Dewa melesat kencang ke rumah Magdalena. Begitu miris, ia seolah lupa akan istrinya dan meninggalkannya demi orang lain. Cinta buta atau hawa nafsu yang ada dalam otak Dewa saat ini? "Ayu ke mana?" tanya Dewa setelah motor masuk ke pekarangan rumah. "Sepertinya ada di kamarnya, Mas. Kami dari tadi berjaga di pos karena keadaan di kompleks sini sedang––" ucap scurity itu terhenti karena Dewa memilih pergi. Dewa langsung masuk ke rumah tanpa mau mendengar penjelasan scurity, lalu ia berjalan menuju ke kamar Dahayu. Saat ini Dewa melihat Dahayu yang sedang terbaring, tetapi sepertinya tidak ada luka di tubuhnya. Mungkin terkilir saja, karena tidak ada perban yang menempel di area tubuhnya. Pikir Dewa saat ini. "Ayu? Kamu tidak apa-apa? Bukankah tadi kamu memakai perban?" tanya Dewa dengan wajah yang terlihat bingung. "Maaf, tadi aku ambil foto di internet," gumam Dahayu sambil merundukkan pandangan tidak berani melihat pada wajah Dewa. "What?!!!" Sepsang mata membulat ketika dia
"Danu itu siapa, Mas?" todong Diandra saat Dewa baru saja masuk rumah. "Suami datang itu disapa, mau dibikinkan kopi, Mas? Mau mandi atau mau makan dulu, Mas? Ini malah mencecar hal yang tidak penting," elak Dewa kemudian berlalu ke kamar membiarkan istrinya duduk di sofa ruang tamu sendirian. Diandra mengikuti Dewa masuk ke kamar. Laki-laki tersebut terlihat membaringkan tubuhnya di ranjang dan membiarkan ponsel itu di nakas. "Mas bilang enggak penting?" tanya Diandra yang sudah ada di depan pintu kamar. Dia berjalan dan saat ini berdiri tepat di samping ranjang. "Apa Mas tidak melihat kekhawatianku, ketika semalam Mas pergi dan baru datang ketika jam enam pagi? Aku khawatir, Maaaasss!" "Aku, kan, udah pulang. Aku capek, mau istirahat. Tidak usah kamu tanya-tanya perihal apapun sama Mas!" Bahkan panggilang sayang, pun, kini sudah menghilang dari bibirnya. Apakah benar apa yang ada dalam prasangka Dini, ya? Apa salah aku terlalu percaya pada suamiku? Batin Diandra dengan berurai
Diandra semakin kehilangan sosok Dewa yang baik, dewasa dan bertanggung jawab. Sosoknya begitu berubah. "Mas, coba terangin ini sama aku." Diandra memperlihatkan ponsel yang masih menampakkan isi pesan dari nomor yang tidak disimpan dalam buku telepon. "Itu hanya chat biasa." Dewa meraih ponsel dari tangan Diandra, lalu memalingkan pandangan. "Bilang rindu, kata Mas chat biasa?" Sepasang mata Diandra memerah, terasa perih saat menahan amarah dan sakit hatinya. "Tolong bilang sama aku, dia itu siapanya, Mas?" Satu detik setelah kata itu keluar, air mata pun ikut menyertai rasa sakit hatinya. "Nangis lagi, nangis lagi, aku lelah!" Dewa hendak beranjak pergi. Namun, Diandra langsung menghalangi langkah suaminya. "Stop! Aku ingin mengetahui semuanya, Mas. Dari dulu aku diam, aku tidak banyak bertanya siapa majikan Mas, ada siapa aja di rumah itu, gaji Mas berapa, itu semua bukan karena aku cuek, Mas. Tetapi karena aku percaya sama kamu! Aku percaya kalau kamu tidak akan selingkuh!"
Penyesalan sepertinya sudah tidak berarti. Pernikahan telah terjadi dan tidak dapat kembali ke masa lalu di mana Diandra harusnya mendengarkan ucapan Amira. 'Bruk!' Suara pot bunga terjatuh dari lantai rumah. "Siapa itu?" Amira bertanya dengan suara cukup kencang dalam kamar. "Jangan-jangan ada maling lagi," gumam Amira kemudian membuka bawahan mukenanya. Diandra yang berada di luar tentu saja langsung mengusap air matanya. Dia tidak ingin ibunya tahu kalau dirinya menangis. Apalagi, tangisan ini karena perbuatan menantunya. "Andra?" ucap Amira saat sapu sudah berada di tangannya. "Ibu kira ada maling. Soalnya sudah beberapa hari ini kampung kita kemalingan terus. Gimana kabarmu, Nak?" Amira menjatuhkan sapu, lalu berjalan dan memeluk erat Diandra dalam pelukannya. "Baik, Bu. Ibu gimana kabarnya?" tanya Diandra yang masih sibuk mengusap air mata tanpa sepengetahuan Amira. "Alhamdulillah, Ibu baik, Nak." Amira melepaskan pelukannya. "Kok, kamu pulang enggak kasih kabar Ibu, sih?
Sudah tiga hari Diandra berada di Surabaya. Ia bahagia di sana karena bisa memeluk ibu dan ayahnya, serta bertemu beberapa teman-teman di masa sekolah dulu. Namun, ada yang dikhawatirkan oleh Amira saat putrinya tidak pernah membahas Dewa, pun sebaliknya. Setahu Amira, Dewa tidak pernah menelepon putrinya."Andra." Amira memanggil dengan penuh kelembutan. "Iya, Bu," jawab Diandra. "Ibu mau ngomong serius sama kamu," papar Amira dengan sorot mata serius tetapi teduh. Diandra mengangguk. "Sebenarnya ada apa Antara kamu dan Dewa? Kalian bertengkar?" Amira langsung bertanya pada pokok inti yang dianggap permasalahannya."Ndak, Bu." Begitu pelan Diandra menjawab. "Ndak usah bohong sama Ibu, Nduk." Diandra diam sejenak, bahkan hanya memandang wajah ibunya saja tidak berani dan hal ini yang membuat Amira tambah yakin kalau memang putrinya ada masalah dengan suaminya. "Sini, cerita sama Ibu." Diandra membaringkan kepalanya di pangkuan Amira. Penuh kelembutan, Amira mengusap pucuk kepa
Setelah beberapa kali mencoba, bahkan Dewa sudah dua kali menuju titik kenikmatan, barulah mereka sama-sama menikmatinya berbarengan. Dewa melihat ekspresi istrinya yang terlihat lemas dengan kedua mata terpejam serta napas yang ia tarik dan hembuskan panjang. Dewa mencium pucuk kepala Diandra, lalu memeluknya erat. "Makasih, Mas." Diandra mengucap ketika telah membukakan mata dan Dewa pun tersenyum. Semoga ini awal dari perbaikan rumah tangga kita, Mas. Diandra berucap dalam hatinya. Malam itu keduanya tertidur lelap setelah melakukan aktivitas intim di ranjang sebagai pasangan suami istri. Keduanya saling berpelukan, tetapi entah kenapa Diandra masih merasakan perbedaan dari suaminya. **Dewa baru menyadari adanya kalung setengah hati yang dipakai oleh istrinya. Ia pun bertanya pada Diandra tentang siapa yang memberikannya. "Ini dari Ibu, Mas. Waktu kemarin aku pulang. Ibu memberikan ini padaku," ucap Diandra. "Oh ... kirain dari mantan pacar kamu," ucap Dewa yang sepertinya t
Dewa berjalan malas menuju teras depan rumah. Di sana terlihat Diandra sedang berdiri di dekat kWh token listrik. "Tolong masukin nomornya, Mas. Aku enggak sampe. Naik kursi takut jatuh," pinta Diandra ketika suaminya mendekat. Tanpa ada ucapan, Dewa menolong istrinya dan Diandra mulai menyebutkan dua puluh digit angka yang tertera di struk pembelian. "Udah," ucap Dewa ketika telah memasukkan dua puluh digit angka pada kWh token. "Makasih, ya, Mas." Diandra tersenyum. "Sepertinya hari ini aku enggak jadi libur." Dewa berucap."Loohhh ... kenapa begitu?" Diandra terlihat sedih. "Barusan dihubungi bos, katanya ada hal penting mendadak. Mungkin tidak sampai larut malam seperti biasanya." "Oh ... begitu? Ya udah, deh. Hati-hati, ya, Mas?" "Aku berangkat, ya?" Diandra mengangguk meskipun terasa berat. Ia merasa saat ini suaminya susah sekali mempunyai waktu untuknya. Berangkat pagi, pulang larut malam, begitu terus setiap harinya. Dewa sudah bersiap untuk pergi. Dia tidak memberi
Dewa telah menceritakan semuanya pada Diandra untuk tinggal bersama Om dan Tantenya. Awalnya Diandra menolak karena biduk rumah tangga harusnya berdiri dari satu nahkoda/satu pemimpin dalam rumah untuk meminimalisir terjadinya campur tangan orang lain pada urusan rumah tangga mereka. Namun, akhirnya Diandra menyerah karena sang suami sudah memutuskan hal tersebut.Akhirnya Diandra membereskan baju-baju mereka yang akan dibawa ke dalam koper besar. Sedangkan rumah mereka akan dikontrakkan. Ada raut kesedihan pada wajah Diandra ketika mobil taksi berjalan menjauh dari rumah sederhana mereka. "Tidak usah sedih, di rumah sana lebih bagus dan lebih besar dari rumah kita. Toh, itu rumah juga tidak akan dijual. Jadi, kalau kamu rindu bisa berkunjung ke rumah kita," ucap Dewa yang tidak mendapatkan jawaban apa-apa dari istrinya. Sepanjang perjalanan mereka berdua membisu. Entah kenapa Diandra begitu berat meninggalkan rumah mungil itu. Hingga akhirnya kebisuan telah berakhir setelah taksi b
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa usia pernikahan Calvin dan Diandra sudah menginjak dua tahun. Tepat di hari pernikahan mereka yang kedua, perut Diandra terasa mulas saat siang hari. Betapa syoknya dia ketika melihat celana dalamnya ada bercak darah dan ia pun berteriak."Bi! Bibi! Tolong aku!" teriakan itu menggelegar ketika rasa mulas sedikit mereda. Rasa mulas bercampur sakit yang datang lalu menghilang, datang dan menghilang, terus saja terulang hingga ritmenya semakin cepat. "Iya, Non." Pembantunya datang menghampiri. "Aku udah mules-mules, Bi. Di celanaku juga udah ada bercak darah. Apa aku mau melahirkan, ya?" tanya Diandra sambil memejamkan mata menahan rasa sakit dan mules. "Iya, Non, sepertinya cepat itu. Mari Bibi tolong, Non Diandra duduk dulu di tempat tidur dan Bibi akan panggil dulu Pak Winoto," ujar asisten rumah tangga itu yang akan memanggil laki-laki yang menjadi sopir. Diandra mengangguk dan berjalan ke tepi ranjang dibantu oleh asisten rumah tanggany
Rumah dua lantai yang terlihat elegan di atas lahan yang luas di depan, belakang serta samping kiri dan kanannya kini sudah selesai dengan rentan waktu sekitar enam bulan pengerjaan. Calvin dan Diandra kini sudah tinggal di rumah tersebut. Diandra mengatur segala perabotan di rumah itu. Ia merasa bahagia hidup bersama Calvin. Rasa syukur atas limpahan rahmat dan kebahagiaan yang menurutnya sempurna dari Tuhan. Mulai dari memiliki suami yang baik, sabar, tampan dan begitu perhatian padanya. Keadaan mereka yang tentu saja tidak merasa kekurangan bahkan dapat dikatakan bergelimang harta tetapi tidak sama sekali membuat mereka merasa tinggi hati. Seperti saat ini, Diandra dan Calvin berencana ke panti asuhan sekadar ingin memberikan santunan wajib untuk anak-anak yang mungkin kurang beruntung. "Sudah siap, Sayang?" Calvin berbisik pada istrinya yang sedang duduk di kursi riasnya. "Dikit lagi, kamu tunggu di mobil aja, Ko. Enggak lama, tinggal dikit lagi," jawab Diandra sambil menepuk-
Calvin terbangun. Antara merasa sadar dan bermimpi saat ia merasa ada seseorang yang terisak. Perlahan matanya terbuka dan ia sempat terkejut saat istrinya terlihat duduk memunggunginya dengan suara tangis pelan. "Sayang? Kamu kenapa?" tanya Calvin setelah ia duduk di samping Diandra. Diandra tidak menjawab, ia masih terisak dan tidak mau menatap suaminya. Lagi-lagi Calvin cukup kesulitan mengorek tentang apa yang sedang dirasakan oleh Diandra. Padahal seharusnya Diandra sudah lebih bisa terbuka pada Calvin. Namun, nyatanya traumatik itu cukup sulit dihilangkan. Trauma tentang kepercayaan yang ternodai oleh perselingkuhan masih terbawa hingga dipernikahannya yang kedua. "Coba jelaskan, please, Ket. Kalau seperti ini terus, gimana aku tau salah aku di mana?" "Maafin aku." Diandra berucap bersama suara tangis serta air mata yang tertumpah di pipi, bahkan pangkal hidungnya pun sudah memerah karena terus-menerus menangis. "Sini." Calvin memeluk erat Diandra. Calvin memberikan waktu b
Pernikahan Calvin dan Diandra sudah berjalan tiga bulan. Mereka tampak bahagia meski di awal-awal pernikahan cukup banyak penyesuaian. Ya, pasti akan ada banyak hal yang harus diterima, dimaklumi dan diubah. Mereka saat ini dua kepala yang harus menjadi satu hati. Dua pemikiran yang harus bisa sejalan tentu saja sulit. Namun dengan saling menerima dan saling melengkapi akan dapat dijalani dengan baik, meski di awal-awal pasti akan terasa sulit. "Sarapan dulu, Ko!" Diandra berteriak di meja makan memanggil Calvin. Saat ini Diandra memilih menjadi istri yang full time di rumah, tentu saja mengurus rumah dan suaminya. Memanjakan diri dengan aktivitas yang ia sukai dan meninggalkan kantor di mana ia bekerja. Hal ini atas kesepakatan mereka berdua tentunya. "Iya, Sayang!" jawab Calvin yang keluar dari kamar bersama dasi yang ia pegang. Diandra bangkit dari kursi, lalu meraih dasi itu untuk dipakaikan di kerah kemeja suaminya. Calvin menatap wajah yang terlihat khusuk memasangkan dasi,
Calvin dan Diandra saling menatap, wajah mereka berdua terlihat bingung dan juga panik. "Mas? Mas Dewa?" Diandra mencoba menepuk-nepuk tangan Dewa, tetapi tidak ada pergerakan. Calvin meletakkan telunjuk di bawah hidung Dewa bermaksud mengecek napas laki-laki yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Lalu melanjutkan pada pergelangan tangan untuk mengecek detak nadinya. Hilang. "Kamu tunggu di sini, aku akan kembali secepatnya." Calvin gegas persegi dari ruang inap Dewa. Diandra bingung dengan sikap Calvin, hatinya berkata kalau ada hal buruk menimpa Dewa. Ia ingin mengecek tubuh Dewa, tetapi rasa takutnya membuat nyalinya menciut. Lima, sepuluh, lima belas menit berlalu Calvin belum juga kembali hingga akhirnya Diandra nekat untuk mengecek keadaan mantan suaminya. Mulai napas dari hidung, detak di nadi dan perlahan meski terasa sesak, ia memberanikan menempelkan telinganya pada dada Dewa yang masih terpejam tak berdaya. Mata Diandra membulat ketika tanda-tanda kehidupan tidak ditunjuk
Dewa telah dipindah ruangan. Saat ini Magdalena masih setia menjaganya. Kekhawatiran menyelimuti wajah cantik Magdalena setelah enam jam berlalu, Dewa belum juga siuman. Padahal, kata dokter kondisinya sudah stabil. Sekitar jam delapan malam akhirnya ada pergerakan dari tubuh Dewa. Bibirnya mengatup-atup, tetapi belum ada suara. Sontak, Magdalena pun terlihat bahagia dan takjub bahwasannya seseorang yang ia cintai telah sadar dari komanya. "Dewa?" Magdalena menggenggam tangan Dewa dengan hangat. "Andraaaa ...." lirih Dewa dengan tatapan kosong melihat langit-langit kamar inap. Ada yang sakit, tetapi tidak berdarah ketika Dewa malah menyebutkan nama wanita lain padahal yang menjaga dan membawanya ke rumah sakit itu Magdalena. Namun, ia tidak bisa marah ketika menyadari begitu mengkhawatirkannya keadaan Dewa saat ini. Rasa ibanya mengalahkan rasa kecewa yang dirasakan Magdalena. **Pernikahan Diandra semakin dekat. Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Perbincangan hangat pun
Sudah semakin dekat pernikahan antara Calvin dan Diandra. Mereka masih sama-sama sibuk dengan urusan pekerjaannya. Seluruh staf kantor pun telah mengetahui kabar bahagia mereka hingga saat ini semua bungkam dengan memberi julukan janda gatal pada Diandra. Apalagi nanti ia akan menjadi anggota keluarga dari tempat mereka bekerja. Entah mengapa Calvin ingin terus bersama Diandra. Ia seolah tidak ingin menjauh meski sekejap saja. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjemput calon istrinya saat menjelang pulang. Sesungguhnya Diandra sudah mendapatkan cuti menikah dari beberapa hari yang lalu agar ia bisa mempersiapkan pernikahannya dengan lebih fokus dan mengistirahatkan tubuh dan otaknya dari rutinitas pekerjaan. Namun, ia tidak ingin melalaikan semua pekerjaan yang belum usai. "Sayang?" sapa laki-laki yang saat ini sudah ada di pintu ruang kerjanya. "Koko?" jawab Diandra dengan ekspresi heran melihat calon suaminya ada di hadapannya. "Udah selesai?" tanya Calvin sambil melangkah me
Hari pernikahan sudah semakin dekat. Baik Calvin dan juga Diandra masih sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Namun, tidak dengan Dewa yang malah diusir dari rumah Magdalena kerena sudah berbeda pemikiran. Magdalena yang sibuk di kantor dengan segudang pekerjaan yang harus ia selesaikan menjadikan perasaannya terkadang kurang baik. Apalagi Dewa semakin cuek padanya. "Aku sudah salah memilihmu, Lena!" kesal Dewa saat diusir dari rumah mewah istrinya. "Aku juga udah capek dengan sikap kamu, Dewa! Ada baiknya memang kita bercerai!" Dewa tersenyum sarkas. "Itu hanya hal yang sangat mudah bagiku, Nona. Detik ini juga, aku ceraikan kamu!" tegas Dewa. Magdalena tercengang, ia tidak mengira kalau Dewa bisa semudah itu menceraikan dirinya. "Kenapa diam? Kita udah resmi bercerai, kan? Tidak usah mengetuk palu karena kita hanya menikah secara agama tanpa ada hukum yang mengatur perceraian." Dewa melenggang pergi. "Pergi! Pergi sana dan jangan harap aku akan mau kembali padamu, Dewa. Ing
Diandra mengobati luka pada wajah Calvin terutama di bagian sudut bibirnya yang hingga mengeluarkan cairan merah kental. "Pelan-pelan, Ket." Calvin meringis."Makanya enggak usah berantem, loh, Ko." Diandra mengerucutkan bibir. "Gimana gue gak emosi, coba? Liatin lu dipaksa-paksa begitu." "Iya, tapi enggak harus berkelahi gitu, kan?" "Gak bisa! Siapapun yang berani menyakiti lu, gue gak akan terima." Diandra menghela napas karena tidak mungkin untuknya saat ini membantah ucapan Calvin. Dari sudut lain, Calvin memang begitu terlihat menyayangi Diandra sehingga ia tidak rela kalau sampai ada orang yang menyakiti kekasihnya itu. *** Calvin memutuskan untuk menikah dengan Diandra. Sudah hampir satu tahun Diandra bergelar janda. Perkenalan antara Diandra dan orangtuanya pun sudah terjadi satu Minggu lalu. Tanggal cantik pun telah ditetapkan oleh keduanya dan tentu saja telah mendapatkan restu dari kedua orang tua Calvin. Leona yang awalnya sempat menentang karena status janda Dian