Saat itu juga sepasang mata rekan kerja Tiara membulat. Ia merasa kasihan pada Tiara ketika awal bekerja, ia begitu bersemangat karena ada laki-laki yang ia sukai dari negara, bahkan satu kota. Kini hatinya seolah porak poranda ketika Calvin memesan kue ulang tahun untuk kekasihnya. "Hellooo ... Tiara?" Calvin melambaikan tangannya tepat di depan wajah Tiara. "Eh, iya, Liam. Maaf," ucap Tiara yang ketahuan melamun. Sementara rekan kerjanya memilih ke dapur untuk mengecek kue yang ada di oven. "Bisa dibuatkan kue pesananku?" "Oh ... tentu dong, bisa. Silahkan, kamu duduk dulu, ya, Liam." Tiara terburu-buru berjalan ke dapur. Bukan untuk membuatkan kue pesanan Calvin, tetapi ia terburu-buru karena ingin menangis. "Dia udah punya cewek," gumam Tiara ketika ia memeluk erat rekan kerja sekaligus sahabatnya. "Sabar, Ara. Toh, kamu juga baru kenal, bahkan kalian baru satu kali bertemu. Pasti tidak akan sedalam itu sakit hatinya," ujar sahabat Tiara yang mencoba menenangkan. Tiara mas
Usia kandungan Diandra kini sudah menginjak angka empat. Perutnya masih saja terlihat langsing, hanya pinggangnya saja yang saat ini menjadi lurus tanpa lekuk karena ada kenaikan berat badan. Rasa mual pagi hari pun perlahan menghilang. "Cucikan sepatuku!" Dewa melempar sepatu kotornya dan Diandra meraih tanpa menjawab apapun. Bagi Diandra, saat ini yang penting kesehatan dirinya agar dapat mengandung dengan baik tanpa adanya rasa stres yang menggelayuti dirinya. "Sini, biar saya aja, Non," ucap pembantu rumah tangga Ratna."Tidak usah, Bi. Aku bisa sendiri, Bibi kerjain yang lain aja." "Baiklah, Bini permisi, ya, Non?" Pembantu itu berlalu pergi. Diandra mulai membasahi sepatu yang penuh dengan lumpur dan tanah kering. Maklum saja, sepatu itu memang sengaja ia pakai di perkebunan. "Tuh, sekalian!" Dewa melempar baju dan celana kotor tepat di depan Diandra. Wanita hamil itu hanya menghela napas, lalu mengempaskannya perlahan tanpa membantah sedikitpun. "Diandraaaa!!!" Dewa mem
"Nav, bangun. Naveen!" Sahabat Naveen membangunkannya. Ternyata ia tertidur di dekat kolam dan temannya tersebut menyipratkan air pada wajahnya. "Astaga!" Naveen terperanjat. "Lu mimpi apa, si? Sampe teriak begitu.""Ini jam berapa?" Naveen malah bertanya hal lain. "Yeee ... ditanya apa, jawabnya apa. Jam sebelas malam. Kenapa?" "Gue mau balik!" "Udah malem, Nav. Mending lu balik besok pagi aja selepas salat Subuh," saran dari temannya. "Enggak, perasaan gue kagak enak, Bro! Gue cabut, ya? Kapan-kapan gue pasti main ke rumah lu, bye!" Naveen bangkit dan berlalu pergi. "Hati-hati!" Teriakan dari sahabatnya yang terdengar pelan karena Naveen sudah ada di halaman rumah sahabatnya itu. Naveen memacu kendaraan roda duanya dengan kencang. Bak seorang pembalap, sepeda motornya begitu melesat cepat menuju tempat tinggalnya. Hingga sekitar dua puluh menit perjalanan, akhirnya motor yang dikendarai Naveen sudah sampai di pekarangan rumah. Baru juga Naveen turun dari motornya, scurity
Tiara merasa kehilangan karena Calvin akan pulang ke Indonesia. Sejak berapa kali pertemuannya begitu sangat berarti menyimpan kenangan indah baginya. Meski tidak ada hubungan, Calvin cukup berkesan di mata dan hati Tiara. "Dwar!" Sahabatnya yang bernama Cinta mengagetkannya. "Ya ampun, Cin. Kamu ngagetin aku aja, deh." Mata Tiara mendelik kesal pada Cinta."Kamu ngapain, sih? Bengang-bengong gitu. Enggak baik, tau." "Dih, percaya mitos!" "Yee ... adanya mitos karena sering kejadian, Ara. Lagian kamu ngelamunin apa, sih? Jangan bilang ngelamunin Liam yang balik ke Indonesia?" Cinta menatap Tiara dengan sorot mata tajam. Tiara terdiam. Karena apa yang dikatakan oleh Cinta semuanya benar. Ya, pertemuannya dengan Calvin menorehkan kesan tersendiri untuk Tiara. Kesan baik dan tampan sungguh ada pada diri Calvin Liam. Sosok laki-laki yang baru ia temui di negara rantauan. "Ara, jangan bilang kamu jatuh cinta pada sosok Liam yang baru kamu temui beberapa kali saja?" tebak Cinta dan l
"Mas! Mas Dewa!" Diandra berteriak memanggil nama suaminya. Namun, mobil itu masih melaju di antara padatnya kendaraan. Diandra berlari mengejar karena penasaran. Hingga akhirnya mobil tersebut terhenti karena terjebak macet. "Mas Dewa?" Diandra berucap dan laki-laki yang sedang menyetir itu pun melirik. "Mas ngapain?" Dewa terlihat bingung saat Diandra berada di pintu samping mobilnya. "Turun, Mas! Coba jelasin sama aku."Diandra menuntut penjelasan yang sesungguhnya sudah benar-benar jelas kalau Dewa dengan wanita lain. Terlebih saat ini suaminya hanya bekerja di perkebunan dan mengelola bisnis lain yang mulai ia rintis bersama Bayu. "Ngapain kamu di sini?" "Ini kampus aku, Mas. Yang ada ngapain Mas dengan wanita lain? Kenapa hape Mas enggak aktif?"Belum juga Dewa menjawab, bunyi klakson motor dan mobil terdengar begitu bising memekakkan telinga. Serta beberapa orang yang berada di belakang mobil Dewa terdengar protes karena mobilnya menghalangi jalan mereka. "Mas!" Diandra
"Aarrggghhh ...." Naveen tersadar dari pingsannya. Ia membuka mata dan rasanya masih sangat pusing. "Rupanya gue ada di kamar," gumam Naveen ketika ia telah sadar.Naveen mencoba kembali memejamkan mata karena saat matanya terbuka, kepalanya terasa semakin sakit. Tidak berselang lama terdengar suara pintu kamar yang didorong dan Naveen masih ada di posisi yang sama saat ia pingsan. "Nav, kamu harusnya enggak usah ikut campur urusan rumah tanggaku. Aku udah anggap kamu adik, tapi aku juga enggak mau ada hal buruk yang menimpamu," ucap Diandra. Ia belum mengetahui kalau sesungguhnya Naveen sudah sadar dari pingsannya. Diandra mengusap lembut kepala Naveen. Meskipun ia tidak memiliki adik, tetapi saat ini ia merasa menjadi seorang kakak yang ingin melindungi adiknya. Naveen memang selalu menjahilinya, tetapi saat melihat raganya tidak berdaya, rasa teramat bersalah tidak dapat melindungi adiknya telah dirasakan oleh Diandra. "Nav, jangan nakutin aku. Cepat bangun." Diandra menggoyang-
Dari hari ke hari sikap Dewa semakin dingin dan galak. Mereka seperti sudah tidak saling mengenal dan pernikahan mereka seolah hanyalah status saja. Diandra memutuskan untuk melamar pekerjaan. Ia sudah bersiap mengenakan kemeja putih dan rok pendek selutut serta membawa perlengkapan data dan surat untuk melamar pekerjaan di salah satu perusahaan. Berbekal sisa uang tabungan dulu, ia bertekad menempuh perjalanan menggunakan bus agar lebih hemat untuk menuju perusahaan satu ke perusahaan lainnya. Bukan perkara mudah mencari pekerjaan meski berbekal ijazah mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Diandra ke sana ke mari untuk mendaftarkan surat lamaran kerja, tak ayal tolakan demi tolakan pun terdengar di telinganya meskipun di sana jelas tertulis kalimat 'MEMBUTUHKAN KARYAWAN/KARYAWATI'."Ya Allah ... sulit sekali melamar kerja. Jangankan untuk melamar, hanya menitipkan lamaran pekerjaan, pun, sulit sekali. Gimana aku bisa menghasilkan uang?" keluh Diandra, mana ia suda
"Diandra!" Menggelegar suara Dewa mengagetkan istrinya yang sedang terlelap. Waktu menunjukkan jam sebelas malam. "Iya, Mas. Kenapa teriak-teriak? Ini udah malam, loh, Mas. Takut ganggu Tante sama Om," ucap Diandra. "Kamu semakin ke sini semakin berani menjawab sesukamu padaku!""Maaf, Mas. Aku tidak bermaksud menjadi istri pembangkang atau durhaka, tapi ini memang larut malam. Apa yang Mas butuhkan? Tidak usah teriak, Mas. Maluuuu ...." ucap Diandra pelan. "Kamu tau, kan, kalau bisnis sampinganku di ujung tanduk? Aku tidak punya bisnis apa-apa lagi selain ikut Om Bayu di perkebunan.""Lantas? Apa yang menjadi masalah? Bukankah kita pindah ke sini juga karena Mas yang meminta?" Dewa melangkah menghampiri Diandra. Tangannya kini menelusup pada tengkuk Diandra, perlahan jemari Dewa meremas rambut Diandra kemudian menariknya cukup kencang dengan sorot mata tajam yang begitu dekat. "Kau tau kenapa dulu aku menikahimu, hah?" tanya Dewa pelan dengan sorot mata penuh kebencian. "Agar ak
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa usia pernikahan Calvin dan Diandra sudah menginjak dua tahun. Tepat di hari pernikahan mereka yang kedua, perut Diandra terasa mulas saat siang hari. Betapa syoknya dia ketika melihat celana dalamnya ada bercak darah dan ia pun berteriak."Bi! Bibi! Tolong aku!" teriakan itu menggelegar ketika rasa mulas sedikit mereda. Rasa mulas bercampur sakit yang datang lalu menghilang, datang dan menghilang, terus saja terulang hingga ritmenya semakin cepat. "Iya, Non." Pembantunya datang menghampiri. "Aku udah mules-mules, Bi. Di celanaku juga udah ada bercak darah. Apa aku mau melahirkan, ya?" tanya Diandra sambil memejamkan mata menahan rasa sakit dan mules. "Iya, Non, sepertinya cepat itu. Mari Bibi tolong, Non Diandra duduk dulu di tempat tidur dan Bibi akan panggil dulu Pak Winoto," ujar asisten rumah tangga itu yang akan memanggil laki-laki yang menjadi sopir. Diandra mengangguk dan berjalan ke tepi ranjang dibantu oleh asisten rumah tanggany
Rumah dua lantai yang terlihat elegan di atas lahan yang luas di depan, belakang serta samping kiri dan kanannya kini sudah selesai dengan rentan waktu sekitar enam bulan pengerjaan. Calvin dan Diandra kini sudah tinggal di rumah tersebut. Diandra mengatur segala perabotan di rumah itu. Ia merasa bahagia hidup bersama Calvin. Rasa syukur atas limpahan rahmat dan kebahagiaan yang menurutnya sempurna dari Tuhan. Mulai dari memiliki suami yang baik, sabar, tampan dan begitu perhatian padanya. Keadaan mereka yang tentu saja tidak merasa kekurangan bahkan dapat dikatakan bergelimang harta tetapi tidak sama sekali membuat mereka merasa tinggi hati. Seperti saat ini, Diandra dan Calvin berencana ke panti asuhan sekadar ingin memberikan santunan wajib untuk anak-anak yang mungkin kurang beruntung. "Sudah siap, Sayang?" Calvin berbisik pada istrinya yang sedang duduk di kursi riasnya. "Dikit lagi, kamu tunggu di mobil aja, Ko. Enggak lama, tinggal dikit lagi," jawab Diandra sambil menepuk-
Calvin terbangun. Antara merasa sadar dan bermimpi saat ia merasa ada seseorang yang terisak. Perlahan matanya terbuka dan ia sempat terkejut saat istrinya terlihat duduk memunggunginya dengan suara tangis pelan. "Sayang? Kamu kenapa?" tanya Calvin setelah ia duduk di samping Diandra. Diandra tidak menjawab, ia masih terisak dan tidak mau menatap suaminya. Lagi-lagi Calvin cukup kesulitan mengorek tentang apa yang sedang dirasakan oleh Diandra. Padahal seharusnya Diandra sudah lebih bisa terbuka pada Calvin. Namun, nyatanya traumatik itu cukup sulit dihilangkan. Trauma tentang kepercayaan yang ternodai oleh perselingkuhan masih terbawa hingga dipernikahannya yang kedua. "Coba jelaskan, please, Ket. Kalau seperti ini terus, gimana aku tau salah aku di mana?" "Maafin aku." Diandra berucap bersama suara tangis serta air mata yang tertumpah di pipi, bahkan pangkal hidungnya pun sudah memerah karena terus-menerus menangis. "Sini." Calvin memeluk erat Diandra. Calvin memberikan waktu b
Pernikahan Calvin dan Diandra sudah berjalan tiga bulan. Mereka tampak bahagia meski di awal-awal pernikahan cukup banyak penyesuaian. Ya, pasti akan ada banyak hal yang harus diterima, dimaklumi dan diubah. Mereka saat ini dua kepala yang harus menjadi satu hati. Dua pemikiran yang harus bisa sejalan tentu saja sulit. Namun dengan saling menerima dan saling melengkapi akan dapat dijalani dengan baik, meski di awal-awal pasti akan terasa sulit. "Sarapan dulu, Ko!" Diandra berteriak di meja makan memanggil Calvin. Saat ini Diandra memilih menjadi istri yang full time di rumah, tentu saja mengurus rumah dan suaminya. Memanjakan diri dengan aktivitas yang ia sukai dan meninggalkan kantor di mana ia bekerja. Hal ini atas kesepakatan mereka berdua tentunya. "Iya, Sayang!" jawab Calvin yang keluar dari kamar bersama dasi yang ia pegang. Diandra bangkit dari kursi, lalu meraih dasi itu untuk dipakaikan di kerah kemeja suaminya. Calvin menatap wajah yang terlihat khusuk memasangkan dasi,
Calvin dan Diandra saling menatap, wajah mereka berdua terlihat bingung dan juga panik. "Mas? Mas Dewa?" Diandra mencoba menepuk-nepuk tangan Dewa, tetapi tidak ada pergerakan. Calvin meletakkan telunjuk di bawah hidung Dewa bermaksud mengecek napas laki-laki yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Lalu melanjutkan pada pergelangan tangan untuk mengecek detak nadinya. Hilang. "Kamu tunggu di sini, aku akan kembali secepatnya." Calvin gegas persegi dari ruang inap Dewa. Diandra bingung dengan sikap Calvin, hatinya berkata kalau ada hal buruk menimpa Dewa. Ia ingin mengecek tubuh Dewa, tetapi rasa takutnya membuat nyalinya menciut. Lima, sepuluh, lima belas menit berlalu Calvin belum juga kembali hingga akhirnya Diandra nekat untuk mengecek keadaan mantan suaminya. Mulai napas dari hidung, detak di nadi dan perlahan meski terasa sesak, ia memberanikan menempelkan telinganya pada dada Dewa yang masih terpejam tak berdaya. Mata Diandra membulat ketika tanda-tanda kehidupan tidak ditunjuk
Dewa telah dipindah ruangan. Saat ini Magdalena masih setia menjaganya. Kekhawatiran menyelimuti wajah cantik Magdalena setelah enam jam berlalu, Dewa belum juga siuman. Padahal, kata dokter kondisinya sudah stabil. Sekitar jam delapan malam akhirnya ada pergerakan dari tubuh Dewa. Bibirnya mengatup-atup, tetapi belum ada suara. Sontak, Magdalena pun terlihat bahagia dan takjub bahwasannya seseorang yang ia cintai telah sadar dari komanya. "Dewa?" Magdalena menggenggam tangan Dewa dengan hangat. "Andraaaa ...." lirih Dewa dengan tatapan kosong melihat langit-langit kamar inap. Ada yang sakit, tetapi tidak berdarah ketika Dewa malah menyebutkan nama wanita lain padahal yang menjaga dan membawanya ke rumah sakit itu Magdalena. Namun, ia tidak bisa marah ketika menyadari begitu mengkhawatirkannya keadaan Dewa saat ini. Rasa ibanya mengalahkan rasa kecewa yang dirasakan Magdalena. **Pernikahan Diandra semakin dekat. Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Perbincangan hangat pun
Sudah semakin dekat pernikahan antara Calvin dan Diandra. Mereka masih sama-sama sibuk dengan urusan pekerjaannya. Seluruh staf kantor pun telah mengetahui kabar bahagia mereka hingga saat ini semua bungkam dengan memberi julukan janda gatal pada Diandra. Apalagi nanti ia akan menjadi anggota keluarga dari tempat mereka bekerja. Entah mengapa Calvin ingin terus bersama Diandra. Ia seolah tidak ingin menjauh meski sekejap saja. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjemput calon istrinya saat menjelang pulang. Sesungguhnya Diandra sudah mendapatkan cuti menikah dari beberapa hari yang lalu agar ia bisa mempersiapkan pernikahannya dengan lebih fokus dan mengistirahatkan tubuh dan otaknya dari rutinitas pekerjaan. Namun, ia tidak ingin melalaikan semua pekerjaan yang belum usai. "Sayang?" sapa laki-laki yang saat ini sudah ada di pintu ruang kerjanya. "Koko?" jawab Diandra dengan ekspresi heran melihat calon suaminya ada di hadapannya. "Udah selesai?" tanya Calvin sambil melangkah me
Hari pernikahan sudah semakin dekat. Baik Calvin dan juga Diandra masih sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Namun, tidak dengan Dewa yang malah diusir dari rumah Magdalena kerena sudah berbeda pemikiran. Magdalena yang sibuk di kantor dengan segudang pekerjaan yang harus ia selesaikan menjadikan perasaannya terkadang kurang baik. Apalagi Dewa semakin cuek padanya. "Aku sudah salah memilihmu, Lena!" kesal Dewa saat diusir dari rumah mewah istrinya. "Aku juga udah capek dengan sikap kamu, Dewa! Ada baiknya memang kita bercerai!" Dewa tersenyum sarkas. "Itu hanya hal yang sangat mudah bagiku, Nona. Detik ini juga, aku ceraikan kamu!" tegas Dewa. Magdalena tercengang, ia tidak mengira kalau Dewa bisa semudah itu menceraikan dirinya. "Kenapa diam? Kita udah resmi bercerai, kan? Tidak usah mengetuk palu karena kita hanya menikah secara agama tanpa ada hukum yang mengatur perceraian." Dewa melenggang pergi. "Pergi! Pergi sana dan jangan harap aku akan mau kembali padamu, Dewa. Ing
Diandra mengobati luka pada wajah Calvin terutama di bagian sudut bibirnya yang hingga mengeluarkan cairan merah kental. "Pelan-pelan, Ket." Calvin meringis."Makanya enggak usah berantem, loh, Ko." Diandra mengerucutkan bibir. "Gimana gue gak emosi, coba? Liatin lu dipaksa-paksa begitu." "Iya, tapi enggak harus berkelahi gitu, kan?" "Gak bisa! Siapapun yang berani menyakiti lu, gue gak akan terima." Diandra menghela napas karena tidak mungkin untuknya saat ini membantah ucapan Calvin. Dari sudut lain, Calvin memang begitu terlihat menyayangi Diandra sehingga ia tidak rela kalau sampai ada orang yang menyakiti kekasihnya itu. *** Calvin memutuskan untuk menikah dengan Diandra. Sudah hampir satu tahun Diandra bergelar janda. Perkenalan antara Diandra dan orangtuanya pun sudah terjadi satu Minggu lalu. Tanggal cantik pun telah ditetapkan oleh keduanya dan tentu saja telah mendapatkan restu dari kedua orang tua Calvin. Leona yang awalnya sempat menentang karena status janda Dian