Pagi Kak Bagi yang kemarin mengikuti giveaway, silakan cek DM ya. Ada satu orang belum balas Aku tunggu ya siang ini Kak 。◕‿◕。 terima kasih(◍•ᴗ•◍)❤
“Tidak apa-apa, aku yakin kamu bisa.” El menggenggam erat kedua tangan Livy.“Apa aku boleh sekolah lagi, Kak? Mungkin setelah El sedikit besar, kasihan kalau sekarang sering ditinggal.”“Apa pun untukmu, kapan kamu siap, bilang padaku, biar aku cari dan daftarkan masuk universitas.”Saat ini keduanya dalam perjalanan menuju rumah salah satu sepupu jauh Livy. Besar harapan El dan Livy pada pria yang usianya jauh di atas El. Menurut sumber informasi, sepupu jauh itu sama sekali tidak mendukung Sonia, sebab perselisihan diantara mereka sempat memanas. Sonia sengaja menggulingkan orang kepercayaan sepupu Livy demi menjabat sebagai pimpinan utama.Namun, sampai di rumah mewah, El dan Livy menelan kekecewaan. Lantaran sepupu itu sedang pergi ke luar negeri menjalani pengobatan penyakitnya. Alhasil, pasangan ini bergegas pulang ke mansion.“Di mana Al?” tanya Livy melihat babysitter baru saja memasukan ponsel ke dalam saku.“Tuan Muda tidur, sebaiknya Nyonya jangan mengganggu,” jawab pengas
“Livy?!”Seketika El dan Livy menoleh ke belakang, tidak lupa Alessandro mengikuti gerakan kedua orang tuanya. Pasangan ini terkejut melihat dua orang yang mereka kenali, salah satunya pria yang berdiri tegak sembari menggengam tangan wanita itu.“Dokter, kenapa ada di sini?” tanya Livy sembari memandang lekat wajah kikuk Penelope.“Oh itu, aku sedang jalan-jalan sama seperti kamu. Boleh ikut bergabung?” Penelope mendekat dan duduk di sisi Livy. “Selamat Sore Tuan Muda Torres,” sapa dokter cantik.Dokter kandungan itu segera mendekatkan bibir tepat ke telinga Livy, entah apa yang dibisikan karena ibu muda hanya mengangguk. Kemudian, Al berpindah dari gendongan ibunya ke atas pangkuan Penelope.“Bagaimana kalau kita makan malam bersama? Pasti lebih seru,” tawar Penelope memberi isyarat dengan sebelah mata.“Iya boleh, aku—“El menyela ucapan istrinya, pria ini menggeram serta mengepalkan tangan. “Tidak boleh! Kamu datang bersama pasanganmu, kenapa mengganggu kami?!”Tidak ingin acara k
“Karena pria yang pernah sekali bersel—“ Seketika suara Livy menghilang berganti dengan decapan khas pertukaran saliva.El mengetahui apa yang hendak keluar dari bibir candunya. Sebelum itu terjadi, ia lebih dulu mencecap rasa manis, membuat wanita ini melayang hingga melupakan rasa cemburunya.Bukan tidak senang, hanya saja El enggan membuang waktu dengan bertengkar. Lagi pula ia menjaga hati hanya untuk istri tercinta.“Kamu cinta pertamaku Livy, tidak ada yang lain, bukan wanita lain, hum?” ucap El usai melepas tautan bibir.“Tapi bagaimana kalau dia berniat menggoda Kakak?” Paras ayu Livy menekuk, sungguh ia tidak ingin kehilangan El. Bayang-bayang skandal masa lalu terpatri kuat, bagaimana hubungan keduanya dimulai karena sebuah kesalahan tak sengaja.El merangkum pipi sang istri, menatap lekat bola mata coklat menentramkan jiwa. “Kalau begitu pecat saja dia, apa susahnya? Kita cari yang baru, mudah bukan?” Sejenak ruangan ini sepi, Livy tidak menjawab pertanyaan El. Ia masih mem
“Apa? Kenapa mereka membatalkan janji seenaknya saja?” geram El menggebrak meja, sampai-sampai beberapa benda tergeser dari tempatnya.“Maaf Tuan, seharusnya tidak begini. Tapi saya baru mengetahui lima menit lalu,” sesal Alonso.Untuk pertama kalinya El merasa dipermainkan oleh klien, padahal mereka telah berkerja sama belasan tahun. Presdir tampan ini mengatupkan rahang, memejamkan mata, hendak berdiri dari kursi kebesaran.Namun, dering pada ponsel Alonso mengalihkan atensi El. Semula pria ini tampak acuh tak acuh karena semua pekerjaan pasti melalui tangan kanannya.Sayang, air muka Alonso nampak ganjil, bahkan asisten ini berani mencegah tuannya keluar ruangan. Tentu saja El menatap curiga pada pria paruh baya.“Tuan? Sopir bilang, Nyonya Livy tidak jadi pergi ke yayasan. Kepala pengawal juga mengatakan hal serupa,” tandas Alonso sembari menyerahkan beberapa pesan teks dari anak buahnya.“Apa?” Kening El mengernyit, lalu bermonolog, “Tadi, dia mengirim swafoto bersama El! Sekaran
“Direncanakan dengan baik, huh? Picik, berbisa dan mencari gara-gara denganku,” desis El mengepalkan tangan di atas paha. Pria ini tidak sabar segera tiba di lokasi, perasaannya tak tenang sebab para penjahat itu berada di pelabuhan. Benar-benar pemilihan tempat yang sangat bagus, El tidak menyangka rumah tangganya masih dihantui liku perselisihan masa lalu.“Berapa lama lagi kita sampai?” tanyanya dengan suara berat.“Sepuluh menit lagi Tuan. Sekitar tiga blok dari sini, saya sudah mengerahkan anak buah berjaga di sana. Tadi, mereka dihadang oleh mobil van hitam.” Lagi, Alonso menarik napas panjang, ia pun kembali berkata, “Pengasuh itu telah mempersiapkan semuanya.”“Brengsek! Aku tidak akan mengampuninya. Sekalipun dia menangis darah,” geram El dengan mata berkilat. “Lebih cepat lagi! Ngebut saja!” teriak pria dlengkapi gips pada kaki ini.Bukan hanya sopir yeng tersentak, tetapi Alonso juga. Pasalnya sangat jarang bahkan hampir tidak pernah El memerintah berteriak seperti itu. Kal
“Al, Alessandro … Al, maafkan Mommy,” gumam Livy dalam tidurnya.Kepala wanita ini bergerak ke kiri dan kanan, keringat bercucuran dari pori-pori, ia bermimpi putra kecilnya diambil oleh pasangan suami istri. Livy sesenggukkan, sebelah tangan terpasang infus berusaha menggapai bayinya.“Alessandro!” pekik ibu muda ini tertahan di tenggorokan.Ia mengerjap merasakan berbaring di atas kasur empuk, tetapi aroma obat menandakan di mana keberadaannya saat ini. Sekarang, Livy takut melebarkan mata, berharap jeadian buruk itu hanyaf mimpi dan Al tetap bersamanya.Perlahan, Livy melebarkan kelopak, plafon pemandangan pertama yang dilihat netra coklatnya. Ia mengedip, lelehan bening kembali terjatuh membasahi kulit.“Ini bukan mimpi?” tanyanya sembari mnegedarkan pandangan ke sudut kamar rawat. Ia tersenyum pilu, ketika melirik infus tertanam pada punggung tangan. Selain itu pergelangan tangannya membengkak, warna biru keunguan tercetak jelas.“Livy? Kamu sudah bangun? Terima kasih Tuhan, Mom
“Nyonya, dengarkan aku! Anak dalam gendongan Anda, dia putraku!” geram El menahan amarah.Bukan tanpa alasan, sebab wanita itu tampak tidak normal, atau mungkin hanya perasaan El—seakan memiliki gangguan mental.Sekarang El dan Ed dikelilingi oleh penjaga villa yang berdatangan—melindungi sang nyonya. Sebagian dari mereka mengacungkan benda berbahan logam, digunakan untuk melontarkan proyektil melalui laras ke arah sasaran.Seketika kakak beradik ini terdiam, mereka mengangkat tangan, sembari fokus pada wanita di depan. Teriakan itu mampu mendatangkan penjaga lain dari ruang istirahat.“Bukan! Dia anakku, bukan anakmu! Aku mendapatkannya hari ini, jadi … jangan sembarangan mengaku!” kilah wanita itu mendekap Al sangat erat hingga bayi mungil merasa kesakitan.“Nyonya, aku mohon. Lepaskan anakku, mereka sengaja menjualnya pada Anda,” tutur El seraya menggeser maju kedua tungkai.Tiba-tiba suara bariton menggema dari ruangan lain. Derap langkah kian mendekat ke area ini, ekor mata El mel
“Kenapa bisa begini. Kak, bangun,” lirih Livy, tak sekalipun beranjak dari sisi suaminya.Tampaknya Dewi Fortuna masih menaungi El, tadi beberapa petugas segera datang membantu, membawa pria ini ke ruang pemeriksaan. Bukan hanya itu, karena dilanda cemas, Livy meminta Alonso agar menyatukan kamar mereka. Ia tidak mungkin bolak-balik dari satu kamar ke kamar lain. Kondisi El membuatnya tidak bisa menjauh.“Terima kasih telah menyelamatkan aku dan Al. Kamu … pria terhebat yang pernah aku temui,” gumam wanita berparas ayu seraya menggenggam jemari El. Tetesan hangat pun berjatuhan, membasahi punggung tangan berhias urat. Livy juga menolak saran mertua untuk istirahat di atas ranjang, karena terdapat ruang diantara brankar.“Hu’um, sama-sama Sayang. Akhirnya cita-citaku tercapai,” kelakar El dengan mata tertutup tetapi seringai jahil terukir pada bibirnya.Alis Livy tertaut, ia menajamkan telinga, memastikan pendengarannya masih sehat. “Cita-cita?”“Iya, menjadi superhero, setidaknya ber
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa