Herman memeluk istrinya yang menangis tersedu. Dokter baru saja pergi setelah menjelaskan keadaan Renata. Bagai disambar petir di siang bolong, begitu lah perasaan Herman dan Ayu ketika Saka memberitahu mereka jika Renata sedang berada di rumah sakit dan Renata… baru saja melakukan percobaan bunuh diri. Lagi. Ya, putri mereka itu… lagi-lagi melakukannya. “Rena…” isak Ayu tergugu. “Udah, jangan nangis terus… Renata akan baik-baik aja.” Bisik Herman pada istrinya. Saka masih diam di tempatnya, tatapannya tampak kosong. Dia terus mengulang-ulang kalimat Dokter mengenai satu hal. Untungnya Renata cepat mendapatkan pertolongan. Karena kalau terlambat, sedikit saja, entah apa yang terjadi pada Renata sekarang. Saka mengepalkan kedua tangannya. Perlahan, kakinya bergerak lambat, memasuki kamar di mana Renata dirawat. Saka menghampiri Renata, berdiri lama di sampingnya, memandangi wajah pucat Renata yang tampak damai.
Saka hanya duduk diam di atas sofa, memandangi Renata yang sejak tadi hanya terus berdiam diri, sekalipun Ayu sedang berusaha membujuknya untuk makan. Jangankan mau menerima suapan itu, sepatah kata pun tidak keluar dari bibirnya sejak tadi. Renata hanya diam, memandangi jendela dengan tatapan kosong. “Sedikit aja, Rena…” ujar Ayu dengan suara lirih. “kalau kamu nggak makan, gimana bisa sembuh?” Lalu entah mengapa, perlahan wajah Renata menoleh, menatap Mamanya. “Aku memang nggak mau sembuh, Ma…” suara serak itu dengar menyedihkan. Ayu menggigit bibirnya getir. “Nggak boleh ngomong gitu, Rena.” “Ghea… aku cuma mau ketemu sama Ghea.” “Rena…” “Aku mau Ghea, Ma…” Renata kembali menangis, dan itu membuat Ayu turut melakukannya sambil tertunduk dalam. Di tempatnya, Saka memijat dahinya putus asa. Selalu begini, pikirnya. Renata seolah bersikeras ingin tetap mati agar bisa bertemu dengan putri mereka. Sa
"Dokter bilang, besok kamu udah boleh pulang." Ujar Saka pada Renata saat dia baru saja kembali ke kamar Renata setelah tadi sempat bicara dengan Dokter yang merawat istrinya. Namun sayangnya, reaksi Renata tetap saja sama seperti sebelumnya. Dia hanya diam, dan tetap tak ingin menatap Saka. Tapi Saka tidak keberatan dengan itu. Tidak mengapa, dia pantas menerimanya. Lagi pula, melihat Renata masih hidup sudah lebih dari cukup baginya. "Aku telefon Mama dulu." Ujar Saka lagi. Ketika Saka menelefon Ayu dan Rosie bergantian, perlahan, wajah Renata menoleh padanya. Renata menatap suaminya itu dengan tatapan kosong yang hampa. Saka sedang menjelaskan keadaan Renata dan juga Renata yang besok sudah diperbolehkan pulang. Lihat lah lelaki ini, batin Renata. Dia masih tampak sama seperti biasanya. Tak tersentuh. Bahkan setelah apa yang terjadi pada Ghea, setelah apa yang terjadi pada dirinya, suaminya ini... tetap saja sama. "Besok Mama kamu ke sini, mau ikut anterin kamu pulang. Kalau Ma
Saka mendorong kursi roda dimana Renata duduk di atasnya selagi mereka menuju di mana mobil Saka sudah menunggu di depan rumah sakit. Di samping Saka, ada Ayu dan juga Herman yang sejak tadi sudah berada di rumah sakit untuk mengantar kepulangan Renata. Ketika melihat Saka dan Renata yang semakin mendekat, Haikal bergegas membukakan pintu mobil untuk istri bosnya itu. Saka sudah akan membantu Renata masuk ke dalam mobil, tapi Renata malah menoleh ke samping, menatap Mamanya dengan tatapan sendu. "Ma, aku... mau pulang ke rumah Mama aja." Ujar Renata dengan suara lirihnya hingga membuat Saka tersentak dan menatapnya terkejut. Bahkan bukan hanya Saka, Ayu dan Herman pun sama terkejutnya. Mereka saling menatap satu sama lain hingga kemudian Ayu bertanya. "Tapi kan, Mamanya Saka udah nungguin kamu di rumah kalian. Lagi pula... kenapa tiba-tiba aja kamu mau pulang ke rumah Mama?" Renata menundukan wajahnya, jemarinya saling meremas. "Nggak apa-apa, kalau nggak boleh." "Ma," panggil Sa
Renata sedang duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi foto Ghea yang berada di ponselnya. Sesekali jemarinya menyentuh layar ponselnya, seolah-olah dia sedang menyentuh Ghea secara langsung. Renata sedang menceritakan sedikit kebahagiaan yang dia dapatkan hari ini mengenai orang-orang terdekatnya yang kini kembali mau menerimanya. Jujur saja, Renata merasa benar-benar lega, sebuah kelegaan yang sedikit mengurangi seluruh beban yang bertumpu di kedua pundaknya. Dan semua itu juga karena Ghea, putrinya. Andai saja Ghea tidak pergi, mungkin hubungan kekeluargaan itu masih tetap saja seperti sebelumnya. Ghea... putri cantiknya itu benar-benar malaikat baginya. Ada atau tidaknya keberadaan Ghea di dunia ini, dia selalu saja membuat Renata bisa merasakan kebahagiaan meski rasanya nyaris tidak mungkin. Andai aja kamu di sini, Ghea... Mama pasti akan jauh lebih bahagia. Renata masih terus menatap wajah Ghea dari ponselnya, hingga pintu kamarnya terbuka dan Saka masuk ke sana sambil memb
Pagi ini, Saka memutuskan untuk kembali cuti bekerja. Dia merasa urusannya dan Renata belum selesai, apa lagi perbincangan mereka saat itu. Maka itu, kini Saka sudah berada di rumah orangtua Renata, mengetuk pintu kamar Renata sebelum membukanya dan menemukan istrinya itu sedang merapikan tempat tidurnya. “Baru bangun?” tanya Saka. Renata hanya menoleh sebentar dan bergumam pelan padanya. Saka menghampiri Renata, berdiri tidak jauh dari istrinya yang tampak sibuk dengan tempat tidurnya. Saka menyandarkan punggungnya pada dinding kamar, satu tangannya tersimpan di dalam saku celana. Dan dalam diamnya, Saka hanya terus mengamati gerak gerik Renata. Pagi ini Renata tampak lebih baik dari sebelumnya. Buktinya saja, dia mau beranjak dari tempat tidur dan merapikan tempat tidurnya. Karena biasanya, yang Renata lakukan hanyalah duduk atau berbaring di tempat tidur sambil termenung. Dan menemukan Renata yang jauh lebih baik saat ini, membuat Saka te
Renata baru saja kembali ke rumah setelah berkeliling sejenak sore ini. sebuah kegiatan yang rutin dia lakukan selama tinggal di Berlin. Setahun sudah berlalu, dan Renata Noura yang berwajah muram mulai menghilang, digantikan dengan Renata Noura yang memiliki senyuman ramah dan lembutnya. Renata sudah kembali seperti renata Noura yang sebenarnya. Sepertinya, keputusannya untuk menenangkan diri di Berlin, sekaligus selalu berkonsultasi dengan psikolog adalah keputusan yang tepat. Karena kini, Renata mulai bisa merelakan kepergian Ghea. Dia mulai bisa mengikhlaskan kepergian putrinya itu. Ghea mungkin tidak lagi bisa berada di sisinya, Renata mungkin tidak lagi bisa memeluknya, namun Ghea akan selalu ada di hatinya, di tempat terbaik yang Renata miliki. Dalam pengasingannya, yang kali ini memang atas kemauannya sendiri, bukan demi siapa pun. Kini, Renata memiliki banyak sekali alasan untuk tetap hidup dan menjalani kehidupan yang dia inginkan. Renata banyak belajar
Renata sedang bersama keluarganya yang kini ikut pulang menemani Saka. Kepulangan Renata kembali ke Jakarta pun membuat seluruh keluarganya ingin menyapanya. Seperti sekarang, Annisa dan anak-anaknya berada di rumah Saka, sedang berbincang dengan Renata. Namun, tidak sekalipun Renata menikmati perbincangan mereka karena yang ada di kepalanya saat ini hanyalah Saka dan juga… gadis kecil itu. Hingga kemudian Renata pamit pada keluarganya untuk menemui Saka. Ketika beranjak pergi, Renata menoleh sekilas pada Calista dan Revan yang duduk di sofa dan sedang menatapnya. Renata mengulas senyuman tipisnya, yang di balas dengan senyuman lega oleh sepasang suami istri itu. Sepertinya kepulangan Renata membuat rasa bersalah Revan sedikit berkurang padanya. Renata berniat mencari Saka, namun ketika dia menemukan Mamanya di meja makan, sedang menyuapi gadis kecil itu, langkah Renata terhenti. Lama dia mengamati Mamanya dan anak kecil itu yang terlihat sangat akrab
“Cinderella dan Pangeran, akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.” Ujar Renata di akhir dongeng yang sedang dia bacakan pada Aya. Renata menutup buku di tangannya, melirik ke bawah, pada Aya yang berbaring di atas pangkuannya. Aya belum tidur, matanya masih menatap lurus ke langit kamar. Usapan telapak tangan Renata di dahinya membuat Aya melirik pada Renata. “Pangeran itu… orang baik ya, Tante?” tanya Aya dengan suara rendahnya yang menyerupai bisikan. Renata mengangguk padanya. Untuk sejenak, Aya hanya berdiam diri dengan tatapan lekatnya yang mengarah pada Renata. Kemudian, dia kembali bertanya. “Benar-benar orang baik?” “Iya.”
Saka membuka kedua matanya, mengerjap lambat, lalu menatap langit-langit kamarnya yang kini mulai terlihat jelas di kedua matanya. Lelaki ini tidak membutuhkan siapa-siapa untuk membantunya bangun di pagi hari, karena setiap pukul enam pagi, kedua matanya selalu terbuka dengan sendirinya. Pagi ini pun juga begitu. Hanya saja, ada yang berbeda dengan pagi ini. Jika biasanya Saka akan bergegas mandi setelah bangun, maka kali ini dia membutuhkan waktu yang lebih banyak lagi untuk berbaring di tempat tidurnya, sembari mengingat apa yang telah terjadi antara dirinya dan Renata tadi malam. Sebuah ciuman panas nan panjang itu kembali melintasi pikirannya, membuat Saka seolah bisa kembali merasakan bibir kenyal Renata, yang membalas setiap pagutannya. Lidah Renata yang ikut menari bersama lidahnya, dan deru napas Renata yang begitu hangat dan juga… tersengal. Kini, tanpa bisa dicegah, sudut bibir Saka tertarik ke atas dengan sendirinya. Membentuk sebuah senyuman simpul nam
Setelah melihat-lihat lokasi rumah sakit milik Renata yang sedang dibangun, Saka membawa Renata ke rumah orangtuanya. Begitu Saka dan Renata masuk ke dalam rumah, Aya berlari kencang, berhambur ke arah Saka yang merundukan tubuhnya agar bisa menangkap tubuh Aya dan menggendongnya. “Papa jemput Aya?” tanya Aya pada Saka dengan senyuman tipis. “Hm,” kepala Saka mengangguk. “Aya nggak nakal kan selama dijagain Nenek?” “Nggak. Aya anak baik.” “Good.” Saka dan Aya saling berbalas senyuman, sementara itu Renata yang berada di belakang mereka hanya mengamatinya dalam diam. Aya… Renata sudah mengetahui kisah gadis kecil yang Saka adopsi. Usianya masih emopat tahun ketika Saka mengambilnya dari sebuah panti asuhan. Saka bilang, Aya adalah pelipur laranya sejak Renata dan Ghea meninggalkannya. Gadis kecil yang selalu menemani Saka, menjadi penghibur tersendiri bagi Saka, kala dia sedang membutuhkan teman dan seseorang
Renata baru saja keluar dari kamarnya. Karena dia masih mengingat kebiasaan Bi Ambar yang menyiapkan sarapan pagi untuk mereka, Renata berniat untuk membantunya. “Aku bantu ya, Bi.” “Eh, Non Nata, nggak usah, Non. Biar Bibi aja. Ini sebentar lagi selesai kok.” Tolak Bi Ambar sembari membuatkan segelas kopi. “Itu kopinya buat Saka, ya, Bi?” “Iya, Non.” Renata menatap gerak-gerik Bi Ambar yang sedang membuatkan kopi untuk Saka. Dan hal itu membuat Renata teringat akan kebiasaannya dulu yang selalu menyiapkan kopi untuk Saka di pagi hari. “Non?” tegur Bi Ambar. “Ya?” jawab Renata tersentak dari lamunan. Bi Ambar tersenyum tipis padanya. “Kangen buatin kopi buat Den Saka, ya?” Kangen? Renata hanya tersenyum samar menanggapinya. “Non Nata mau Non aja yang buatin kopinya Den Saka?” “Hm?” “Nggak apa-apa kok, nih, gantiin Bibi. Den Saka pasti seneng kalau yang bu
Renata sedang bersama keluarganya yang kini ikut pulang menemani Saka. Kepulangan Renata kembali ke Jakarta pun membuat seluruh keluarganya ingin menyapanya. Seperti sekarang, Annisa dan anak-anaknya berada di rumah Saka, sedang berbincang dengan Renata. Namun, tidak sekalipun Renata menikmati perbincangan mereka karena yang ada di kepalanya saat ini hanyalah Saka dan juga… gadis kecil itu. Hingga kemudian Renata pamit pada keluarganya untuk menemui Saka. Ketika beranjak pergi, Renata menoleh sekilas pada Calista dan Revan yang duduk di sofa dan sedang menatapnya. Renata mengulas senyuman tipisnya, yang di balas dengan senyuman lega oleh sepasang suami istri itu. Sepertinya kepulangan Renata membuat rasa bersalah Revan sedikit berkurang padanya. Renata berniat mencari Saka, namun ketika dia menemukan Mamanya di meja makan, sedang menyuapi gadis kecil itu, langkah Renata terhenti. Lama dia mengamati Mamanya dan anak kecil itu yang terlihat sangat akrab
Renata baru saja kembali ke rumah setelah berkeliling sejenak sore ini. sebuah kegiatan yang rutin dia lakukan selama tinggal di Berlin. Setahun sudah berlalu, dan Renata Noura yang berwajah muram mulai menghilang, digantikan dengan Renata Noura yang memiliki senyuman ramah dan lembutnya. Renata sudah kembali seperti renata Noura yang sebenarnya. Sepertinya, keputusannya untuk menenangkan diri di Berlin, sekaligus selalu berkonsultasi dengan psikolog adalah keputusan yang tepat. Karena kini, Renata mulai bisa merelakan kepergian Ghea. Dia mulai bisa mengikhlaskan kepergian putrinya itu. Ghea mungkin tidak lagi bisa berada di sisinya, Renata mungkin tidak lagi bisa memeluknya, namun Ghea akan selalu ada di hatinya, di tempat terbaik yang Renata miliki. Dalam pengasingannya, yang kali ini memang atas kemauannya sendiri, bukan demi siapa pun. Kini, Renata memiliki banyak sekali alasan untuk tetap hidup dan menjalani kehidupan yang dia inginkan. Renata banyak belajar
Pagi ini, Saka memutuskan untuk kembali cuti bekerja. Dia merasa urusannya dan Renata belum selesai, apa lagi perbincangan mereka saat itu. Maka itu, kini Saka sudah berada di rumah orangtua Renata, mengetuk pintu kamar Renata sebelum membukanya dan menemukan istrinya itu sedang merapikan tempat tidurnya. “Baru bangun?” tanya Saka. Renata hanya menoleh sebentar dan bergumam pelan padanya. Saka menghampiri Renata, berdiri tidak jauh dari istrinya yang tampak sibuk dengan tempat tidurnya. Saka menyandarkan punggungnya pada dinding kamar, satu tangannya tersimpan di dalam saku celana. Dan dalam diamnya, Saka hanya terus mengamati gerak gerik Renata. Pagi ini Renata tampak lebih baik dari sebelumnya. Buktinya saja, dia mau beranjak dari tempat tidur dan merapikan tempat tidurnya. Karena biasanya, yang Renata lakukan hanyalah duduk atau berbaring di tempat tidur sambil termenung. Dan menemukan Renata yang jauh lebih baik saat ini, membuat Saka te
Renata sedang duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi foto Ghea yang berada di ponselnya. Sesekali jemarinya menyentuh layar ponselnya, seolah-olah dia sedang menyentuh Ghea secara langsung. Renata sedang menceritakan sedikit kebahagiaan yang dia dapatkan hari ini mengenai orang-orang terdekatnya yang kini kembali mau menerimanya. Jujur saja, Renata merasa benar-benar lega, sebuah kelegaan yang sedikit mengurangi seluruh beban yang bertumpu di kedua pundaknya. Dan semua itu juga karena Ghea, putrinya. Andai saja Ghea tidak pergi, mungkin hubungan kekeluargaan itu masih tetap saja seperti sebelumnya. Ghea... putri cantiknya itu benar-benar malaikat baginya. Ada atau tidaknya keberadaan Ghea di dunia ini, dia selalu saja membuat Renata bisa merasakan kebahagiaan meski rasanya nyaris tidak mungkin. Andai aja kamu di sini, Ghea... Mama pasti akan jauh lebih bahagia. Renata masih terus menatap wajah Ghea dari ponselnya, hingga pintu kamarnya terbuka dan Saka masuk ke sana sambil memb
Saka mendorong kursi roda dimana Renata duduk di atasnya selagi mereka menuju di mana mobil Saka sudah menunggu di depan rumah sakit. Di samping Saka, ada Ayu dan juga Herman yang sejak tadi sudah berada di rumah sakit untuk mengantar kepulangan Renata. Ketika melihat Saka dan Renata yang semakin mendekat, Haikal bergegas membukakan pintu mobil untuk istri bosnya itu. Saka sudah akan membantu Renata masuk ke dalam mobil, tapi Renata malah menoleh ke samping, menatap Mamanya dengan tatapan sendu. "Ma, aku... mau pulang ke rumah Mama aja." Ujar Renata dengan suara lirihnya hingga membuat Saka tersentak dan menatapnya terkejut. Bahkan bukan hanya Saka, Ayu dan Herman pun sama terkejutnya. Mereka saling menatap satu sama lain hingga kemudian Ayu bertanya. "Tapi kan, Mamanya Saka udah nungguin kamu di rumah kalian. Lagi pula... kenapa tiba-tiba aja kamu mau pulang ke rumah Mama?" Renata menundukan wajahnya, jemarinya saling meremas. "Nggak apa-apa, kalau nggak boleh." "Ma," panggil Sa