Hai, Guys .... Jangan lupa masukkan ke library kalian, dan berikan review ya kalau suka .... Terima kasih #Love
Violet menutup pintu kamarnya sebelum dia menyandarkan tubuhnya di sana. Perempuan itu memegang dadanya yang terasa bergetar akibat ulah jantungnya yang berdetak tak karuan. Ini sungguh mengejutkan bagi Violet. Keberanian Vier terasa meningkat lebih tinggi dari biasanya. Tatapan lelaki itu juga tampak penuh dengan keyakinan.Ungkapan itu seolah menata kembali hati yang pernah dihancurkan oleh Evan. Benar kata Vier, hubungan mereka masih sangat baru. Dua bulan adalah waktu yang sangat singkat. Tapi, dua bulan ini berjalan penuh dengan arti. Apa yang harus Violet lakukan sekarang? Haruskah dia menerima Vier benar-benar sebagai suaminya alih-alih pacar? Apakah pernikahan ini benar-benar akan berakhir bahagia? Happily ever after seperti yang selalu diinginkan oleh orang-orang?Segala pertanyaan yang ada di dalam kepala Violet seolah menguar mengerumuninya tanpa ampun. Sayangnya dia tak mendapatkan jawaban yang benar. Sungguh, otaknya tidak bisa berfungsi dengan benar kali ini. Malam ter
Ibu Vier mendesah lelah ketika melihat mobil Hara pergi meninggalkan rumahnya. Raut wajahnya tampak muram dan tidak bersahabat. Tentu saja kekesalannya melambung begitu tinggi karena Vier seperti tidak berminat untuk mengakhiri hubungannya dengan sang bos. Tercetuslah bayangan bagaimana kalau Vier memiliki anak dengan istrinya sekarang, itu hanya akan membuat Hara tidak bisa bersama dengan Vier. “Via, ayo kita ke rumah Abang.” Ajakan itu ditujukan kepada putri keduanya, adik Vier. Alih-alih bersemangat, gadis itu tampak tidak tertarik sama sekali.“Kenapa kita harus ke sana, Bu? Aku ada kuliah besok.” “Kamu nggak dengar tadi kalau keluarga Hara datang dan mengancam kita?” Ibu Vier duduk di sofa kemudian menatap putrinya. “Vi, abangmu ini sekarang sedang terjebak, kita tidak boleh membiarkannya.” Tampak jelas ibu Vier berpihak kepada Hara dan keluarganya begitu besar. Tapi sepertinya, adik Vier justru tidak tertarik untuk mengganggu kakaknya. Dia jelas tahu tentang berita kakaknya y
“Kenapa Ibu jadi seperti ini?” Ekspresi yang Vier tunjukkan tampak menegang. Bagaimana bisa ibunya melontarkan kata-kata menyakitkan seperti itu. “Bukan hanya itu, kalau kamu masih menganggap ibu adalah ibumu, maka kamu juga harus keluar dari kantor itu.” Ibu Vier seolah sudah mengetuk palu keputusan di depan putranya. Ucapannya tidak bisa diganggu gugat. “Ibu yang akan mengatakan kepada orang tua Violet tentang masalah ini.”“Ibu ….” Vier sungguh tak mengerti kenapa tiba-tiba ibunya menjadi murka seperti ini. “Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Hara kepada Ibu?” Vier baru saja akan mengatakan itu tapi Violet lebih dulu mengatakannya. “Saya tahu Ibu membenci saya, tapi haruskah Vier memilih di antara kita?” Violet tidak tampak emosi, bahkan suaranya terdengar halus.Tapi Vier tahu, perempuan itu terluka karena ucapan ibunya. Lelaki itu menatap istrinya yang ada di sampingnya dengan tatapan dalam. Mereka baru saja menjalin hubungan ini dengan benar, tapi lagi-lagi masalah menerjang
Vier tidak bisa tidur malam ini. Setelah perginya Violet dari rumahnya, perempuan itu sama sekali tak bisa dihubungi. Dia ingin pergi meninggalkan rumahnya, tapi ibunya bahkan menjagainya sepergi seorang satpam. Vier dalam keadaan perasaan yang sangat rumit. Jika Hara menyerangnya dengan menggunakan ibu Vier sebagai senjata, maka tentu saja dia akan kalah. Vier tidak bisa melawan perempuan itu. Sebelum kejadian ini, ibunya adalah ibu yang sangat hebat untuknya. Tapi semuanya tampak berubah hanya dalam sekejap. Malam itu akhirnya berlalu. Vier keluar dari kamarnya sudah rapi dengan baju kantornya. Seperti tak pernah terjadi apa-apa, ibunya ada di dapur menyiapkan sarapannya sedangkan Bibi melakukan pekerjaan yang lain.“Ingat pesan Ibu, segera urus pengunduran diri kamu hari ini di kantor.” Setelah sarapan dalam suasana hening, ibu Vier mengingatkan saat Vier akan berangkat kerja. “Lalu Ibu meminta aku untuk jadi pengangguran?” “Kamu sudah memiliki bisnis restoran dan minimarket, k
Ketegangan seolah merambat dari celah-celah udara yang masuk ke dalam ruangan tersebut. Aura yang mereka keluarkan tampak tidak bersahabat. Mereka tampak seperti musuh yang siap membantai satu sama lain. Itulah yang dirasakan oleh Vier saat ini. “Maafkan kami karena tidak memberitahukan kedatangan kami lebih dulu.” Ayah Violet kembali bersuara setelah duduk dengan tenang di sofa. “Kami ingin membicarakan tentang pernikahan Vier dan Violet kepada Ibu.” “Kebetulan sekali, sebenarnya saya yang akan lebih dulu ke rumah Bapak dan Ibu untuk membicarakan masalah ini.” Sebelum ini, mereka belum pernah bertemu sama sekali. Tapi di pertemuan pertama mereka justru hanya ada ketidaksukaan yang tampak jelas. Apa benar yang dikatakan oleh ibu Vier jika keluarga mereka memang bukan untuk satu sama lain? Violet melemparkan pikiran buruk di kepalanya jauh-jauh. “Tentang pernikahan Vier dan Violet, kami tahu pihak kami bersalah. Kami meminta maaf kepada Ibu. Tapi, itu bukan karena kami ingin memanf
“Bos besar mencari sekretaris baru?” Itu adalah gonjang-ganjing di perusahaan Violet siang ini setelah ada bocoran dari HRD jika Rizal akan mengganti Vier sebagai sekretarisnya. Yang menjadi pertanyaan besar adalah, apakah Vier akan diangkat menjadi ‘bos’ atau bagaimana?Setelah berita itu menyebar di seluruh kantor, semua karyawan berdiskusi tentang masalah itu. Mereka terus menduga dan menduga apa yang sebenarnya terjadi. Tapi banyak dari mereka yang menganggap jika Vier akan mendapatkan jabatan tinggi di kantor tersebut. Mereka tentu tidak akan heran jika hal itu terjadi, karena Vier tentu saja mumpuni. Terlebih lagi, dia adalah menantu dari pemilik perusahaan. Violet tahu hari ini akan terjadi. Tapi entah kenapa hatinya masih terasa nyeri di setiap sisinya. Suaminya sebentar lagi akan pergi. Pergi dari hidupnya selamanya. Violet tidak diselingkuhi oleh lelaki itu, tidak juga diperlakukan buruk, tapi ganjalan terbesar mereka adalah sebuah restu. Restu yang tidak akan didapat oleh
Via sampai di rumah ketika Vier baru saja memarkirkan mobilnya di carport. Mereka tampak berbarengan meskipun Vier lebih dulu sampai.“Dari mana?” tanya Vier. Biasanya kalau Via menginap di rumahnya, gadis itu hanya akan berada di dalam rumah sambil memangku laptop seharian. Tapi tumben sekali dia keluar hari ini.“Aku habis ketemu sama Kakak.” Jawaban Via membuat Vier mengernyit. “Yang aku maksud bukan Kakak Hara, tapi Kakak Violet.” Padahal siang tadi, Violet tidak mengatakan apa pun tentang akan bertemu dengan adik Vier. “Habis itu aku mampir di toko buku dan betah di sana.” Violet mengangkat kantong plastik bertuliskan nama toko buku ternama. “Aku beli beberapa.” Suasana sore di rumah Vier terasa nyaman meskipun sinar matahari masih melumuri halaman rumah. Angin sepoi terasa menyejukkan. Kakak beradik itu bersandar di kap mobil tak langsung masuk ke dalam rumah. Mereka terdiam tanpa ada yang bersuara. “Apa yang kalian bicarakan?” Vier akhirnya membuka suaranya. “Aku nggak tahu k
“Apa yang mau kamu bicarakan?” Pertanyaan Vier muncul setelah mereka berada di luar rumah. Vier tidak ingin apa pun yang akan dikatakan oleh Hara nanti ada ibunya yang ikut serta ‘mendorong’ agar ucapan itu disetujui olehnya. Keberpihakan itu benar-benar membuat Vier kesal setengah mati. “Aku minta maaf atas kejadian saat itu.” Violet menoleh pada Vier dan menatap lelaki di sampingnya itu dengan tatapan lembut. “Aku pasti sudah membuat kamu malu, kan?” “Itulah kenapa seseorang harus menggunakan otaknya sebelum melakukan sesuatu.” Vier menjawab dengan nada kaku. Tampak jelas raut wajah dinginnya. Jantung Hara tentulah terasa nyeri dengan ucapan Vier terhadapnya. Biasanya dia diperlakukan begitu baik oleh lelaki itu, tapi sekarang semuanya berubah. Ketakutan terasa merambat di hatinya. Dulu dia merasa angkuh karena merasa apa pun yang terjadi, Vier tidak akan meninggalkannya. Oleh karena itu dia dengan semena-mena memperlakukan Vier. “Sekarang mungkin kamu menang, Ra. Kamu berhas
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa
Menuruti keinginan sang istri, mereka akhirnya berada di sebuah kedai bakso kobar yang tak jauh dari hotel. Melody makan bakso berisi cabe itu dengan lahap membuat Samudra menatapnya melongo. Padahal tadi dia sudah memasukkan dua potong steak, lalu jus juga, tapi sekarang dia berlaku seperti tak pernah makan selama berhari-hari. “Kamu beneran lapar?” tanya Samudra. “Mas tahu nggak kalau steak itu tadi hanya nyempil aja. Nggak tahu kenapa perutku tiba-tiba menjadi seperti karet.” Melody menyeruput kuah bakso yang berwarna merah kehitaman itu karena campuran sambal dan kecap. Matanya tertutup kemudian terbuka kembali. Kata ‘ah’ keluar karena rasa pedas meluncur dari dalam mulutnya. Sungguh, itu benar-benar enak menurut Melody. Samudra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah sang istri. Dia menyuapkan bakso ke dalam mulutnya kemudian mengunyah dengan santai sambil memperhatikan Melody yang keenakan karena bakso tersebut.“Memang udah berapa lama sih nggak makan bakso?” tany
“Kafe kecil nggak akan buat kamu kelelahan.” Lanjut Samudra setelah itu. Vier juga memiliki bisnis restoran yang masih diurus oleh Via. Jadi lebih baik berinovasi yang lain. Begitulah inti dari pembicaraan itu. Melody tampak berpikir dan masih membutuhkan waktu untuk memutuskan. “Kalau begitu, aku akan memikirkan lagi nanti.” “Bunda dulu setelah menikah juga nggak langsung libur kerja, kok. Tapi sedikit demi sedikit mengurangi pekerjaannya dan Ayah yang menggantikannya. Jadi kamu bisa mengambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk mengambil keputusan.” Melody mengangguk setuju. Sebuah keputusan baik tidak dilakukan secara terburu-buru dan harus dengan pemikiran matang. Hari-hari berlalu dan pada akhirnya pesta itu tiba. Melody melihat dekorasinya benar-benar sangat mewah. Violet dan Semesta yang mengurusnya dengan menanyakan keinginannya. Dia memilih dekorasi berwarna hijau matcha seperti yang disukai selama ini. Sejak kecil selalu berkawan dengan daun-daun teh membuatnya menyukai
"Ini baju design terbaru dari butik ini, Bang. Jadi, aku merekomendasikan kepada Kakak Ipar.” Semesta yang menjawab karena dia tahu kalau Melody sudah dihinggapi rasa ketakutan yang luar biasa. Terlihat, perempuan itu menunduk tanpa berani menatap Samudra sedikitpun. Melody pasti sudah mengerti betapa tatapan lelaki itu akan setajam apa. Jadi, lebih baik dia menghindar. “Waw, Kakak Ipar.” Belum lagi Samudra menjawab ucapan kembarannya yang satu, muncul lagi kembarannya yang lain. Sagara bersiul menggoda dan tampak puas dengan penampilan si kakak ipar. “Itu gaun yang cantik. Bukan itu juga, yang pakai juga cantik banget. Aku sih, ya.” Samudra tak bisa menahan panas yang menjalar dari dalam hatinya. Lelaki itu menatap Sagara dengan tajam. “Jangan menatapnya!” Samudra meraup wajah Sagara dan segera menarik tangan kembarannya itu sampai Sagara berbalik. “Tutup mata kamu. Itu kakak iparmu,” imbuh Samudra memeringatkan.“Aku tahu kalau dia kakak iparku. Tapi aku kan cuma memujinya. Buka