“Ayolah Adnan, turuti permintaan Mama sekali saja. Kasihan wanita itu sebatang kara,” ucap mama memelas.Ini bukan kali pertama mama mengucapkan kalimat itu, memintaku kembali menikah dengan wanita yang sama sekali tak kukenal.“Kalau kasihan apa harus dinikahi, Ma?” Aku menatap mata mama yang hampir menangis, kemudian meneguk segelas air putih.“Iya harus, dia sangat cocok sama kamu. Wanita itu baik sekali, mama yakin dia bisa memberimu seorang anak laki-laki. Kamu mau anak laki-laki ‘kan?”Ia terus mencari alasan agar aku menuruti permintaan tak masuk akalnya.Mama merayuku dengan dalih anak. Padahal saat itu, Zahira istriku sedang mengandung anakku. Kehamilannya sudah menginjak usia delapan bulan, hanya menunggu sebulan lagi aku akan menimang bayi kecil yang kunantikan selama lima tahun lamanya.Hasil USG menyatakan bahwa Zahira mengandung bayi perempuan, bagiku sebenarnya tak masalah. Asal bayi itu terlahir sehat dan sempurna. Tapi mama sangat kekeh ingin punya cucu laki-laki.“Ka
“Wah bagus sekali jam tanganmu, Nak!” ucap mama sesaat ketika aku baru saja tiba di rumah penuh kenangan masa kecilku ini. Aku menyandarkan tubuh di sebuah sofa berwarna maroon yang baru dibeli mama seminggu lalu, dengan uangku.“Iya, Ma. Hadiah anniversary dari istriku,” ucapku bangga. Menatap kembali jam tangan mewah berwarna silver yang diberikan Zahira sebagai hadiah anniversary pernikahan kami yang kelima.“Oh, dari Zahira. Banyak uangnya ya!” Mama mendelik begitu menyebut nama Zahira.“Butiknya berkembang pesat, Ma. Mungkin memang rezeki Tabitha juga, hidup kami semakin bahagia sejak kehadiran bayi berlesung pipi itu.”Seulas senyum terukir indah di bibirku.Aku merasa telah menjadi lelaki yang paling bahagia.Bagaimana tidak, karirku di kantor sedang naik, aku sudah berhasil membangun rumah mewah untuk keluarga kecilku, aku pun menjadi suami dari seorang istri yang sukses mengembangkan butiknya, dan kini aku telah menjadi ayah dari seorang bayi mungil bernama Tabitha Elrumi. Le
“Kenapa, Mas? Kita baru saja melewati malam pertama kita,” ucapnya kembali hendak mendekat padaku.“Apa?”Aku merasa tidak ada melakukan apapun dengan wanita ini, dan aku hanya tidur sendirian. Lalu, bagaimana bisa ia berkata seperti itu?Aku menarik tangannya paksa, menyuruhnya keluar dari kamar ini untuk kembali ke kamarnya. Lalu memberikan selimut untuk menutupi tubuhnya yang setengah telanjang.Hari ini jadwal kepulanganku kembali ke Medan, meskipun aku mendapat perpanjangan tugas tiga hari lagi di sini, tetapi aku meminta rekanku yang lain untuk menggantikan tugasku di tanah Minang. Karena kemarin, Zahira tiba–tiba saja menelepon dan bilang akan menyusulku ke sini bersama Tabitha.Tentu aku kelabakan, aku tak tega bila Zahira harus menempuh perjalanan pesawat sambil membawa bayi, apalagi di sini masih ada Renita. Wanita itu selalu ingin mengekoriku ke manapun.Jadinya, aku harus bersikap baik pada Renita agar ia mau menuruti perintahku untuk tetap tinggal di hotel, ketika aku bek
Untuk menghibur hati dan pikiran yang lelah, serta menyenangkan hati Zahira, aku bermaksud mengajaknya makan malam romantis di restoran tempat kami biasa melakukan rutinitas yang dulu sering kami lakukan. Zahira menerima ajakanku dengan senang hati, lalu mempersiapkan diri. Tanpa diduga, terjadi keributan antara Renita dan Zahira di bawah. Istriku tak terima saat memergoki Renita tengah mendekap bajuku yang seharusnya ia setrika. Entah apa tujuan wanita itu, mungkin ia benar-benar merindukan kehangatan dari seorang suami. Karena sampai detik itu aku sama sekali tak pernah melakukan hubungan apapun dengannya.Mama pun tampak membela Renita habis–habisan dan mulai sering menyalahkan Zahira. Kedua wanita itu seperti dilanda perang dingin. Semua karna kehadiran wanita yang kubenci.Sebab itulah tiba-tiba Zahira kehilangan selera untuk pergi makan malam di luar, aku yang tak terima melihatnya seperti itu lantas hendak mendatangi Renita dan mengusirnya keluar dari sini. Karena sejujurnya, a
POV Zahira“Tapi masalahnya ... Pak Adnan lah atasan kami, dia pemilik hotel ini, Bu!”“Apa?”Aku terperangah, kedua mataku seakan hendak keluar dari tempatnya, pun mulutku membulat sempurna. Tak bisa kubayangkan seperti apa wajahku saat ini. Yang jelas, aku sangat terkejut mendengar penjelasan pegawai hotel ini.Bagaimana bisa? Sejak kapan mas Adnan punya hotel. Oh ... ya, bukankah lelaki itu adalah pembohong sempurna, sehingga apapun bisa ia sembunyikan dariku.Ketika aku didera pikiran yang kacau, tiba–tiba terdengar langkah kaki dari lorong kamar hotel, semakin cepat dan semakin dekat. Aku mengerjap saat menyadari pemilik langkah kaki itu adalah mas Adnan. Ia tersenyum begitu melihatku, lalu bersiap memelukku.Sayangnya, aku kalah cepat dengan gerakannya, saat tanganku baru saja meraih gagang pintu, lengan kekar mas Adnan sudah melingkar di perutku. Dia memelukku dari belakang, menyandarkan kepalanya tepat di bahu kiriku. Sementara aku meronta, melepaskan pelukannya dari tubuhku.
“Ibu kandung?”Aku meyakinkan, mungkin telingaku salah mendengar“Iya Zahira, Sarmila hanyalah lbu sambung Adnan. Akulah yang telah melahirkannya. Suamiku lebih memilih wanita picik itu ketimbang aku, istri yang telah membersamainya dari nol,” ucap wanita itu, matanya berkaca–kaca dan menerawang jauh ke depan. Seakan berusaha mengumpulkan kembali memori masa lalunya.Ia semakin mendekatiku, tangannya yang mulai keriput menyentuh jari–jariku yang dingin. Kepalanya mendongak ke arahku.“Zahira, ayo ikuti Ibu!” ajaknya.Seakan ada sinar kekuatan yang menarikku untuk menuruti setiap ucapannya. Aku pun menyambut genggaman tangannya lalu berjalan beriringan menyusuri lorong ini menuju sebuah ruangan di ujungnya.Mas Adnan menyorong kursi beroda itu, pun Erika yang mengimbangi langkah kaki kami.“Duduklah, Nak!” ucapnya saat kami sudah berada di ruangan yang bernuansa putih, dindingnya banyak di hiasi dengan potret lawas sebuah keluarga. Aku masih terpaku sambil mengedarkan pandangan pada ru
“Iya, Mas. Aku percaya padamu. Kau masih Adnan yang kukenal, yang selalu membawa namaku di hatimu kemanapun kakimu melangkah.”Aku tersenyum, mengelus dada bidang itu, menyandarkan kepala di sana. Lalu memejam saat kecupan demi kecupan ia hujamkan ke keningku.Untuk beberapa saat kami larut dalam haru dan bahagia, saling menggenggam erat jemari bersama. Hingga aku kembali insaf bahwa ada dua orang lagi di sini selain kami.“Ibu, maafkan aku.”Aku melepaskan genggaman dari jemari mas Adnan. Kakiku melangkah ke arahnya, lalu berlutut mensejajarkan wajahku dengannya yang terduduk di kursi roda. Wajah itu, menyiratkan suatu kerinduan serta rasa kesepian yang amat melanda.“Kita baru pertama bertemu, Zahira. Kau belum ada salah padaku,” ucapnya tertawa samar. Diiringi tawa renyah dari kami berdua dan senyum manis dari Erika.“Erika, maafkan aku. Aku telah menyakitimu tadi.” Aku berbalik lalu mendekat padanya, meraih kedua tangannya yang dihiasi gelang mutiara. Diri ini sama sekali tak mam
Hari ini adalah kembalinya kami dari berlibur. Rasa lelah yang melanda terbayar sudah dengan kebahagiaan yang kami lewati. Waktunya kembali ke kota untuk melakukan rutinitas seperti biasa. Walaupun masih hari Jum'at, sebaiknya memanfaatkan esok untuk istirahat. Sebenarnya, Ibu menolak ketika kami ajak ikut ke rumah, namun dengan berbagai rayuan, akhirnya ibu mau menuruti permintaan kami. Tentu sambil membawa Erika, gadis berparas bidadari tersebut. Sebelumnya, mas Adnan mengajakku memantau beberapa hotel miliknya di kawasan wisata Brastagi. Selain hotel, keluarga ini juga memiliki puluhan homestay dan beberapa villa lagi. Hanya saja semuanya masih atas nama mas Adnan. Maka dari itu, ia berencana untuk membagikan lagi kepada kedua adiknya sesuai wasiat almarhum Hajsa Hamdani, ayah kandung mas Adnan, mantan suami nyonya Friska. Meski orang tua mas Adnan bercerai karena kehadiran mama Sarmila, namun ayah Hajsa sama sekali tak meninggalkan apapun kepada mama Sarmila. Sepetinya ia paham, k
"Cih ... tidak ada hakmu satu rupiah pun. Dan ingat, aku bukan lagi ibumu!" Nyonya Friska berjengit, ia jijik kembali berhadapan dengan anak sambung yang tak tahu diri itu.Renita berdecak, di pandangnya sekilas foto-foto yang terpampang di dinding rumah itu. Terdapat potret baru pernikahan Marwah dan Dipo, juga Friska bersama almarhum ayahnya dulu.Senyum ayahnya tampak nyata dari sana, namun mewariskan belati tajam di sanubarinya. Bagaimana bisa Friska tidak lagi mengakui tentang dirinya, namun masih setia memasang potret ayahnya."Wanita tua brengsek! Dulu, kau sendiri yang memintaku agar memanggilmu ibu. Sekarang kau membuang ku karena ayahku telah tiada. Wanita macam apa kau itu? Status sosialmu tinggi namun sebenarnya kau rendahan!"Renita mengumpat bekas ibu sambungnya dengan kata-kata kejam. Nyonya Friska terhenyak dengan bola mata yang hampir keluar."Kau ... keterlaluan. Aku tidak punya tanggung jawab apapun lagi padamu! Aku telah menawarimu rumah dan uang tapi kau malah men
Sepasang mata tajam itu kemudian menatap wajah Renita dari gambar yang ia ambil secara diam-diam dari ponsel canggihnya. Jemari tangannya bergerak untuk memperbesar tampilan layarnya."Kena kau, Renita. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Pria itu berucap dengan geram, bibirnya menampilkan seringai penuh dendam."Tinggal satu langkah lagi, kau akan mendekam di penjara!" lanjutnya, gemeretak giginya mengisyaratkan panasnya bongkahan bara yang menghuni di dada.Pria berjambang yang sejak tadi mengintai dari dalam mobil itu tak akan lagi kehilangan jejak Renita. Ia akan segera menuntaskan dendamnya. Renita harus membayar semua rasa sakit atas kehilangan aset dan nyawa ibunya. Juga wanita pujaannya. ***Pagi itu, Renita merasakan dirinya yang baru. Perlahan, ia membuka mata setelah semalaman begadang bak seorang lajang. Ia habiskan malam panjangnya dengan dentuman keras dari irama diskotik langganan.Sejak melahirkan, ia tak pernah lagi hadir ke
"Gak, Mas. Silahkan kau pulang bersama ibumu tapi aku tidak akan ikut!" ucap Renita menyanggah ucapan sang suami. Sudah setengah jam mereka berdiskusi dan Renita masih terus kekeh dengan jawaban yang sama.Saat keduanya terbangun tadi pagi, Riswan telah mendapat maaf dari Masli atas kelakuan kasarnya semalam. Mereka berdua kembali berbaikan dan sempat menghabiskan sarapan bersama di meja makan. Walaupun suasananya agak berbeda, karena ada Tata dan suaminya.Renita tidak tahu jika kakak iparnya sudah tiba sejak semalam. Ia tidur semalaman sambil melewati hukuman yang diberikan Riswan."Ini demi masa depan kita juga, aku berjanji ini tidak akan lama. Jika sudah sukses nanti, aku akan membeli rumah di kota lagi," bujuk Riswan lagi. Ia masih berusaha merayu Renita dengan memberikan iming-iming berbagai hal. "Gak, Mas. Tidak ada yang namanya masa depan kalau di kampung!""Ck, sadar, Renita. Kita tidak boleh memaksakan diri seperti ini. Roda kehidupan itu berputar, mana tau rezeki kita ada
"Masih belum diam juga?" ucap Riswan keheranan. Sudah cukup lama ia berada di luar, namun Renita masih belum bisa menenangkan putranya. Reisan masih terus menangis dalam dekapan sang ibu."Hhmmm, balik lagi, toh!" Bukannya merespon ucapan Riswan. Ia malah melirik tajam pada Bu Hayati dan menyindir kehadiran sang mertua.Ia bersyukur di dalam hati, sebab mertuanya masih ingin kembali. Ia jadi tak perlu repot, mengurus Reisan sendiri. Tanpa sungkan, ia berikan kembali Reisan pada neneknya. Lalu, memijit pelan bahunya bergantian akibat lelah menahan bayi dengan bobot enam kilogram tersebut."Gak konsisten, balik lagi, toh. Kenapa? Gak punya ongkos, atau takut tidur di pinggir jalan? Makanya kalau hidup masih numpang itu jangan sok-sokan!" gerutu Renita lagi. Wanita itu sudah melihat keduanya kembali melalui jendela kamarnya tadi. Lalu, bergegas turun untuk melontarkan kata-kata pedasnya pada sang mertua.Bu Hayati tak ingin menjawab, perasaannya masih kalut akibat pertemuan tidak sengaj
"Mau ke mana kamu, Mas? Jangan kamu kejar ibumu itu, biarkan saja!" sergah Renita sambil berusaha menghalangi kepergian Riswan. Sementara Reisan, ia biarkan di kamar sendirian."Kamu jangan halangi aku, aku akan mengantar ibu pulang. Urus saja Reisan, dia menangis sendirian," ucap Riswan sambil berlari menuju keluar rumah. Sayangnya, ia lupa jika kunci mobil masih dipegang Renita.Dengan terburu-buru, ia kembali ke kamar, menyusul Renita yang gusar karena mencoba menenangkan Reisan. Renita tak paham dengan keinginan bayi mungil di dekapannya, sebotol susu sudah ia sodorkan namun putranya masih tak ingin diam. Keadaan rumah yang kacau dan suara tangisan kencang memenuhi isi ruangan, membuatnya seketika merasa geram."Mana kunci mobilnya?" Riswan mengadahkan tangan, menunggu dengan perasaan risau."Gak ada!" Renita membuang pandang. Matanya memindai keluar jendela kamar, menyaksikan Bu Hayati berjalan sambil menyeret koper."Kok, gak ada? 'Kan kamu yang terakhir pakai mobilnya. Cepat b
"Aaaarggghh ... apa kamu gak punya cara lain lagi, sih, Mas? Masa' kita harus keluar juga dari rumah ini? Mau tinggal di mana lagi kita?" sergah Renita begitu marah. Baru tiga bulan ia menempati rumah mewah bertingkat dua ini, ia beserta keluarganya harus merelakan rumah itu disita pihak Bank."Mau gimana lagi, Ren? Uangku gak cukup untuk bayar tunggakan bank. Kamu 'kan tahu, gajiku yang sekarang cuma cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari aja. Sementara, tabungan sudah semakin menipis!" Riswan tertunduk lesu. Baru saja ia pulang bekerja, tapi malah disambut amukan oleh Renita. Mereka baru saja menerima surat peringatan untuk yang ketiga kalinya dari pihak bank. Mau tak mau, keluarga itu harus segera mengambil keputusan. Pergi mengosongkan rumah yang telah dianggunkan itu atau membayar semua tunggakan.Riswan sudah lama memikirkan hal ini. Keputusannya bulat untuk mengosongkan rumah ini saja dan membeli rumah sederhana di kampung halaman dengan uang yang masih ia punya. Akan tet
Entah kenapa, hati kecil kedua sahabat itu seperti bersorai gembira setiap kali melihat Renita tersakiti. Seakan ada kepuasan tersendiri dan juga rasa sakit yang terbalaskan. Sebagai manusia biasa, keduanya masih menyimpan dendam dan ingin terus membalasnya.Bu Hayati tampak begitu acuh. Ia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk membela wanita yang telah memberinya seorang cucu laki-laki itu. Wanita yang ia bela mati-matian kemarin, saat kesuksesan masih dalam genggaman putra semata wayangnya.Begitu pun Riswan. Ia lebih tertarik untuk mengamati barang bawaannya ketimbang melerai pertengkaran dua wanita yang pernah mengisi hari-harinya. "Itu becaknya, Wan?" tanya Bu Halimah ketika di saat bersamaan mendengar deru mesin dari dua buah becak motor yang datang. Ia benar-benar tidak ingin ikut campur pada urusan kedua wanita itu. Lalu, mengambil Reisan dari gendongan Renita.Bayi laki-laki yang wajahnya sangat mirip dengan Riswan itu menggeliat lucu, kelopak matanya yang tertutup be
Karena terus didesak, akhirnya Masli menuruti saran Zahira. Apalagi ini hari terakhir sahabat karibnya bisa pergi dengannya, setelah berjanji dengan sang mertua untuk tak lagi pergi keluar rumah. Selain itu, Zahira akan pulang kampung lusa, mereka akan berpisah lama sekitar sepekan lamanya."Iya, iya. Kita ke sana sekarang," ujar Masli meskipun sebenarnya ia tak lagi ingin melihat wajah Riswan. Cukuplah semalam itu yang terakhir baginya. Karena setiap kali menatap manik pria itu, kenangan manis mereka kembali muncul.Mereka berempat menuju mobil yang terparkir di halaman kantor Koh Yusuf, lalu melajukan kendaraan itu menuju perumahan Evergreen.Berbagai prasangka berputar seperti roda di dalam kepala Masli. Begitu pun tentang bayangan wajah Koh Yusuf, meskipun keberadaan mereka telah dikikis oleh jarak, namun raut rupawan itu seolah masih ada di hadapannya.Apakah ia salah jika memiliki setitik perasaan pada pria Tiong Hoa itu?Ataukah ia layak menaruh sedikit harapan pada pria mapan
Bukannya sombong atau pun memandang dengan sebelah mata, keduanya hanya tidak mengira jika orang yang dimaksud akan berpenampilan sesederhana ini. Apalagi bayangan yang sejak tadi menghantui pikiran Zahira selama diperjalanan. Mereke berdua menganggap jika Koh Aceng adalah sosok pria tua yang berpenampilan necis dan berkelas. Khas para pengusaha kakap di kota ini."Oh ... jadi Anda, Koh Aceng? Maafkan saya Koh, saya tidak menyangka jika Koh Aceng masih muda dan segagah ini," celetuk Masli. Meskipun ia dilanda rasa gugup dan bingung, namun wanita itu mencoba tetap tenang dan menetralisir degupan jantungnya yang seketika hendak melompat, ketika pria bersahaja yang ia abaikan kehadirannya adalah pria pemilik perusahaan ini.Apalagi, pria itu sempat mengatakan tentang kekacauan di perumahan Evergreen. Sontak membuat nyali kedua sahabat itu menciut sekaligus malu."Maaf, Koh! Saya juga tidak tahu kalau Anda adalah Koh Aceng. Mas Adnan banyak bercerita tentang Anda kepada saya, tapi dia tid