Share

Nightmares

Penulis: Dawn
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-08 15:36:13

Untuk sesaat Raya merasa dirinya diselimuti kain tebal dan halus, yang dengan erat membungkus tubuhnya, menghantarkan kehangatan mulai dari kepala hingga ujung kaki. Ia tak tahu dirinya berada dimana sekarang – tidak peduli, bahkan. Kenyamanan ini terlalu berharga untuk ditinggalkan. Raya merasakan tubuhnya terbang perlahan oleh sapuan angin hangat yang menelungkupnya, menggiringnya ke pusaran udara  yang dengan lembut menyapu kulit wajahnya. Rasanya seperti baru sedetik ketika tiba-tiba sapuan lembut itu berubah menjadi kuat dan dingin, menggigit kulitnya dan seakan menarik selimut yang tadi melindunginya. Ia belum sempat mencerna apa yang terjadi ketika sekujur tubuhnya berubah dingin dan dirinya tersedot ke pusaran udara tadi yang dengan brutal membuat tubuh rampingnya berputar, melilitnya dengan angin sedingin es hingga membuat mulutnya kelu. Namun anehnya, ia tak bisa menutup mata meskipun rasanya bola matanya itu akan membeku.

Ia berada di langit, dalam putaran tornado berwarna biru pekat dan ia tidak melihat apapun selain warna hijau dan biru beribu-ribu kaki dibawahnya – tanah dan laut, bumi. Menyadari betapa jauh dan tinggi dirinya kini, rasa takut mulai menghinggapinya. Namun tak ada yang bisa ia lakukan karena tak sesentipun dari tubuhnya bisa ia gerakkan. Saat itulah matanya mulai menangkap kilasan-kilasan gambar dan suara abstrak yang seakan tercipta dari gumpalan angin dingin itu. Raya menonton seseorang – atau sesuatu berteriak, berlari, tertawa dan marah, namun siapapun mereka atau apapun itu, ia tak bisa melihat atau mendengarnya dengan jelas. Hal itu berlangsung selama beberapa detik yang rasanya seperti beberapa jam sebelum akhirnya pusaran angin itu berhenti dan menghilang – meninggalkan tubuh Raya melayang tinggi di udara. Gadis itu belum sempat bereaksi ketika tubuhnya terjatuh dengan cepat.

Kini ia mendengarnya - suara teriakan yang memekakkan telinga, penuh ketakutan dan putus asa – bersamaan dengan tubuhnya yang terus melayang turun,

This is it… aku akan mati.

 Ia menutup telinga dan matanya, bersiap menyambut ajalnya. Ketika kegelapan menyelubunginya, saat itulah ia melihat kilasan gambar tadi dengan jelas. Ia melihatnya… Freya berlari dengan wajah ketakutan kearahnya. Kedua tangan kurusnya yang berlumuran darah terjulur seakan ingin memeluknya dan ia berbisik kasar, “Tolong!” sebelum akhirnya tubuh Raya terbanting ke daratan.

Raya terbangun tiba-tiba dengan tarikan napas yang kasar, jantungnya berdegup kencang hingga menimbulkan sakit di dadanya dan ia merasakan jari-jarinya menjadi dingin.

“Hei, nak. Sudah bangun?”

Kepala Raya otomatis menoleh kearah suara rendah yang tak asing ditelinganya. Ayahnya berada di kursi supir, memandangnya dari kaca spion, “Kau baik-baik saja?”

“Iya, aku…” setengah bingung, Raya mulai mengedarkan pandangan ke sekitar sambil memijit pelipisnya. Dirinya berada didalam mobil – yang Raya percaya – Avanza hitam tua milik Ayahnya yang tak pernah digantinya sejak bertahun-tahun lalu, dan dengan pemandangan gedung-gedung tinggi, pengendara motor dan mobil bahkan pejalan kaki  memenuhi jalanan yang disinari matahari tanpa ampun, satu hal yang pasti – dia sudah berada di Jakarta.

“Ya ampun, aku tertidur berapa lama?” gerutunya sambil menyandarkan kepala ke kursi, kembali menatap ayahnya melalui spion, “aku ngga ingat sudah berada di Jakarta.”

Pria tua berwajah ramah itu terkekeh pelan, “belum berapa lama, pasti lelah setelah berjam-jam di pesawat.” Jelasnya, “mimpi buruk lagi, ya?”

Raya mengangguk dan melemparkan pandangannya ke jalanan sibuk Jakarta, “iya, tapi kali ini berbeda dari biasanya. Aku tidak berada di ruangan gelap seperti sebelumnya, dan Freya…” Raya mengernyit, menolak menyuarakan kondisi Freya dimimpinya barusan. Ia lalu menoleh kembali ke Ayahnya. “Aku sudah disini sekarang, ayah. Kapan kau akan menjelaskan semuanya seperti yang kau bilang di surat?”

“Sebentar lagi,” jawabnya singkat seraya memberikan sebotol air mineral yang langsung diraih Raya, “kita temui ibumu dan bicarakan semuanya.”

Kalau ada satu hal yang paling ia mengerti dari ayahnya adalah beliau tidak pernah memutuskan apapun tanpa berdiskusi dengan ibunya – paling tidak ketika mereka masih menikah dulu – apalagi mengenai hal-hal tertentu. Tapi sejak perceraian mereka sepuluh tahun lalu mengubah kebiasaan ayahnya itu, namun ketika tiba-tiba beliau kembali ke kebiasaan lamanya… Raya tahu pasti ada sesuatu, dan itu bukan hal baik.

Raya meneguk airnya perlahan dan memutuskan untuk bersabar sampai mereka sampai tujuan – rumah ibunya, bersiap untuk hal yang terburuk.

                                                               ***

Ruko milik ibunya tidak banyak berubah, meski sudah sepuluh tahun berlalu. Cat dindingnya yang dulu berwarna putih kini berwarna lilac lembut, jelas dicat ulang untuk menutupi ‘grafiti’ yang dulu Raya dan Freya ukir disana ketika mereka kecil. Berbeda dengan sang ayah, ibunya paling tidak suka ketidak-aturan yang anak-anaknya lakukan. Menggambar hanya dibuku gambar, baju harus dimasukkan kedalam celana atau rok, kaos kaki harus sama tinggi, makan tidak boleh bersisa, dan rumah harus selalu bersih – suatu hal yang mustahil ketika kau mempunyai seorang anak yang hyper active dan yang lain selalu menurutinya apapun yang ia lakukan. Dalam hati Raya kasihan pada Freya harus tinggal bersama ibunya yang sangat text book.

Raya dan ayahnya berjalan menuju ruko mungil itu, dengan beberapa pot tanaman yang menghiasi lahan kecil didepannya. Sebuah plang bertuliskan “Rose Bakery” terpampang di dinding, tepat diatas rolling door berwarna coklat gelap.

“Oh ya, Freya bilang usaha bakery ibu semakin bagus akhir-akhir ini.” Ujar Raya, tersenyum kecil seraya memandang plang berbentuk bulat yang pasti menyala ketika malam hari tiba, “tapi ibu tidak pernah membiarkan Freya membantunya.”

“Kita tahu kenapa” sahut ayahnya.

“Ya, dia akan membakar dapur jika ibu menoleh sedikit.”

“Membakar rumah, maksudmu?”

Raya terkekeh pelan, jelas sangat tidak sepenuh hati. Ayahnya membunyikan bel dan mereka menunggu. Ia tidak menolehkan pandangannya dari rolling door. Hatinya berdegup kencang dan tanpa sadar tangannya tercengkram kuat di pegangan kopernya. Dalam hati ia berharap Freya yang membukakkan pintu, dengan senyum sumringah jahilnya seperti tiap kali mereka bermain. Bahwa semua ini adalah keusilannya untuk membuat Raya pulang kembali padanya. Tapi ia terpaksa menelan ludah dengan kecewa ketika sosok ibunya lah yang pertama dilihat ketika rolling door itu terbuka.

“Raya!” Seru wanita setengah baya itu dan tanpa membuang waktu, menarik Raya kedalam pelukannya. Aroma bunga khas ibunya langsung memenuhi indera penciumannya, dan ketika ia melingkarkan lengan untuk memeluk sang ibu, ia merasakan betapa kurusnya wanita itu sekarang. Ibunya terisak keras hingga ia merasa bahunya basah.

“Maaf ya Raya…” ujarnya disela-sela isakannya, dan mata Raya menangkap ayahnya yang menunduk, mengusap lehernya dengan tidak nyaman, “maaf ibu tidak langsung memberitahumu..”

Saat itulah Raya merasakan ada tangan tak terlihat yang mencengkram perutnya dengan kencang, “Bu… dimana Freya?”

Alih-alih menjawab, ibunya justru menangis makin kencang, sekencang pelukannya terhadap Raya dan membenamkan kepalanya di bahu anak gadisnya itu. Raya tak perlu bertanya lagi untuk mendapatkan jawaban yang jelas mengenai kakak kembarnya selama ini. Matanya masih menatap lekat ayahnya mulai terasa panas dan rabun ketika air matanya mulai terjatuh. Ia seperti berada diantara ambang kesadaran dan mimpi, suara ayahnya terdengar sangat jauh ketika beliau akhirnya menjawab ketakutannya selama ini…

“Freya sudah meninggal, Raya…tubuhnya ditemukan sebulan lalu disini…”

Bab terkait

  • Something Happened To Freya   It's odd, isn't it?

    Jakarta, 29 Oktober 2002. Freya sudah meninggal, Raya… tubuhnya ditemukan disini sebulan lalu.Yang terjadi setelah mendengar perkataan Ayahnya saat itu hanyalah gelap dan suara isakan keras yang memenuhi ruangan, entah datang darimana. Mimpi-mimpi buruk yang sering ia alami belum pernah terasa sangat nyata seperti ini, bahkan mimpinya yang terakhir. Ia tidak merasakan apa-apa ketika tubuhnya terpelanting ke tanah, namun sekarang seperti ada tangan tak nyata yang mencengkram hatinya lalu menariknya kebawah tanpa peringatan. Tubuhnya gemetar hebat dan terasa sakit, namun ketika menyadari bahwa sakit itu berasal dari pelukan ibunya yang mencegahnya terjatuh ke lantai, Raya sadar bahwa isakan keras itu berasal dari dirinya sendiri. Raya mengepal tangannya, mencoba menahan rasa sakit di kepala dan sekujur tubuhnya dan saat itulah ia menyad

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-22
  • Something Happened To Freya   One way or another

    Raya bersedekap, memandang kedua orangtuanya yang sibuk. Hari ini mereka memutuskan untuk kembali ke kantor polisi dan meskipun dirinya sangat ingin ikut, ada hal mendesak lain yang harus Raya lakukan. “Ada makanan di kulkas, kau bisa menghangatkannya.” Ujar Ibunya yang terburu-buru mengalungkan syal di leher, “atau kalau kau mau membeli sesuatu, ada uang di toples dapur.” “Kau juga boleh menyusul kalau mau, Raya.” Ayahnya menambahkan. “Tidak, kurasa aku akan menunggu kalian pulang saja. Badanku tidak enak- tapi aku tidak apa-apa, kalian pergilah.” Setelah memastikan putrinya baik-baik saja, sepasang suami istri lalu pergi dan Raya menunggu hing

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-25
  • Something Happened To Freya   First Meeting

    Jakarta, 3 November 2002. Ibunya sedang menyiapkan sarapan sambil bersenandung ketika Raya keluar kamar pagi itu. Aroma kue panekuk kesukannya memeneuhi udara dan dengan sukarela, ia duduk di kursi meja makan – siap untuk mengisi perutnya yang sudah meronta padahal baru jam tujuh pagi. “Kau berpakaian rapi sekali,” tegur Ibunya seraya meletakkan panekuk di piring Raya, “mau pergi kemana?” “Kampus Freya, aku mau bertemu teman-temannya.” Ibunya tidak langsung menjawab, tapi Raya menyadari bahwa gerakannya sempat terhenti sesaat. “Oh, kalian sudah saling mengenal?”&nb

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-03
  • Something Happened To Freya   You Are Not THE Murderer

    Raya ingat tulisan Freya pada suratnya:“Kau tahu kan, aku tidak bisa menjelaskan sesuatu dengan baik hanya melalui tulisan, dan kau pasti akan menertawakanku disana, aku yakin. Tapi Bumi benar-benar tipe lelaki yang seperti melompat keluar dari novel Pride and Prejudice, Mr. Darcy! Selera humornya memang tidak sebaik Jiro dan dia lebih suka menyendiri, belum lagi hobinya yang aneh. Dia suka bermain layangan, benar-benar seperti anak kecil, kan? Dia juga suka berdebat, bukan untuk membuktikan siapa yang benar atau salah, dia hanya suka membuatku jengkel. Tapi aku yakin kau akan menyukainya, Raya. Kalau dipikir-pikir, kalian memiliki banyak kesamaan. Salah satunya… kalian sama-sama membosankan!Tapi dia orang yang baik, sangat baik, kau akan tahu begitu bertemu dengannya.”Dan kini lelaki yang dimaksud berdiri menjulang tepat dihadapannya, namun Raya tidak melihat sosok baik hati yang dijabark

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-03
  • Something Happened To Freya   Departure

    Jepang, 10 Oktober 2002.Bandara Narita."Raya, earth to, Raya." Raya berkedip cepat ketika udara dingin yang tercipta dari kibasan cepat sebuah tangan besar tepat di hadapan mukanya menghempas lembut kulitnya. Gadis itu mendongak dan mendapatkan sepasang mata coklat hangat milik seorang lelaki yang menatapnya dengan senyum jahil. "Maaf, tapi kau terlihat jelek sekali kalau melamun, jadi- aduh!" kalimat lelaki itu terpotong dan diganti dengan kekeh pelan ketika Raya mendaratkan tinju ke lengannya."Cut it, Jiro." gumam Raya seraya merekatkan syal di lehernya. sial, bulan Oktober di Jepang selalu saja terlalu dingin, dan Raya tidak pernah terbiasa meski sudah 10 tahun melaluinya, "harusnya kau pergi kerja hari ini.""Dan membiarkan pacarku yang linglung ini pergi ke Bandara sendirian? No wa

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-08

Bab terbaru

  • Something Happened To Freya   You Are Not THE Murderer

    Raya ingat tulisan Freya pada suratnya:“Kau tahu kan, aku tidak bisa menjelaskan sesuatu dengan baik hanya melalui tulisan, dan kau pasti akan menertawakanku disana, aku yakin. Tapi Bumi benar-benar tipe lelaki yang seperti melompat keluar dari novel Pride and Prejudice, Mr. Darcy! Selera humornya memang tidak sebaik Jiro dan dia lebih suka menyendiri, belum lagi hobinya yang aneh. Dia suka bermain layangan, benar-benar seperti anak kecil, kan? Dia juga suka berdebat, bukan untuk membuktikan siapa yang benar atau salah, dia hanya suka membuatku jengkel. Tapi aku yakin kau akan menyukainya, Raya. Kalau dipikir-pikir, kalian memiliki banyak kesamaan. Salah satunya… kalian sama-sama membosankan!Tapi dia orang yang baik, sangat baik, kau akan tahu begitu bertemu dengannya.”Dan kini lelaki yang dimaksud berdiri menjulang tepat dihadapannya, namun Raya tidak melihat sosok baik hati yang dijabark

  • Something Happened To Freya   First Meeting

    Jakarta, 3 November 2002. Ibunya sedang menyiapkan sarapan sambil bersenandung ketika Raya keluar kamar pagi itu. Aroma kue panekuk kesukannya memeneuhi udara dan dengan sukarela, ia duduk di kursi meja makan – siap untuk mengisi perutnya yang sudah meronta padahal baru jam tujuh pagi. “Kau berpakaian rapi sekali,” tegur Ibunya seraya meletakkan panekuk di piring Raya, “mau pergi kemana?” “Kampus Freya, aku mau bertemu teman-temannya.” Ibunya tidak langsung menjawab, tapi Raya menyadari bahwa gerakannya sempat terhenti sesaat. “Oh, kalian sudah saling mengenal?”&nb

  • Something Happened To Freya   One way or another

    Raya bersedekap, memandang kedua orangtuanya yang sibuk. Hari ini mereka memutuskan untuk kembali ke kantor polisi dan meskipun dirinya sangat ingin ikut, ada hal mendesak lain yang harus Raya lakukan. “Ada makanan di kulkas, kau bisa menghangatkannya.” Ujar Ibunya yang terburu-buru mengalungkan syal di leher, “atau kalau kau mau membeli sesuatu, ada uang di toples dapur.” “Kau juga boleh menyusul kalau mau, Raya.” Ayahnya menambahkan. “Tidak, kurasa aku akan menunggu kalian pulang saja. Badanku tidak enak- tapi aku tidak apa-apa, kalian pergilah.” Setelah memastikan putrinya baik-baik saja, sepasang suami istri lalu pergi dan Raya menunggu hing

  • Something Happened To Freya   It's odd, isn't it?

    Jakarta, 29 Oktober 2002. Freya sudah meninggal, Raya… tubuhnya ditemukan disini sebulan lalu.Yang terjadi setelah mendengar perkataan Ayahnya saat itu hanyalah gelap dan suara isakan keras yang memenuhi ruangan, entah datang darimana. Mimpi-mimpi buruk yang sering ia alami belum pernah terasa sangat nyata seperti ini, bahkan mimpinya yang terakhir. Ia tidak merasakan apa-apa ketika tubuhnya terpelanting ke tanah, namun sekarang seperti ada tangan tak nyata yang mencengkram hatinya lalu menariknya kebawah tanpa peringatan. Tubuhnya gemetar hebat dan terasa sakit, namun ketika menyadari bahwa sakit itu berasal dari pelukan ibunya yang mencegahnya terjatuh ke lantai, Raya sadar bahwa isakan keras itu berasal dari dirinya sendiri. Raya mengepal tangannya, mencoba menahan rasa sakit di kepala dan sekujur tubuhnya dan saat itulah ia menyad

  • Something Happened To Freya   Nightmares

    Untuk sesaat Raya merasa dirinya diselimuti kain tebal dan halus, yang dengan erat membungkus tubuhnya, menghantarkan kehangatan mulai dari kepala hingga ujung kaki. Ia tak tahu dirinya berada dimana sekarang – tidak peduli, bahkan. Kenyamanan ini terlalu berharga untuk ditinggalkan. Raya merasakan tubuhnya terbang perlahan oleh sapuan angin hangat yang menelungkupnya, menggiringnya ke pusaran udara yang dengan lembut menyapu kulit wajahnya. Rasanya seperti baru sedetik ketika tiba-tiba sapuan lembut itu berubah menjadi kuat dan dingin, menggigit kulitnya dan seakan menarik selimut yang tadi melindunginya. Ia belum sempat mencerna apa yang terjadi ketika sekujur tubuhnya berubah dingin dan dirinya tersedot ke pusaran udara tadi yang dengan brutal membuat tubuh rampingnya berputar, melilitnya dengan angin sedingin es hingga membuat mulutnya kelu. Namun anehnya, ia tak bisa menutup mata meskipun rasanya bola matanya itu akan membeku. Ia berada di langi

  • Something Happened To Freya   Departure

    Jepang, 10 Oktober 2002.Bandara Narita."Raya, earth to, Raya." Raya berkedip cepat ketika udara dingin yang tercipta dari kibasan cepat sebuah tangan besar tepat di hadapan mukanya menghempas lembut kulitnya. Gadis itu mendongak dan mendapatkan sepasang mata coklat hangat milik seorang lelaki yang menatapnya dengan senyum jahil. "Maaf, tapi kau terlihat jelek sekali kalau melamun, jadi- aduh!" kalimat lelaki itu terpotong dan diganti dengan kekeh pelan ketika Raya mendaratkan tinju ke lengannya."Cut it, Jiro." gumam Raya seraya merekatkan syal di lehernya. sial, bulan Oktober di Jepang selalu saja terlalu dingin, dan Raya tidak pernah terbiasa meski sudah 10 tahun melaluinya, "harusnya kau pergi kerja hari ini.""Dan membiarkan pacarku yang linglung ini pergi ke Bandara sendirian? No wa

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status