Tidak terasa, pernikahan itu sudah berada di bulan kedelapan. Pernikahan yang terasa benar-benar hambar, tanpa rasa, tanpa cinta bahkan tanpa kenyamanan. Saka semakin jauh dari jangkauan Renata. Sekeras apa Renata berusaha menggapainya, berusaha meraihnya mendekat agar setidaknya mereka bisa menikmati pernikaha itu dengan perasaan nyaman dan tenang. Namun, setiap kali Renata mendekat, maka Saka akan pergi menjauh. Tidak ada obrolan ringan seperti biasanya, tidak ada lagi kebersamaan antara Saka, Renata dan Ghea. Tidak ada lagi tawa ketika mereka melihat tingkah lucu putri mereka. Saka akan membawa Ghea ke kamarnya jika dia ingin bermain dengan putrinya. Ketika Ghea ada bersama Renata, maka dia akan segera menyingkir. Entah lah, Renata bahkan tiak tahu mengapa Saka harus menikahinya jika yang dia inginkan adalah saling berdiam diri seperti ini. Dan yang lebih parah lagi, akhir-akhir ini Saka ce
“Mba Sandra ini... sahabatnya Saka, ya?” tanya Renata memulai pembicaraan. Dia melakukannya agar mereka tidak hanya saling berdiam diri. Namun tubuh Sandra tampak sedikit menegang ketika di tanya seperti itu. “Hm... iya.” Jawab Sandra. “Pantesan,” gumam Renata, matanya menatap lurus ke depan. “Saka itu nggak percaya banget kalau harus nitipin Ghea ke orang lain. Selain Mamanya, dia nggak pernah kasih izin siapa pun menjaga Ghea. Karena Mba sahabatnya, makanya Saka bisa percaya.” Perlahan, Sandra menoleh menatap Renata. Dia mengamati wajah cantik Renata yang sendu. “Saka itu sayang banget sama Ghea, jadi sikapnya sedikit berlebihan.” Kekeh Renata. “Kalau sama kamu?” tanya Sandra. “Ya?” “Saka... juga sayang kan sama kamu?” Pertanyaan itu membuat wajah Renata tampak gamang, ada kesedihan yang terbaca melalui wajahnya meski setelah itu Renata kembali menguasai
“Saka...” Renata memanggil Saka setelah mengetuk pintu kamarnya. Namun tidak ada sahutan. Melirik jam tangannya, Renata mengernyit. Sudah hampir pukul delapan pagi, tapi sejak tadi Saka tidak keluar dari kamarnya. Saat ini weekend, tapi Saka tidak pernah bangun terlambat sekalipun dia tidak bekerja. Bahkan biasanya di jam seperti ini dia sudah sibuk mengganggu Ghea agar bangun setelah mengusir Renata keluar dari kamarnya. Terkadang hal itu membuat Renata tersenyum geli di tengah keresahannya dalam hubungan mereka yang tak tentu arahnya. Renata kembali mengetuk pintu kamar Saka, namun lagi-lagi tidak ada sahutan. Karena cemas, Renata memutuskan membuka pintu itu. Tidak ada Saka di sana. Bahkan tempat tidurnya masih terlihat rapi. Renata mengernyit bingung, apa mungkin Saka pergi? Tapi kenapa pagi-pagi sekali? Menemui Bi Ambar, Renata bertanya. “Bi Ambar, tadi ketemu sama Saka nggak?”
“Mau apa?” tanya Saka, suaranya terdengar dingin hingga membuat hati Renata membeku menyakitkan mendengarnya. Renata mengepalkan kedua tangannya, kedua matanya memerah sempurna. Sekali aja dia berkedip maka air matanya akan lolos begitu saja. “Kamu... nggak pulang.” Hanya itu yang bisa Renata katakan. Sesaat, Saka hanya diam. Namun setelah itu menghela napas malas. “Pulang, Nata, aku sibuk.” “Sayang,” wanita itu berbisik di telinga Saka. “siapa sih cewek ini?” Wajah Saka menoleh ke samping, menatap perempuan itu. “Bukan siapa-siapa.” Jawabnya. Tubuh Renata semakin melemas mendengar ucapan yang menyakitkan itu. Bukan siapa-siapa... Renata bukan siapa-siapa bagi Saka. Bahkan setelah dia mengatakan hal itu, Saka menutup pintu kamarnya tanpa menghiraukan Renata di sana. Renata tersenyum patah. Lelaki yang dia cemas itu nyatanya sedang bersenang-senang dengan salah
Renata bergegas menemui Bi Ambar, menyuruhnya membawa Ghea ke taman di belakang rumah. Kemudian, Renata bergegas menemui Saka di kamarnya. Tanpa mengetuk atau permisi lebih dulu, Renata membuka pintu kamar itu begitu saja. Saka sedang melepas satu persatu kancing kemejanya saat pintu itu terbuka. Dia manatap Renata dengan wajah datarnya, lalu berpaling begitu saja dan melangkah santai menuju kamar mandi. "Kamu selingkuh." Langkah kaki Saka terhenti, lalu dia mendengar tarikan napas tercekat Renata di belakangnya, membuatnya memutar tubuh untuk menatap Renata. Renata mengepalkan kedua tangannya, menatap Saka penuh tuntutan. "Apa yang kamu lakukan dengan wanita itu di hotel. Kalian..." kedua mata Renata membendung telaga yang siap tumpah detik itu juga. "Memangnya... kenapa kalau aku selingkuh?" Saka melangkah perlahan menghampiri Renata, berdiri tegak dengan tatapan dinginnya yang menusuk. Kepalanya sedikit merunduk hingga dia bisa berbisik di telinga Renata. "bukannya
Tidak ada ketenangan. Itu lah yang Saka rasakan selama satu minggu terakhir ini. Semenjak dia memaksa meniduri istrinya, tidak sekalipun Saka merasa ketenangan dalam kesehariannya. Setiap kali dia melihat wajah sedih Renata, usahanya untuk bisa tersenyum pada Ghea, membuat Saka merasa kalau dirinya benar-benar berengsek. Apa lagi ketika malam setelah kejadian itu terjadi, Saka melihat Renata yang berjalan dengan cara yang tidak nyaman dan hal itu membuat Saka sadar jika apa yang dia lakukan bukan hanya berhasil melukai batinnya, bahkan fisik Renata pun ikut terkuka olehnya. Kini Saka duduk termangu di kursi kerjanya. Semua pekerjaannya benar-benar tidak dia hiraukan sejak tadi. Lamunannya selalu saja mengarah pada Renata dan semua hal kejam yang telah Saka lakukan padanya, Demi membalaskan dendam, Saka sengaja menjerat Renata untuk terus berada dalam jarak pandangnya, memastikan Renata selalu berada di sisinya. Lalu, rencananya untuk
Saka keluar dari kamarnya untuk mengambil Ghea dari Renata karena dia ingin bermain bersama putri kecilnya itu. namun, ketika ia mendengar gelak tawa Ghea dari arah ruang televisi, Saka memutuskan untuk menghampiri tempat itu. Langkahnya terhenti mana kala dia menemukan kedua mertuanya dan juga Rosie sedang berada di sana, Ayu mamangku Ghea, meladeni ocehan Ghea yang menggemaskan. Herman yang duduk di samping istrinya tampak memegangi jemari Ghea. Sedangkan Rosie duduk berdampingan dengan Renata, tersenyum memandang ke arah mereka bertiga. Saka mengamati semua itu dalam diam. Di sana ada Istri dan anaknya, Mamanya dan juga kedua mertuanya. Mereka semua terlihat sempurna. Kesempurnaan yang tida pernah terlintas dalam benak Saka namun anehnya terwujud begitu saja. Selama ini Saka selalu menjaga jarak dari mereka semua kecuali Ghea. Bagi Saka, mereka semua tidak terlalu penting. Mereka bahkan tidak bisa mendekati Ghea dengan bebas karena jujur saja,
Ini adalah kali pertama bagi Saka berada di tengah keramaian yang di dominisi oleh anak-anak. Dia sering menghadiri pesta, namun selalu menyendiri di sudut ruangan ditemani oleh segelas minuman. Dan hari ini, di hari perayaan ulang tahun putrinya dimana Saka sebagai seorang tuan rumah, Saka benarbenar tidak tahu harus melakukan apa. Sejak tadi dia hanya mengikuti kemana Renata pergi untuk menemui para tamu sambil menggendong Ghea. Putri mereka yang ceria dan memiliki keramahan serupa Mamanya tampak bahagia menerima ucapan selamat dari orang-orang. Tidak hanya Ghea sepertinya, karena Renata, orangtuanya dan juga Rosie sama bahagianya. Mereka terlihat sangat bersemangat di hari ini. Berbeda dengan Saka yang merasa bingung dan tidak tahu harus melakukan apa. Hal itu disadari oleh Renata yang ternyata sejak tadi selalu mengamatinya. Saka hanya mengulas senyuman kecil, mengucapkan terima kasih dan tidak melakukan apa pun lagi. Bahkan berbasa-basi deng
“Cinderella dan Pangeran, akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.” Ujar Renata di akhir dongeng yang sedang dia bacakan pada Aya. Renata menutup buku di tangannya, melirik ke bawah, pada Aya yang berbaring di atas pangkuannya. Aya belum tidur, matanya masih menatap lurus ke langit kamar. Usapan telapak tangan Renata di dahinya membuat Aya melirik pada Renata. “Pangeran itu… orang baik ya, Tante?” tanya Aya dengan suara rendahnya yang menyerupai bisikan. Renata mengangguk padanya. Untuk sejenak, Aya hanya berdiam diri dengan tatapan lekatnya yang mengarah pada Renata. Kemudian, dia kembali bertanya. “Benar-benar orang baik?” “Iya.”
Saka membuka kedua matanya, mengerjap lambat, lalu menatap langit-langit kamarnya yang kini mulai terlihat jelas di kedua matanya. Lelaki ini tidak membutuhkan siapa-siapa untuk membantunya bangun di pagi hari, karena setiap pukul enam pagi, kedua matanya selalu terbuka dengan sendirinya. Pagi ini pun juga begitu. Hanya saja, ada yang berbeda dengan pagi ini. Jika biasanya Saka akan bergegas mandi setelah bangun, maka kali ini dia membutuhkan waktu yang lebih banyak lagi untuk berbaring di tempat tidurnya, sembari mengingat apa yang telah terjadi antara dirinya dan Renata tadi malam. Sebuah ciuman panas nan panjang itu kembali melintasi pikirannya, membuat Saka seolah bisa kembali merasakan bibir kenyal Renata, yang membalas setiap pagutannya. Lidah Renata yang ikut menari bersama lidahnya, dan deru napas Renata yang begitu hangat dan juga… tersengal. Kini, tanpa bisa dicegah, sudut bibir Saka tertarik ke atas dengan sendirinya. Membentuk sebuah senyuman simpul nam
Setelah melihat-lihat lokasi rumah sakit milik Renata yang sedang dibangun, Saka membawa Renata ke rumah orangtuanya. Begitu Saka dan Renata masuk ke dalam rumah, Aya berlari kencang, berhambur ke arah Saka yang merundukan tubuhnya agar bisa menangkap tubuh Aya dan menggendongnya. “Papa jemput Aya?” tanya Aya pada Saka dengan senyuman tipis. “Hm,” kepala Saka mengangguk. “Aya nggak nakal kan selama dijagain Nenek?” “Nggak. Aya anak baik.” “Good.” Saka dan Aya saling berbalas senyuman, sementara itu Renata yang berada di belakang mereka hanya mengamatinya dalam diam. Aya… Renata sudah mengetahui kisah gadis kecil yang Saka adopsi. Usianya masih emopat tahun ketika Saka mengambilnya dari sebuah panti asuhan. Saka bilang, Aya adalah pelipur laranya sejak Renata dan Ghea meninggalkannya. Gadis kecil yang selalu menemani Saka, menjadi penghibur tersendiri bagi Saka, kala dia sedang membutuhkan teman dan seseorang
Renata baru saja keluar dari kamarnya. Karena dia masih mengingat kebiasaan Bi Ambar yang menyiapkan sarapan pagi untuk mereka, Renata berniat untuk membantunya. “Aku bantu ya, Bi.” “Eh, Non Nata, nggak usah, Non. Biar Bibi aja. Ini sebentar lagi selesai kok.” Tolak Bi Ambar sembari membuatkan segelas kopi. “Itu kopinya buat Saka, ya, Bi?” “Iya, Non.” Renata menatap gerak-gerik Bi Ambar yang sedang membuatkan kopi untuk Saka. Dan hal itu membuat Renata teringat akan kebiasaannya dulu yang selalu menyiapkan kopi untuk Saka di pagi hari. “Non?” tegur Bi Ambar. “Ya?” jawab Renata tersentak dari lamunan. Bi Ambar tersenyum tipis padanya. “Kangen buatin kopi buat Den Saka, ya?” Kangen? Renata hanya tersenyum samar menanggapinya. “Non Nata mau Non aja yang buatin kopinya Den Saka?” “Hm?” “Nggak apa-apa kok, nih, gantiin Bibi. Den Saka pasti seneng kalau yang bu
Renata sedang bersama keluarganya yang kini ikut pulang menemani Saka. Kepulangan Renata kembali ke Jakarta pun membuat seluruh keluarganya ingin menyapanya. Seperti sekarang, Annisa dan anak-anaknya berada di rumah Saka, sedang berbincang dengan Renata. Namun, tidak sekalipun Renata menikmati perbincangan mereka karena yang ada di kepalanya saat ini hanyalah Saka dan juga… gadis kecil itu. Hingga kemudian Renata pamit pada keluarganya untuk menemui Saka. Ketika beranjak pergi, Renata menoleh sekilas pada Calista dan Revan yang duduk di sofa dan sedang menatapnya. Renata mengulas senyuman tipisnya, yang di balas dengan senyuman lega oleh sepasang suami istri itu. Sepertinya kepulangan Renata membuat rasa bersalah Revan sedikit berkurang padanya. Renata berniat mencari Saka, namun ketika dia menemukan Mamanya di meja makan, sedang menyuapi gadis kecil itu, langkah Renata terhenti. Lama dia mengamati Mamanya dan anak kecil itu yang terlihat sangat akrab
Renata baru saja kembali ke rumah setelah berkeliling sejenak sore ini. sebuah kegiatan yang rutin dia lakukan selama tinggal di Berlin. Setahun sudah berlalu, dan Renata Noura yang berwajah muram mulai menghilang, digantikan dengan Renata Noura yang memiliki senyuman ramah dan lembutnya. Renata sudah kembali seperti renata Noura yang sebenarnya. Sepertinya, keputusannya untuk menenangkan diri di Berlin, sekaligus selalu berkonsultasi dengan psikolog adalah keputusan yang tepat. Karena kini, Renata mulai bisa merelakan kepergian Ghea. Dia mulai bisa mengikhlaskan kepergian putrinya itu. Ghea mungkin tidak lagi bisa berada di sisinya, Renata mungkin tidak lagi bisa memeluknya, namun Ghea akan selalu ada di hatinya, di tempat terbaik yang Renata miliki. Dalam pengasingannya, yang kali ini memang atas kemauannya sendiri, bukan demi siapa pun. Kini, Renata memiliki banyak sekali alasan untuk tetap hidup dan menjalani kehidupan yang dia inginkan. Renata banyak belajar
Pagi ini, Saka memutuskan untuk kembali cuti bekerja. Dia merasa urusannya dan Renata belum selesai, apa lagi perbincangan mereka saat itu. Maka itu, kini Saka sudah berada di rumah orangtua Renata, mengetuk pintu kamar Renata sebelum membukanya dan menemukan istrinya itu sedang merapikan tempat tidurnya. “Baru bangun?” tanya Saka. Renata hanya menoleh sebentar dan bergumam pelan padanya. Saka menghampiri Renata, berdiri tidak jauh dari istrinya yang tampak sibuk dengan tempat tidurnya. Saka menyandarkan punggungnya pada dinding kamar, satu tangannya tersimpan di dalam saku celana. Dan dalam diamnya, Saka hanya terus mengamati gerak gerik Renata. Pagi ini Renata tampak lebih baik dari sebelumnya. Buktinya saja, dia mau beranjak dari tempat tidur dan merapikan tempat tidurnya. Karena biasanya, yang Renata lakukan hanyalah duduk atau berbaring di tempat tidur sambil termenung. Dan menemukan Renata yang jauh lebih baik saat ini, membuat Saka te
Renata sedang duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi foto Ghea yang berada di ponselnya. Sesekali jemarinya menyentuh layar ponselnya, seolah-olah dia sedang menyentuh Ghea secara langsung. Renata sedang menceritakan sedikit kebahagiaan yang dia dapatkan hari ini mengenai orang-orang terdekatnya yang kini kembali mau menerimanya. Jujur saja, Renata merasa benar-benar lega, sebuah kelegaan yang sedikit mengurangi seluruh beban yang bertumpu di kedua pundaknya. Dan semua itu juga karena Ghea, putrinya. Andai saja Ghea tidak pergi, mungkin hubungan kekeluargaan itu masih tetap saja seperti sebelumnya. Ghea... putri cantiknya itu benar-benar malaikat baginya. Ada atau tidaknya keberadaan Ghea di dunia ini, dia selalu saja membuat Renata bisa merasakan kebahagiaan meski rasanya nyaris tidak mungkin. Andai aja kamu di sini, Ghea... Mama pasti akan jauh lebih bahagia. Renata masih terus menatap wajah Ghea dari ponselnya, hingga pintu kamarnya terbuka dan Saka masuk ke sana sambil memb
Saka mendorong kursi roda dimana Renata duduk di atasnya selagi mereka menuju di mana mobil Saka sudah menunggu di depan rumah sakit. Di samping Saka, ada Ayu dan juga Herman yang sejak tadi sudah berada di rumah sakit untuk mengantar kepulangan Renata. Ketika melihat Saka dan Renata yang semakin mendekat, Haikal bergegas membukakan pintu mobil untuk istri bosnya itu. Saka sudah akan membantu Renata masuk ke dalam mobil, tapi Renata malah menoleh ke samping, menatap Mamanya dengan tatapan sendu. "Ma, aku... mau pulang ke rumah Mama aja." Ujar Renata dengan suara lirihnya hingga membuat Saka tersentak dan menatapnya terkejut. Bahkan bukan hanya Saka, Ayu dan Herman pun sama terkejutnya. Mereka saling menatap satu sama lain hingga kemudian Ayu bertanya. "Tapi kan, Mamanya Saka udah nungguin kamu di rumah kalian. Lagi pula... kenapa tiba-tiba aja kamu mau pulang ke rumah Mama?" Renata menundukan wajahnya, jemarinya saling meremas. "Nggak apa-apa, kalau nggak boleh." "Ma," panggil Sa