aesya mengatakan jika Aayara sedang dalam masa sulit. "Awal pertama bertemu dengan Aayara, saya sudah merasakannya, jika Aayara adalah adik kandung saya. Ketika Tuan Maxim memerintahkan saya untuk mencari data pribadi Aayara, saya tahu jika Aayara memang adalah adik saya. Tetapi … saya memilih tidak mengatakannya pada Tuan.""Kenapa kau tidak jujur pada Maxim, Kevin?" tanya Alfa, mengerutkan kening sembari menatap tajam dan penuh peringatan pada Kevin. "Apa kau berniat menyembunyikannya seumur hidupmu?""Mas." Keena menegur. Sedangkan Kevin, dia menggelengkan kepala. Air mukanya murung dan lesu, pancaran ma
"Hendra lagi!" desis Gabriel dengan raut muka dingin, menatap tajam dan terkesan tak suka pada istrinya. Seolah tak paham dengan maksud suaminya dan terkesan tak acuh juga, Sati memilih mengacungkan pundak. "Siapa Hendra?" tanya Alfa, memilih tak acuh pada adiknya yang kumat cemburunya. Cik, padahal jelas ini beda Hendra. Hanya nama yang sama. "Hendra merupakan adiknya Dimas."***"Karena kamu telah berani mencemarkan nama baik saya di depan CEO dan petinggi lainnya, maka kamu saya kasih tugas tambahan." Melinda meletakkan tumpukan dokumen di meja kerja Aayara. "Kerjakan semua dokumen ini dan jangan istirahat sebelum tugasmu selesai. Paham?!" "Maaf, Kak Meli, tetapi aku harus ke ruangan Pak Maxim sekarang ini. Aku ada keperluan dengan …-" Brak'Belum selesai ucapan Aayara, memili tiba-tiba saja menggebrak meja Aayara. "Sok penting sekali kamu yah! Kerjakan ini, titik!" "Tapi …-""Awas saja jika kamu tidak mengerjakannya," geram Melinda lalu beranjak dari sana dengan raut marah d
Brak'Dengan kuat dan marah, Hendra menendang sebuah tembok yang baru setengah jadi pada bangunan rumah tersebut. Dia kesal karena setelah masuk dalam bangunan ini, Aayara dan teman dari pujaan hatinya tersebut tak terlihat. Dia sudah mengelilingi bangunan rumah yang setengah jadi ini namun dia tak menemukan kedua gadis itu. "Argkkkk … Aayara, di mana kau! Keluar, Gadis bodoh!" teriak Hendra marah, menendang sebuah kayu di sana untuk melampiaskan kemarahannya. Hal tersebut hampir saja membuat Jenny berteriak karena kaget pada suara Hendra, bercampur takut juga pada Hendra yang terasa dekat dengan tempat persembunyian mereka. Aayara dan Jenny bersembunyi di dalam sebuah tumpukan batu bata yang kebetulan punya ruang di dalamnya–tempat semen dan peralatan tukang disimpan. Aayara membekap mulut Jenny, menatap sahabatnya tersebut juga dan memperingatinya untuk tak berteriak. Jujur saja, Aayara juga takut. Namun untuk berteriak, dia sudah tak sanggup. Malah yang ada Aayara mengantuk, sa
Dengan bermodalkan pura-pura tidur, Aayara hanya diam sepanjang Maxim menggendongnya menuju rumah Kakaknya. Sedangkan Jenny sendiri, dia terbangun ketika Kevin berniat memindahkannya dari dalam batu bata. Jantung Aayara tak berhenti berdebar dengan kencang, tubuhnya terasa membeku dan tak berdaya. Dia sangat takut sekarang! Dia yakin sekali Maxim akan marah besar padanya setelah ini. "Aku tahu kau hanya berpura-pura tidur, Aya," bisik Maxim tiba-tiba dengan suara rendah dan sangat serak, kebetulan mereka berjalan di belakang dan itu membuat Aayara merasa semakin horor dan takut. Aayara hanya diam saat Maxim berbisik padanya, bahkan ketika pria itu sengaja mengigit daun telinganya, Aayara tetap diam. Yah, dia digendong oleh Maxim di depan, di mana kepala Aayara tertidur ke pundak Maxim. "Kali ini kau kelewatan batas, Aya. Kau akan tahu akibatnya dan bersiap-siaplah untuk hukumanmu," lanjut Maxim. Dia kembali berbisik tepat pada daun telinga Aayara. Cih, dia sangat yakin jika istrin
"Aayara," sapa Serena dengan langsung memeluk tubuh kecil Aayara sedikit erat–penuh perasaan lega dan senang juga. Aayara pulang kembali ke mansion dan dalam kondisi baik-baik saja. Tadi malam mereka semua panik ketika petang, Aayara belum pulang. Maxim juga belum pulang, jadi mereka berusaha berpikir positif. Siapa tahu Aayara memang bersama Maxim. Namun, tiba-tiba Maxim pulang dan tanpa Aayara. Seketika itu juga mereka panik, khawatir dengan kondisi Aayara– mengingat ucapan Aesya kemarin, jika pria bernama Hendra tersebut mengincar Aayara. Untungnya, Aayara baik-baik saja. "Kamu baik-baik saja?" tanya Serena lembut, menggenggam tangan Aayara lalu mengajaknya berjalan bersama ke ruang makan untuk sarapan bersama. Aayara dengan kaku dsn canggung menganggukkan kepala. Jantungnya berdebar kencang, tengkuknya terasa panas serta terasa seperti ada paku yang menancap di sana. Jelas! Maxim berjalan tepat di belakangnya dan Aayara yakin sekali jika mata pria ini tak lepas dari nya. Huk
"Aayara, Jenny, tolong belikan saya ramen. Ini uangnya," titah Melinda sembari memberikan uang berwarna pink dua lembar. "Cepat sana, bentar lagi sudah mau jam makan siang. Dan … kembaliannya buat kalian aja nanti." Aayara menatap uang dua ratus ribu tersebut dengan tampang konyol dan sepat. Apanya kembalian? Ongkos naik taksi untuk membeli ramen ini saja sudah menghabiskan seperempat dari uang yang Melinda berikan pada mereka. Belum lagi harga ramen di restoran yang wanita ini maksud, mahalnya tak ketulungan. Kalau kata Aayara mah, mending makan Indomie rebus di warung depan kampusnya. Sepuluh ribu dah kenyang, gratis es teh manis dan satu telor rebus juga. Lagipula Aayara sudah tak bisa keluar. Dia sudah janji pada Maxim sebelumnya untuk tak datang terlambat ke ruangan pria itu. 'Bisa-bisa aku disemen kalau terlambat.' batin Aayara menoleh ke arah Melinda dengan raut pias. "Maaf sebelumnya, Kak. Tapi aku harus keruangan Pak Maxim, dan lima menit sebelum makan siang aku sudah har
Sembari mengancing kemejanya, Maxim terus memperhatikan istrinya yang duduk di ranjang sembari mengenakan kemeja blus licin berwarna putih dan memiliki bordir bunga sakura di bagian kerah kemeja tersebut. Meskipun tupai-nya ini masih terlihat polos dan naif, tetapi tak bisa Maxim pungkiri jika tubuh Aya-nya ini sangat seksi dan menggoda jika sedang …-Shit! Maxim tak akan melakukannya lagi bukan?! Bisa-bisa tupai-nya pingsan jika harus kerja paksa secara terus-terusan. Maxim mendekati Aayara, mengambil ahli untuk mengancing kemeja perempuan itu. Hal tersebut sontak membuat Aayara mendongak ke arah Maxim, dia sedikit kaget dengan langsung menolak perlakuan Maxim. "Aku bisa sendiri, Pak Maxim," ucap Aayara sembari menahan tangan Maxim yang berupaya mengancing kemeja Aayara. Masalahnya Aayara tak nyaman. Dia tak suka pria ini dekat-dekat dan terlalu intim padanya. Bagi Aayara hal seperti itu tidak cocok untuknya, walaupun Maxim dan dia sudah sering melakukan hubungan suami istrinya.