[Arina POV]
"Tumben Ibu bikinin aku coklat panas, bukan teh."
"Katanya coklat bisa bantu memperbaiki mood, jadi ibumu yang pengertian ini berinisiatif untuk membuatkannya untukmu, anakku yang paling cantik."
Aku sudah duduk manis di depan meja makan dengan semangkuk bihun rebus buatan Ibu. Ibu bilang tidak baik terlalu sering makan mie instant, makanya Ibu memilih untuk memasak bihun, lengkap dengan sayuran, telur, dan daging ayam. Padahal mie instant kan enak, michinnya berasa banget.
"Tumben kamu mandi lama sekali, Rin? Jadi anak kecil lagi ya?" tanya ibu yang sudah mulai menyuapkan bihun hangat ke mulutnya. Memang di kala aku masih kecil, zaman SD gitu, aku punya kebiasaan mandi lama. Bukan karena harus menyabuni seluruh badan hingga bersih, apalagi luluran, melainkan karena aku suka main air, atau melamun.
"Enak kali, Bu, jadi anak kecil lagi. Jadi orang dewasa keba
"Everybody needs a little time away, I heard her say, from each other. Even lovers need a holiday far away from each other." Suara gitar dan orang bernyanyi itu benar-benar berasal dari luar rumahku. Pagi-pagi buta begini sudah ada pengamen datang ke rumah. Aku melihat ponselku, belum genap jam setengah enam pagi. "After all that we've been through I will make it up to you, I promise you." Pengamen go internasional, ngamennya pakai lagu barat. Aku mengintip dari celah gorden. Kamarku memang ada di depan, di dekat kamar tamu, jadi aku bisa melihat halaman depan rumah dengan jelas. Aku melihat ada pengamen paling ganteng sekaligus paling kurang ajar yang pernah aku lihat, sedang berdiri persis dua meter dari depan jendela kamarku. Tadi dia sudah sempat bernyanyi satu lagu, 'Back for Good' dari Take That. Tapi karena tidak ada respons dia kembali bernyanyi, kali ini membawakan lagu 'Hard
[Andre POV] Aku memandang wanita yang aku cintai berlalu dari hadapanku. Sejujurnya aku masih ingin melihatnya, masih ingin bicara dengannya, tapi baiklah, biarkan dia beristirahat. Aku sadar dia pasti lelah secara fisik maupun emosi, karena ulahku juga. "Hhhhh...," tanpa sadar aku menghela napas berat. "Sepertinya bebannya masih tertinggal di bahu Nak Andre ya, belum terangkat," ujar Ibu yang mendatangi aku lagi sambil tersenyum. Ia duduk di kursi di seberangku. Aku hanya mampu menjawab dengan senyuman kecut. "Setidaknya sudah baikan, Bu," ucapku datar. Bu Reni mengangguk dan tersenyum penuh pengertian. "Nak Andre, dari kecil Arin itu sudah cerewet, tidak bisa diam, kadang suka cari perhatian dan ngajak ribut. Itu karena Arin mirip Ibu," papar Ibu sedikit terkekeh dan geleng-geleng kepala. Aku tersenyum mendengarnya. "Di pihak lain, Arin juga mir
[Arina POV] "Santiii...." Dengan senyum ceria aku menghampiri teman kerja sekaligus sahabatku yang tumben-tumbenan hari ini sudah di kantor pagi-pagi sekali. "Hai, Rin." Jawabannya terdengar lesu. "Belum sarapan, San? Nggak ada semangat gitu." "Hmmm, lagi banyak kerjaan aja, pusing." Dia berfokus pada pekerjaan di tabletnya, sama sekali tidak menengok ke arahku. "Minta tolong Abang dong," saranku, sedikit menggodanya. "Lagi nggak ngantor, ikut seminar. Aku jadi nambah kerjaan juga." Walah, jadi ini rupanya penyebab kelesuan Santi? Ditinggal pergi gebetan, ditambahin kerjaan, dobel sebel ini namanya. "Ya udah, dikerjain pelan-pelan." Aku mencoba membesarkan hati Santi. "Eh, mana tahu habis pulang dari seminar kalian jadian, macam aku sama pacarku dulu. Hihi." Aku melirik Andre yang sedang sibuk dengan kameranya. Tampan sekali
[Arina POV] Siapa sangka sore itu menjadi saat yang bersejarah bagi sahabatku, akhir dari penantiannya, sekaligus awal hubungan cinta yang serius dengan sang gebetan. Andre mengajakku pergi duluan, meninggalkan Bang Ucok di rumah Santi supaya mereka bisa menyelesaikan konflik hati masing-masing. Ternyata hasilnya lebih dari yang kami harapkan. Setelah berminggu-minggu, yang rasanya berabad-abad, Bang Ucok membuat pertimbangan, ia memutuskan untuk menembak Santi sore itu. Kelinglungannya seolah terlupakan, karena dia dengan gentleman memberanikan diri meminta Santi untuk jadi kekasihnya. Apalagi Bang Ucok sempat dipepet oleh Linda sewaktu seminar bareng, ia tidak ingin ambil resiko didekati wanita lain lagi. Kalau dia punya pacar, dia tidak akan merasa sungkan untuk menolak mereka secara langsung. Ditambah lagi dia tidak ingin melihat Santi cemburu dan sakit hati, Pak Profesor bisa ikutan sedi
[Arina POV] Saat kami tiba di kafe suasana tampak lebih ramai dari biasanya. Bahkan pihak pengelola kafe menambahkan beberapa kursi untuk pengunjung. Maklumlah, seperti kata Andre akan ada penampilan khusus dari seorang penyanyi ibu kota. "Jadi mana nih kejutannya?" tagih Bang Ucok. Andre terkekeh mendapati ketidaksabaran Pak Profesor. "Sabar, bosku. Ngopi napa ngopi? Nanti juga sampai sini, nggak akan lari. Santi, Bang, eh, santai, Bang," kekeh Andre, yang ditimpali dengan seringaian Bang Ucok. Andre mengajak kami menuju meja yang sudah dia pesan. Enaknya pergi ke kafe ini bersama Andre tuh dijamin dapat tempat duduk walaupun kafe lagi ramai. "Abang kok bisa sih nggak sabar gitu nungguin si penyanyi yang entah siapa, sedangkan dulu Abang sabaaar banget nggak nembak aku juga padahal udah naksir bertahun-tahun?" nyinyir Santi, yang hanya dibalas cengiran oleh Bang Ucok.
[Arina POV] Malam itu berlalu dengan cepat dan menyenangkan. Dengan bantuan dari Vina dan 'kekuasaan' Andre kami bahkan bisa berkenalan dengan Bang Toby. Orangnya sangat ramah dan tidak sombong. Bang Ucok yang paling bahagia, sampai-sampai dia meminta foto berdua dengan penyanyi top berusia empat puluhan itu. Buat aku sendiri yang paling mengesankan adalah berkenalan dengan Ester. Saat berhadapan secara langsung aku semakin merasa aku tidak cantik. Dari dekat kecantikan Ester tambah memukau. Aku jadi merasa seperti Upik Abu ketika berdiri di dekat bidadari aduhai ini. Dia memang merawat diri. Nggak heran sih, kata Vina, Ester punya salon dan butik sendiri. "Aku sudah penasaran lho, sejak pertama Martin bercerita kalau Andre sudah punya pacar. Pingin tahu seperti apa wanita yang bisa menaklukkan hati Andre. Ternyata Andre tidak salah pilih," ujar Ester dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Meskipun secantik bi
[Arina POV]Kami memasuki dapur yang sama luasnya dengan kamar tidurku, dikali enam. Luas banget pokoknya. Kalau selama ini aku cuma bisa lihat dapur mewah plus interior memukaunya di televisi atau majalah, kali ini aku bisa lihat secara langsung. Butuh upaya keras untuk tidak kelihatan ndeso dan terkagum-kagum."Dapurnya bagus banget, Tante," ucapku tak bisa tertahan lagi. Dapurnya memang layak dikagumi sih. Seandainya aku punya dapur seindah ini, aku pasti pingin masak terus."Aan yang minta dapurnya seperti ini," kata Tante Merlyn, membuatku menengok kepada Andre dalam sekejap. Wajahnya tampak santai, seolah-olah bisa punya dapur seelok ini tuh bukan hal yang besar."Di rumah ini dia yang paling suka masak. Kami sudah punya pembantu di rumah, yang biasa masak untuk kami, tapi Aan masih suka masak sendiri, terus dia foto-foto gitu," Mama Andre menerangkan lagi. Aku perhatikan dalam keluarganya Andr
[Andre POV] Mas Fajar adalah satu sosok yang aku kagumi di kantor ini. Dia karyawan yang sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya, cekatan dan bisa diandalkan. Orangnya juga serba bisa. Dia menjadi panutanku di kantor ini, dalam urusan pekerjaan. Kemampuannya dan kepercayaan bos terhadapnya menjadikan dia sosok 'bapak' di kantor ini. Kecuali ketika ada Pak Paino yang jelas-jelas lebih kebapakan, sosok Mas Fajar berubah. Dia jadi om-om, lebih tepatnya om-om bawel. Arina sampai menjuluki Mas Fajar sebagai Lambe Turah-nya Famili Advertising. Pertama karena Mas Fajar itu cerewet, suka ngomong. Kedua, dia yang paling update gosip-gosip. Ketiga, sudah jelas itu karena mereka musuh bebuyutan, Arina dan Mas Fajar paling suka ribut, ejek-ejekan seperti anak kecil. Dan yang terakhir, Mas Fajar suka mencampuri urusan orang lain. Nah, yang terakhir ini kami sedikit bingung. Niatnya mungkin baik, tapi pen
[Andre POV] "Dengan ini saya nyatakan kalian sebagai suami istri. Sekarang mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Dan terjadilah ciuman pertama kami, diiringi tepuk tangan meriah para tamu undangan. Selepas ciuman itu kami tersenyum dan bertatapan mesra. "Istriku...." "Suamiku...." Sekali lagi kami berciuman. Tapi.... Itu semua hanya ada dalam khayalanku. Hah! Calon istriku menolak keras acara ciuman di depan umum, walaupun itu dilakukan di saat kami sudah resmi menjadi pasangan suami istri. "Nggak mau," tolaknya tegas. "Kenapa sih nggak mau? Itu kan sudah biasa di acara nikahan, masih dalam batas kesopanan." "Iya, aku tahu. Tapi aku nggak mau. Momen ciuman pertamaku cuma boleh terjadi antara aku dan suamiku, nggak boleh ada orang lain yang lihat." Payah ni cewek! Aku tahu prinsip dia, tapi kalau kami sudah menikah kan nggak masalah. Toh kami bukan mau mesra-mesraan, itu formalitas saja. Tapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya. Manyun deh saya! "Senyum dong, Mas
[Satu bulan kemudian] "Lari, Arina... Larii.... Ayo katakan lari... lari... lari." "Hahahaha." Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan Andre menirukan gaya Dora the Explorer. Kami berlarian di tepi pantai, pantai cinta kami. Kemarin Santi telah mengakhiri masa lajangnya, dengan menikahi Bang Firman. Setelah sekian lama dia dipanggil 'Ucok' untuk kali pertama, istrinya memanggilnya dengan nama aslinya 'Firman'. Emang lebih cocok Firman sih, orang ganteng gitu masa dipanggil Ucok? Tapi buat aku dia tetaplah Bang Ucok, si profesor linglung. Resepsinya berlangsung lancar dan meriah. Santi dan Bang Ucok maunya acara mereka sederhana saja, tapi orang tua Santi berpikiran lain. Papanya mengundang kolega-koleganya, jadi akhirnya mereka menggelar acara resepsi yang cukup besar. Mereka menyewa gedung serba guna yang terletak tidak
Sepanjang pekan ini kami punya double kesibukan. Selain urusan pekerjaan, kami mempersiapkan acara lamaran Bang Ucok dan Santi. Akhir pekan ini mereka lamaran, bulan depan menikah. Nggak mau lama-lama katanya, maklum Pak Profesor memang sudah ingin meminang Santi dan menjadikannya pendamping hidup. Kalau ku bilang sih Pak Profesor sudah tua. Hehe. "Jangan repot-repot dong, kami kan baru mau tunangan, belum nikah," Santi mencoba mencegah kami bertindak berlebihan. "Nggak bisa, mau lamaran kek, mau nikah kek, ini hajatan pertama kantor kita, jadi semua mesti ikut mendukung dan memeriahkan," titah Mas Fajar yang jadi ketua panitia. "Nikmati saja, San, sekali seumur hidup," timpalku mendukung Mas Fajar. "Wah, Arin. Harusnya kamu yang pertama dapat acara kayak gini, malah kalah dari si bontot," kata Mbak Rere. Ia sebenarnya berharap aku bisa menikah se
Cuti seminggu rasanya seperti nggak cuti. Selain urusan 'perdetektifan', aku memang nggak ngapa-ngapain. Tapi tetap saja aku nggak ada kesempatan untuk mengistirahatkan pikiran. Setidaknya sekarang semua masalah itu sudah selesai, dan aku kembali lagi ke kantor dengan semangat baru. Aku sangat merindukan pekerjaanku dan teman-temanku di kantor, termasuk si itu. Hehe. Walaupun selama tiga hari kemarin kami bersama, tetap saja masih ingin ketemu. Namanya juga cinta. Betul begitu? Suasana ramai terasa di kantor, tidak seperti biasanya. Sedikit heboh kali ini. "Nah, ini dia artis kita," seru Mbak Rere yang langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sofa di ruang resepsionis. Sudah ada Andre juga di sana, dan tampaknya sudah mulai 'dibulli' oleh para wartawan gosip. Dia cengar-cengir tidak jelas. Kami disandingkan berdua. Aku memandang Andre pen
Rencana kepulangan kami harus diwarnai drama. Chelsea merengek-rengek meminta aku tidak pergi. Udah gitu, emaknya ikutan mellow. Kacau deh!Aku jadi bingung sendiri. Untung Om Handoko turun tangan dan menenangkan Chelsea."Semalam kan Chelsea sudah pinky promise sama Kak Arina, jadi nggak boleh gitu. Kak Arina harus kerja, juga ketemu ibunya. Lain waktu kalau Kak Arina libur, pasti Kak Arina ke sini lagi. Betul kan, Kak?" Om Handoko memeluk dan mengusap-usap punggung anak perempuannya yang manja itu."Betul. Kak Arina pasti ke sini lagi kok. Kalau kita sama-sama libur, kita bisa main sampai puas. Oke?" tandasku.Syukurlah bocah itu bisa diyakinkan dan merelakan kami pergi."Baru dua hari kenal mereka, tapi rasanya kayak udah bertahun-tahun, dan udah sayang banget," kataku saat aku dan Andre sudah berada di mobil untuk pulang."Apalagi sama aku yang sudah berb
[Arina POV]Udara sore yang mulai sejuk mengiringi perjalanan pulang kami. Andre tersenyum lebar dan bernyanyi riang di atas motor.Rasanya menyenangkan sekali, namun sungguh ada satu hal yang harus segera aku tuntaskan. Aku tidak mungkin melakukannya di atas sepeda motor ini.Saat kami melewati area persawahan yang cukup luas, aku meminta Andre untuk menghentikan kendaraannya."Mau apa, Sayang?" tanya Andre.Tanpa menjawab pertanyaan itu aku berjalan menuju tepi sawah. Kebetulan ada tanah berumput yang cukup nyaman untuk duduk.Aku duduk di situ dengan kedua kaki aku tekuk di depan tubuhku. Aku letakkan wajahku pada siku tangan di atas lututku, dan mulai menangis.Awalnya Andre diam saja. Mungkin dia tahu sejak tadi aku sudah menahan gejolak perasaan. Aku menumpahkan semua air mata yang bisa aku hasilkan, meluapkan semua perasaan yang be
[Arina POV] "Mampir sebentar ya, ketemu temanku dulu." Kami berhenti sejenak di depan sebuah toko yang merangkap studio foto. Sepertinya Andre ingin menemui temannya sesama fotografer yang tinggal di kota ini. Kami memasuki studio foto itu, hanya ada beberapa orang customer dan karyawan yang melayani. Seorang pria yang mungkin seumuran Andre menyambut kami dengan senyum lebar. "What's up, Bro?" "What's up?" Mereka melakukan serangkaian gaya salaman dan tos yang entah berapa jumlahnya, serta menanyakan kabar masing-masing. Ternyata Andre bisa sok gaul juga. "Jadi...?" Teman Andre menggantungkan pertanyaannya sambil menunjuk aku. "Oh ya, Arina, ini Bagas, temanku yang tadi ngasih alamat. Bagas, ini Arina, calon istri gue," kata Andre dengan bangga memperkenalkan kami kepada satu sa
[Arina POV] Dengan bantuan GPS kami mencoba mencari alamat yang tertera di kartu nama Pak Gumelar. Aku tidak yakin sepenuhnya, tapi sangat berharap alamat di kartu itu memang betul-betul rumah pria yang sudah menipu bapakku. Namun harapan kami mulai memudar ketika mendapati area itu telah menjadi perumahan yang cukup mewah. Rasanya tidak mungkin kalau orang yang sudah kaya raya sampai jadi penipu, tapi siapa juga yang tahu. Orang-orang yang kami temui rata-rata penghuni baru di wilayah itu, dan tidak ada yang mengenal Pak Gumelar. Aku sudah nyaris putus asa. Andre mungkin juga merasa lelah melihat tidak adanya kemajuan dalam pencarian kami, namun ia tidak menunjukkannya. Dengan penuh kesabaran dia menemani aku berkeliling dan terus mencari. Ketika menjelang sore aku sudah kelelahan secara fisik dan emosi. Andre mengajakku beristirahat di depan sebuah mini market. Pria m
[Arina POV] Dalam benakku selama ini Tante Andre yang tinggal di Surabaya itu umurnya nggak jauh beda dari mamanya. Tapi wanita yang ada di hadapanku sekarang ini jelas belum tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. "Duh, Arina ini lagi bengong saja cantik lho. Hati-hati disambar Andre nanti," goda Tante Sherly demi melihat aku yang melongo. Andre terkekeh mendengar pernyataan tantenya itu. "Beneran tante? Bukan sepupu? Kok masih muda? Tadi Andre juga manggil 'mbak' kan?" Aku masih belum bisa percaya. "Huh, itu karena dia keponakan durhaka," sungutnya. Andre terpingkal-pingkal menyaksikan wajah kesal tantenya itu. Wanita muda itu mengabaikan Andre dan kembali tersenyum genit padaku. "Udah, ayo masuk dulu, makan siang sambil ngobrol-ngobrol. Kalian pasti sudah lapar," ajaknya sembari menarik tanganku untuk memasuki rumah. Memang sudah wa