"Sudahlah Nagita. Jangan memaksaku. Kita bertahun bersama. Kamu mengenalku baik. Tentunya sudah tahu jawaban apa yang akan kuberikan." Mas Gilang berdiri angkuh. Memasukkan kedua tangan dalam saku celananya."Mas! Untuk apa kamu terus menerus mencintai wanita itu. Dia pengkhianat, buka mata kamu, Mas. Dia sampai mengandung anak lelaki lain. Apa belum cukup alasan untuk kamu membencinya?" tanya Nagita dengan surara bergetar."Aku rasa kamu tahu jawabannya. Kamu juga tak lebih baik dari dia. Kamu juga pengkhianat. Melanggar perjanjian yang telah kita sepakati. Bahkan, lebih dari itu. Kamu menjebakku bersama keluargamu," tuding Mas Gilang.Nagita berusaha menjelaskan, jika sedari dulu dia iri dengan posisiku. Mas Gilang memperlakukanku bak ratu di depan mereka semua. Dia mencintai dan memimpikan Mas Gilang sedari dulu."Mas, aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuk kamu. Aku akan membantu kamu melupakan wanita cacat itu ....""Sssstttt! Jangan pernah hina dia ....""Dia pantas untuk
"Penurunan detak jantung bayi dan pegerakan bayi harus diwaspadai, karena itu merupakan tanda adanya fetal distress yang beresiko kelahiran premature dan kematian janin dalam kandungan," papar Dokter Diana."Apakah itu bisa dicegah?" tanya ibu. Aku memilih diam tak tahu harus berkata apa. Antara senang dan sedih menghadapi kondisiku sekarang."Sebelumnya keadaan seperti ini berkaitan dengan kontraksi rahim, aktivitas ibu, anemia, obat-obat yang dikonsumsi ibu, dan perubahan lainnya pada kandungan. Denyut jantung janin bukan satu-satunya hal yang menjadi kriteria janin sehat atau tidak. Karena ada detak jantung sehat pas lahir meninggal. Ada juga yang detak jantungnya lemah, lahirnya sehat. Cuma kita jaga-jaga saja. Kita sama-sama mendoakan agar ibu dan bayi sehat sampai lahiran." Dokter Diana sangat pandai dalam berbicara. Sehingga, penjelasannya tidak terlalu membebani kepalaku."Apa ini ada hubungannya dengan obat yang saya minum untuk kesembuhan luka dan patah tulang yang saya der
"Mas Gilang!" teriak Nagita seraya memukul-mukul dada Mas Gilang. Dia terlihat sangat kecewa.Wanita berparas cantik itu berlari dengan derai air mata yang membasahi pipinya. Aku merasakan sakit yang dirasakan oleh Nagita. Sungguh! Diabaikan dan didiamkan pasangan adalah hal yang sangat menyakitkan.Langkah Nagita terhenti melihat kehadiranku. Mas Gilang tak kalah tegugu saat melihatku berada tak jauh dari posisinya."Ini semua karena kamu wanita busuk!"Nagita mendorong kursi rodaku kasar, hingga tubuhku terjerembab ke lantai. Aku mengaduh kesakitan. Tak berdaya untuk bangkit. Aku memohon pertolongan dari Mas Gilang. Namun, dia hanya melihat tanpa mau membantu. Tatapan sinis dan penuh benci terpusat untukku. "Tolong, Mas!" Suaraku terdengar lirih. Namun, sia. Tidak ada yang peduli. "Bangun sendiri! Jangan sok manja!" Mas Gilang masih dalam posisinya berdiri angkuh dengan tatapan sarkas memporak-porandakan jiwa.Bersusah payah bangkit, perlahan mengesot mencari pegangan. Kutarik kur
"Jangan, Do. Aku tidak mau." Ucapanku sama sekali tidak diindahkan. Tubuh lemahku dimasukkan dalam mobil."Jangan pernah kembali lagi," ketus Nagita dengan senyum miring."Tenang, aku akan membawamu ke tempat yang indah." Aldo terlihat menakutkan.Mobil dilajukan cepat. Aku sempat melihat mobil ibu belok ke halaman rumah. Aku menurun kaca mobil secepat kilat. Berteriak sekuat tenaga memanggil ibu. Aldo semakin beringas, ditarik tubuhku dan segera menaikkan kaca mobil sampai jemariku terjepit dan mengeluarkan darah. Aku meringis kesakitan. Kecepatan mobil dilajukan semakin cepat. Namun, sepertinya, Ibu tidak melihat keberadaanku. Mobil ibu tidak mengikuti mobilnya Aldo. Tamat riwayatku. Kemana Aldo akan membawaku? Takut mendominasi hati. Aldo tidak seperti biasanya. Harapanku pupus seketika."Do, lepaskan aku!""Tidak akan! Gara-gara kamu pernikahanku batal ....""Kenapa gara-gara aku? Nggak ada yang tahu masalah kita.""Bohooong! Pihak calon istriku membatalkan pernikahanku dua hari
Aku dibaring di UGD sebuah klinik di daerah yang tidak kuketahui lokasinya. Beberapa perawat dan seorang dokter sedang mengecek kondisiku."Suaminya parah, Dok," ucap salah satu pasien. Suami? Apa jangan-jangan mereka mengira Aldo adalah suamiku? Hah! Biar lah. Aku tidak perlu menjelaskannya dalam kondisi yang tak memungkinkan."Pendarahan di kepala dan patah tulang di bagian kaki. Diperkirakan karena terhimpit badan mobil," lanjut perawat cantik itu lagi."Sabar, Bu. Ya. Suami Ibu akan baik-baik saja," ujar lelaki yang dipanggil dokter oleh perawat barusan.Aku hanya mengedipkan mata pelan. Tak perlu membantah karena hal itu tidak penting untuk saat ini."Alhamdulillah kondisi Ibu tidak apa-apa. Kandungan Ibu juga aman-aman saja. Cuma detak jantung bayinya agak lemah. Mungkin pengaruh shock yang ibu derita. Tulang paha ibu juga tidak bermasalah. Masih pada posisi semula setelah operasi. Tenangkan diri Anda. Keluarga Anda sedang dalam perjalanan," terang dokter tersebut dengan mengula
Malam harinya, Aku terkejut dengan kedatangan Mas Gilang ke dalam kamarku. Dia menutup pintu dan melangkah mendekati ranjang tempatku berbaring."Jangan GR, aku hanya ingin bicara denganmu," ketusnya."Untu apa aku GR, Mas? Aku tahu posisiku. Jadi ... apa yang ingin Mas bicarakan?" Aku berusaha sopan. Mengatur napas untuk tenang."Aku mau mengingatkan kamu, jangan coba-coba memamfaatkan kebaikan Khanif. Pergi dari rumah ini secepatnya," ungkapnya.Posisinya berdiri pongah di hadapanku. Aku hanya menatapnya nanar. Sibuk mendamaikan hati agar tak ada air mata yang mengalir."Aku tidak sepicik itu, Mas. Aku sama sekali tidak meminta Khanif untuk membelaku. Sungguh!""Persetan! Enyah dari hadapanku. Aku tidak ingin hidup dalam bayang-bayangmu, Nia. Tolong mengerti! Jangan sampai aku gila karena masalah ini." Mas Gilang menarik rambutnya frustasi."Mas, aku tahu kamu membenciku. Namun, lihat keadaanku. Kamu tidak kasihan kepadaku? Aku tidak lagi punya orang tua ....""Itu bukan alasan. Kam
Suara derap langkah mereka mengarah ke bawah. Ibu mendorong kursi roda untuk masuk ke dalam kamar. Malas menangapi permasalahan tiada ujung antara Nagita dan Mas Gilang."Tunggu!" teriaknya Mas Gilang. Namun, suara Nagita tak terdengar."Apa maksudmu dengan semua ini?"Craaang!Suara kaca pecah cukup menganggu telinga. Aku dan ibu saling bisik. Menguping pembicaraan mereka."Maksudku baik, Mas. Tidak ada niat buruk sama sekali. Aku ingin mewujudkan keinginan ibu kamu. Ingin memiliki cucu. Dari pada dia sibuk ngurus mantan istri kamu yang dalam perutnya anak tak jelas," kilah Nagita.Uh! Kenapa dia harus terus menyinggungku. Ibu mengusap pundakku pelan. Dia tahu, hati tersentil dengan ucapan wanita yang tidak mempunyai etika itu."Baik apanya? Baik untukmu, tapi musibah bagiku!" Mas Gilang terus berbicara tanpa henti. Nagita juga terus-terusan membela diri."Mas! Aku istrimu sudah seharusnya kamu memberikanku nafkah lahir dan batin. Kamu tidak bisa menyiksaku terus menerus." Suara Nagi
"Mas, diantara kalian sudah terikat dengan akad pernikah. Segala tugas dan tanggung jawab orang tua Nagita berpindah ke pundak Mas. Termasuk memberikannya nafkah batin. Kalau Mas tidak melakukannya dosa. Aku rasa kamu mengetahui semua itu." Khanif memberi penjelasan seperti yang pernah aku jelaskan semalam."Gilang. Bawa istrimu pergi dari rumah ibu. Kembali ke rumahmu. Ibu mau hidup tenang." Nada bicara ibu melemah."Tapi, Bu ....""Mas. Maaf jika ucapanku menyentil hatimu. Kamu berisikeras tinggal di sini karena ingin membuatku cemburu, 'kan? Kamu ingin menyakitiku pelan-pelan dengan kemesraan kalian. Namun, satu hal yang perlu Mas Gilang tahu. Apa pun yang kalian lakukan sama sekali tidak berpengaruh padaku. Lebih baik, Mas dan Nagita perbaiki hubungan. Semoga apa yang terjadi dengan kalian semalam membuahkan benih cinta yang selama ini kamu dambakan, Mas." Aku mengungkap isi hati yang selama ini aku pendam."Hah? Nggak salah? Aku mau Nagita tinggal di sini. Biar ada yang jaga Ibu.
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew
Sesampai di Mall, Nia turun seorang diri, Khanif memilih menunggu di mobil. Dia sedikit nyaman karena mengetahui Gilang berada di luar negeri. Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya yang acak-acakan. "Sebentar ya, Sayang," ujar Nia seraya mengecup pelan pucuk kepala Khanif. "Jangan lama-lama," tukas Khanif pelan. "Nggak kok sebentar, ada titipan?" tanya Nia bersemangat. Khanif mengeleng pelan, ia meminta Nia untuk berhati-hati. "Hubungi aku jika ada masalah." "Siap, Sayang," balas Nia seraya menjauh. Kakinya melangkah memasuki Mall. Kaki jenjang Nia fokus melangkah ke gerai baju pria, ia berniat mencarikan baju untuk Khanif. Sifat penyayang Nia memang sudah terbukti, hanya saja keadaan yang seakan tidak berpihak padanya. "Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pegawai mall dengan ramah. Nia melempar senyum seraya mengungkapkan keinginannya. "Silakan ikut saya," ujar gadis di depan Nia dengan sopan. Khanif tidak enak hati membiarkan Nia belanja s
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n