[Arina POV]
Sebuah mobil mewah berwarna putih tampak memasuki area halaman kantor.
"Siapa itu ya? Belum pernah lihat mobilnya." Mas Fajar yang paling suka dengan urusan mobil tampak kepo.
"Palingan klien, Mas. Siap-siap buat undangan lagi nih," kata Mbak Rere yang langsung mendapat sambutan hangat dari teman-teman yang lain. Pokoknya kami siap mabuk undangan bulan ini.
Samar terdengar suara high heels perempuan, lalu suara itu semakin mendekat hingga sang empunya sepatu berhak tinggi itu muncul di ambang pintu.
Penampilan perempuan itu necis khas cewek kantoran, dengan rok sedikit di atas lutut, dan blazer warna senada. Tas bermerek menggantung di bahu kirinya. Nggak tahu merk apa, tapi kelihatannya mahal. Wajahnya cantik dengan make-up sempurna. Namun demikian raut wajahnya tampak keras.
Dia tampak celingak-celinguk sebentar seperti mencari sesuatu atau sese
[Arina POV] Seminggu terakhir ini kami masih bergelut dengan undangan pernikahan. Hari-hari yang penuh kesibukan membuat waktu terasa cepat berlalu. Hal ini sangat membantuku dan Andre mengalihkan pikiran dari masalah yang tak kunjung menemukan titik terang. Dea sudah tidak datang ke kantor lagi, hanya sekali itu. Kata Andre dia menegaskan agar kakaknya itu tidak ikut campur dalam urusan percintaannya, seperti halnya Andre tidak mengurusi hubungan Dea dengan Feri, pacar Dea. Dan sampai saat ini pacarku masih tinggal di rumah tantenya. Kami jadi lebih banyak meluangkan waktu bareng di kantor seusai kerja. Kadang kami masak bersama di dapur Bu Paino. Maksudku Andre yang masak buatku, lalu kami makan bersama. Hehe Nggak tahu kenapa dia jadi semakin memanjakan aku. Katanya, "Nggak papa, Sayang, sekarang aku yang masak buat kamu. Besok kalau kita sudah menikah kan kamu yang bakal masak tiap hari." Nah, lho! Mateng nggak gue kalau begini? Kadang kami duduk-duduk di bangku taman, ngobrol
[Andre POV]Suasana di kafe siang ini begitu nyaman, tidak terlalu banyak pengunjung. Aku menyandarkan punggungku di kursi, masih menatap pria tampan, namun tidak berpendirian teguh, yang sedang garuk-garuk kepala di hadapanku."Jadi gimana?" tanyaku."Harus banget ya ketemu Papa Ester sekarang?" Dia masih mencoba menghindar.Pria itu adalah Martin. Kemarin Ester menemuinya, dan meminta dia bicara dengan papanya tentang mereka. Gadis itu mengancam kalau dia akan mencari pria lain saja, dan segera menikah, seandainya Martin tidak juga meningkatkan status hubungan mereka."Memangnya kapan kamu siap?" tanyaku lagi."Duh...." Lagi-lagi tidak ada jawaban yang jelas."Atau kamu mau biarkan Ester menikah denganku, lalu kamu mau mendekati Arina lagi?" tuduhku, sengaja memancing emosinya.Kesal juga rasanya menunggu dia mengam
[Andre POV] "Ayo dong, Pa. Kita berangkat sekarang," rengek Mama yang sedari tadi tampak tidak sabar. "Iya, iya. Bawel banget sih Mama ini," gerutu Papa. Ada perasaan haru dan bahagia merasuki hatiku, melekatkan dengan sempurna senyum di wajahku. Rasanya begitu bahagia melihat kedua orang tuaku bersama seperti ini. Ditambah lagi kami akan ke rumah kekasihku, agar keluarga kami bisa saling berkenalan. Tinggal selangkah lagi aku bisa meningkatkan status hubunganku dengan Arina. "Bawa oleh-oleh ya, Pa. Jangan datang dengan tangan kosong. Kita beli roti, beli buah, beli martabak kesukaan ibunya Arin, beli...," cerocos Mama ketika kami sudah di mobil. "Ma, kita ini baru mau kenalan, belum mau lamaran. Memangnya Mama mau buka toko?" Aku tertawa mendengar gurauan Papa. Papaku ternyata bisa bercanda juga. Kami memutuskan untuk membe
[Arina POV] "Diiin!" Suara klakson mobil itu menyentak pikiranku kembali ke alam nyata. Apa yang terjadi semenjak sepuluh menit lalu terasa seperti ilusi, mimpi yang tak nyata. Hanya sekeranjang buah di tanganku ini yang menyatakan padaku bahwa itu bukan mimpi. Kekasihku datang bersama kedua orang tuanya. Sesaat ia menghampiri dan tersenyum padaku dengan begitu manisnya. Masalah pelik tentang perjodohan Andre dan Ester sudah terselesaikan. Dan dengan kedatangan pria pujaan hatiku itu bersama papa mamanya, aku memiliki keyakinan hubungan kami telah mengalami kemajuan. Tak lama lagi pasti kami akan menjalin ikatan yang lebih serius. Rasanya begitu membahagiakan. Namun harapan indah itu pupus dalam sekejap mata. Papa Andre yang tampak pucat dan menahan rasa sakit, berseru mengajak Andre pulang. Lalu kini aku melihat Ibu dengan ekspresi yang sama sekali bukan milik ibuku. Ibu yang selalu tersenyum, ceria, atau bahkan cerewet dan mengomel, kini tampak diam dengan emosi yang tidak bis
[Arina POV] Hari itu Santi dan Bang Ucok menemani kami hingga petang. Spesial sore ini Bang Ucok memasak untuk kami: nasi kepal dengan telur goreng, sayuran dan rumput laut kering. Makanan mewah ala anak kost katanya. Santi berseri-seri memandangi kekasihnya yang tengah memasak. Siapa sangka para pria di kantor kami ternyata jago masak semua, kecuali Mas Fajar. Dia mah jago makan. Pak Profesor juga memesankan kue black forest untukku, pesan di Jasmine Bakery. Dua makanan yang nggak nyambung tapi kami nikmati juga. Sebelum mereka pergi, Santi sempat bicara sebentar denganku. "Arin, aku mau kasih tahu sesuatu," bisiknya padaku. "Apa, San?" Aku ikut bersuara pelan. Sepertinya penting. "Sebenarnya kami ke mari karena pagi tadi Andre memberitahu Abang tentang masalah yang kalian hadapi sekarang. Andre minta tolong untuk memastika
[Arina POV] Setelah menikmati kesendirian dan menenangkan pikiran selama dua hari, aku merasakan kejenuhan. Pada dasarnya aku memang rindu pekerjaanku, dan teman-temanku. Terutama aku merindukan seseorang. Di hari pertama aku cuti dia mengirimkan bubur ayam untuk sarapan; dan hanya sarapan, tidak ada yang lain. Di hari kedua dia masih mengirimkan sarapan, lalu makan siang, dan makan malam. Yang bikin deg-degan sekaligus sebal, dia mengirimkan bunga dengan kartu kosong. Apa maksudnya coba? Saat melihat kartu terselip di bunganya, aku sudah berharap mendapatkan ucapan 'I miss you' atau 'I love you' atau gombalan yang lain. Eh, tahunya nggak ada tulisan apa-apa. Sepertinya ini gara-gara malam sebelumnya Vina bilang akan menyampaikan salamku pada Andre, dia kepedean seolah mendapat tiupan peluit start, dan langsung menghujaniku dengan banyak perhatian
[Arina POV] Dalam benakku selama ini Tante Andre yang tinggal di Surabaya itu umurnya nggak jauh beda dari mamanya. Tapi wanita yang ada di hadapanku sekarang ini jelas belum tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. "Duh, Arina ini lagi bengong saja cantik lho. Hati-hati disambar Andre nanti," goda Tante Sherly demi melihat aku yang melongo. Andre terkekeh mendengar pernyataan tantenya itu. "Beneran tante? Bukan sepupu? Kok masih muda? Tadi Andre juga manggil 'mbak' kan?" Aku masih belum bisa percaya. "Huh, itu karena dia keponakan durhaka," sungutnya. Andre terpingkal-pingkal menyaksikan wajah kesal tantenya itu. Wanita muda itu mengabaikan Andre dan kembali tersenyum genit padaku. "Udah, ayo masuk dulu, makan siang sambil ngobrol-ngobrol. Kalian pasti sudah lapar," ajaknya sembari menarik tanganku untuk memasuki rumah. Memang sudah wa
[Arina POV] Dengan bantuan GPS kami mencoba mencari alamat yang tertera di kartu nama Pak Gumelar. Aku tidak yakin sepenuhnya, tapi sangat berharap alamat di kartu itu memang betul-betul rumah pria yang sudah menipu bapakku. Namun harapan kami mulai memudar ketika mendapati area itu telah menjadi perumahan yang cukup mewah. Rasanya tidak mungkin kalau orang yang sudah kaya raya sampai jadi penipu, tapi siapa juga yang tahu. Orang-orang yang kami temui rata-rata penghuni baru di wilayah itu, dan tidak ada yang mengenal Pak Gumelar. Aku sudah nyaris putus asa. Andre mungkin juga merasa lelah melihat tidak adanya kemajuan dalam pencarian kami, namun ia tidak menunjukkannya. Dengan penuh kesabaran dia menemani aku berkeliling dan terus mencari. Ketika menjelang sore aku sudah kelelahan secara fisik dan emosi. Andre mengajakku beristirahat di depan sebuah mini market. Pria m
[Andre POV] "Dengan ini saya nyatakan kalian sebagai suami istri. Sekarang mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Dan terjadilah ciuman pertama kami, diiringi tepuk tangan meriah para tamu undangan. Selepas ciuman itu kami tersenyum dan bertatapan mesra. "Istriku...." "Suamiku...." Sekali lagi kami berciuman. Tapi.... Itu semua hanya ada dalam khayalanku. Hah! Calon istriku menolak keras acara ciuman di depan umum, walaupun itu dilakukan di saat kami sudah resmi menjadi pasangan suami istri. "Nggak mau," tolaknya tegas. "Kenapa sih nggak mau? Itu kan sudah biasa di acara nikahan, masih dalam batas kesopanan." "Iya, aku tahu. Tapi aku nggak mau. Momen ciuman pertamaku cuma boleh terjadi antara aku dan suamiku, nggak boleh ada orang lain yang lihat." Payah ni cewek! Aku tahu prinsip dia, tapi kalau kami sudah menikah kan nggak masalah. Toh kami bukan mau mesra-mesraan, itu formalitas saja. Tapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya. Manyun deh saya! "Senyum dong, Mas
[Satu bulan kemudian] "Lari, Arina... Larii.... Ayo katakan lari... lari... lari." "Hahahaha." Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan Andre menirukan gaya Dora the Explorer. Kami berlarian di tepi pantai, pantai cinta kami. Kemarin Santi telah mengakhiri masa lajangnya, dengan menikahi Bang Firman. Setelah sekian lama dia dipanggil 'Ucok' untuk kali pertama, istrinya memanggilnya dengan nama aslinya 'Firman'. Emang lebih cocok Firman sih, orang ganteng gitu masa dipanggil Ucok? Tapi buat aku dia tetaplah Bang Ucok, si profesor linglung. Resepsinya berlangsung lancar dan meriah. Santi dan Bang Ucok maunya acara mereka sederhana saja, tapi orang tua Santi berpikiran lain. Papanya mengundang kolega-koleganya, jadi akhirnya mereka menggelar acara resepsi yang cukup besar. Mereka menyewa gedung serba guna yang terletak tidak
Sepanjang pekan ini kami punya double kesibukan. Selain urusan pekerjaan, kami mempersiapkan acara lamaran Bang Ucok dan Santi. Akhir pekan ini mereka lamaran, bulan depan menikah. Nggak mau lama-lama katanya, maklum Pak Profesor memang sudah ingin meminang Santi dan menjadikannya pendamping hidup. Kalau ku bilang sih Pak Profesor sudah tua. Hehe. "Jangan repot-repot dong, kami kan baru mau tunangan, belum nikah," Santi mencoba mencegah kami bertindak berlebihan. "Nggak bisa, mau lamaran kek, mau nikah kek, ini hajatan pertama kantor kita, jadi semua mesti ikut mendukung dan memeriahkan," titah Mas Fajar yang jadi ketua panitia. "Nikmati saja, San, sekali seumur hidup," timpalku mendukung Mas Fajar. "Wah, Arin. Harusnya kamu yang pertama dapat acara kayak gini, malah kalah dari si bontot," kata Mbak Rere. Ia sebenarnya berharap aku bisa menikah se
Cuti seminggu rasanya seperti nggak cuti. Selain urusan 'perdetektifan', aku memang nggak ngapa-ngapain. Tapi tetap saja aku nggak ada kesempatan untuk mengistirahatkan pikiran. Setidaknya sekarang semua masalah itu sudah selesai, dan aku kembali lagi ke kantor dengan semangat baru. Aku sangat merindukan pekerjaanku dan teman-temanku di kantor, termasuk si itu. Hehe. Walaupun selama tiga hari kemarin kami bersama, tetap saja masih ingin ketemu. Namanya juga cinta. Betul begitu? Suasana ramai terasa di kantor, tidak seperti biasanya. Sedikit heboh kali ini. "Nah, ini dia artis kita," seru Mbak Rere yang langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sofa di ruang resepsionis. Sudah ada Andre juga di sana, dan tampaknya sudah mulai 'dibulli' oleh para wartawan gosip. Dia cengar-cengir tidak jelas. Kami disandingkan berdua. Aku memandang Andre pen
Rencana kepulangan kami harus diwarnai drama. Chelsea merengek-rengek meminta aku tidak pergi. Udah gitu, emaknya ikutan mellow. Kacau deh!Aku jadi bingung sendiri. Untung Om Handoko turun tangan dan menenangkan Chelsea."Semalam kan Chelsea sudah pinky promise sama Kak Arina, jadi nggak boleh gitu. Kak Arina harus kerja, juga ketemu ibunya. Lain waktu kalau Kak Arina libur, pasti Kak Arina ke sini lagi. Betul kan, Kak?" Om Handoko memeluk dan mengusap-usap punggung anak perempuannya yang manja itu."Betul. Kak Arina pasti ke sini lagi kok. Kalau kita sama-sama libur, kita bisa main sampai puas. Oke?" tandasku.Syukurlah bocah itu bisa diyakinkan dan merelakan kami pergi."Baru dua hari kenal mereka, tapi rasanya kayak udah bertahun-tahun, dan udah sayang banget," kataku saat aku dan Andre sudah berada di mobil untuk pulang."Apalagi sama aku yang sudah berb
[Arina POV]Udara sore yang mulai sejuk mengiringi perjalanan pulang kami. Andre tersenyum lebar dan bernyanyi riang di atas motor.Rasanya menyenangkan sekali, namun sungguh ada satu hal yang harus segera aku tuntaskan. Aku tidak mungkin melakukannya di atas sepeda motor ini.Saat kami melewati area persawahan yang cukup luas, aku meminta Andre untuk menghentikan kendaraannya."Mau apa, Sayang?" tanya Andre.Tanpa menjawab pertanyaan itu aku berjalan menuju tepi sawah. Kebetulan ada tanah berumput yang cukup nyaman untuk duduk.Aku duduk di situ dengan kedua kaki aku tekuk di depan tubuhku. Aku letakkan wajahku pada siku tangan di atas lututku, dan mulai menangis.Awalnya Andre diam saja. Mungkin dia tahu sejak tadi aku sudah menahan gejolak perasaan. Aku menumpahkan semua air mata yang bisa aku hasilkan, meluapkan semua perasaan yang be
[Arina POV] "Mampir sebentar ya, ketemu temanku dulu." Kami berhenti sejenak di depan sebuah toko yang merangkap studio foto. Sepertinya Andre ingin menemui temannya sesama fotografer yang tinggal di kota ini. Kami memasuki studio foto itu, hanya ada beberapa orang customer dan karyawan yang melayani. Seorang pria yang mungkin seumuran Andre menyambut kami dengan senyum lebar. "What's up, Bro?" "What's up?" Mereka melakukan serangkaian gaya salaman dan tos yang entah berapa jumlahnya, serta menanyakan kabar masing-masing. Ternyata Andre bisa sok gaul juga. "Jadi...?" Teman Andre menggantungkan pertanyaannya sambil menunjuk aku. "Oh ya, Arina, ini Bagas, temanku yang tadi ngasih alamat. Bagas, ini Arina, calon istri gue," kata Andre dengan bangga memperkenalkan kami kepada satu sa
[Arina POV] Dengan bantuan GPS kami mencoba mencari alamat yang tertera di kartu nama Pak Gumelar. Aku tidak yakin sepenuhnya, tapi sangat berharap alamat di kartu itu memang betul-betul rumah pria yang sudah menipu bapakku. Namun harapan kami mulai memudar ketika mendapati area itu telah menjadi perumahan yang cukup mewah. Rasanya tidak mungkin kalau orang yang sudah kaya raya sampai jadi penipu, tapi siapa juga yang tahu. Orang-orang yang kami temui rata-rata penghuni baru di wilayah itu, dan tidak ada yang mengenal Pak Gumelar. Aku sudah nyaris putus asa. Andre mungkin juga merasa lelah melihat tidak adanya kemajuan dalam pencarian kami, namun ia tidak menunjukkannya. Dengan penuh kesabaran dia menemani aku berkeliling dan terus mencari. Ketika menjelang sore aku sudah kelelahan secara fisik dan emosi. Andre mengajakku beristirahat di depan sebuah mini market. Pria m
[Arina POV] Dalam benakku selama ini Tante Andre yang tinggal di Surabaya itu umurnya nggak jauh beda dari mamanya. Tapi wanita yang ada di hadapanku sekarang ini jelas belum tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. "Duh, Arina ini lagi bengong saja cantik lho. Hati-hati disambar Andre nanti," goda Tante Sherly demi melihat aku yang melongo. Andre terkekeh mendengar pernyataan tantenya itu. "Beneran tante? Bukan sepupu? Kok masih muda? Tadi Andre juga manggil 'mbak' kan?" Aku masih belum bisa percaya. "Huh, itu karena dia keponakan durhaka," sungutnya. Andre terpingkal-pingkal menyaksikan wajah kesal tantenya itu. Wanita muda itu mengabaikan Andre dan kembali tersenyum genit padaku. "Udah, ayo masuk dulu, makan siang sambil ngobrol-ngobrol. Kalian pasti sudah lapar," ajaknya sembari menarik tanganku untuk memasuki rumah. Memang sudah wa