Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Mas Reno semakin membaik. Sakit kepalanya ia bilang sudah berkurang. Dalam pikiranku, besok pagi Mas Reno sudah diizinkan pulang. Dokter Rahardian pun mengatakan kalau hasil tesnya bisa diambil ke rumah sakit bersamaan dengan Mas Reno kontrol."Ma, aku mau ke toilet," ucap Mas Reno saat aku menekuri ponsel membaca-baca soal HIV."Ah, iya." Kuletakkan ponsel kemudian beranjak mendekati Mas Reno. Kubantu Mas Reno turun dari tempat tidur kemudian menuntunnya ke toilet sembari memegangi tiang infusnya."Bisa sendiri?" tanyaku saat Mas Reno hendak memasuki toilet."Bisa."Selama Mas Reno di toilet, aku berdiri di depan pintu."Sudah, Mas?" tanyaku saat Mas Reno keluar.Mas Reno mengangguk. Namun, ada yang beda dari saat ia masuk ke toilet. Laki-laki itu cegukan."Loh, Mas, kok, cegukan?" tanyaku khawatir. "Iya, nih. Enggak tahu."Aku kemudian kembali menuntun Mas Reno menuju tempat tidurnya.Aku memang sangat khawatir dengan kondisi Mas Reno. Wala
Aku sudah tidak selera makan sama sekali sejak Mas Reno tidak sadarkan diri. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, Mas Reno dinyatakan koma. Suamiku itu juga terkena toksoplasma. Apalagi sebabnya kalau bukan karena daya tahan tubuhnya telah digerogoti virus mengerikan itu.Aku takut. Sangat takut. Apa jadinya aku dan Cilla jika Mas Reno sampai tidak mampu lagi bertahan? Apalagi kalau ternyata aku dan Cilla juga positif HIV. Rasanya, akan lebih baik kalau kami bertiga mati bersama."Sil, sabar ...." Mami mengusap-usap punggungku yang berguncang karena menangis. Aku tidak mampu untuk tidak menangis lagi. Semua ini terlalu berat untukku. Dunia ini seperti sudah kiamat bagiku. Aku sudah tidak punya masa depan lagi."Reno pasti bisa bangun lagi, Sil." Kali ini Papi yang menenangkanku.Kedua orang tua Mas Reno hanya tahu kalau Mas Reno terkena meningitis dan toksoplasma. Mereka tidak tahu penyebab Mas Reno sampai mengidap penyakit dua mematikan itu sekaligus. Aku belum mampu. Sungguh
Jika boleh menyesali keputusan yang telah diambil, maka aku sangat menyesal telah memutuskan untuk tidak bercerai dengan Mas Reno. Seandainya dulu aku teguh untuk meninggalkan Mas Reno atas pengkhianatan yang telah dilakukannya kepadaku, tentu saat ini aku tidak akan pernah memegang dua lembar kertas mengerikan ini.Ya, kini di tanganku telah ada kertas yang menyatakan hasil tesku dan Cilla. Dan kami berdua dinyatakan positif. Apakah aku menangis?Tidak. Aku bahkan seperti tidak tahu lagi bagaimana cara menangis. Hatiku seperti beku oleh penyesalan yang teramat menyakitkan. Aku merasa sangat berdosa kepada Cilla. Karena seolah-olah aku membuat ia dilahirkan hanya untuk menerima penyakit terkutuk ini.Dan saat ini, yang ada di kepalaku, aku ingin membawa Cilla pergi ke sebuah tebing, lalu meloncat dan kami mati bersama. Hanya itu.Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Cilla tumbuh dengan penyakit mengerikan ini. Melihat Cilla menerima hinaan, bulian, cemoohan, diasingkan, dan dijauhi
"Sil, kamu ngomong apa barusan?" tanya Mami sembari menatapku tak percaya.Bibirku mengatup rapat. Beku. Namun, air mataku menjawab pertanyaan Mami. Dengan deras cairan hangat itu membanjiri pipiku. Di luar dugaan, Mami langsung memelukku."Mami tahu, ini berat buat kamu, Sil. Mami juga merasakan hal yang sama. Tapi, kamu harus yakin, Sil, Reno pasti akan kembali baik-baik saja. Percaya sama Mami."Aku masih belum bisa berkata-kata, hanya bisa menangis menumpahkan semua kesedihan dalam pelukan Mami."Kalau kamu lelah bolak-balik rumah sakit dan rumah, kamu istirahat aja dulu. Urusan Reno biar Mami sama Papi yang urus. Kamu fokus urus Cilla aja, ya?"Aku menggeleng sembari menjauh dari tubuh Mami. "Aku enggak bisa sama Mas Reno lagi, Mi," ucapku masih dengan berurai air mata."Kenapa kamu bilang gitu, Sil? Ada apa?" Mami mengguncang bahuku. Aku yakin, Mami yang mengenalku tahu kalau ada sesuatu yang membuatku ingin bercerai dari Mas Reno. "Ayo, kita ke kantin! Kamu kayaknya butuh minu
Usai mendengar berita dariku, Mami seperti hilang ditelan bumi. Wanita yang selama ini selalu menguatkanku itu sudah lebih dari satu minggu sama sekali tidak pernah lagi menghubungiku apalagi datang ke rumahku. Sekadar menanyakan kabar Cilla pun sudah tak pernah. Entah apa yang terjadi. Aku pun tidak berusaha mencari tahu. Sejak saat itu, aku juga sudah tidak pernah lagi membesuk Mas Reno. Biarlah, dia menjadi urusan Mami dan Papi. Rasanya aku sudah cukup dia buat menderita dengan hadiah mengerikan yang ditularkannya padaku dan Cilla. Saat ini aku hanya ingin fokus dengan kesehatanku dan Cilla."Bu Sisil harus benar-benar menjaga kesehatan. Karena pasien HIV biasanya akan kalah justru oleh penyakit lain. Bu Sisil tau, penderita HIV tidak punya imunitas seperti orang sehat. Jadi, usahakan kondisi Bu Sisil dan Cilla selalu dalam kondisi baik."Beberapa kali mendengar nasehat dari Dokter Rahardian, aku mulai sedikit terbangun dari keterpurukan. Meski aku masih belum bisa berdamai, apala
"Mi, Sisil minta maaf ...." Kugenggam dengan erat jemari wanita yang selalu menguatkanku ini. Aku benar-benar tidak menyangka hal ini akan terjadi pada Mami. Karena setahuku, selama ini kondisi kesehatan Mami baik-baik saja. Wanita itu tidak memiliki keluhan kesehatan apapun."Sejak Reno masuk rumah sakit, tensi Mami naik," jelas Papi tadi."Aku minta maaf, Mi, aku enggak pernah perhatiin Mami. Sampai aku enggak tahu kondisi Mami sedang enggak baik." Kuciumi jemari Mami yang terasa dingin.Sungguh, aku sangat menyesal telah menceritakan dan berkata seperti itu pada Mami. Mami pasti sangat syok waktu itu. Dan selama tidak ada kabar dari Mami, aku benar-benar mengabaikan wanita yang telah sangat baik kepadaku ini."Sisil benar-benar minta maaf, Mi."Kucium pipi wanita yang matanya sejak tadi terpejam dengan rapat. Selang-selang yang menunjang kehidupan Mami terpasang di hidung dan mulutnya. Aku sungguh tidak tega melihat itu. Terlebih saat mendengar bunyi monitor yang memantau kondisi M
Sudah dua bulan berlalu sejak Mami jatuh struk. Kini Mami sudah membaik dan sudah dibawa pulang. Meski sekarang wanita itu tidak lagi bisa berjalan karena separuh tubuhnya lumpuh.Hari-hari Mami dihabiskan di kamar dan kursi roda. Sekadar untuk berkata-kata pun sekarang Mami kesulitan. Hal itu membuat wanita itu lebih sensitif dari sebelumnya. Sementara Mas Reno belum ada perkembangan. Laki-laki itu masih berada di ICU. Entah kapan Mas Reno akan membuka matanya kembali.Kini hanya aku dan Papi yang harus berjuang untuk mereka. Di tengah kondisiku yang tidak baik, aku harus bersikap seolah-olah semua baik-baik saja. Meski Papi sering melarangku beraktivitas terlalu padat. Namun, jika bukan aku yang berjuang siapa lagi?Untungnya bisnis Papi masih berjalan dengan lancar. Meski kondisi Papi tidak seprima dulu, tetapi laki-laki itu masih memiliki kekuatan yang cukup untuk menjalankan bisnis. Tentu saja, aku harus menggantikan posisi Mas Reno untuk membantu Papi.Sering sepulang dari kant
Di luar ICU aku menunggu tim medis memeriksa kondisi Mas Reno. Perasaanku benar-benar tidak karuan. Jujur, ada rasa lega. Namun, ternyata tidak hanya itu. Karena aku juga merasakan kebencian, kemarahan, dan kekecewaan yang mendalam pada Mas Reno. Mirisnya semua perasaan itu saling berbaur, membuatku tidak tahu harus melakukan apa. Aku hanya duduk, diam, dan tak bereaksi apa-apa. Aku bahkan sampai lupa menghubungi Papi tentang kondisi terbaru Mas Reno. Memikirkan seperti apa kehidupan kami nantinya saat Mas Reno sudah diizinkan pulang saja membuat perutku mual dan badan menggigil.Bagaimana bisa aku merawat Mas Reno yang dalam kondisi pemulihan dari penyakitnya itu? Sementara semua rasa sayang yang tadinya begitu besar untuknya itu, kini sudah tak berbekas sama sekali."Bu Sisil!" Salah seorang perawat ternyata sudah berdiri di ambang pintu dan memanggilku."I-iya, Sus." Aku berdiri menghampirinya."Pak Reno sudah bangun dari komanya," ucap perawat tersebut.Aku hanya terbengong menat
"Siapa, Sil, yang meninggal?" tanya Dokter Rahardian sembari menepikan mobilnya.Aku menoleh ke arah laki-laki itu dengan lelehan air mata di pipi. Bibirku seperti membeku sehingga tidak bisa langsung menjawab pertanyaan calon suamiku itu.Tak banyak bertanya lagi, Dokter Rahardian langsung memelukku. Memang hanya itu yang aku butuhkan saat ini. Cukup lama aku menangis di pelukan Dokter Rahardian sampai akhirnya aku sedikit tenang dan bisa berbicara."Mami meninggal .... Mami udah meninggal ...." Tangisku kembali pecah dan Dokter Rahardian kembali memelukku.Bagiku Mami bukan cuma ibu mertua yang teramat baik. Mami adalah pengganti ibuku yang entah berada dimana. Dari Mami aku merasakan kasih sayang seorang ibu. Dan sekarang aku mendengar kabar kalau wanita berhati mulia itu telah tiada."Udah, kita ke sana sekarang?" tawar lelaki beraroma wangi maskulin tersebut.Aku mengangguk sembari mengusap pipiku yang basah.Begitu tiba di kediaman Papi, hampir semua sanak keluarga sudah berkump
"Dokter Nafisa?" gumamku nyaris tak terdengar. Bahkan oleh diriku sendiri. Saat mata dokter cantik itu terpaku ke menatapku, aku mengangguk kecil sembari tersenyum kaku. Sorot matanya menunjukkan keterkejutan saat melihat keberadaanku. Padahal jelas kudengar tadi dia bertanya tentang Dokter Rahardian.Apa dia tidak tahu kalau Dokter Rahardian akan ke sini bersamaku?Aku menoleh ke arah Dokter Rahardian. Lelaki itu juga sepertinya sangat terkejut melihat keberadaan gadis yang pernah dijodohkan oleh orang tuanya dengan dirinya. Mungkin dia tidak menyangka, di saat ia ingin memperkenalkanku pada orang tuanya, justru ada gadis yang pernah dijodohkan dengannya itu di sana.Sejurus kemudian, aku melihat Dokter Rahardian menoleh ke arah ibu tirinya dengan tatapan tidak suka. Setelah itu ia menghela napas dan bersikap seperti tidak ada apa-apa. Ia kembali menatap Dokter Nafisa."Udah dari tadi, Sa?" sapa Dokter Rahardian."U-udah." Dokter Nafisa kemudian berjalan perlahan ke arah kami dan du
"Siap ketemu calon mertua?" canda Dokter Rahardian begitu aku membukakan pintu. Bibirnya tersenyum lebar dengan kedua bola mata berbinar terang. Aku tidak tahu sejak kapan dokter itu jadi seceria ini."Aku takut, nih." Aku memang takut kalau-kalau orang tua Dokter Rahardian tidak menerimaku dengan baik. Apalagi mengingat status kesehatanku."Kenapa?" Binar di matanya kini menghangat."Aku takut mereka enggak suka sama aku. Kamu tahu sendiri gimana kondisiku." Aku memajukan bibir bawah. Hatiku risau memikirkan itu.Dokter Rahardian mengambil jemariku dan menempelkan ke dadanya. "Dengarkan aku!" pintanya dengan wajah serius. "Kita ketemu mereka bukan untuk meminta mereka untuk suka sama kamu atau enggak. Apalagi meminta persetujuan. Aku cuma ingin ngenalin calon istriku ke mereka. Itu doang."Perasaanku kini semakin campur aduk. Antara terharu dan kasihan kepada calon suamiku itu. Aku terharu karena lelaki itu tidak menyimpan keraguan sedikitpun untuk menikahiku, tetapi aku juga kasihan
Lama aku menjawab permintaan Mami. Karena bagiku itu tidak mudah. Meski aku tahu, Mas Reno saat ini seperti apa. Namun, lelaki itu hanya masa lalu bagiku. Bahkan dia adalah orang yang menghancurkan hidupku, membunuh anakku, dan merampas masa depanku. Sudah cukup aku berurusan dengan Mas Reno. Aku ingin melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu, seperti saat-saat terakhir ini."Mas Reno harus punya semangat hidup, dengan atau tidak adanya aku, Mi. Karena seperti apapun, kami berdua sudah punya kehidupan masing-masing. Ini juga dulu yang Mas Reno mau, kan, Mi?"Sebenarnya aku tidak tega mengatakan itu kepada Mami, hanya saja aku tidak mau memberi harapan palsu pada Mami. Perpisahan ini keputusan bersama. Bahkan dulu Mas Reno yang menginginkannya. Toh, hidup dan mati bukan di tangan manusia.Ah, aku jadi teringat Cilla. Bagaimana aku menanti kehadiran anak itu selama delapan tahun pernikahan. Bagaimana bahagianya aku saat tahu ternyata di rahimku bersemayam sebuah janin yang aku ri
Dokter Rahardian menepati janjinya. Ia menjemputku setelah acara selesai, menjelang magrib. Mami dan Papi mengantarku sampai teras. Mami terlihat begitu berat melepasku, berkali-kali dia memelukku dan menangis."Mami harus sehat. Besok-besok aku ke sini lagi. Pokoknya Mami harus sehat, oke?" Aku berusaha memberi semangat pada mantan ibu mertuaku itu."Kalau kamu ada apa-apa, hubungi Mami, Sil! Mami selalu ada buat kamu," ucap wanita yang masih memegang lenganku dengan erat itu."Iya, Mi, pasti. Aku akan sering main ke sini nanti."Mami mengangguk kemudian sekali lagi memelukku. Setelahnya aku berpamitan pada Papi. Lelaki itu tampak lebih tegar daripada Mami. Ia menepuk punggungku dengan sayang, kemudian berkata, "Jaga diri kamu baik-baik, Sil!""Iya, Pi," jawabku. Dan pada saat itu, aku bisa melihat Mas Reno. Laki-laki itu tampak sedang menatap ke arahku dari balik jendela kaca yang ada di kamarnya. Saat menyadari aku melihat dirinya, ia pergi dan tidak bisa aku lihat lagi.Ah, Mas Re
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Aku membekap mulutku sendiri. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat ini.Seluruh dinding kamar Mas Reno dipenuhi dengan foto-foto kami berdua di berbagai momen dan berbagai ukuran. Setiap sudut ruang berukuran 6x5 meter itu juga dipenuhi dengan barang-barang kenangan kami berdua sejak pacaran. Bahkan beberapa dari barang-barang itu sebelumnya sudah aku simpan di gudang rumah kami dulu karena tidak terpakai. Namun, sekarang semua itu terpajang dengan rapi di kamar ini.Ada dua buah manekin yang ditaruh tak jauh dari ranjang, dipakaikan kaos couple pertama yang kami beli saat ke Bali. Selain itu, dua manekin itu juga dililit dengan syal rajut couple yang kami beli saat ke Dieng, Wonosobo. Dan bagian bawahnya dililit dengan kain songket couple milik kami.Maksud kamu apa, Mas? Maksud kamu apa? Bukannya kamu menceraikanku karena ingin bisa bersatu dengan Bulan? Terus kenapa dengan ini semua? Maksudnya apa?Aku berjalan mendekati Mas Reno, me
Aku tertegun mendengar perkataan Dokter Rahardian. Sepersekian detik, bumi seperti berhenti berputar. Bagaimana tidak? Seorang dokter muda yang tampan dan mapan, ingin menikah dengan janda pengidap HIV seperti aku? Pasti ada yang salah dengan Dokter Rahardian."Sil, kenapa malah bengong?" Dokter Rahardian melambaikan telapak tangannya di depan wajahku."Jangan bercanda, Dok," sahutku lalu terkekeh. Hidupku udah sebercanda itu. Berusaha mempertahankan pernikahan, justru yang aku dapat penyakit mematikan."Emang aku terlihat kayak lagi bercanda, ya?" Sorot mata Dokter Rahardian lurus menembus pupil mataku.Meski ada debar aneh saat ditatap seperti itu, aku berusaha mengabaikannya. Aku memilih mengangguk mengiyakan pertanyaan Dokter Rahardian. Bagaimana mungkin ucapannya itu serius. Mau cari mati apa Dokter Rahardian? "Terus, aku harus pakai bahasa apa biar enggak terdengar bercanda buat kamu, Sil?" tanyanya lagi."Dok, Dokter ini masih muda, tampan, dan mapan pula. Mau cari gadis yan
Satu tahun sudah aku meninggalkan kota tempat tinggalku dan Mas Reno sebelumnya. Aku memang sengaja ingin memulai hidup baru. Tak lama setelah kepindahanku, Dokter Rahardian juga dimutasi ke kota tempat tinggalku juga. Sehingga kami kembali bertemu karena dia kembali menjadi dokter yang menanganiku. Tak hanya itu bahkan Dokter Rahardian membimbingku untuk menjadi relawan yang bergerak di bidang HIV. Dan aku menikmati itu.Saat sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang memiliki virus mematikan yang sama dengan aku, aku jadi merasa punya teman. Aku tidak sendirian berperang dengan virus mengerikan tersebut. Aku benar-benar berusaha melupakan semua masa laluku. Tentang Mas Reno, Mami, ataupun Papi. Meski saat sendiri, aku sering menangis karena masa lalu kami terlalu berharga untuk dinodai seperti ini. Namun, tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain terus melangkah dan menatap ke depan tanpa menoleh ke belakang lagi.Hari ini Dokter Rahardian mengajakku seminar di kota tempat Ma
"Sejauh ini kondisi Ibu cukup baik," ucap dokter yang dipanggil Papi untuk datang ke rumah setelah memeriksa kondisi Mami. "Hanya saja, kalau bisa Ibu dibuat biar enggak banyak pikiran dulu. Ibu pingsan karena stress yang cukup berat. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu," jelas dokter langganan keluarga Papi.Aku, Papi, dan Mas Reno mengangguk dengan kompak. Tidak ada satu pun dari kami yang menyahut penjelasan dokter tersebut. Sepertinya pikiran kami bertiga sama, kalau Mami sampai pingsan seperti ini karena pernikahanku dan Mas Reno yang sudah berakhir. Namun, apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur. Jalan takdir memang sudah menggariskan kami untuk berpisah.Malam ini, Mami meminta untuk tidur bersamaku. Kami bercerita sampai larut tentang masa lalu. Saat aku masih SMA dulu dan cerita kami yang lainnya. Meski berkali-kali aku meminta Mami untuk tidur, tetapi wanita itu masih terus bercerita tidak memedulikan perintahku."Sampai kapanpun, Mami tetap Mami kamu, Sil. K