"Alena?" Harry melihat istrinya ada disampingnya ketika ia baru membuka matanya, ia tersenyum dan ingin mendekap istrinya. Namun saat tangannya mendarat pada sosok yang ia lihat seperti istrinya tiba-tiba sosok itu berubah jadi bantal guling."Aku benar-benar sudah gila!" Harry membanting bantal guling itu.Harry kembali berbaring, menatap langit-langit kamarnya."Aku bisa masuk rumah sakit jiwa suatu saat. Tiap hari aku selalu berhalusinasi melihat istriku berada didekatku, aku tak tahan dengan keadaanku yang seperti ini."Harry kembali memejamkan matanya, lalu membuka lagi kedua matanya dengan kondisi marah."Kenapa sih enggak pas merem, enggak pas melek aku cuma lihat bayangan Alena." teriaknya frustasi sambil kembali bangkit dari berbaring."Seandainya aku tak melepaskan Alena malam itu, mungkin kami masih bisa hidup bersama. Aku nggak perlu menjadi orang gila seperti sekarang!" ucap Harry seorang diri.Dreettt...dreeetttt...Sebuah panggilan masuk dari Sinta mengagetkannya. Ia ma
"Kau pasti akan merasa sangat kesepian tinggal beberapa hari di rumahku, biasanya kan kau selalu nempel diketiak suamimu." ucap Sinta sambil mengantarkan Alena di kamar yang akan Alena tempati. Harry tengah sibuk mengurus butiknya di luar kota, karena seperti biasanya di setiap akhir tahun penjualan di butiknya akan sangat meningkat drastis. Untuk itulah untuk sementara waktu Alena akan tinggal di rumah Sinta. "Ya, kita jarang berjauhan selama ini. Kalau bukan soal urusan pekerjaan dia tak pernah keluar sendirian. Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu membawaku ke kamar Bram?" tanya Alena merasa kurang nyaman tinggal dikamar yang pernah mengukir kenangan buruk baginya."Ini kamar paling besar dan mewah di rumah ini. Aku mau kamu merasa nyaman tinggal di sini. Apa kamu keberatan?" tanya Sinta."Bukan keberatan, hanya saja aku akan kesulitan berjalan naik turun tangga. Kamar ini kan berada di lantai tiga." ujar Alena."Jadi, kamu mau pindah ke kamar bawah saja?""Iya, aku takut tinggal di
Harry berhenti di depan pintu ruang rawat inap orang yang selalu dianggapnya musuh. Ia menguping sedikit pembicaraan orang tersebut dengan sepupunya. Sebenarnya ia ragu untuk menjenguk lelaki yang ada di dalam kamar tersebut, namun ia menepis semua kegundahannya karena beberapa hari yang lalu orang tersebut telah menyelamatkan nyawa istri beserta anaknya."Jangan gila Yud, kamu belum sembuh total!" bebel Satria ketika melihat Alex secara paksa mencabut jarum infus yang ada dipunggung tangannya."Aku mau lihat Alena dan anaknya, aku ingin tahu keadaan mereka berdua" balas Alex kemudian mengganti bajunya."Mereka baik-baik saja. Kamu enggak usah khawatirin keadaan mereka lagi." sela Harry diperbincangan itu. Alex berhenti mengancingkan baju, ia melirik kearah Harry yang terlihat berjalan kearahnya."Terimakasih, aku banyak berhutang budi padamu!" Harry mengulurkan tangan, namun Alex belum juga membalas jabatan tangannya."Kamu sudah memberiku darahmu, kita sudah sudah impas sekarang, ja
Waktu terus berlalu, rumah tangga Harry dan Alena masih saja harmonis seperti awal-awal mereka menikah. Meski usia mereka sudah tak muda lagi, mereka tak segan menunjukan kemesraan mereka di depan orang lain. Satu hal yang membuat mereka selalu sakit kepala dan sedikit bertengkar, yakni kenakalan anak mereka yang masih duduk di bangku SMA.Dua tahun ini, Alex muda sudah di keluarkan dari tiga sekolah. Alena dan Harry cukup frustasi karena itu."Pah, hari ini ultah Alex ke-17. Papah jangan lupa pulang awal. Mamah akan siapkan segala sesuatunya untuk merayakan hari jadi anak kita." ucap Alena di ruang makan sembari menunggu anak semata wayangnya turun dari kamar."Enggak ada pesta apapun. Kamu jangan manjain anak kita terus. Hari ini hari pertamanya masuk ke sekolah baru, jadi Papah punya rencana sendiri untuk membuat anak nakal kita itu berubah lebih baik."Alena menghela nafas melihat suaminya masih saja tersulut emosi. Dia tak tega membiarkan anak semata wayangnya terus saja di hukum
Pov AlexBel istirahat berbunyi, para siswa keluar kelas. Aku yang tadinya ingin memberi pelajaran gadis gendut bernama Aurel itu tak bersemangat. Perutku keroncongan minta di isi. Aku tak mengantongi uang sepeserpun, aku lapar dan tak tahu harus berbuat apa.Nyum...nyum...!Aku menoleh ke sumber suara, aku menggigit bibir sembari memegang perutku yang makin merasa lapar saat melihat Aurel tengah makan di tempat duduknya. Air liurku keluar karena benar-benar menginginkan makanan milik Aurel."Sial, kenapa Bad*k itu makan disana!" gumamku sembari terus menatap Aurel makan."Apa lihat-lihat?" celetuk Aurel. Aku membuang pandangan setelah kepergok. Langsung ku tempelkan wajah diatas meja karena malu. Dalam hatiku menyesal karena tak mendengarkan perintah Mamahku yang menyuruh sarapan.Jam berlalu, waktu pulang sekolah akhirnya datang juga. Aku sangat bersemangat pulang. Bayangan makanan-makanan sedap terhidang di meja makan rumahku membuat perutku makin keroncongan.Aku mengeluarkan pons
Pov AlexLelah hinggap di tubuhku. Aku tak menyangka pekerjaan yang aku anggap sepele ternyata sangat menguras tenaga. Setelah makan malam aku langsung tidur karena merasa sangat kelelahan.Jam menunjuk ke angka enam pagi, bagaimana bisa aku melewatkan bunyi alarm kali ini. Kalau tak cepat-cepat mandi aku pasti akan telat.Cukup hanya dengan lima belas menit, aku telah selesai bersiap berangkat sekolah. Seperti biasa orangtuaku menungguku di ruang makan. Aku menghampiri mereka sekedar meminta uang saku."Mamah suruh Bik Layli masak masakan kesukaanmu, Lex. Duduk sini sayang!" ucap lembut Mamah."Mamah gimana, sih. Kenapa enggak bangunin aku awal. Aku telat jadi enggak bisa ikut sarapan." omelku."Mamah enggak tega lihat kamu yang masih pulas tidur tadi. Telat dikit enggak apa-apa sayang. Makanlah dulu." bujuk Mamah."Enggak, aku mau langsung sekolah saja!" ucapku keras kepala."Kalau mau berangkat ya berangkat saja, ngapain buang-buang waktu marah-marah di sini!" ceplos Papah. Buang-b
Pov Alex"Jangan cepat-cepat, kakiku sakit!" ucap Mbak Calista. Aku menoleh kearah kakinya lalu menyuruhnya membuang high heells miliknya."Buang, high heelsnya Mbak, kita bisa tertangkap nanti!" perintahku. Kami berhenti sejenak, dia membuang high heels lalu kami kembali berlari. Orang suruhan Ayah tiri Mbak Calista masih mengejar kami. Hingga akhirnya aku lihat sebuah taksi, aku hentikan taksi lalu menarik Mbak Calista masuk ke dalamnya."Pak, cepat jalan Pak! kami di kejar orang-orang itu!" ucapku pada sopir taksi."Ok!" ucap sopir taksi itu."Mbak Calista tunggu!" teriak salah satu orang itu, Mbak Calista tersenyum sambil melambaikan tangannya pada lelaki itu."Makasih ya, De. Aku selamat lagi!" ucapnya lega."Mbak kan sudah selamat, sekarang Mbak turun di sini saja!" ucapku pada wanita itu."Aku enggak mau, aku mau ikut sama kamu saja!""Ikut denganku? Jangan gila Mbak, aku bisa-bisa di usir orangtuaku karena membawa wanita ke rumah malam-malam!" tolakku.Wanita itu meletakan dua
"Apa yang sedang kamu lakukan, Mbak?" tanyaku setengah berbisik. Langkahku mendekat. Keadaan dapur sangat berantakan, piring kotor dan kulit beberapa buah berserakan."Aku lapar Lex, aku enggak bisa tidur jadi aku nekad turun mencari makanan!" ucapnya kemudian menggigit apel yang ada di tangannya."Kamu bisa ketahuan kalau begini, Mbak." "Semua orang di rumahmu sedang tidur, Lex. Jadi aman!" jawabnya pelan. Dia terlihat sangat kelaparan, dalam sekejap saja apel di tangannya habis di makannya."Ayo, naik. Nanti aku ambilkan makanan."Dia tersenyum senang mendengar itu. "Sungguh?"Aku mengangguk cepat, "Iya, cepat kita naik sebelum ketahuan." ajakku.Baru saja selesai bicara, ku dengar suara pintu kamar Bik Layli seperti terbuka. Kamarnya memang ada di sebelah dapur jadi suara pintunya terdengar sampai sini."Cepat, sembunyi!" perintahku."Dimana?" tanya Mbak Calista kebingungan."Sini!" jawabku sambil mengarahkan tangan di bawah meja. Mbak Calista jongkok lalu sembunyi di bawah meja.
Pov AlexWuekkk...wueeekk..!Kami sedang sarapan, tapi Mamah berkali-kali berlari ke toilet karena mual. Papah yang khawatir dengan keadaan Mamah tak jadi sarapan."Kenapa kamu, Mah?" tanya Papah."Kayaknya Mamah masuk angin, deh Pah!""Ya udah enggak usah ke kafe hari ini. Mamah istirahat saja di rumah." ucap Papah. Aku dan Mbak Calista ikut khawatir melihat keadaan Mamah."Udah, enggak usah khawatir soal Mamah. Aku akan jagain Mamah di rumah." ucap Mbak Calista."Ya, kalau ada apa-apa cepat kabari aku atau Papah ya, Mbak." "Iya, Pasti!"Akupun pergi ke sekolah masih dengan perasaan khawatir.Di jam pelajaran ponselku bergetar, curi-curi aku membuka pesan dari istriku. Mulutku terbuka lebar saat melihat gambar yang istriku berikan. Sebuah garis dua dalam tes pack milik Mamah.[Selamat ya, Lex. Sebentar lagi kamu punya adik!]Aku tak menyangka di usai Mamah yang sudah menginjak 40 tahun dia hamil. Memang selama ini dia selalu bilang ingin anak perempuan semoga kali ini terwujud.Sete
"Aldo, tolong selidiki gadis ini." Bram memberikan secarik kertas berisi nama dan alamat Siska pada Aldo."Memangnya kenapa dengan gadis ini, Pak?" tanya Aldo sembari meraih kertas tersebut."Dia memfitnah menantu saya. Sekarang menantu saya di penjara karena ulahnya. Dia harus di beri pelajaran!""Ok, Pak!" ucap Aldo sembari membaca nama dan alamat gadis yang ingin dia selidiki."Siska? alamat rumah ini juga--""Kamu kenal gadis itu? tanya Bram penasaran."Dia...dia anak saya!" jawab Aldo menahan malu."Apa? anakmu?" Bram menggebrak meja marah."Maaf, Pak. Saya akan membereskan masalah ini." ucap Aldo."Ya. Kamu harus segera membereskannya kalau tidak, siap kamu nanti!" ancam Bram."Dia memang anak nakal, bahkan dia tak berani mengenalkan saya pada teman-temannya. Dia selalu mengarang cerita saya ada di luar negeri mengurus bisnis saya!" cerita Aldo frustasi. Kemarahan di wajah Bram hilang sudah mendengar cerita sedih Aldo."Kamu pandai membereskan urusanku tapi sayangnya kamu sama s
"Kalian berdua jaga rumah baik-baik. Kami berdua cuma pergi seminggu." ucap Harry. Dia dan Alena memutuskan untuk pergi berlibur bersama."Kenapa cuma seminggu Pah, enggak setahun saja?"Harry hampir melempar kopernya kearah anaknya kalau bukankarena di cegah istrinya."Dimana-mana anak, kalau mau di tinggal orangtuanya sedih bukan seneng kaya kamu!" ucap Harry, ini membuat Alena dan Calista tertawa."Kalian mau seneng-seneng kenapa aku harus sedih. Papah ini aneh!" omel balik Alex."Ya udahlah Pah, paham juga keadaan Alex yang mau bebas juga enggak ada yang ganggu!" sela Alena."Ya udah, pergi sekarang yuk, Mah. Papah enggak sabar pingin cepat-cepat pergi dari rumah ini.""Ayo, Pah!"Calista dan Alex melambaikan tangannya melepas kepergian Alena dan Harry."Coba kamu libur, Lex. Aku mau kita ikut liburan mereka juga." ucap Calista."Aku liburpun enggak bakal mau ikut mereka, malas!" ucap Alex. Kemudian ia pun pamit pergi ke sekolah pada Calista.Alex sebenaranya sudah kurang nyaman b
"Mah, kita ke restoran mana?" tanya ketus Alex pada ibunya."Restoran yang deket dengan butik Papah saja, biar dia bisa ikut makan siang bareng." jawab Alena."Lex jangan ngebut!" ucap Calista. Dia tahu suaminya masih geram karena di ganggu ibunya."Ini enggak ngebut, kok!"Alex malah menambah kecepatan mobilnya."Mau bunuh kami berdua kamu ya, Lex!"Ibunya menjewer Alex dari belakang."Ampun, Mah. Iya Alex pelanin!"Calista tertawa melihat Alex di jewer Alena."Mah, kenapa enggak besok-besok saja makan di luarnya, sih!" geram Alex."Kamu tahu kan, masakan yang Calista panasin gosong. Mau makan apa kita di rumah. Bik Layli hari ini lagi cuti, siapa yang mau masak kalau enggak ada Bik Layli?""Kan bisa pesen makanan online!" Alex masih saja membebel tak terima."Kamu ngebet banget pingin di rumah. Mamah juga pernah muda tapi enggak ngebetan kaya kamu!""Udah, Lex. Kita udah lagi jalan keluar. Enggak usah di bahas lagi kenapa!" ucap Calista menenangkan suaminya.Alex masih diam dengan w
"Mana Calista sayang, kenapa kalian enggak langsung nemuin Mamah. Kalian tahu betapa khawatirnya Mamah nungguin kalian!"Alex tak jadi marah setelah tahu ibunya yang datang.Mendengar suara Alena, Calista bangkit dan menemui wanita itu. Hati Calista menangis melihat wanita yang dia pikir tidak akan pernah memaafkannya bermata sembab. Dia sekarang sadar betapa wanita itu sangat menyayanginya. Alena tak berhenti menangis setelah kepergiannya sampai keadaan wanita itu sekacau itu dan itu baru secuil bukti ketulusan cinta Alena pada menantunya."Tante, maafin Calista."Alena langsung memeluk menantunya."Kamu enggak apa-apa kan sayang. Si brengs*k itu enggak sampai ngapa-ngapain kamu kan?" tanya Alena khawatir."Om Harry dan Alex datang tepat waktu, Tante. Saya bersyukur sekali.""Tapi, kenapa dengan lehermu. Apa lelaki breng*ek itu yang melukaimu?" Alena menyentuh bekas goresan pisau di leher Calista."Saya menggertak lelaki itu dengan melukai leher saya Tante. Saya tidak tahu lagi bagai
Pov AuthorSeseorang mendobrak pintu kamar yang di tempati Calista. Dalam keadaan gelap Arman hanya diam menunggu orang itu berhasil mendobrak pintu. Arman penasaran siapa yang sedang berani mencoba bermain-main dengannya."Brak!"Pintu berhasil di dobrak, dengan hanya pencahayaan dari senter, orang-orang yang berhasil masuk dalam kamar yang di tempati Arman mengepung lelaki itu."Om Harry? Om Yudi?" ucap Calista saat lampu kembali hidup, Calista tersenyum dan menyeka airmatanya saat melihat ada Harry dan Yudi di depannya."Kamu baik-baik saja, sayang?" tanya Harry. Hatinya teriris saat melihat goresan luka di leher menantunya.Brugh!Bram tiba-tiba datang dan menyeret Rendi lalu mendorongnya sampai lelaki itu terjatuh tepat di depan kaki Arman. Arman masih terlihat begitu tenang melihat keadaan itu."Anjingmu sudah ku buat babak belur, setelah ini giliranmu!"Calista menatap salut kearah lelaki yang tak pernah di lihatnya itu. Selagi ada kesempatan diapun berdiri dan memakai kembali
Pov CalistaMasih pagi sekali, aku diam-diam keluar dari rumah Alex dengan perasaan hancur. Aku menyayangi keluarganya melebihi keluargaku sendiri, namun karena aku merasa tak pantas terus berada di rumah ini, aku putuskan untuk keluar saat ini juga.Aku sudah tak mempedulikan apapun, memang terlalu nekad pergi tanpa tujuan dan uang sepeserpun. Tapi demi kebaikan Alex dan keluarganya aku siap menanggung resiko apapun.Sinar matahari terasa mulai menyengat, di sebuah jalanan sepi dua mobil berwarna hitam tiba-tiba berhenti di depanku.Aku gemetar, tapi aku tak punya pilihan lain selain ikut bersama mereka karena Ayah tiriku bilang akan menyakiti ibuku jika aku melakukan perlawanan. Apa yang akan terjadi biarlah terjadi, aku tak mau ibuku kenapa-kenapa meski selama ini dia memperlakukanku tidak lebih baik dari Ayah tiriku.Mereka membawaku ke salah satu rumah Om Arman, sudah ada Ayah tiriku di sana. Tapi aku tak melihat dimana ibuku saat ini. Saat aku menanyakan pada Ayah tiriku dia bil
Pov Harry"Lex, sepertinya kita tak perlu melanjutkan pencarian kita." ucapku pada anakku."Pah, kenapa Papah yang jadi plin-plan gini!" geram Alex."Papah enggak bisa jelaskan apapun tentang Ayahnya sama kamu. Tapi Papah, Om Yudi dan Ayah Calista tidak berhubungan baik saat dulu.""Pah yang enggak berhubungan baik kan kalian, aku dan Mbak Calista saling mencintai Pah. Aku tidak mau kehilangan dia!""Papah bilang hentikan ya hentikan! kamu sekarang masuk ke kamarmu dan lupakan perasaanmu pada wanita penipu itu!"Alex terlihat sangat kecewa dengan keputusanku. Aku harap pelan-pelan dia paham alasanku melarangnya menghentikan pencarian ini. Aku tak mau dia nantinya sakit hati, keluarga Bram pasti akan melarang hubungan ini. Aku tak mau nantinya harga diri anakku di injak-injak oleh keluarga Bram."Papah jahat!"Alex pergi menuju kamarnya."Apa kamu enggak terlalu berlebihan gitu, Har? Alex dan Calista saling mencintai. Harusnya kamu enggak jadi penghalang mereka seperti ini!" ucap Yudi.
Pov AlexCeklek!Aku masuk dalam rumah. Suasana rumah sangat sunyi, untunglah kalau begitu. Orangtuaku pasti sudah tidur jadi kali ini aku aman dari bebelan mereka.Dengan langkah yang sangat pelan-pelan aku naik ke kamar. Setelah sampai di depan pintu kamar aku baru bisa bernafas lega. Hari ini aku benar-benar selamat. Orangtuaku tidak akan tahu kalau kami pulang terpisah."Ku buka pintu kamar pelan, lampu terlihat padam. Bukankah Mbak Calista selalu bilang takut kegelapan, tapi kenapa malam ini dia mematikan lampu kamar?"Mbak!" panggilku sembari duduk di sofa sebelah Mbak Calista berbaring. Tak ada sahutan. Ku pikir Mbak Calista mungkin sedang menangis."Mbak, kenapa Mbak pulang duluan?" sambungku karena tak mendapatkan responnya. Mbak Calista masih saja diam."Mbak, pasti kamu semarah ini karena memergokiku ciuman bersama Siska kan?"Mbak Calista terus saja diam tak mempedulikan rasa bersalahku."Sumpah Mbak ciuman ini tak di rencanakan. Ini terjadi begitu saja."Karena masih saja