"Makan dulu, nanti dilanjut." Chris sudah mendekati Nasya yang tampak sibuk menyusun letak perabot di rumah mereka. Terlihat berkeringat dan rambut lepak, tapi Chris tetap terpesona padanya. Definisi mencintai meski bagaimanapun bentuknya. "Nanggung, Mas," jawab Nasya masih sibuk menimbang sebaiknya box bayi Zain di letak di sebelah kanan ranjang atau sebelah kiri. "Buka mulutnya." Chris sudah menyodorkan nasi ke hadapan Nasya. Bukan pake sendok, pakai tangan Chris, karena kata Nasya lebih enak rasanya disuapi dengan tangan orang lain. Awalnya Chris sempat menolak. Rasanya jijik sekali harus menyuapi pakai tangan, tapi karena Nasya hanya mau makan saat itu kalau disuapi dengan tangan, Chris pun menurut. Lama kelamaan jadi biasa dan rasa jijik itu hilang.Anisa yang tenang menggendong Zain melihat kemesraan anak mantunya itu sembari tersenyum. Hatinya merasa damai dan ikut merasakan kebahagiaan mereka. Paling tidak, Nasya sudah mendapatkan pasangan yang tepat. Meski Dirga belum sep
"Jangan nangis, kayaknya udah sering 'kan kamu bawa Zain imunisasi. Masa tiap disuntik kamu nangis," ujar Airin mengusap punggung Nasya yang masih terisak. Hari ini jadwal Zain ikut imunisasi. Nasya mengajak Airin untuk menemaninya karena Anisa kurang sehat sementara Chris, harus berangkat pagi ini ke New York ngantuk urusan pekerjaan. Untunglah Airin ikut bersamanya, setidaknya ada yang menenangkan Nasya ketika sedang sedih dan panik seperti ini. "Makanya kamu cepat punya anak, dong, biar tahu rasanya suara Ibu tidak akan bisa melihat anak ini menangis untuk apapun alasannya," jawab Nasya mengusap jejak air mata di pipi. Airin memutar bola matanya buru-buru punya anak buat niat aja tidak pernah sudah dua bulan menikah, Radit tidak pernah menyentuhnya. "Kamu sama bang Radit udah mulai buat, kan?" tanya Nasya tiba-tiba berubah serius. "Belum jadi," jawab Airin singkat. Dia tidak ingin membuka rahasia bahwa sampai detik ini ready sama sekali tidak menyentuhnya. Selesai
Radit kembali melirik Airin yang duduk di sampingnya. Entah sudah keberapa kali dia lakukan. Hatinya tergelitik, ada yang aneh pada Airin. Wanita itu bergerak gelisah dan sesekali mengipas dengan tangannya. Padahal suhu di mobil sudah sangat dingin. Belum lagi di luar gerimis mulai turun. "Kamu baik-baik aja?" "Hah? Baik, kok." Airin kembali menunduk. Di dekat Radit perasaannya semakin terbakar. Ingatan akan adegan dalam film membuatnya hilang akal sehat. Tidak bisa memikirkan hal lain selain bercinta. "Kamu udah makan?" kembali Radit bertanya. Dia semakin khawatir pada Airin. Biasanya wanita itu ngoceh dan banyak bicara. Apa sebenarnya yang terjadi hingga mampu membungkam mulut Airin. "Udah. Bisa gak, kamu fokus nyetir aja, gak usah tanya ini itu." Airin mengerucutkan bibir ditengah wajahnya yang memerah. Terkutuklah film itu hingga buat dia meriang seperti ini. Perasaan aneh yang menggerogoti, seakan ada sesuatu dari dalam tubuhnya yang akan keluar, tapi tidak tahu cara me
Berkali-kali ponsel Airin berdering, tapi belum bisa membangunkan pasangan suami istri yang tadi malam baru menikmati malam pengantin mereka meski telah lama menikah. Nasya yang ternyata menghubungi Airin semakin kesal karena sahabatnya itu tidak kunjung mengangkat teleponnya. "Sudah kita tinggalkan saja tidak usah menunggu kamu kirim pesan kepada Airin agar dia bisa menyusul nanti," ucapan Nisa membenarkan letak kerudung yang dia pakai. Hari ini kabar duka menyapa keluarga mereka. Ibunda Dika sudah berpulang kepada Sang penciptanya. Setelah perceraian Nasya dengan Dika, Anisa sudah jarang berkomunikasi dengan Risma, hanya sesekali menanyakan kabar Risma dan perkembangan kesehatannya. Meski tidak bertengkar, namun di hati masing-masing pasti menyimpan kekecewaan, terlebih Risma. Meski semua yang terjadi adalah kesalahan anaknya tapi sebagai seorang ibu, dia tidak rela Dika bercerai dengan Nasya. Berulang kali Risma meminta waktu dari Nasya, karena dia percaya bahwa Nas
"Radit, bangun ... Kita harus siap-siap," ujar Airin setelah berhasil membuka matanya. Dia masih ingin mengabaikan ponselnya yang berdering, tapi bunyinya semakin mengganggu, memaksa dirinya untuk meraih benda pipih itu dan mematikannya, meski bagian pangkal pahanya masih ngilu. Namun, lihat nama Nasya sebagai si penelpon, Airin bergegas menggeser tombol hijau, tapi keburu berhenti. Bola matanya terbelalak melihat panggilan dari Nasya lebih dari 20 kali, lalu ada satu pesan dan juga dari sahabatnya itu. Bergegas Airin menggoyang-goyangkan tubuh Radit, meminta pria itu untuk segera bangun. "Ayo, bangun," rengek Airin. Keduanya bangun kesiangan karena memang tidak tidur semalaman. Keduanya mengulang percintaan mereka, seperti tidak ada bosannya. Dalam semalam, entah sudah berapa kali mereka bercinta. Keduanya baru beristirahat setelah adzan subuh berkumandang. Tubuh Airin begitu sakit terasa pegal, tapi tidak lantas membuatnya jera untuk mengulang kembali meraih kenikmatan itu.
Acara penguburan Risma berjalan dengan lancar. Satu persatu pelayat juga sudah pulang menyisakan keluarga inti saja. "Ayah, kita pulang," ucap Dika menggenggam pundak Anton. Selama proses penguburan, Anton hanya diam memandangi jasad Risma yang sudah dikubur dan bertabur bunga. Dika takut kalau ayahnya jadi jatuh sakit karena masih belum mengikhlaskan kepergian ibunya. "Sebentar lagi. Ayah masih ingin di sini," jawab Anton pelan dan menepuk tangan Dika. Penuh sabar, Dirga dan semua anggota keluarga menunggu dengan sabar. Mereka tidak mendesak karena ingin memberi waktu bagi Anton mengucapkan kata perpisahan pada istrinya. Setelah lega, Anton bangkit lalu mengajak rombongan pulang. Hingga malam, mereka semua masih berada di kediaman Anton. Pria itu terlihat lelah dan lemah. Masuk ke dalam rumahnya membawa kenangan akan istrinya lagi. Dia kembali menitikkan air mata. "Ayah, sudahlah. Ibu sudah tenang di sisiNya," Dika merangkul sang ayah, duduk di samping Anton. Anton meng
"Bang Raka, harus pulang. Mami masuk rumah sakit!" Pesan itu berhasil tersampaikan pada Raka setelah sekian lama dia menonaktifkan nomornya, entah mengapa kali ini dia terketuk untuk mengaktifkan kembali. Banyak notifikasi panggilan masuk, pun pesan. Namun, hanya pesan dari Nasya yang menarik minat Raka. Kabar ibundanya yang jatuh sakit membuat hati Raka tidak karuan. Terlebih dalam pesan keduanya, Nasya melampirkan alamat rumah sakit tempat Anisa dirawat. "Gue rasa lu harus pulang, Ka. Jangan sampai suatu hari lu nyesal," tegas Galang, teman dekat Raka menasehati. "Apa-apaan, sih, lu? Nyokap gue baik-baik saja," sambarnya tidak senang atas kalimat temannya. Raka berpikir keras, kapan terakhir dia bertemu dengan Anisa? Lupa. Sudah sangat lama ternyata. Bahkan saat pernikahan kedua Nasya, Raka tidak datang meski Radit sudah memintanya hadir. Persoalannya masih sama. Dia masih tidak ingin bertemu dengan Dirga. Satu tahun lamanya berkelana keluar dari rumah, tidak satu kali pu
Kedatangan Raka menjadi obat yang mujarab bagi kesehatan Annisa terbukti begitu bertemu dengan putranya itu, Anisa sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya membaik. Dokter yang merawat Anisa selama satu minggu di rumah sakit pun turut heran melihat perkembangan kesehatan Anisa yang begitu drastis sembuh. "Hari ini Ibu sudah diizinkan pulang tapi masih harus bed rest di rumah, tidak boleh kelelahan dan harus makan yang teratur dan sehat. Satu lagi jangan terlalu banyak pikiran karena itu bisa memacu kembali terkena serangan jantung," tutur sang dokter di depan semua anggota keluarga agar ikut memperhatikan kondisi Anisa yang masih rawan. Hari ini ketiga anak Anisa berada di ruangan itu bersamanya dan itu menjadi satu kebahagiaan yang tak ternilai. Turut serta kedua mantunya yang menunjukkan kepedulian dan sayangi kepada Anisa. Mengetahui kalau Anisa hari ini pulang, Chris bahkan membawa Zain ikut ke rumah sakit menjemput Omanya. Anisa tidak peduli jikalau Dirga masih sa
Elena tidak bisa menolak. Bukan hanya sekedar karena Raka akan membantu keluarganya, tapi jauh dari itu, dia juga menyimpan rasa pada Raka. Tidak dibuat-buat, mengalir begitu saja. Elena yakin, kalau Raka mampu membahagiakan dirinya. Pernikahan putra bungsu Dirga digelar di ballroom hotel dengan banyak tamu undangan dari kalangan pebisnis, publik figur, sampai semua karyawan perusahaan diundang. Banyak yang terkejut, tidak menyangka kalau atasan dan bawahan itu akhirnya dipersatukan dalam mahligai rumah tangga. "Kamu terlihat gugup," bisik Raka memandang lembut istrinya. Elena tersipu malu. Kini sudah resmi jadi suami istri, tapi rasa gugup dan deg-degan di dalam hatinya belum juga surut. Ada kalanya Elena mencubit tangannya, demi memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi. Raka putra Dirgantara kini sudah jadi suaminya. "Sedikit," jawabnya pelan, hanya sekali mengangkat kepala lalu kembali menunduk tak tahan dengan tatapan mesra Raka. Raka menarik tangan Elena, menyelipkan j
"Bagaimana permintaan papi?" Dirga sudah muncul dan duduk di samping Raka yang tengah duduk di teras rumah menikmati kesunyian berteman secangkir kopi. Ayahnya kembali mendesak, tidak mungkin terus menghindar. Tapi, kalau dituruti juga dia tidak punya kandidat. Puas pacaran selama kuliah, menjadi sosok badboy, membuat Raka tidak lagi minat pada pernikahan. Ambisinya sudah terikat dengan urusan kantor. Ada kalanya dia menerima tawaran dari beberapa temannya untuk kumpul di sebuah bar, minum dan menikmati dunia malam. "Hei, kau dengar tidak? Diajak ngobrol kok, malah diam?" "Dengar, Pi. Tapi untuk saat ini aku masih belum ada jawaban untuk pertanyaan papi." Lebih baik pembicaraan ini langsung diputus, jangan lagi ada perpanjangan. "Kalau begitu kamu menerima putusan dari papi. Biar papi jodohkan pada anak teman papi aja," sambar Dirga tidak memberi celah. Terlalu lama bersabar dengan putra bungsunya ini, kalau tidak gerak cepat, bisa-bisa, dia tidak jadi menikah. "Jangan
"Wajah kamu kenapa?" Raka memiringkan kepala, mencoba melihat lebih jelas ke arah pipi Elena yang dia temui pagi ini di lift. "Gak papa, Pak," jawabnya singkat. Rambut panjangnya dibiarkan menutup pipi sebelah kanan, agar memar bekas tampar ibu tirinya tidak terlihat. Kalau bukan karena demi ayahnya, dia pasti sudah kabur lagi dari rumah.Elena mengutuk keberadaan ibu tirinya ada dalam hidup mereka, bukan memberi kebanggaan bagi ayahnya, justru derita. Elena harus menerima kekejaman dan penyiksaan ibu tirinya karena sudah menolak pernikahan dengan Edgar. Mau bagaimana lagi, dia tidak menyukai pria yang sombong dan sok berkuasa itu. Kalau dari hikayat Edgar yang dia dengar dari orang tuanya, harusnya pria yatim piatu itu berbudi pekerti dan bersikap baik, bukan justru sebaliknya. Dia juga tidak merasa perlu dinikahi Edgar karena permintaan terakhir Jason. Bahkan dengan Jason sendiri pun dia belum terlalu yakin, semua ini juga karena keluarganya yang memaksa dia harus menikah deng
Rasa penasaran Nasya menggerogoti pikirannya hingga tidak bisa tidur malam itu. Tidak sabar menunggu datangnya pagi agar dia bisa mencari Chris. Jelas kalau suara wanita yang dia dengar tadi milik Helen. Pertanyaan, mengapa malam selarut itu Chris ada bersama Helen? Memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi, membuat Nasya tak kuasa menahan air matanya. Apakah dia akan kehilangan Chris lagi? Apakah hati pria itu sudah berubah, kembali pada Helen? Segala tanya dia simpan hingga esok. Penantian Nasya berakhir. Langit sudah terang, begitu cerah, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan cemas di hatinya. "Pagi sekali, mau kemana?" tanya Anisa mendapati Nasya di anak tangga terakhir. Dia sudah bersiap, terlihat cantik meski kantong mata tetap menunjukkan kebenaran kalau dia semalaman tidak tidur. "Mau mencari Chris!" jawabnya tegas. Dia tidak perlu melirik ke arah Dirga yang saat itu juga ada mendengar obrolan mereka, karena dia yakin kalau ayahnya pasti saat ini tengah
Helen tidak tahu bagaimana lagi menyembunyikan wajah malunya. Di tengah semua tatapan menghakimi orang di kafe itu, dia mencoba untuk tetap bisa berdiri. Kalaupun mau mundur lagi, sudah kepalang tanggung. "Bagaimana, Bu, kita tetap melanjutkan tujuan kita kemari?" teguran dari petugas menyadarkan dirinya. Dengan ragu, Helen mengangguk. Dia akan terus berjuang, menggunakan kesempatan terakhirnya. Siang itu, Nasya membuat sedang ada di ruangannya. Kristal ikut bersamanya ke kafe dan sedang mencoba membujuk putrinya itu untuk tidur siang, jadi huru-hara di luar sana tidak sampai ke telinganya. Namun, begitu mendapati pintu ruang kerjanya didobrak, Nasya mengalihkan pandangannya. "Bapak ada kepentingan apa masuk ke mari?" tanya Nasya sewot, pasalnya menidurkan Kristal, dia harus ikut berbaring dan gaunnya sedikit tersingkap menunjukkan paha mulusnya. "Itu orangnya, Pak, tangkap saja!" seru Helen yang ternyata sudah ada di belakang petugas. Secara paksa, petugas menyeret Nas
Acara pernikahan itu pada akhirnya batal. Keluarga Ferdi tetap tidak terima. Mereka menuntut keluarga Nasya dengan tuduhan penjebakan. Namun, Dirga sudah tidak mau mendengar apapun penjelasan keluarga Ferdi, disaat itu juga diminta untuk membatalkan pernikahan itu. Sekarang, setelah semua orang pamit pulang dengan tanda tanya besar dalam hati mereka, kini semua anggota keluarga duduk di saling berhadapan. Rapat keluarga dimulai. Dirga duduk berdampingan dengan Anisa, mengamati Chris dan Nasya yang duduk tepat di depan mereka. Di sisi lainnya ada Raka, dan pasangan suami istri, Radit dan Airin. "Jelaskan!" perintah Dirga, menatap lekat pada wajah Chris. Matanya memicing, tanda tidak suka karena Chris menggenggam tangan Nasya dengan erat. Mengapa putrinya bisa bersama Chris sementara waktu itu, pria yang disebut bernama Andrew ini justru diusir Nasya. "Papi," Nasya mulai angkat bicara. Dia ingin menjadi tameng bagi Chris atas interogasi ayahnya. Tatapan Dirga pada suaminya s
Nasya tidak perduli kalau air matanya akan menghancurkan hasil karya-karyas pengantin yang sudah lebih 2 jam memoles wajahnya tadi. Meski mencoba untuk menahan air matanya tetap saja turun setelah mendengar semua cerita Chris. "Jangan menangis lagi, aku minta maaf karena sudah membuatmu menderita dan menungguku terlalu lama," bisik Chris sembari terus mengusap punggung Nasya yang menangis dalam pelukannya. Tuhan begitu sayang kepadanya, di saat dia akan terperangkap dalam jebakan Ferdi, keajaiban datang dan membuatnya mengetahui sifat busuk pria itu dan kini kebahagiaan nya disempurnakan lagi oleh berita yang baru dia dengar dari Chris. "Sayang, jangan menangis lagi, aku semakin bersalah," bujuk Chris lembut. Nasya tidak terima, dia memukul dada bidang Chris, kesal, tapi juga sangat bahagia. Kesal karena harus melalui penderitaan yang panjang berpisah dengan pria itu, tapi senang karena mengetahui kalau suaminya belum meninggal dan dia kini bersamanya. "Ini seperti mimpi. Aku t
Lily batal tinggal di rumah orang tua Nasya. Dia menempatkan wanita itu di rumahnya bersama Bi Sumi yang selama ini mengurus rumah mereka yang sudah lama ditinggalkan setelah kepergian Chris. Ingin sekali rasanya menolak, takut merepotkan Nasya dan keluarganya, tapi Nasya tetap bersikeras meminta wanita itu tetap tinggal di rumahnya. Setelah selesai mengamankan Bu Lily, Nasya dan Airin meneruskan rencana mereka ke toko perhiasan, mengambil perhiasan milik Anisa. Sesaat Nasya berangkat mencari Lily, ibundanya menghubungi meminta anaknya singgah ke toko perhiasan. "Tunggu, itu bukannya-" Airin menghentikan ucapannya dan menarik tangan Nasya untuk mundur. Mata Nasya mengikuti telunjuk Airin. Benar, dia mengenal pria yang sedang memeluk pinggang wanita bertubuh sedikit berisi. "Itu mas Ferdi!" desisnya tidak percaya. Pria yang akan berubah status menjadi suaminya besok justru jalan berduaan dengan wanita lain. Jangan bilang wanita itu saudara, sepupu atau kerabat, tidak ada hubungan
Kejadian di salon itu menorehkan luka sekaligus trauma yang cukup besar. Kalau bukan Radit datang menjemput mereka, Nasya tidak akan berani keluar dari salon itu. Imbasnya, saat Ferdi menyarankan mempercepat pernikahan mereka, Nasya manut saja. Dia menyerahkan semua urusan pernikahannya yang kali ketiga ini pada Anisa dan ibu Ferdi, sementara dia hanya mengurung diri di kamar menangisi takdirnya. "Nay, kamu mau kemana? Gak baik keluar rumah lagi. Besok kamu menikah, sebaiknya jangan pergi," tegur Anisa yang mendapati putrinya itu sudah rapi dan bersiap pergi. "Sebentar aja, Mi. Cuma mau bertemu seseorang," balas Nasya. Baru saja dia mendapatkan pesan dari Airin. Orang suruhannya berhasil menemukan alamat Lily dan sekarang dia ingin mengunjungi wanita itu hanya sekedar ingin memastikan kalau Lily baik-baik saja. "Gak boleh! Nanti mami dimarahi papi kamu." "Mi, please." Nasya menyatukan telapak tangan di depan dada. Suaranya diusahakan pelan agar Kristal yang sedang tidur siang tid