Mustafa masih saja tidak mengerti. Dia mengamati semua arah. Tidak hanya manusia menunduk di hadapannya. Semua binatang, bahkan pohon dengan batangnya yang kuat ikut menekuk hingga daunnya menyentuh tahan.
“Apa ini?” ucapnya sekali lagi.
Zivana perlahan mengangkat wajahnya. Mustafa menatapnya tajam. “Kau adalah penyelamat kami,” katanya pelan sembari menganggukkan kepalanya.
Mustafa menggeleng keras. “Aku bukan penyelamat siapapun!” tegasnya melempar pedang legenda tepat di hadapan Zivana yang masih memasang tatapan kaku.
“Tang!”
Dentingan keras terdengar, saat pedang itu terkena kerasnya batu. Sontak membuat tanah bergetar. Mustafa berlari kencang meninggalkan mereka begitu saja. Zivana hanya diam menatapnya. Dia perlahan mengambil pedang yang masih memberikan kilauan cahaya di tanah, sembari menyorotkan pandangan kekaguman.
“Aku pikir pedang ini hanya kebohongan mereka untuk menakuti Ratu. Ternyata apa yang mereka katakan memang benar,” gumamnya kembali terkejut merasakan tanah bergerak membuat dirinya terjatuh.
“Putri!” Dengan sigap Pemimpin Prajurit menangkap tubuhnya. Semua mata kembali membelalak melihat singa putih mengaum keras, menghilang begitu saja tertiup angin.
“Kita harus menjaga pedang ini dengan aman, sampai dia kembali menerima kenyataan bahwa itu takdirnya.” Zivana membuat Pemimpin Prajurit mengangguk cepat. Dia menaiki kuda dan menghentakkan kakinya dengan keras. “Hiya!”
Kuda putih dengan rambut bercahaya milik Zivana berlari secepat angin diikuti semua prajurit yang mengawalnya.
***
Mustafa masih berlari kencang. Dia menghentikan langkah kakinya saat berada di ujung bukit.
“Apakah aku harus menuruninya lagi?” batinnya menatap tegang bawah bukit yang sudah menjadi rumahnya selama dua puluh tahun. Dia masih resah memikirkan peristiwa mengejutkan yang sama sekali tidak dia duga.
“Kenapa mereka semua menunduk kepadaku?” batinnya memejamkan kedua matanya.
“Mustafa!”
Suara Agha membuat Mustafa terperanjat. Dia merasa lega akhirnya menemukan Mustafa yang sudah menghilang selama beberapa jam. Mustafa hanya diam menatap Agha yang masih mengatur napasnya akibat berlari mencari dirinya.
“Kau …”
Mustafa melangkah mendekati Agha dan menepuk pundaknya. “Kau mengetahui semuanya. Aku melihatnya. Kau bersamanku sejak kecil. Ceritakan siapa diriku?” Agha sontak diam mendengar ucapan Mustafa. Dia kini berdiri tegak melepaskan tangan yang semula menekan perutnya.
“Apa yang ingin Anda tanyakan, Mustafa?” tanyanya membuat Mustafa semakin menyorotkan tatapan.
“Aku baru sadar jika kau berbicara sangat sopan kepadaku selama ini. Kau seperti seorang pelayan. Berbeda dengan Ibu dan Ayah. Aku tidak merasakan jika jiwaku memiliki darah yang sama dengan mereka. Siapa kalian?”
“Anda akan mengetahuinya jika saatnya tiba. Seperti perkataanku sebelumnya. Ahli ramal akan menjawab semuanya.”
“Kapan itu? Ada sesuatu dalam jiwaku. Katakan, Agha!” Pertanyaan tegas membuat Agha gemetaran.
“Aku merasa berbeda dengan pemuda lainnya. Aku bisa memperlajari bela diri dan menggunakan pedang dengan hebat dalam sekejap saat Ayah mengajariku. Sekarang aku lebih hebat dan kuat darinya. Bahkan aku mengalami semua hal aneh. Seakan alam bisa aku ajak berkomunikasi.” Kedua alisnya menukik tegas. Rahangnya mengencang. “Agha, siapa aku?” sambungnya.
Mustafa mengatur napasnya yang menderu, hingga dia merasakan sesuatu yang sangat tajam melesat ke arahnya. "Zab!" Dengan sigap Mustafa menangkap anak panah yang hampir saja menembus jantungnya. Dia spontan membalikkan tubuh, melihat sosok yang melakukannya.
“Siapa kau?” tanya Mustafa dingin.
“Hmm, aku akan membawa kepalamu. Ternyata kau tidak menakutkan seperti apa yang dikatakan mereka.” Tangannya terangkat ke atas, membuat puluhan prajurit yang berada di belakangnya menuruni kuda siap untuk membunuh Mustafa.
“Agha, jangan ikut campur. Kau tahu bagaimana kekuatanku. Percayalah jika aku bisa melawan mereka,” ucap Mustafa membuat Agha sedikit mundur dari posisi Mustafa.
Semua prajurit berlari mendekati Mustafa. Secepat angin dia melompat tinggi, melemparkan anak panah yang masih berada digenggamannya tepat menembus jantung salah satu prajurit. Dia berguling ke tanah, menghindari pedang yang menyerangnya dan menghujam lutut dua prajurit dengan kepalannya. Tangannya mengambil pedang yang tergeletak di tanah bercampur darah. Mustafa menebas semua prajurit seketika itu juga hingga tubuh mereka terbelah.
“Kau, turunlah, dan lawan aku!” Mustafa mengarahkan pedang tepat di wajah seseorang yang masih menatapnya dalam diam di atas kuda.
Tubuh tegap sosok laki-laki menggunakan baju kebesaran panglima prajurit tertinggi, langsung kaku dengan kedua mata terbelalak ketika dirinya melihat puluhan prajurit yang mengawalnya dengan mudah Mustafa kalahkan.
Mustafa masih saja diam menunggunya untuk menuruni kuda. Dia melangkah perlahan semakin mendekati kuda panglima dengan pelana emasnya. “Aku kali ini melepaskanmu. Katakan kepada seseorang yang menginginkan kepalaku! Aku secepatnya akan menemuinya,” ucapnya pelan namun tegas.
Panglima tertinggi menarik tali kemudi dan menghentakkan kakinya. "Hiya!" Dia meninggalkan Mustafa seperti seorang pengecut.
“Sri Sultan!” teriak Agha membuat Mustafa seketika terkesiap. Dia membalikkan tubuh menatap Agha yang menundukkan kepalanya.
“Agha, apakah aku …”
“Anda pewaris sah Sri Sultan,” kata Agha sekali lagi membuat Mustafa masih diam mencoba menenangkan dirinya.
“Siapa ahli ramal yang harus aku temui untuk menjelaskan ini semua?” Mustafa melangkah mendekati Agha yang kini mengangkat wajahnya.
“Ahli ramal Trisula. Ketiga peramal itu adalah jawabannya,” jawab Agha membuat Mustafa menarik dua kuda milik prajurit yang sudah tergeletak tanpa nyawa. “Kita akan ke sana!”
Agha melangkah cepat menaiki kuda yang berada di hadapannya. Dia menyusul Mustafa yang sudah menghentakkan kakinya, membuat kuda yang ditungganginya berlari kencang. “Hiya!”
Mereka menerobos hutan hitam menuju goa tempat ahli ramal. Mustafa terkejut melihat Zivana berada di sana membawa pedang Azeam mendahului mereka.
“Zivana?” tanyanya mengernyit sembari menuruni kuda disusul Agha. Mereka melangkah cepat memasuki goa. Mustafa dan Agha terkejut bukan main, menatap semua orang sudah menunduk menunggunya.
“Jelaskan, apa yang harus aku ketahui!”
Mustafa menatap ketiga ahli ramal bernama Trisula yang mengembangkan senyuman. Mereka sudah berumur seratus tahun. Namun wajah mereka tidak berkerut karena ilmu gaib melekat pada tubuh mereka. Salah satu dari mereka memegang batu bulat hitam mengeluarkan magnet. “Pangeran, kami ahli ramal bernama Trisula. Kami senang akhirnya bertemu dengan Anda. Peganglah, batu ini, Pangeran.”
Perlahan Mustafa menyentuhnya. “Hah!” Mustafa menyaksikan peristiwa mengerikan yang dia alami semasa kecil.
"Apakah ini kerajaan sesungguhnya? Semua alam itu menyambut diriku yang masih dilahirkan," batinnya terus menelusuri masa depan yang kini dilihatnya.
Langit tidak seperti biasanya. Cahaya malam yang diberikan bulan bersama pasangannya bintang, meruak tepat di atas kerajaan Zengini. Kerajaan terbesar dengan kekuasaan terhebat sepanjang masa. Seluruh alam bersama semua elemen penting kehidupan berputar menjadi satu di udara memberikan petunjuk hebatnya.
Semua rakyat berdiri tegang menatap keindahan alam itu. Sesuatu akan datang dengan dahsyatnya. Api, tanah, air, udara, bercampur melayang menghasilkan cahaya seterang tujuh matahari.
Berdirilah Sri Sultan Ali Bahadir Altan dengan tegak menatap pintu kamar sang Ratu tercantik istri sahnya Akasma yang berarti mawar putih berjuang melahirkan ahli waris kerajaan.
Jeritan Ratu semakin mencekam menyeringai telinganya. Semua ribuan prajurit berbaris rapi untuk berjaga di setiap sudut kerajaan terluas dengan kemakmuran semasa pimpinannya.
“Sultan, bayi Anda laki-laki,” ucap Panglima Perang Burak.
Seutas senyuman mulai terbit saat sang penguasa mendengar suara tangisan bayi. Kaki yang semula tegak berdiri, kini melangkah cepat. Penjaga dengan sigap membuka pintu kamar ketika Sultan beberapa langkah lagi akan menjangkaunya.
“Suamiku, ini anakmu.” Akasma memberikan bayinya. Tangan kuat Sultan dengan perlahan menerimanya. Kini bayi gagah bersinar itu berada didekapan ayahnya.
Suara sambaran petir terdengar mendadak. Angin bertiup kencang. Cahaya aneh seterang matahari masuk melalui atap kamar. Sultan bersama semua orang hanya menatap dalam diam. Perlahan cahaya itu masuk ke dalam kedua mata Pangeran.
“Mustafa Zulfikar. Itulah namamu,” ucap Sultan membawa Pangeran keluar untuk menemui rakyat yang sudah menanti dari balkon istana. Semua bersorak melihat sosok pemimpin alim nan bijaksana membawa ahli waris dengan mengangkatnya tinggi.
“Mustafa! Inilah pemimpin kalian!” teriaknya.
Suara tepukan semakin bergemuruh. Semua penghuni istana tersenyum bahagia. “Kau akan menjadi penggantiku, Mustafa,” gumamnya sembari mengurut kening anaknya.
Dengan perasaan bahagia tanpa batas, Sultan berjalan kembali ke dalam kamar sang Ratu. Hingga napas Sultan mendadak tersenggal. “Argh!” Tubuh tegap mendadak kaku dengan kedua mata terbelalak ketika dirinya merasakan sesuatu dari jubahnya.
“Tangkap Pangeran!” teriak Burak berlari mendekati Sultan yang tumbang tiba-tiba. Namun tangannya gagal meraih Mustafa yang terlempar ke lantai. Akasma hanya bergetar melihatnya. Dia masih lemas di atas ranjang hingga tidak bisa berbuat apapun.
“Mustafa!” teriaknya sembari mengulurkan kedua tangannya. “Tolong dia ...,” ucapnya lirih.
Semua prajurit berlari cepat mendekati Burak yang masih berdiri tegak menatap lantai marmer mewah meretak di bawah tubuh Mustafa. “Dia …,” katanya pelan menyorot tajam tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Kenapa kau tidak segera mengambilnya!” Akasma membuat Burak terperanjat. Panglima tertinggi kerajaan itu spontan menarik tubuh Mustafa dan menggendongnya.
“Panggil tabib!” Burak mengangkat tangannya membuat semua prajurit berlari memanggil tabib istana.
Sultan tergeletak di tanah dengan mulut berbusa. Jubah emasnya mengeluarkan darah. “Kenapa Sultan?” batin Akasma memaksa tubuhnya yang masih lemas menuruni ranjang dengan bantuan pelayan.
“Suamiku, kau …” Kedua matanya mengernyit melihat sesuatu yang sangat ganjal. “Burak, ambilkan pedang suamiku. Aku akan menggendong anakku.” Perlahan Akasma menerima Pangeran dari tangan kekar Burak. Masih dengan kepanikan, Burak segera menuju ruangan istimewa Sultan untuk melakukan perintah Akasma.
“Darah itu …” Akasma gemetaran. Dia mengerutkan alis merasakan hal buruk di balik semua kejadian tidak terduga ini. Dalam pikirannya, pertama-tama dia harus menyelamatkan ahli waris kerajaan.
“Tekan patung itu. Bawalah Mustafa pergi jauh. Ini pertanda buruk. Konspirasi telah terjadi. Aku akan menunggunya kembali. Bawalah dia saatnya tiba. Cepat!”
Remaja laki-laki berusia 15 tahun bernama Agha yang sedari tadi di sebelah Akasma, tanpa bertanya menganggukkan kepala. Dia segera menerima Pangeran dari tangannya. Tanpa berpikir lagi, Agha bergegas masuk ke dalam jalan rahasia yang hanya diketahui Akasma.
Sesaat Agha menolehkan pandangannya untuk kembali menatap Akasma yang tersenyum ke arahnya. “Aku percaya denganmu, Agha,” ucapnya menganggukkan kepala.
Agha anak pertama dari kepala pelayan kesayangan Akasma yang selalu menemaninya, kini berlari kencang memeluk Pangeran. Suasana bahagia seketika menjadi mencekam. Dua kubu saling bertarung dengan hebat. Suara tajamnya pedang berdenting menyeruak keras. Teriakan bercampur rintihan membuatnya berlinang air mata. Agha terus berlari tanpa menolehkan pandangannya.
“Pangeran, aku akan menjagamu,” gumamnya sembari mengatur napasnya yang sudah sesak.
Dia menuju halaman belakang istana yang menjurus ke sungai. Dengan cepat, dilepaskannya tali penahan perahu yang melilit kayu tertancap di tanah.
“Hentikan, Agha!” Suara berat sontak mengejutkan Agha. Kedua matanya menatap tegang.
Sosok yang sangat dikenalnya dengan baik berada tepat di hadapannya menghunuskan senjata. “Kau …” Agha semakin tidak mengerti dengan situasi mengejutkan ini.
“Serahkan, atau kepalamu akan menjadi korban!” Sebilah pedang terangkat tinggi sudah siap membelah tubuhnya. Agha hanya bergemetar tanpa berucap. Kedua tangannya semakin mengerat pada tubuh kecil yang sama sekali tidak menangis. Wajahnya masih saja bercahaya. “Agha! Serahkan!” Dalam ketakutan, Agha masih diam.
Udara mendadak menjadi sarat. Tanah bergetar seketika, membuat semua orang tidak bisa berdiri dengan tegak. Langkah binatang buas dengan aumannya seakan terdengar keras, namun tidak ada siapapun yang bisa menemukan sosoknya. Semua sontak diam dalam tegang.
“Apa ini?” ucap seseorang mengamati sekitar sembari menggenggam pedang yang siap memisahkan kepala Agha dari tubuhnya.
Auman singa tiba-tiba menggelegar, membuat air sungai bergelombang dahsyat membasahi daratan dengan kejam. “Argh!” Jeritan semakin bersahutan saat air itu seketika menenggelamkan beberapa prajurit.
Agha tidak percaya air berubah menjadi telapak tangan yang menaikkannya ke atas perahu kemudian membawanya pergi dengan cepat. Semua prajurit yang masih mengejarnya ikut tenggelam begitu saja. Perahu terus berjalan menerjang derasnya arus hingga sampai menuju ujung batas sungai yang menjurus ke bawah. Agha mengeratkan pelukannya. Kedua matanya terpejam saat perahu itu mulai akan melewati bebatuan bercampur arus keras menuju ke bawah.
“Argh!” teriaknya berpegangan pada ujung perahu agar tidak terlempar keluar. Agha hanya bisa pasrah mengikuti kejadian menakutkan hari ini.
“Pangeran ..,” lirih Agha tersenyum menatap Pangeran yang menyorot tajam ke arahnya. Dia tidak kuat lagi menahan dirinya yang sangat kelelahan di atas perahu. Tubuhnya sangat lemah, tergeletak tidak sadarkan diri. Perahu terus berjalan mengikuti arus yang akhirnya tenang.
“Brak!”
Ujung perahu menabrak sebuah batu, menimbulkan suara keras yang mengejutkan penduduk saat sedang melakukan tradisi penghormatan leluhur.
“Ada dua anak di atas perahu ini!” teriak salah satu dari mereka saat memeriksanya.
“Bawa anak itu!”
***
Masa lalu yang terlihat, membuat Mustafa kini mengerti siapa dirinya. Namun dia melihat sesuatu yang lain. Sesuatu sangat menyeramkan akan dialami manusia masa depan.
“Siapa mereka?”
Mustafa kini merasakan getaran. Perasaan cemas pertama kali yang dia rasakan. Sinar matahari sama sekali tidak bisa dia lihat. Hanya penderitaan yang terlihat di sana. Kedua mata tegas bak bulan purnama itu tidak berkedip sama sekali menyaksikan masa depan kerajaan.
“Pangeran, lepaskan!” teriak pemimpin Trisula. Mustafa masih diam kaku. Dia bergeming.
"Keadaan bumi sangat mengerikan," batinnya dengan napas menderu.Jiwa Mustafa masih mengingat saat terbawa ke masa depan. Dia melihat sesuatu dengan wajah menyeramkan selain konspirasi yang terjadi di kerajaan. Ratusan sosok dengan kedua mata semerah darah menyorotkan cahaya. Salah satu dari mereka dibalut baju zirah yang semuanya telah menjadi merah, duduk di atas kereta kuda bermata putih membawa pedang tengkorak.“Pemberontakan terjadi saat kelahiran Anda, Pangeran. Seseorang merebut tahta yang seharusnya Anda miliki. Jubah Sultan Ali Ayah Pangeran beracun. Sultan meninggal saat menggendong, Anda. Rakyat menjadi menderita dengan pemimpin baru.” Perkataan Trisula semakin membuat Mustafa mengepalkan kedua tangannya.“Lalu, apa yang harus aku lakukan?”“Rebut kembali kerajaan. Hadapi mereka yang Anda lihat. Musuh yang sangat menyeramkan. Itulah, lawan Anda yang sebenarnya, Pangeran Mustafa. Mereka akan datang setelah tiga rat
"Aku akan menemuinya."Sosok cantik yang masih terlihat muda berumur empat puluh tahun, menggunakan jubah emas dan mahkota tertinggi bergelar wanita nomor satu di kerajaan, berjalan cepat menuju penjara ruangan bawah tanah dengan pencahayaan obor. Perasaannya bergelud tidak sabar menemui seseorang yang sangat dibencinya.“Bukalah!”Prajurit dengan sigap melakukannya. Kakinya melangkah pelan memasuki ruangan berdebu sangat panas.“Apa yang kau inginkan?” tanya seorang wanita menahan perihnya rantai yang mengikat kaki dan kedua tangannya.“Aku akan tetap memimpin kerajaan ini. Anakku sangat berhak dengan kedudukannya!” teriak Sang Ratu dengan keras.“Kau bisa memenggalku dengan mudah. Kenapa kau tidak melakukannya,” ucap pelan wanita yang masih terikat dengan senyuman sinisnya.“Aku akan membuatmu menderita, saat kau melihat anakmu itu mati di depanmu,” jawab Ratu membuat sang
Sosok wanita berdiri tegak menggunakan mahkota kebanggaannya menjulang tinggi bersama jubah sutra berwarna merah. Di sebelahnya, Sri Sultan Evren anaknya yang kini memimpin kerajaan Zengini. Mereka segera menuju aula kerajaan saat mendengar kabar dari salah satu prajurit jika Mustafa sudah memasuki istana.Masih sambil terikat, Mustafa berjalan masuk ke dalam aula bersama Panglima dan beberapa prajurit.“Menunduk!” teriak Panglima Asmat. Dia adalah pengawal setia Ratu yang sekarang menggantikan Akasma.“Apa? Menunduk kepada siapa?” tanya Mustafa masih saja berdiri tegak. Sebilah pedang terangkat tinggi mengarah tepat di leher Mustafa yang masih sangat santai menerimanya. “Menunduklah,” ucap Asmat dengan pelan namun tegas.“Aku akan menunduk kepada Ratu …” Mustafa menghentikan perkataannya. Dia menginginkan sebuah nama yang keluar dari mulut Ratu sendiri. “Ratu Deriya. Sebut namaku,” jawabn
“Ah!” Aigul terkejut melihat Mustafa berdiri meraih kain yang berada di pinggir kolam. Dia menarik tubuh Aigul hingga berdiri, dengan kedua mata yang memejam. Aigul menarik napas saat Mustafa mendekapnya untuk terus melilitkan kain hingga akhirnya menutup tubuh indahnya. Iris cokelat indah milik Mustafa kini terlihat jelas saat terbuka. Mereka saling berpandangan dalam dekat. Aigul semakin bergetar. Kedua mata hitam miliknya sama sekali tidak berkedip menatap sosok tampan yang masih menyorotkan pandangannya. “Untuk apa menutupnya. Kau pasti sudah melihatnya di dalam air,” ucap Aigul terus menatap Mustafa yang masih diam membalasnya. “Apakah kau buronan?” bisik Aigul membuat Mustafa meliriknya. “Aku menutup kedua mataku. Maafkan aku, Putri Aigul,” balas Mustafa menunduk, melepaskan tangannya yang masih mendekap. Sejenak Mustafa masih menatapnya, hingga dia akhirnya melangkah untuk pergi. “Bukankah seorang laki-laki selalu mengambil kesemp
Rakyat masih saja menyambut kedatangan Mustafa. Mereka bersuka cita merayakannya. Namun tidak dengan beberapa pejabat istana yang menatap mereka dari kejauhan sambil menunggangi kuda berpelana emas. Pejabat yang sangat senang menyiksa rakyat dengan meminta pajak melebihi hasil setiap panen.“Ini sangat buruk. Kita harus melakukan sesuatu,” ucap Kepala Pejabat istana dengan tatapan dinginnya kepada pejabat bawahan lainnya.“Kita bisa memenangkannya. Kekuatan Ratu Deriya sangat hebat,” balas salah satunya.“Kau sangat tahu jika Panglima Asmat saja tidak berani turun sendiri saat menyerang bawah bukit selama bertahun-tahun. Bahkan saat dia memberanikan diri menemui Mustafa, berakhir dengan pelarian.” Kepala Pejabat berusaha menenangkan hatinya. Dia sangat paham jika perkataan Trisula tentang kekalahan Deriya setelah dua puluh tahun, akan segera terjadi.“Kita akan segera membicarakannya.” Kepala Pejabat memutar
Mustafa menarik Aigul menuju kursi, dan mendudukkannya. Dia masih diam tidak berkata apapun. Agha mendekatinya dengan membawa kain panjang bewarna merah yang dia ambil dari sandaran kursi. Kain yang biasa Aigul gunakan untuk menghiasi tubuhnya.“Agha ikat dia,” ucap Mustafa tegas sembari berdiri tegak di hadapan Aigul yang masih menatapnya dengan sedikit senyuman.“Agha, kau menunggu di sini. Jika dia berteriak, bungkam mu--.”“Dia berada di lapangan penggal. Ratu mengetahui rencanamu dari pejabat istana yang melihatmu datang menemui rakyat. Hanya dengan memenggal ibumu, kau pasti akan me-nye-rah.” Aigul mendadak membuat Mustafa menghentikan ucapannya. Kini Aigul semakin berbinar saat sosok idamannya berjalan ke arahnya dan melepaskan ikatan yang sudah dilakukan Agha.“Asal dekat denganmu, aku sudah sangat senang, Mustafa,” bisik Aigul sekali lagi yang masih tidak mendapat tanggapan dari Mustafa.&ldq
Pembebasan akhirnya berhasil dilakukan oleh Mustafa dengan bantuan rakyat, serta Burak bersama tawanan. Mereka sangat hebat melawan semua prajurit Deriya. Satu hal yang membuat Mustafa merasa lega, akhirnya sang ibu terselamatkan.“Akhirnya kau terselamatkan, Ibu,” batinnya terus menatap depan.Aslan masih saja menghentakkan kakinya diatas tanah dengan sangat cepat menyusul rakyat dan semuanya yang sudah berada di pemukiman.Mustafa yang masih berada di atas punggung Aslan, sebenarnya masih merasakan kegelisahan. Dalam perasaannya, dia sangat khawatir jika Deriya mengirimkan semua pasukannya untuk menyerang pemukiman, dan membuat semua rakyat akan kehilangan nyawa.“Aslan, kita harus cepat,” bisiknya sembari mengelus kepala Aslan yang semakin menambah kecepatan berlarinya.Rakyat bersuka cita menyambut kedatangan Mustafa bersama Aslan. Dia menepuk-nepuk Aslan, untuk mengurangi kecepatannya saat sampai di pemukiman. Mustafa s
Ciuman pertama terasa sangat indah. Mustafa dengan lembut bersama perasaan yang bergetar, melakukannya. Perlahan lidah mereka bersentuhan di dalam. Kenikmatan bercampur rasa cinta semakin membuat mereka enggan melepaskannya. Ciuman semakin dalam terjadi.Burak dari kejauhan menatapnya. Dia sangat bahagia melihat Mustafa tumbuh menjadi pemuda hebat. “Aku akan selalu melindungimu, Pangeran,” batinnya kemudian berlalu.***Mustafa melepaskan bibirnya dengan senyuman. Zivana sedikit menundukkan kepalanya karena rasa malu. Sontak jemari kanan Mustafa memegang dagu lancip Zivana untuk kembali terangkat. Kini mereka kembali berpandangan.“Kerajaan Alcatraz berada di bawah kekuasaan Ratu Deriya. Aku tidak akan pernah mengorbankan itu.” Zivana menggelengkan kepalanya. “Tidak!” ucapnya keras. “Bebaskan aku, Pangeran,” sambungnya.“Mustafa. Panggil aku dengan sebutan itu,” balas Mustafa membuat Zivan
Kebahagiaan semakin lengkap. Zivana akan melahirkan ahli waris Sri Sultan. Semua cemas saat menunggunya. Para tabib berjaga di dalam. Di depan kamar Zivana, Mustafa hanya diam, menatap pintu kamar Zivana. Pembawaannya yang tenang, membuat semua orang yang berada di sana juga ikut tenang. Akasma berdiri di sebelah Mustafa. Dia mengingat kejadian beberapa tahun lalu saat dirinya akan melahirkan Mustafa. Namun, dia berusaha mengalihkan pikirannya. Saat itu, kejadian mengerikan terjadi. Akasma tidak ingin hal itu terulang kembali. Burak bersama sisa prajurit menjaga dengan sangat ketat. Walaupun mereka berjumlah sangat sedikit, Burak berusaha melakukan yang terbaik. Dia juga tidak mau kejadian masa lalu terulang kembali. “Burak, Maria datang dengan Ozone,” kata Agha dengan cemas. “Baiklah. Buka gerbang dan biarkan dia masuk,” balasnya dengan tegang. Sarman mendekati Burak. Perasaannya ikut cemas. “Maria mengejar Aigul saat menyerang perut sang rat
Aslan membuka mulutnya lebar. Dia melahap Selim sekali telan. Kini Raja Spartan benar-benar binasa. Zivana dan Akasma menatap tajam. Beberapa putri spontan menutup kedua mata mereka. Burak menarik kemudi kudanya. Dia mengarahkan sang kuda medekati Mustafa yang masih terdiam menatap langit. Arwah Selim melayang ke atas. Dia kini bersama semua korbannya. Mustafa menarik napas sejenak sebelum menatap Burak. “Sri Sultan. Semua sudah berakhir. Kita akan kembali ke istana.” Mustafa menganggukkan kepala. Dia kembali menghentakkan kudanya. Mustafa beserta rombongan kembali menuju Zengini. Semua bersorak gembira menyambut kedatangan Mustafa. Para rakyat kini menikmati sinar matahari yang kembali terlihat. Mereka keluar rumah. Menikmati keindahan alam yang sudah mereka nanti. Semua hewan juga merasakan kemenangan. Tumbuhan mulai bermekaran. Semua penghuni istana bersorak. Mereka terus mengagungkan nama Sri Sultan.
Pedang legenda masih menjurus tepat ke wajah Selim. Dia masih tidak menyerah. Wajahnya masih dipenuhi amarah. Kedua matanya memerah. Tidak peduli postur tubuhnya kembali seperti semula, Selim tetap akan melawan Mustafa.“Aku sudah melakukan pengorbanan dengan nyawaku. Aku tetap tidak akan menyerah. Kau bukan yang terkuat. Aku yang paling hebat!” teriaknya. Dia berusaha bangkit, tetap akan melawan Mustafa. Sambil mendongakkan kepalanya, dia mengepalkan kedua tangannya. Tatapan tajam, semakin mengarah dengan intens.“Selim. Kau tidak akan pernah bisa melawanku. Dan aku, tidak akan pernah melawanmu. Kau bukan tandinganku. Aku tidak akan pernah melakukan itu.”Beberapa kuda datang mendekati Mustafa. Aslan yang berada di sebelah Mustafa, terus mengerang. Giginya yang tajam, ingin sekali mengunyah Selim. Mustafa terus mengelus tubuh sang singa agar mereda dengan keinginannya.“Sri Sultan!” teriak Burak diikuti beberapa prajur
Arman berlari cepat. Dia melawan beberapa prajurit Spartan yang menjaga. Sarman sangat hebat dalam memanah. Dia melumpuhkan para prajurit dengan anak panahnya.Namun, Sarman terkejut. Kabut hitam melilit di semua tubuh para prajurit, membuat mereka tidak bisa bergerak."Pasti Asmat meminta Deriya melakukan ini. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktuku."Sarman berlari kencang. Dia menelusuri semua istana yang megah itu. Dia masih saja belum menemukan tempat batu itu berada."Aku tidak akan menyerah. Aku akan menemui pelayan," gumamnya sembari terus berlari menuju dapur istana. Sarman tidak menyangka. Sangat sepi di mana pun berada. "Ke mana mereka semua?" lanjutnya.Sarman semakin mengedarkan pandangannya ke semua arah, hingga dia mendengar suara di dalam gudang persediaan makanan. Sarman mengeluarkan pedang, mendekati pintu itu."Keluarlah kalian, atau aku akan mendobrak pintu ini!" teriaknya keras.Sarman masih bersiap. H
Mustafa tidak menyangka. Jemarinya berdarah. Dia perlahan mengangkat wajahnya, tersenyum ke arah Selim.“Aku terluka. Aku akan mengalahkannya,” batin Mustafa mulai bangkit.Aslan mengaum dengan keras. Bahkan, tanah sedikit membelah. Semua mata mendongak ke atas. Para rakyat dan penghuni istana mulai merasakan sedikit kehangatan. Paling tidak ada sesuatu yang tidak membuat mereka menggigil hingga nyaris kehilangan nyawa.Dia menatap pedang legenda, menyambarnya. Kakinya berlari cepat menghampiri Aslan dan menaiki punggungnya. Auman semakin terdengar keras. Selim mengernyit, tidak mengerti dengan Mustafa. Dia masih mengamati dengan saksama musuh hebatnya itu.“Kenapa dia tersenyum memandangku? Bahkan … udara kenapa semakin hangat,” tanya Selim membatin. “Tidak … ini tidak mungkin!” teriaknya keras.“Selim!” balas Mustafa sembari mengarahkan ujung pedang yang mulai memberikan sinarnya. Baya
"Selim! Aku tidak akan pernah membiarkanmu!" Mustafa mengarahkan pedang legenda. Dia menghentakkannya ke tanah, membuat semua es batu yang sudah mengeras dan menusuk itu meretak hingga cair. Dia terus melakukannya ke semua arah. Mendadak sedikit memberikan kehangatan yang tiba-tiba muncul. Namun, itu sia-sia. Udara yang menusuk kembali menutupnya.Mustafa tidak percaya dengan penglihatannya. Sementara Salim tertawa dengan keras melihat Mustafa semakin kebingungan. Dia ingin sekali melindungi semua manusia yang ada, namun kali ini dia gagal!"Hahaha. Lihatlah, mereka semua akan mati secara perlahan. Kau tidak akan pernah bisa menyelamatkan mereka. Pada nantinya hanya akan ada kita berdua saja. Kau kehilangan semua orang yang kau sayangi. Tapi aku tidak peduli, karena aku hanya ingin menjadi orang yang terkuat. Tidak masalah jika aku hanya sendirian di sini. Aku memiliki kerajaan Spartan dan mereka terlindungi oleh kekuatan iblis yang sudah merasukiku."
Awan mulai menggulung semakin gelap dari arah barat. Bahkan angin semakin menusuk. Tanah yang semula sedikit terasa hangat menjadi sangat dingin. Semua dilapisi oleh kerasnya es yang sangat menusuk jika menyentuh.Mustafa tidak mengerti bagaimana dia bisa menghancurkan Selim. Serangannya sama sekali tidak bisa mengenai, bahkan melukai Raja Spartan itu. Kini dia paham jika mereka sama-sama menjadi pengikut dari iblis, maka salah satu dari mereka tidak akan pernah bisa memenangkan pertandingan ini atau pun terluka. Iblis hanya bisa kalah dengan kekuatan manusia berdarah merah."Kenapa aku tidak menghancurkan batu itu? Ternyata ini membawa akibat yang sangat sulit. Akusama sekali tidak akan bisa mengalahkannya. Hanya darah merah yang bisa mengalahkan Selim.Kini aku paham dengan apa yang dikatakan Trisula.Titik darah terakhir yang hanya bisa membuat akumemenangkan pertarungan ini.""Kenapa kau diam saja Sri Sultan Mustafa? Apa kau sud
Selim tidak bisa lagi menahan amarahnya. . Dia berdiri di atas kuda hitam yang sudah memancarkan cahaya merah dari kedua matanya.Kuda itu melesat sangat kencang. Bahkan kecepatannya sama seperti angin. Tak kasat mata. Mustafa pun mengerjapkan kedua matanya hingga tiga kali untuk membuat pandangannya fokus kembali kepada kuda itu. Hanya beberapa detik saja, sang kuda sudah berada di hadapannya. Mengangkat kedua kaki depannya dan akan menyerang dari depan.Sontak Aslan mengaung sangat keras. Membuat sang kuda akhirnya tidak menyerangnya. Auman Aslam membuat tanah bergetar, hingga sedikit retak."Kau tahu Mustafa. Kekuatanmu tidak bisa dibandingkan denganku. Aku tidak akan pernah memberikanmu ampun. Walaupun kau sudah mengambil semua puluhan ribu prajuritku.Tenang saja, sekarang hanya kita berdua yang akan bertanding.""Aku juga tidak sabar untuk menghabisimu segera.Karena aku hanya ingin melindungi kerajaanku yang sudah berdiri secara tur
Selim masih sangat kesal. Dia tidak percaya melihat Panglima Spartan yang sangat hebat kini sudah kehilangan nyawanya di tangan seorang lelaki tua Ayah angkat dari Mustafa. "Aku benar-benar tidak percaya. Dia ... sudah mengalahkan Panglima!" Selim mengepalkan kedua tangannya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi."Argh!"Dia berteriak sangat keras, memberikan perintah kepada puluhan ribu pasukannya yang sudah siap untuk segera menyerang kerajaan Sri Sultan Mustafa Zulfikar.Sarman bersama 500 prajuritnya terdiam, dengan tubuh yang gemetar sambil mencengkram senjata mereka masing-masing untuk menerima serangan yang akhirnya datang juga."Kita akan menyerang sampai detik terakhir. Jangan pernah menyerah! Kita akan mati sebagai pahlawan, dari pada kita hidup bersembunyi seperti seorang pengecut!" teriak Sarman kepada semua prajuritnya yang semakin bergetar. Mereka bersiap untuk menyerang semua puluhan para prajurit dengan wajah sangat menyeramkan