kasihan Livy ya? (╯︵╰,)
“Dad, tapi bagaimana kalau Livy—“ ucap El terpotong.“Sekarang bukan saatnya, pulang dan temui Sonia! Biar Alonso yang mengurus Livy!” perintah Dad Leon tak terbantahkan.Terpaksa El menyetujui, dadanya bergemuruh dan terasa berat, seharian ini ia telah mengabaikan ibu dari anaknya. Sekarang … malah harus pulang karena berita itu, El khawatir pada keadaan Livy.Setibanya di mansion, ia merasa hening dan sepi, El bergegas ke kamar, memeriksa kondisi Sonia. Kening pria ini mengerut saat membuka pintu, karena melihat punggung sang istri bergetar. “Kamu kenapa?” tanya El dingin.“Ternyata ini alasan kamu dan Dad Leon pergi pagi-pagi sekali. Puas kalian! Berita perselingkuhan itu membuat karirku ikut terbawa,” hardik Sonia dengan mata dan hidung yang memerah.“Jangan menangis Sonia. Kemarilah!” El duduk di tepi ranjang, merentangkan kedua tangan dan memeluk istrinya. Ia juga mengecup puncak kepala Sonia, membelai lembut agar wanita ini berhenti menangis.Sedangkan di rumah sakit, Livy ter
“Kamu di mana, Sayang?” tanya El menggebu, ia sedikit bernapas lega.Setelah panggilan kesepuluh, akhirnya Livy menerima telepon. Pria ini kembali ke mobil dan memerintah Sonia untuk tidak bersuara, bahkan tatapan matanya begitu dingin.[Aku di taman rumah sakit, Kak.]“Tunggu aku di sana! Jangan ke mana-mana sebelum aku datang, mengerti?!” perintah El mengacung jari mengarah kepada Sonia.Model cantik ini menganga lebar, menatap tidak percaya karena El nekat menemui Livy. Padahal skandal diantara mereka belum reda, Sonia memutar bola mata, bersedekap dada dan berdecih.“Kamu mau meninggalkan aku lagi? El a—““Kamu istriku dan Livy ibu dari anakku, puas?! Dia juga memiliki hak mendapat perhatian dan perlindungan. Sebagian dari diriku sedang berjuang tumbuh demi terlahir ke dunia, ingat itu Sonia!” El tidak menerima bantahan atau beradu argumen.Saat ini, presdir rupawan hanya ingin menemui Livy. Meskipun mendapat laporan kondisi sang kekasih baik-baik saja, tetapi El tidak puas.Kuda b
“Tidak boleh!” El mengeratkan tangan di pinggul Livy, menatap penuh peringatan pada wanitanya. “Untuk apa ayahmu mengirim pesan? Biasanya juga tidak.”“K-kenapa Kak? Aku lama tidak ketemu ayah,” keluh Livy.Walau Tuan Fabregas lebih menyayangi Sonia, tetapi Livy menghargai serta berterima kasih pada pria paruh baya yang merawatnya sejak kecil. Ia sadar diri, diperlakukan berbeda karena hanya anak angkat yang diadopsi untuk menemani Sonia, bukan disayangi.“Hari ini kamu baru keluar dari rumah sakit, besok mau keluyuran lagi? Sayangi dirimu Livy! Setidaknya istirahat dua atau tiga hari. Aku tidak mau kamu sakit lagi!” tegas El lantas membalik tubuh, merubah posisi hingga kini mengukung Livy.Seketika bola mata coklat melebar, ibu hamil ini geleng-geleng kepala. Jelas sekali beberapa detik lalu El mengatakan padanya untuk istirahat, tetapi sekarang apa? Pria ini malah menatap damba dirinya.“Kak, jangan macam-macam. A-aku belum bisa.” Livy memalingkan wajah tetapi semburat merah teramat
“Tapi setelah ku pikir …” Sonia mencondongkan tubuh. Mendorong adik angkatnya hingga Livy nyaris kehilangan keseimbangan. “Lebih anak sialan itu tidak pernah melihat dunia. Bukankah bebanmu berkurang adikku sayang?” seringai Sonia.“Apa Kakak tidak punya hati?” tanya Livy suaranya bergetar antara marah, dendam, dan sakit hati bercampur menjadi satu.Satu jam lalu, Sonia yang datang lebih awal menjenguk ayahnya ke rumah sakit, mendengar keluh kesah mengenai kehamilan Livy. Pria paruh baya itu takut El menceraikan putri sematawayangnya, sehingga keberadaan janin dalam kandungan adalah ancaman besar.Apa lagi Sonia belum hamil hingga sekarang, menambah beban pikiran Tuan Fabregas yang ingin mempertahankan hak dan posisi Sonia. Bahkan Pria berkulit hampir keriput menyesal telah mengadopsi Livy, kedua orang ini pun berdiskusi mencari pemecahan masalah agar lekas tuntas.“Ayah tenang saja, kita bisa memaksa menggugurkan kandungannya atau merebut bayinya dan … membunuh Livy setelah melahirkan
“Selamat pagi, Kak.” Livy tersenyum manis lalu meletakkan sebotol air di atas meja.Manik coklatnya terkesima, dimanjakan oleh pemandangan menyegarkan pagi hari. Selesai menyiapkan sarapan kesukaan El, Livy menghampiri pria ini di ruang olahraga. “Pantas saja badan Kakak bagus, penthouse ini punya fasiltas lengkap. Tidak perlu pergi ke pusat kebugaran, jadi bisa hemat waktu.” Livy melirik setiap alat gym yang tersusun rapi.“Tidak juga, terkadang ke sana untuk mencari suasana baru. Setelah kamu melahirkan kita olahraga bareng, aku bisa menjadi …” El merengkuh pinggang Livy, menariknya hingga merapat padu tak berjarak, bahkan keringatnya pun menempel pada gaun tidur ibu hamil.“Menjadi apa?”“Tentu saja menjadi personal trainer terbaikmu, sayang. Apa lagi?” Seringai El berusaha mencari kesempatan di setiap waktu.Seketika Livy menggeleng cepat, kemudian menyampirkan telapak tangan pada bahu kokoh berkeringat. Mengusap dan memijat area itu secara perlahan, lalu berusaha menggelitik El.
“Alonso?!” panggil Dad Leon dengan kerutan pada kening, bahkan iris biru safir tidak percaya melihat laporan yang diberikan asisten pribadi. “Rasanya mustahil. Aku tidak percaya dia melakukan ini, bagaimana bisa?”“Saya dan tim telah memeriksa berulang kali Tuan. Kami juga tidak yakin tapi hasil di lapangan seperti ini,” ujar Alonso sembari menatap pada kertas dalam genggaman sang tuan.“Aku hubungi El, dia harus melihat ini. Sekarang kita ke ruang kerja!” titah Dad Leon berjalan lebih dulu, sembari meremas amplop coklat.Sedangkan di atas, dari balik railing pembatas, Sonia menyeringai puas. Model cantik nan seksi ini bisa bernapas lega dan mengukuhkan diri sebagai pemenang. ‘Ayah mertua tidak percaya aku pelakunya. Ternyata Sergio berguna juga,” desis Sonia dalam hati.“Mom harap pelakunya segera ditemukan,” tandas Nyonya Torres mengelus dadanya sendiri. “Benar ‘kan Sonia?”Sonia hanya mengangguk pelan, tentu saja dalam hati berkata ‘tidak!’. Mana mungkin wanita cantik itu rela berb
“Kami tidak salah pasien, data Nona masuk secara legal,” tukas perawat sembari menarik rak berisi peralatan silver. Tubuh Livy gemetaran antara menahan sakit, marah serta takut, ia menelan air liur saat melihat jajaran peralatan panjang dan tipis serta tabung kosong. Saat ini, pikirannya bercabang, manik coklatnya bergerak mencari jalan keluar.“Aku mohon … kalian pasti salah,” rintih Livy teramat lemah. Saat perawat mulai melebarkan kakinya,ia berteriak, Tidak! jangan sentuh bayiku!”Ia hendak turun dari ranjang, rasa mulas dan mual yang menyerang menahan pergerakannya, bahkan kedua tungkai tak kuasa menapak pada lantai. Livy melotot, menatap tajam pada dua orang dalam ruangan, lantas meraih salah satu alat yang berukuran paling besar. “Mundur! Jangan dekati aku! Kalian tidak berhak menyentuhku dan anakku!” bentak ibu hamil ini dengan bibir bergetar dan gigi saling beradu. “Aku bisa nekat, aku tdak peduli harus membunuh kalian. Katakan siapa yang membayar kalian?! Cepat!” Sorot mata
“Pergilah! Jangan takut, aku akan melindungimu! Kamu memerlukan tempat nyaman supaya bayimu sehat,” balas Dad Leon menentramkan jiwa.“Te-terima kasih Tuan. Aku mohon jangan beritahu siapa pun …” ringis Livy, ia ingin menyebut nama El tetapi tidak sanggup.Ia memang berniat menyingkir dari masalah, tidak sanggup tetap mengerti dan bertahan di tengah keadaan rumit. Hanya saja Livy menunda waktu, hatinya berat meninggalkan El.“Kamu tenang saja, El tidak akan mengetahuinya … jaga cucuku.” Dad Leon berjalan keluar ruangan, dikira hendak pergi, ternyata memanggil putri bungsunya masuk ke dalam. “Malam ini Estefania yang mengantarmu, hiduplah dengan baik dan … gunakan ini.”Mata sayu Livy melebar ketika Dad Leon mengeluarkan kartu, meletakkannya di telapak tangan. Kemudian pria paruh baya itu benar-benar keluar, meninggalkan dua wanita di dalam ruangan.Setelah semua prosedur siap, tepat melewati waktu tengah malam Livy bersama Estefania dan Penelope serta seorang perawat bergegas berangkat