[Arina POV]
"Jangan lupa datang lho ya, Arinku yang manis!"
"Tidak mungkin saya tidak datang, Mbak. Kan saya yang mendesain sampulnya. Hehe."
"Sip!! Jangan lupa juga ajak kekasihmu."
"Lho, dari mana Mbak Diah tahu saya sudah punya pacar?"
"Mbak Diah gitu loh. Masa sampai tidak tahu desainernya yang manis ini sedang menikmati masa indah berpacaran dengan kekasihnya yang tampan?"
"Ah, Mbak Diah bisa saja. Hehehe."
"Sebenarnya waktu terakhir kita ketemu di kantor, saya sudah melihat setruman cinta di antara kalian berdua. Makanya waktu itu saya berpura-pura mendekati Andre untuk melihat apakah kamu cemburu."
"Hahaha."
"Ternyata berhasil ya, muka Arin, gadisku yang manis, kebakaran. Eh, aduh, maaf, saya lupa. Sudah bukan gadisku lagi ya, sudah jadi gadisnya Andre," kekeh Mbak Diah me
[Andre POV] "Ya ampuuun! Ini Arina? Pacar kamu cantik sekali, An," seru mamaku yang langsung menubruk Arin. Aku tersenyum bangga, sedangkan Arin terlihat malu namun membalas pelukan mama dengan sopan. Dia terlihat canggung menghadapi mama yang tiba-tiba agresif. Apalagi saat ini Arin berpakaian sangat santai, dengan celana setengah betis, kaos oblong, rambut dikuncir, dan wajah tanpa riasan sama sekali, dia mungkin merasa tidak percaya diri. "Ya ampun, Jeng Reni. Tidak disangka ya, ternyata kita bakal besanan. Anak saya pacaran dengan anak Jeng Reni yang manis ini," ujar Mama penuh semangat. Mungkin kalau Mama bilang 'ya, ampun' sekali lagi, dia bakal dapat piring cantik. Bu Reni terkekeh dan menanggapi Mama dengan tidak kalah hebohnya. "Nggak usah tegang gitu. Kalau ketemu perempuan muda, mama biasa bilang mereka cantik," kataku pada Arin. "Oh be
[Arina POV] "Ibuuuuuuuu!!! Ini dari siapaaaaa???" Suara teriakanku memenuhi seisi rumah. Bagaimana tidak? Baru saja pulang kantor, dan masuk kamar, aku menemukan sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas kado berwarna dasar kuning dengan motif bunga kecil yang cantik. "Nggak usah teriak-teriak, Rin. Mau pamer ke seluruh tetangga kalau dapat kado dari pacar ya?" goda Ibu yang sudah ikut berdiri di ambang pintu kamarku. "Kok tahu kalau ini dari pacarku, Bu? Hayo...," aku bertanya menyelidik. Ibu terkekeh senang. "Sudah dibuka saja biar nggak penasaran." "Iya," sahutku antusias. Tanganku sudah mulai melepaskan selotip yang merekatkan kertas kado itu, lalu tiba-tiba aku menaruh kadonya kembali. "Lho, kenapa nggak jadi, Rin?" tanya Ibu. "Bentar, Bu. Mandi dulu, biar wangi," seringaiku. "Heleh, gayamu, Rin!
[Arina POV] Andre so sweet banget nggak seeeh?" "Pacar gue gitu loh." "Uuh, Santi jadi pingin juga." "Makanya buruan punya pacar, tembak aja tuh Pak Profesor galau!" "Ngomong sih gampang, pelaksanaannya susah, Bu." "Mau aku bantuin lagi pa?" "Eh, enggak, enggak, udah cukup, nggak usah, Rin. Aku lebih suka semua berjalan secara alami. Biarlah semua indah pada waktunya." "Aseeek." "Ya udah, aku tidur dulu ya. Kamu juga buruan tidur. Ups, sorry, pastinya jadi nggak bisa tidur ya, gara-gara mikirin dapat hadiah dari pacar. Hihihi." "Suratnya aja aku taruh di dekat bantal, biar kecium terus wanginya." "Haha, biar kebawa mimpi ya? Parah kamu, Rin! Haduh, susah deh kalau ngomong sama orang yang lagi kasmaran. Oke deh. Sampai besok ya, Rin. M
[Andre POV] "Weekend ini kita libur dua hari, pada mau ngapain? Kita bikin acara apa ya enaknya?" tanya Arin. "Main aja, yuk. Jalan-jalan gitu, rame-rame, kan seru," usul Santi. Saat ini kami, para lajang Famili Adv. lengkap dengan Mas Iwan dan Cici, berkumpul di Kafe Magnolia. Arin berkeras mengajak mereka datang ke tempat ini, karena selama ini kami belum pernah mengajak mereka. Untungnya Mas Iwan dan Cici menikmati kunjungan mereka ke kafe ini, terutama Mas Iwan yang mesam-mesem waktu Arin mengenalkannya kepada Vina. Kami menghabiskan waktu di sini, mengobrol dan menikmati camilan serta mendengarkan musik pastinya. Topik pembicaraannya macam-macam, mulai dari pekerjaan, binatang peliharaan, orang tua yang suka ngomel, hingga rencana liburan dua hari selama akhir pekan ini. "Pergi ke pantai kalau gitu," usul Santi. "Kebun binatang saja gimana?"
[Andre POV] Aku galau. Hatiku gelisah. Rasa bersalah mulai menghantuiku. Mungkin aku berhak marah pada Arin, tapi bukan berarti aku bisa berbicara secara emosional dan tanpa dipikir. Aku sadar sikap dan kata-kataku telah menyakiti hati Arin. "Bodoh kamu, Andre," geramku memarahi diriku sendiri. Setelah aku meninggalkan Arin yang berupaya mengejarku, pikiranku kacau. Aku harusnya langsung kembali padanya, menemuinya, dan berbicara baik-baik. Namun egoku terlalu tinggi, hingga aku mengeraskan hati dan tetap berlalu. Karena tak jua menemukan ketenangan, aku memilih untuk menghentikan mobilku di depan sebuah mini market. Aku membeli air mineral serta kopi panas, lalu memutuskan untuk duduk di kursi yang disediakan di depan mini market. Kebetulan ada beberapa penjual makanan dengan gerobak di dekat situ, sekalian saja aku beli, siapa tahu makanan bisa membantu memperbaiki mood-ku. Aku membeli keba
[Arina POV] "Tumben Ibu bikinin aku coklat panas, bukan teh." "Katanya coklat bisa bantu memperbaiki mood, jadi ibumu yang pengertian ini berinisiatif untuk membuatkannya untukmu, anakku yang paling cantik." Aku sudah duduk manis di depan meja makan dengan semangkuk bihun rebus buatan Ibu. Ibu bilang tidak baik terlalu sering makan mie instant, makanya Ibu memilih untuk memasak bihun, lengkap dengan sayuran, telur, dan daging ayam. Padahal mie instant kan enak, michinnya berasa banget. "Tumben kamu mandi lama sekali, Rin? Jadi anak kecil lagi ya?" tanya ibu yang sudah mulai menyuapkan bihun hangat ke mulutnya. Memang di kala aku masih kecil, zaman SD gitu, aku punya kebiasaan mandi lama. Bukan karena harus menyabuni seluruh badan hingga bersih, apalagi luluran, melainkan karena aku suka main air, atau melamun. "Enak kali, Bu, jadi anak kecil lagi. Jadi orang dewasa keba
"Everybody needs a little time away, I heard her say, from each other. Even lovers need a holiday far away from each other." Suara gitar dan orang bernyanyi itu benar-benar berasal dari luar rumahku. Pagi-pagi buta begini sudah ada pengamen datang ke rumah. Aku melihat ponselku, belum genap jam setengah enam pagi. "After all that we've been through I will make it up to you, I promise you." Pengamen go internasional, ngamennya pakai lagu barat. Aku mengintip dari celah gorden. Kamarku memang ada di depan, di dekat kamar tamu, jadi aku bisa melihat halaman depan rumah dengan jelas. Aku melihat ada pengamen paling ganteng sekaligus paling kurang ajar yang pernah aku lihat, sedang berdiri persis dua meter dari depan jendela kamarku. Tadi dia sudah sempat bernyanyi satu lagu, 'Back for Good' dari Take That. Tapi karena tidak ada respons dia kembali bernyanyi, kali ini membawakan lagu 'Hard
[Andre POV] Aku memandang wanita yang aku cintai berlalu dari hadapanku. Sejujurnya aku masih ingin melihatnya, masih ingin bicara dengannya, tapi baiklah, biarkan dia beristirahat. Aku sadar dia pasti lelah secara fisik maupun emosi, karena ulahku juga. "Hhhhh...," tanpa sadar aku menghela napas berat. "Sepertinya bebannya masih tertinggal di bahu Nak Andre ya, belum terangkat," ujar Ibu yang mendatangi aku lagi sambil tersenyum. Ia duduk di kursi di seberangku. Aku hanya mampu menjawab dengan senyuman kecut. "Setidaknya sudah baikan, Bu," ucapku datar. Bu Reni mengangguk dan tersenyum penuh pengertian. "Nak Andre, dari kecil Arin itu sudah cerewet, tidak bisa diam, kadang suka cari perhatian dan ngajak ribut. Itu karena Arin mirip Ibu," papar Ibu sedikit terkekeh dan geleng-geleng kepala. Aku tersenyum mendengarnya. "Di pihak lain, Arin juga mir
[Andre POV] "Dengan ini saya nyatakan kalian sebagai suami istri. Sekarang mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Dan terjadilah ciuman pertama kami, diiringi tepuk tangan meriah para tamu undangan. Selepas ciuman itu kami tersenyum dan bertatapan mesra. "Istriku...." "Suamiku...." Sekali lagi kami berciuman. Tapi.... Itu semua hanya ada dalam khayalanku. Hah! Calon istriku menolak keras acara ciuman di depan umum, walaupun itu dilakukan di saat kami sudah resmi menjadi pasangan suami istri. "Nggak mau," tolaknya tegas. "Kenapa sih nggak mau? Itu kan sudah biasa di acara nikahan, masih dalam batas kesopanan." "Iya, aku tahu. Tapi aku nggak mau. Momen ciuman pertamaku cuma boleh terjadi antara aku dan suamiku, nggak boleh ada orang lain yang lihat." Payah ni cewek! Aku tahu prinsip dia, tapi kalau kami sudah menikah kan nggak masalah. Toh kami bukan mau mesra-mesraan, itu formalitas saja. Tapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya. Manyun deh saya! "Senyum dong, Mas
[Satu bulan kemudian] "Lari, Arina... Larii.... Ayo katakan lari... lari... lari." "Hahahaha." Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan Andre menirukan gaya Dora the Explorer. Kami berlarian di tepi pantai, pantai cinta kami. Kemarin Santi telah mengakhiri masa lajangnya, dengan menikahi Bang Firman. Setelah sekian lama dia dipanggil 'Ucok' untuk kali pertama, istrinya memanggilnya dengan nama aslinya 'Firman'. Emang lebih cocok Firman sih, orang ganteng gitu masa dipanggil Ucok? Tapi buat aku dia tetaplah Bang Ucok, si profesor linglung. Resepsinya berlangsung lancar dan meriah. Santi dan Bang Ucok maunya acara mereka sederhana saja, tapi orang tua Santi berpikiran lain. Papanya mengundang kolega-koleganya, jadi akhirnya mereka menggelar acara resepsi yang cukup besar. Mereka menyewa gedung serba guna yang terletak tidak
Sepanjang pekan ini kami punya double kesibukan. Selain urusan pekerjaan, kami mempersiapkan acara lamaran Bang Ucok dan Santi. Akhir pekan ini mereka lamaran, bulan depan menikah. Nggak mau lama-lama katanya, maklum Pak Profesor memang sudah ingin meminang Santi dan menjadikannya pendamping hidup. Kalau ku bilang sih Pak Profesor sudah tua. Hehe. "Jangan repot-repot dong, kami kan baru mau tunangan, belum nikah," Santi mencoba mencegah kami bertindak berlebihan. "Nggak bisa, mau lamaran kek, mau nikah kek, ini hajatan pertama kantor kita, jadi semua mesti ikut mendukung dan memeriahkan," titah Mas Fajar yang jadi ketua panitia. "Nikmati saja, San, sekali seumur hidup," timpalku mendukung Mas Fajar. "Wah, Arin. Harusnya kamu yang pertama dapat acara kayak gini, malah kalah dari si bontot," kata Mbak Rere. Ia sebenarnya berharap aku bisa menikah se
Cuti seminggu rasanya seperti nggak cuti. Selain urusan 'perdetektifan', aku memang nggak ngapa-ngapain. Tapi tetap saja aku nggak ada kesempatan untuk mengistirahatkan pikiran. Setidaknya sekarang semua masalah itu sudah selesai, dan aku kembali lagi ke kantor dengan semangat baru. Aku sangat merindukan pekerjaanku dan teman-temanku di kantor, termasuk si itu. Hehe. Walaupun selama tiga hari kemarin kami bersama, tetap saja masih ingin ketemu. Namanya juga cinta. Betul begitu? Suasana ramai terasa di kantor, tidak seperti biasanya. Sedikit heboh kali ini. "Nah, ini dia artis kita," seru Mbak Rere yang langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sofa di ruang resepsionis. Sudah ada Andre juga di sana, dan tampaknya sudah mulai 'dibulli' oleh para wartawan gosip. Dia cengar-cengir tidak jelas. Kami disandingkan berdua. Aku memandang Andre pen
Rencana kepulangan kami harus diwarnai drama. Chelsea merengek-rengek meminta aku tidak pergi. Udah gitu, emaknya ikutan mellow. Kacau deh!Aku jadi bingung sendiri. Untung Om Handoko turun tangan dan menenangkan Chelsea."Semalam kan Chelsea sudah pinky promise sama Kak Arina, jadi nggak boleh gitu. Kak Arina harus kerja, juga ketemu ibunya. Lain waktu kalau Kak Arina libur, pasti Kak Arina ke sini lagi. Betul kan, Kak?" Om Handoko memeluk dan mengusap-usap punggung anak perempuannya yang manja itu."Betul. Kak Arina pasti ke sini lagi kok. Kalau kita sama-sama libur, kita bisa main sampai puas. Oke?" tandasku.Syukurlah bocah itu bisa diyakinkan dan merelakan kami pergi."Baru dua hari kenal mereka, tapi rasanya kayak udah bertahun-tahun, dan udah sayang banget," kataku saat aku dan Andre sudah berada di mobil untuk pulang."Apalagi sama aku yang sudah berb
[Arina POV]Udara sore yang mulai sejuk mengiringi perjalanan pulang kami. Andre tersenyum lebar dan bernyanyi riang di atas motor.Rasanya menyenangkan sekali, namun sungguh ada satu hal yang harus segera aku tuntaskan. Aku tidak mungkin melakukannya di atas sepeda motor ini.Saat kami melewati area persawahan yang cukup luas, aku meminta Andre untuk menghentikan kendaraannya."Mau apa, Sayang?" tanya Andre.Tanpa menjawab pertanyaan itu aku berjalan menuju tepi sawah. Kebetulan ada tanah berumput yang cukup nyaman untuk duduk.Aku duduk di situ dengan kedua kaki aku tekuk di depan tubuhku. Aku letakkan wajahku pada siku tangan di atas lututku, dan mulai menangis.Awalnya Andre diam saja. Mungkin dia tahu sejak tadi aku sudah menahan gejolak perasaan. Aku menumpahkan semua air mata yang bisa aku hasilkan, meluapkan semua perasaan yang be
[Arina POV] "Mampir sebentar ya, ketemu temanku dulu." Kami berhenti sejenak di depan sebuah toko yang merangkap studio foto. Sepertinya Andre ingin menemui temannya sesama fotografer yang tinggal di kota ini. Kami memasuki studio foto itu, hanya ada beberapa orang customer dan karyawan yang melayani. Seorang pria yang mungkin seumuran Andre menyambut kami dengan senyum lebar. "What's up, Bro?" "What's up?" Mereka melakukan serangkaian gaya salaman dan tos yang entah berapa jumlahnya, serta menanyakan kabar masing-masing. Ternyata Andre bisa sok gaul juga. "Jadi...?" Teman Andre menggantungkan pertanyaannya sambil menunjuk aku. "Oh ya, Arina, ini Bagas, temanku yang tadi ngasih alamat. Bagas, ini Arina, calon istri gue," kata Andre dengan bangga memperkenalkan kami kepada satu sa
[Arina POV] Dengan bantuan GPS kami mencoba mencari alamat yang tertera di kartu nama Pak Gumelar. Aku tidak yakin sepenuhnya, tapi sangat berharap alamat di kartu itu memang betul-betul rumah pria yang sudah menipu bapakku. Namun harapan kami mulai memudar ketika mendapati area itu telah menjadi perumahan yang cukup mewah. Rasanya tidak mungkin kalau orang yang sudah kaya raya sampai jadi penipu, tapi siapa juga yang tahu. Orang-orang yang kami temui rata-rata penghuni baru di wilayah itu, dan tidak ada yang mengenal Pak Gumelar. Aku sudah nyaris putus asa. Andre mungkin juga merasa lelah melihat tidak adanya kemajuan dalam pencarian kami, namun ia tidak menunjukkannya. Dengan penuh kesabaran dia menemani aku berkeliling dan terus mencari. Ketika menjelang sore aku sudah kelelahan secara fisik dan emosi. Andre mengajakku beristirahat di depan sebuah mini market. Pria m
[Arina POV] Dalam benakku selama ini Tante Andre yang tinggal di Surabaya itu umurnya nggak jauh beda dari mamanya. Tapi wanita yang ada di hadapanku sekarang ini jelas belum tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. "Duh, Arina ini lagi bengong saja cantik lho. Hati-hati disambar Andre nanti," goda Tante Sherly demi melihat aku yang melongo. Andre terkekeh mendengar pernyataan tantenya itu. "Beneran tante? Bukan sepupu? Kok masih muda? Tadi Andre juga manggil 'mbak' kan?" Aku masih belum bisa percaya. "Huh, itu karena dia keponakan durhaka," sungutnya. Andre terpingkal-pingkal menyaksikan wajah kesal tantenya itu. Wanita muda itu mengabaikan Andre dan kembali tersenyum genit padaku. "Udah, ayo masuk dulu, makan siang sambil ngobrol-ngobrol. Kalian pasti sudah lapar," ajaknya sembari menarik tanganku untuk memasuki rumah. Memang sudah wa