"Maaf, Mbak, sa-saya lupa!" bisik suster-- yang sudah mengurus Raihanah semenjak dua tahun lalu, dekat telinga sebelah kanan Azila. Sebelumnya Azila memang pernah bercerita kepada suster Reni perihal dirinya. Pandangan suster itu kini tertuju pada Raihanah yang sibuk memainkan bonekanya. "Sepertinya nyonya nggak denger apa yang tadi kita obrolin, Mbak, beliau masih sibuk dengan mainannya. Kasihan ya, nyonya!" ujar suster Reni iba. "Iya, saya juga nggak tega lihat kondisi mama, tapi setidaknya sekarang mama jauh lebih tenang, 'kan?Semoga saja mama memang tidak mendengar yang tadi saya ucapkan. Sebaiknya Suster Reni temenin dulu mama, sebentar lagi saya selesai." Dari pantulan cermin Azila dapat melihat apa yang sedang Raihanah lakukan; kembali ke masa kanak-kanak; bermain dengan banyak boneka di sekitarnya. Suster Reni mendekati sang nyonya besar dan mengajaknya untuk main bersama. "Hallo, sekarang main sama Sus Reni, ya! Boleh pinjem bonekanya?" Suster Reni mengambil satu boneka be
Suster Reni menghampiri Azila yang terlihat termenung di dekat lemari sang nyonya besar."Sudah selesai, Mbak?" Suster Reni menepuk pundak Azila, sontak ia langsung terperanjat."Eh, i-iya. Saya sudah selesai. Gimana mobil ambulansnya sudah datang?" tanya Azila gugup."Sudah, mobil ambulansnya sudah ada di depan. Nyonya juga sudah dibawa oleh Pak Dirman dan yang lainnya ke ambulans. Sini biar saya saja yang bawa baju nyonya!" seru Sus Reni menawarkan diri membawa koper milik Raihanah.Azila bergegas memasukkan foto itu ke dalam saku celananya. 'Ya Allah, apalagi ini? Sebenarnya siapa pelaku yang sudah memukulku di taman tempo hari?'Azila menemani Raihanah di dalam ambulans sementara Sus Reni berboncengan sepeda motor dengan Pak Darmin. Sepanjang perjalanan ke rumah
Dengan sinar senter handphone yang diarahkan ke arah wajahnya, orang itu berhasil membuat Azila ketakutan. "Waaaaaau ...." Azila lantas menyibakkan salah satu lengannya dan memukul-mukul orang yang kini tengah membuatnya ketakutan sedangkan sebelah tangan lainnya menutup wajah dan matanya yang terpejam. "Pergi! Pergi sana! Jangan ganggu!" "Aw! Aw! Aw! Ampun, sakit, Zil!" rintih orang itu menerima pukulan Azila yang bertubi-tubi. Gadis yang kini menggunakan sweater itu seketika menghentikan pukulan ketika mendengar orang itu meminta ampun. 'Suaranya familiar banget?' Ia memberanikan diri untuk membuka mata. "Ya Allah, ternyata 'Kak Revan hantunya!?" "Sorry!" Revan mengangkat dua jari ke atas dan memperlihatkan deretan giginya yang rapi untuk menutupi kejahilannya pada Azila. "Nggak lucu!" dengus Azila kesal dengan kelakuan konyol 'kakaknya'. Ia berlalu tanpa memperdulikan pria yang baru saja membuat jantungnya berdebar. "Maaf, aku cuman bercanda. Ternyata kamu takut sama ha
Jam di dinding sudah menunjukkan angka 02.30 WIB, tapi Azila masih saja terjaga. Kejadian saat tiba-tiba Revan kembali memeluknya --untuk kali kedua, membuat gadis ini tidak bisa mengendalikan hatinya.Sosok pria yang kini tengah terlelap di sebuah sofa empuk, di samping kiri bed pasien, berhasil mencuri hatinya. Ia nampak tertidur pulas karena terdengar suara dengkuran halus di sana.Cukup lama gadis bermata coklat itu menatap pria di hadapannya. Hembusan angin yang berasal dari pendingin ruangan tidak mampu mendinginkan hati yang sedang terbakar api asmara, hingga tanpa sadar dia berkata, "kamu, anugerah terindah yang tidak bisa kumiliki. Perjanjian ini membuatku harus mengubur dalam perasaan yang sudah mulai tumbuh saat pertama kali melihatmu. Apalagi ... jika nanti terbukti kita adalah saudara," gumamnya lirih. Ia menarik napas dan menghembusnya lagi perlahan.
Suster Reni terkejut mendapati sang tuan tiba-tiba berdiri tepat di hadapannya. 'Bagaimana bisa Tuan Yudistira tahu kalau nyonya Raihanah ada di rumah sakit ini? Aduh, mana ada Mbak Azila di dalam, gimana ini?' "Apa benar, istriku dirawat di sini?" tanya pria paruh baya--yang terlihat berkelas dan berwibawa--dengan setelan jasnya yang nampak mahal. "Be-benar, Tu-Tuan," jawab suster Reni gugup. Baru kali ini dia berhadapan langsung dengan Yudistira. Hanya satu kali bertemu itu pun satu tahun lalu saat pemakaman palsu Liana. Tapi pesona seorang presdir seperti pria di hadapannya ini, tidak bisa begitu saja lepas dari ingatan suster Reni. Saat hendak melangkahkan kaki memasuki ruang rawat Raihanah, tiba-tiba suster Reni menghadangnya. Dengan sigap kedua bodyguard yang terus berada di belakang sang bos besar itu langsung mencekal lengan suster Reni. "Maaf, Tuan! Nyonya Raihanah sedang istirahat. Tadi dokter berpesan, jangan diganggu!" ucapnya lancang--mencoba menahan agar Yudistira tid
Azila nampaknya sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi pada dirinya. Ia mulai menutup kedua mata yang sudah mulai terlihat berair, dengan mulut yang masih komat-kamit, terus menyebut nama Tuhan. Berharap payung keberuntungan menaunginya kini. Tangan pria itu mulai menyibak gorden yang ada di depannya--perlahan. Andai semua bisa mendengar jantung gadis yang sedang bersembunyi di sana berdetak tak karuan. Sreek! Gorden seketika terbuka. Namun, belum sempat Yudistira melihat ke arahnya, seseorang telah menepuk pundaknya. "Papa! Sedang apa di situ?" tanya pria muda yang masih menggunakan setelan jas kantornya. Dengan napas yang masih terengah-engah karena harus berlari menuju ruang rawat Raihanah yang jaraknya cukup jauh dari pintu depan. Bertempat di lantai satu membuatnya tidak bisa menggunakan lift untuk bisa segera tiba di ruangan ini. Seketika Yudistira berbalik dan melihat ke arah orang yang telah menyapanya. "Revan?" ucapnya dengan terkejut. Ternyata untuk kesekian kalinya,
"Ya Allah, Mbak, tadi itu ... bikin jantung saya mau copot, lho. Saya takut tuan Yudistira lihat Mbak Zila," ujar suster Reni setelah Azila menutup panggilan teleponnya. "Apalagi, saya, Sus! Kayak ada malaikat maut datang, saya udah pasrah kalau tadi sampai ketauan. Mana kalau lagi tegang bawaannya kebelet pengen BAK." Azila kembali menghela napas panjang, setelah beberapa saat yang lalu ia berada di bawah tekanan yang membuat otak dan tubuhnya sangat tegang. "Iya, Mbak. Alhamdulillah Den Revan datang tepat waktu, ya. Kalau nggak ... Ya Allah, saya nggak bisa bayangin!" Suster Reni menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mengingat kejadian yang baru saja terjadi. "Makasih, ya, Sus sudah mau bantu saya. Saya berhutang budi sama Suster. Cuman sayang--" ucapan Azila terpotong. Ia nampak sedang memikirkan sesuatu. "Sayang kenapa, toh, Mbak?" tanya suster Reni heran setelah melihat perubahan ekspresi pada wajah gadis di depannya. "Sayangnya, tadi saya nggak sempet lihat wajah
Sesaat, gadis itu masih terdiam, memikirkan arti mimpi yang baru saja ia alami. "Rasa-rasanya aku pernah mengalami mimpi itu ketika kukecil? Sebuah buku catatan yang disimpan di sebuah kotak hitam, Apa maksudnya? Apa memang dulu ... ayah pernah menyimpan sebuah buku catatan di kotak hitam itu? Kotak hitam, di mana aku pernah melihat kotak itu?" Azila memijit keningnya yang mulai terasa sakit. Walaupun gadis itu memaksa otaknya untuk berpikir, tetap saja kotak itu tidak ada dalam memorinya. "Di mana ..? Arrgghh!"Sebelum tidur, gadis yang kini tengah memakai piyama lengan panjang itu terus memikirkan tentang almarhum ayahnya yang diduga telah menculik dirinya sewaktu bayi, membuatnya tiba-tiba terbangun dan harus kembali terjaga. Sebuah mimpi seakan dikirimkan Allah padanya, seperti petunjuk yang harus bisa ia pecahkan untuk mengungkapkan kebenaran kalau memang --ayahnya, bukanlah pelaku penculikan dirinya.
Tak terasa cairan itu kembali lolos membasahi pipinya. Cepat-cepat ia menyusutnya. Ia tidak ingin kembali larut dalam kesedihan.Perlahan Azila menutup kembali matanya, menikmati derasnya hujan yang membasahi tubuhnya. Seolah-olah ia bisa merasakan kehadiran Revan ada di dekatnya. Wangi aroma parfum yang ia kenal tiba-tiba menguar masuk ke dalam setiap hela napasnya."Bahkan wangi aroma tubuhmu masih bisa kuingat dengan baik." Azila menarik napas panjang, merasakan aroma parfum yang semakin dekat dengan dirinya."Tunggu! Wangi ini ...?" Azila mengendus wangi parfum itu tanpa membuka matanya."Nggak mungkin itu dia, sepertinya aku terlalu berharap kalau sekarang dia ada di depanku," ucapnya pelan.Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan berputar, perutnya juga mulai terasa mual, mungkin karena A
"Sebuah jurang seperti sengaja dibuat untuk memisahkan kita. Seharusnya aku tahu diri, sejak awal, rasa ini tidak sepatutnya ada. Tapi, kenapa ...? Kenapa kamu tidak berterus terang di awal kalau rasa ini berbalas? Kenapa kamu harus pergi dengan menyisakan rasa bersalah yang besar di hidupku? Dan kini, kenapa kamu harus kembali saat aku berusaha keras untuk melupakan semua tentangmu?" Azila tertunduk lesu menatap sebuah foto yang berada di sebuah ruang kerja yang dulu adalah milik 'sang kakak'.Gadis itu akhirnya menangis sejadi-jadinya sesaat setelah mengirimkan sebuah pesan kepada sang ibu, kalau dirinya memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini.Langit kini berubah gelap, bintang-bintang sudah menampakan dirinya untuk menemani sang bulan menyinari malam yang syahdu. Suara daun-daun yang bergesekan karena tertiup angin malam, seolah berbisik lirih menyampaikan pesan rindu yang telah lama ditunggu
Semua rasa yang pernah tersimpan apik di dalam hati, sepertinya harus tersimpan rapat selamanya. Belum bisa terganti. Bahkan mungkin tidak akan pernah. Sepertinya, itu yang kini tengah dirasakan Azila. Lima tahun berlalu, namun sosok Revan tidak pernah lekang oleh waktu. Semakin Azila coba lupakan, bayang-bayang cinta pertamanya itu semakin kuat mengisi hati dan pikirannya."Jadi gimana, mau 'kan terima perjodohan ini?" rayu seorang gadis cantik berhijab yang duduk di samping Azila.Tidak ada respon dari Azila. Dia hanya terdiam tak menjawab pertanyaan Liana."Ayo, dong, Sayang! Kamu harus mau terima perjodohan kali ini. Kamu tahu, kalau kamu nggak mau nikah, adik kamu, Liana, juga nggak mau nikah. T'rus kapan Mama bisa mamerin cucu Mama ke temen-temen arisan? Cuman Mama loh, yang nggak punya cucu." Wanita paruh baya itu mengerucutkan bibirnya. Ia pun turut menc
Azila sangat terkejut melihat foto yang diberikan sang ibu. Terlihat dengan jelas, ada yang telah membongkar makam Liana. Makam itu kini dalam keadaan terbuka dan hanya berisi peti kosong. Konon katanya, karena jasad Liana rusak mereka terpaksa memakaikan peti saat menguburkannya."Seseorang mengirimkan foto itu seminggu yang lalu. Mama juga kaget saat melihat foto-foto itu. Mama langsung datang memeriksa ke sana. Dan kamu tahu, setelah Mama tanya-tanya petugas di sana, ternyata makam itu ... kosong!""Apa? Ma-makam Liana, kosong?" Gadis itu dibuat menganga oleh pernyataan sang ibu."Mama serius? Kok, bisa?" Azila beranjak dari tempatnya duduk, berpindah posisi dan lebih dekat dengan sang ibu. Raut wajahnya terlihat lebih serius."Mama juga nggak ngerti, Sayang. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa jangan-jangan ... memang sebenarnya Liana itu tidak benar-benar meninggal?!" Sejenak Raihanah terdiam sebelum akhirnya melanjutkan ceritanya. Tatapannya kosong menatap langit-langit kamar yang b
"Ka-kalian se-semua harus i-ikut ma-ti di si-sini!" Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Sofia berhasil menyalakan pemantik api yang sedari tadi digenggam. Tak lama kemudian dia terkulai lemas dan tidak sadarkan diri.Kilatan api dengan cepat merembet ke arah kaki Azila yang masih terikat di kursi. "Arrrrgghhh! Api! Tolong!" pekik Azila panik."Astaghfirullah, Revan. Tolong Alina, cepat!" teriak Raihanah ikut panik melihat kejadian itu. Dia tidak bisa berbuat banyak, karena tengah membantu sang adik yang tadi tertusuk.Dengan sigap, Revan segera membuka jaketnya dan mengibaskan api yang sempat menyentuh kaki gadis itu. Akhirnya pria muda itu berhasil membuka ikatan talinya dan membawa Azila ke tempat yang aman.Tidak berselang lama, para polisi datang membantu. Kobaran api semakin besar, dan mulai merobo
"Apa kalian pikir hanya kalian yang menderita di dunia ini? Lalu bagaimana dengan nasibku? Yang waktu bayi telah dibuang oleh ayahmu itu. Dari kecil aku pun sama tidak pernah merasakan kesenangan seperti yang kalian pikirkan. Aku pun sama sering dihina dan dikucilkan karena kemiskinan dan status yang tidak jelas. Tapi, aku sama sekali tidak pernah menyimpan dendam seperti yang kalian rasakan. Karena aku sadar semua telah digariskan oleh Tuhan," seru gadis itu membuat Rihana tertohok. Plak! Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Azila. "Silakan, tampar aku sesukamu! Asal kalian tahu, setiap perbuatan itu ada balasannya. Sekecil apapun itu. Tuhan tidak pernah tidur, ingat itu!" "Hentikan semua ucapanmu itu! Kami tidak butuh ceramah darimu!" titah Sofia sambil menjambak kasar rambut gadis itu. "Bertobatlah, sebelum kalian menyesal
"Cukup! Dasar, wanita gila! Jangan pernah lagi kamu menyentuh ibuku, hah!" ucapnya penuh emosi. "Dua tahun ini, aku sengaja menyelinap masuk ke dalam keluarga barumu. Seperti yang kuduga kau sama sekali tidak mengenaliku. Aku berpura-pura menjadi suster pribadimu hanya untuk bisa mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Kau lihat ini?" Wanita itu mengeluarkan sebuah benda dari kantung bajunya dan mengacungkannya ke udara. "Bagaimana kamu bisa menemukan stempel itu?" tanya Raihanah saat ia melihat benda yang diacungkan adiknya. "Bukan hal sulit bagiku. Tentunya aku dibantu oleh para pekerja yang ada di rumah mewahmu itu. Semua telah kubayar agar mereka tutup mulut dan mau bekerja sama. Termasuk saat kejadian saat gadis ini datang ke rumahmu." Wanita itu kini berpindah dan mencengkeram dagu Azila. "Lepaskan!" Gadis itu meronta sekuat tenaga. "Jadi, pelaku sebenarnya yang waktu itu memukulku adalah kamu, bukan Mbok Karsih?" ucapnya kaget seolah tidak percaya dengan
Suasana dini hari itu begitu sunyi. Hujan lebat yang baru saja berhenti menyisakan tetesan air yang merembes dari atas plafon gudang tua tempat Raihanah dan Azila disekap. Terasa dingin dan pengap. Di salah satu sudut ruangan, terlihat seorang gadis muda tengah terbaring di sebuah dipan kayu yang mulai rusak. Perlahan gadis itu mulai terlihat sadar dan membuka matanya. Seketika itu pula, dia beringsut dari tempatnya terbaring. "Di mana ini?" Azila mencoba mengedarkan pandangannya. Terasa asing dan sedikit gelap. Hanya ada lampu gantung kecil yang berada tepat di tengah-tengah ruangan. "Aw!" Tiba-tiba rasa sakit itu datang kembali saat ia mencoba untuk berdiri. Azila memegang erat kepalanya. Pandangannya sedikit kabur dan serasa berputar. Belum lagi rasa ngilu yang harus kembali ia rasakan di area sekitar punggungnya. Gadis itu hanya bisa menarik napas panjang untuk menahan semua rasa sakitnya. Pikirannya kembali teringat pada sang ibu. Sekuat tenaga dan tidak lagi memperdulikan r
"Sialan, kalian mau bawa aku ke mana?" umpat Yudistira saat tahu mobil polisi yang membawanya berbelok arah dan bukan menuju kantor polisi. "Hahaha ... jangan banyak bicara kau Tua Bangka!" pekik salah satu pria yang menyamar sebagai polisi tersebut. "Siapa kalian sebenarnya? Cepat, katakan!" teriak Yudistira lantang ke arah kedua pria itu. "Plak! Jangan banyak bicara aku bilang!" Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi Yudistira. Seketika cairan berwarna merah keluar dari salah satu sudut bibirnya. "Kalian berurusan dengan orang yang salah. Anak buahku pasti akan segera menemukan keberadaanku," ucapnya sinis. Seketika salah satu oknum tersebut menutup kedua mata pria paruh baya itu dengan kain hitam. "Lepaskan! Kalian pasti akan mati! Lepaskan!" Sebuah lakban lantas berhasil menyumpal mulut Yudistira. Pria paruh baya itu kini tak bisa berkutik melawan dua orang pria yang tadi menyamar sebagai polisi dan berhasil menangkapnya. 'Kurang ajar, siapa mereka? Kenapa mereka berani memp