kira-kira siapa yang telepon? Berikan komentar ya ^_^ Terima kasih ( ˘ ³˘)♥
“Tidak boleh!” El mengeratkan tangan di pinggul Livy, menatap penuh peringatan pada wanitanya. “Untuk apa ayahmu mengirim pesan? Biasanya juga tidak.”“K-kenapa Kak? Aku lama tidak ketemu ayah,” keluh Livy.Walau Tuan Fabregas lebih menyayangi Sonia, tetapi Livy menghargai serta berterima kasih pada pria paruh baya yang merawatnya sejak kecil. Ia sadar diri, diperlakukan berbeda karena hanya anak angkat yang diadopsi untuk menemani Sonia, bukan disayangi.“Hari ini kamu baru keluar dari rumah sakit, besok mau keluyuran lagi? Sayangi dirimu Livy! Setidaknya istirahat dua atau tiga hari. Aku tidak mau kamu sakit lagi!” tegas El lantas membalik tubuh, merubah posisi hingga kini mengukung Livy.Seketika bola mata coklat melebar, ibu hamil ini geleng-geleng kepala. Jelas sekali beberapa detik lalu El mengatakan padanya untuk istirahat, tetapi sekarang apa? Pria ini malah menatap damba dirinya.“Kak, jangan macam-macam. A-aku belum bisa.” Livy memalingkan wajah tetapi semburat merah teramat
“Tapi setelah ku pikir …” Sonia mencondongkan tubuh. Mendorong adik angkatnya hingga Livy nyaris kehilangan keseimbangan. “Lebih anak sialan itu tidak pernah melihat dunia. Bukankah bebanmu berkurang adikku sayang?” seringai Sonia.“Apa Kakak tidak punya hati?” tanya Livy suaranya bergetar antara marah, dendam, dan sakit hati bercampur menjadi satu.Satu jam lalu, Sonia yang datang lebih awal menjenguk ayahnya ke rumah sakit, mendengar keluh kesah mengenai kehamilan Livy. Pria paruh baya itu takut El menceraikan putri sematawayangnya, sehingga keberadaan janin dalam kandungan adalah ancaman besar.Apa lagi Sonia belum hamil hingga sekarang, menambah beban pikiran Tuan Fabregas yang ingin mempertahankan hak dan posisi Sonia. Bahkan Pria berkulit hampir keriput menyesal telah mengadopsi Livy, kedua orang ini pun berdiskusi mencari pemecahan masalah agar lekas tuntas.“Ayah tenang saja, kita bisa memaksa menggugurkan kandungannya atau merebut bayinya dan … membunuh Livy setelah melahirkan
“Selamat pagi, Kak.” Livy tersenyum manis lalu meletakkan sebotol air di atas meja.Manik coklatnya terkesima, dimanjakan oleh pemandangan menyegarkan pagi hari. Selesai menyiapkan sarapan kesukaan El, Livy menghampiri pria ini di ruang olahraga. “Pantas saja badan Kakak bagus, penthouse ini punya fasiltas lengkap. Tidak perlu pergi ke pusat kebugaran, jadi bisa hemat waktu.” Livy melirik setiap alat gym yang tersusun rapi.“Tidak juga, terkadang ke sana untuk mencari suasana baru. Setelah kamu melahirkan kita olahraga bareng, aku bisa menjadi …” El merengkuh pinggang Livy, menariknya hingga merapat padu tak berjarak, bahkan keringatnya pun menempel pada gaun tidur ibu hamil.“Menjadi apa?”“Tentu saja menjadi personal trainer terbaikmu, sayang. Apa lagi?” Seringai El berusaha mencari kesempatan di setiap waktu.Seketika Livy menggeleng cepat, kemudian menyampirkan telapak tangan pada bahu kokoh berkeringat. Mengusap dan memijat area itu secara perlahan, lalu berusaha menggelitik El.
“Alonso?!” panggil Dad Leon dengan kerutan pada kening, bahkan iris biru safir tidak percaya melihat laporan yang diberikan asisten pribadi. “Rasanya mustahil. Aku tidak percaya dia melakukan ini, bagaimana bisa?”“Saya dan tim telah memeriksa berulang kali Tuan. Kami juga tidak yakin tapi hasil di lapangan seperti ini,” ujar Alonso sembari menatap pada kertas dalam genggaman sang tuan.“Aku hubungi El, dia harus melihat ini. Sekarang kita ke ruang kerja!” titah Dad Leon berjalan lebih dulu, sembari meremas amplop coklat.Sedangkan di atas, dari balik railing pembatas, Sonia menyeringai puas. Model cantik nan seksi ini bisa bernapas lega dan mengukuhkan diri sebagai pemenang. ‘Ayah mertua tidak percaya aku pelakunya. Ternyata Sergio berguna juga,” desis Sonia dalam hati.“Mom harap pelakunya segera ditemukan,” tandas Nyonya Torres mengelus dadanya sendiri. “Benar ‘kan Sonia?”Sonia hanya mengangguk pelan, tentu saja dalam hati berkata ‘tidak!’. Mana mungkin wanita cantik itu rela berb
“Kami tidak salah pasien, data Nona masuk secara legal,” tukas perawat sembari menarik rak berisi peralatan silver. Tubuh Livy gemetaran antara menahan sakit, marah serta takut, ia menelan air liur saat melihat jajaran peralatan panjang dan tipis serta tabung kosong. Saat ini, pikirannya bercabang, manik coklatnya bergerak mencari jalan keluar.“Aku mohon … kalian pasti salah,” rintih Livy teramat lemah. Saat perawat mulai melebarkan kakinya,ia berteriak, Tidak! jangan sentuh bayiku!”Ia hendak turun dari ranjang, rasa mulas dan mual yang menyerang menahan pergerakannya, bahkan kedua tungkai tak kuasa menapak pada lantai. Livy melotot, menatap tajam pada dua orang dalam ruangan, lantas meraih salah satu alat yang berukuran paling besar. “Mundur! Jangan dekati aku! Kalian tidak berhak menyentuhku dan anakku!” bentak ibu hamil ini dengan bibir bergetar dan gigi saling beradu. “Aku bisa nekat, aku tdak peduli harus membunuh kalian. Katakan siapa yang membayar kalian?! Cepat!” Sorot mata
“Pergilah! Jangan takut, aku akan melindungimu! Kamu memerlukan tempat nyaman supaya bayimu sehat,” balas Dad Leon menentramkan jiwa.“Te-terima kasih Tuan. Aku mohon jangan beritahu siapa pun …” ringis Livy, ia ingin menyebut nama El tetapi tidak sanggup.Ia memang berniat menyingkir dari masalah, tidak sanggup tetap mengerti dan bertahan di tengah keadaan rumit. Hanya saja Livy menunda waktu, hatinya berat meninggalkan El.“Kamu tenang saja, El tidak akan mengetahuinya … jaga cucuku.” Dad Leon berjalan keluar ruangan, dikira hendak pergi, ternyata memanggil putri bungsunya masuk ke dalam. “Malam ini Estefania yang mengantarmu, hiduplah dengan baik dan … gunakan ini.”Mata sayu Livy melebar ketika Dad Leon mengeluarkan kartu, meletakkannya di telapak tangan. Kemudian pria paruh baya itu benar-benar keluar, meninggalkan dua wanita di dalam ruangan.Setelah semua prosedur siap, tepat melewati waktu tengah malam Livy bersama Estefania dan Penelope serta seorang perawat bergegas berangkat
“Te-terima kasih. Tolong Tuan … a-anakku masih kecil.” Luciana terisak perih membayangkan bayi mungilnya menangis kedinginan dan kelaparan bersama para pria asing.El hanya mengangguk pelan, ia tidak ingin melembutkan sikap hanya karena wanita di depannya ini. Bagaimana pun juga Luciana terlibat menyebarkan skandal semalamnya bersama Livy. “Konsekuensi dari kebohonganmu berakibat pada bayimu, paham?!” sentak El dengan sorot mata menusuk dan menguliti.“Ja-jadi be-begini Tuan … hari itu tiba-tiba mereka datang dan merebut anakku. Salah satu pria meninggalkan pesan untuk menemui Sergio, tapi …” Kedua tangan Luciana tekepal, tatapannya lurus ke depan, ia menelan air liur dan menggigit bibir bawah. “Sergio bi-lang … a-aku harus melakukan tugas agar Karla dibebaskan, katanya seseorang menjanjikan uang dan kebebasan. Tapi kenapa harus aku?” Kening El mengerut, sebelah alisnya terangkat dan kelopak mata menyipit. Ia berusaha mencerna penjelasan wanita di depannya—tidak masuk akal. Isi kepa
“Cukup jauh, kamu tenang saja tidak ada yang mengganggumu di sini. Udaranya juga segar ‘kan?” ujar Penelope membuka jendela kamar.Sedangkan Livy hanya terbaring sembari memeluk bantal dan menutupi tubuh dengan selimut. Sebab udara musim gugur terasa dingin di pagi hari, ia tersenyum simpul mengingat El selalu memeluknya.“Livy? Hey Livy kenapa melamun?” tegur Penelope merasa tak mendapat sahutan.“Livy, kamu mau makan apa? Aku mau jalan-jalan sekitar sini.” Estefania menyampirkan telapak pada bahu ibu hamil, menyadarkan dari kenangan yang berputar.“Oh, i-ya … apa saja, terima kasih,” jawab Livy gugup, menatap lekat wanita cantik berambut pirang dengan warna iris sama dengan El. Lagi, ibu hamil merenung, telah pergi menjauh, tetap bayang El selalu mengikuti. Membuat hatinya terluka karena meninggalkan pria itu begitu saja. Bukan karena tak cinta, hanya saja masalah datang silih berganti, Livy ingin El bisa hidup normal dan layak seperti sebelumnya.Semesta seakan mengetahui kerinduan
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa