Nasya memasuki pagar dengan langkah malas. Langit sudah gelap, dan dia baru saja tiba di rumah. Kalau kata hatinya ditanya, dia tidak ingin pulang, tapi harus kemana lagi dia pergi? Berjam-jam lamanya Nasya menyendiri memikirkan permohonan Dika dan Bima, tapi masih belum bisa memutuskan. Sendiri di taman kota, menangis, merenungi nasibnya. Haruskah bercerai?"Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" batinnya merasa bingung. Tapi, bukankah semua yang terjadi adalah kehendak sang pencipta? Jadi, apapun yang terjadi kini dalam hidupnya, juga sudah menjadi kehendak sang kuasa? Terlalu berat beban pikirannya, ditanggung oleh anak manja seperti Nasya. Selama ini pergumulan hidupnya selalu diselesaikan oleh orang tuanya. Kini, jangankan minta tolong, untuk menceritakan yang sebenarnya saja dia enggan. "Ka- kamu pulang, Nas?" suara Anisa melemah. Nasya bisa menebak alasannya. Ibunya pikir kalau Nasya akan pulang ke rumah mertuanya. Siang tadi saat hendak pergi, dia begitu bersemangat se
Dika sudah diperbolehkan pulang ke rumah, dan Nasya diminta untuk menemani. Nasya tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin mengabaikan permohonan mertuanya. "Nas, terima kasih sudah mau pulang bersamaku," ujar Dika memandang haru penuh rasa terimakasih. Ia sebenarnya malu, karena sudah mencoba bunuh diri. Sejujurnya, Dika tidak ingin mati, dia sangat mencintai Bima dan anak mereka Gwen, tapi dosa yang besar pada orang tuanya membuat Dika memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dari pada harus mempermalukan orang tuanya. Sang pencipta berkata lain, dia masih diberi kesempatan untuk hidup. Bersyukur lagi, Nasya tetap mau berada di sisinya berstatus sebagai istri. "Fokuslah pada kesembuhan mu, Mas," ucap Nasya dingin. Dia merawat Dika hanya karena masih berstatus suami istri. Lagi pula, Nasya tidak tega mengabaikannya. Selama menjadi suami istri, pria itu memperlakukan dengan lembut. Oh, Tuhan, setelah mengetahui kebenarannya, Nasya baru paham alasan Dika selalu memperhatikan kuli
"Aku kasih waktu enam bulan, Mas. Setelah itu kita bercerai." Itu keputusan final dari Nasya dua hari lalu, saat berbicara empat mata dengan Dika dan juga Bima. Saat itu, Gina datang kembali ke kantor menjemputnya dan membawa bertemu dengan Bima dan Dika. Keduanya sudah menunggu di salah satu restoran. Dika memutuskan untuk mengambil ruang VIP agar pembicara mereka tidak didengar oleh siapapun. "Terima kasih, Nas," ucap Dika penuh haru. Bima juga ikut mengucapkan terima kasihnya. Nasya luluh saat melihat wajah menggemaskan Gwen. Anak itu anteng tidur di stroller nya. Bagaimana jadinya nasih Gwen, kalau kemarin Dika benar-benar meregang nyawa karena percobaan bunuh diri itu. Bayi imut itu juga tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari orang tua yang diinginkan. Gwen yang malang, tapi Nasya berdoa semoga anak itu tumbuh sehat dan bisa membuat orang tuanya bangga. Nasya berusaha berdamai dengan keadaan. Meski belum sepenuhnya ikhlas, setidaknya dia mau mencoba menerima takdirnya da
"Kamu ngapain nyari abang ke sini?" Radit terpaksa keluar dari ruang meeting saat diberitahu ada keluarga mencarinya.Sedikitpun dia tidak menduga kalau keluarga yang dimaksud adalah Nasya. Sempat jantungnya berdetak kencang, takut kalau terjadi masalah baru di keluarga. Soal Raka dan ayahnya saya belum bisa diselesaikan, jangan sampai terbit masalah batu. "Abang, kok, kayak gak senang lihat aku datang?" Nasya segera berlari ke pelukan Radit. am qSudah lama mereka tidak jumpa. Selama ini Radit tugas di Papua, Kediri dan terakhir paling dekat di Surabaya. Dari Anisa lah, Nasya tahu kalau saat ini sang abang sudah kembali tugas di ibukota. "Mau pelukan sampai kapan, nih?" tanya Radit membelai lembut kepala adiknya. Dia juga rindu pada adik bontotnya itu. "Bang Radit gak kangen ya, sama aku?" Nasya melepas pelukannya dan memilih duduk di sofa. Radit sudah punya jabatan tinggi hingga punya ruang pribadi. "Bukan begitu. Ini kantor dan abang lagi kerja. Kamu ke sini mau ngapain?"
Dan segera menggendong tubuh Nasya ke arah Vila. Darah bercucuran dari jempol kakinya yang juga terluka oleh batu kali yang berujung tajam Meski keningnya tidak mengeluarkan darah yang banyak, tetap saja goresan itu meneteskan darah. "Ada apa? Apa yang terjadi pada Nasya?" teriakan kaget dari beberapa karyawan membuat suasana semakin chaos. Semua panik karena Nasya sudah jatuh pingsan dalam gendongan Dan. "Tadi niatnya mau mandi di sungai, tapi banyak batu dan Nasya tergelincir," terang Mega masih panik. "Ada apa ribut-ribut?" suara menggelegar Bram membuat orang-orang yang sedang mengerumuni Dan dan Nasya menoleh. "Maaf, Pak. Mahasiswi magang kecebur ke dalam sungai, kaki dan juga pelipisnya berdarah. Dia juga pingsan, Pak," sahut salah satu karyawan. Di sisi Bram, ternyata ada Chris yang juga baru tiba di tempat itu. Melihat gadis yang dimaksud adalah Nasya, dia segera melangkah ke depan dan mengambil tubuh Nasya dari gendongan Dan. "Cepat, panggil dokter!" perintah Chr
Rinai hujan di luar sana tak kunjung berhenti, semakin lama justru semakin deras. Dingin, terlebih daerah itu memang memiliki suhu dingin. Siapapun akan memilih meringkuk di bawah selimut, menghangatkan tubuh dan membelai mimpi hingga matahari datang esok pagi, tapi tidak bagi dua insan di dalam kamar paling ujung di lantai dua vila itu. Suhu udara di dalam kamar seketika memanas seiring aktivitas di dalamnya. Siapa yang memulai tidak lah penting, karena memang sudah terjadi. "Kenapa kamu begitu manis. Rasa yang sama seperti dulu, dan aku sangat tergila-gila dan candu dengan nikmatnya bibirmu," bisik Chris di atas bibir Nasya. Gadis itu tersipu malu. Meski sudah menenggak seperempat isi botol beralkohol, tapi kali ini Nasya mau disentuh oleh Chris bukan karena mabuk, tapi justru datang dari keinginannya sendiri. Meski belum seratus persen yakin dengan perasaannya, tapi rasa nyaman dan menginginkan sentuhan Chris membuatnya sadar kalau dia memiliki perasaan pada pria itu. "
Banyak kenangan yang akan diingat Nasya sepulang dari Bandung. Semua sudah berubah. Setelah malam panjang yang dia lalui dengan Chris, Nasya meyakini kalau dia sudah jatuh cinta pada pria itu. Berbeda dari sikap Chris biasanya yang cenderung cuek, justru terhadap Nasya begitu lembut. Chris bahkan memilih pulang dengan bus bersama para karyawan. Tidak ada yang curiga pada mereka. Semua karyawan dan staf pulang keesokan paginya karena memang terhambat hujan deras hingga menginap di hotel. Ketika tiba di vila, sikap Nasya dan Chris tampan biasa, hanya pada saat berdua, Chris akan tersenyum lembut padanya. Saat Nasya sudah mulai naik ke bus, pastinya dengan wajah berseri, matanya menangkap sosok Chris yang sudah duduk di kursi depan. "Kita duduk di tengah," ajak Dan menunjuk deretan bangku yang masih kosong. Nasya menolak pada Chris, segera Chris memberikan kode pada Nasya agar duduk di sampingnya. Tapi, Nasya sedikit malu kalau harus duduk di sana. Lagi pula, Dan sudah menarik t
'Kamu gak masuk lagi? Ditanyain sama Pak Karyo!'Senyum Nasya mengembang membaca sepenggal pesan yang dikirim Chris. Lalu dia mengetik balasan pesan Chris.'Cie, ada yang kangen, nih. Kalau kangen ngomong aja, gak usah pake bawa-bawa nama pak Karyo.'Tak lama, Chris membalas dengan mengirimkan banyak gambar love padanya, dan stiker seorang pria mencium kekasihnya. Entah dari mana Chris mendapatnya, gambar pada stiker itu juga foto mereka berdua.Dia juga rindu. Nanti setelah selesai urusan dari kampus, dia akan singgah ke kantor, memberikan kejutan pada Chris. Tak lupa, dia juga berniat untuk membawa makan siang untuk pria itu, jadi ada alasan tinggal bersamanya lebih lama.Memikirkan rencana itu membuat Nasya tersenyum. Senyum Nasya lama kelamaan, berkembang menjadi tawa. "Kesambet lu?" tanya Airin menoleh. Keduanya setengah duduk di depan kantor jurusan, menunggu dosen pembimbing Airin keluar. Urusan Nasya sudah lebih dulu selesai, beruntung mendapatkan dosen pembimbing yang baik.
Elena tidak bisa menolak. Bukan hanya sekedar karena Raka akan membantu keluarganya, tapi jauh dari itu, dia juga menyimpan rasa pada Raka. Tidak dibuat-buat, mengalir begitu saja. Elena yakin, kalau Raka mampu membahagiakan dirinya. Pernikahan putra bungsu Dirga digelar di ballroom hotel dengan banyak tamu undangan dari kalangan pebisnis, publik figur, sampai semua karyawan perusahaan diundang. Banyak yang terkejut, tidak menyangka kalau atasan dan bawahan itu akhirnya dipersatukan dalam mahligai rumah tangga. "Kamu terlihat gugup," bisik Raka memandang lembut istrinya. Elena tersipu malu. Kini sudah resmi jadi suami istri, tapi rasa gugup dan deg-degan di dalam hatinya belum juga surut. Ada kalanya Elena mencubit tangannya, demi memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi. Raka putra Dirgantara kini sudah jadi suaminya. "Sedikit," jawabnya pelan, hanya sekali mengangkat kepala lalu kembali menunduk tak tahan dengan tatapan mesra Raka. Raka menarik tangan Elena, menyelipkan j
"Bagaimana permintaan papi?" Dirga sudah muncul dan duduk di samping Raka yang tengah duduk di teras rumah menikmati kesunyian berteman secangkir kopi. Ayahnya kembali mendesak, tidak mungkin terus menghindar. Tapi, kalau dituruti juga dia tidak punya kandidat. Puas pacaran selama kuliah, menjadi sosok badboy, membuat Raka tidak lagi minat pada pernikahan. Ambisinya sudah terikat dengan urusan kantor. Ada kalanya dia menerima tawaran dari beberapa temannya untuk kumpul di sebuah bar, minum dan menikmati dunia malam. "Hei, kau dengar tidak? Diajak ngobrol kok, malah diam?" "Dengar, Pi. Tapi untuk saat ini aku masih belum ada jawaban untuk pertanyaan papi." Lebih baik pembicaraan ini langsung diputus, jangan lagi ada perpanjangan. "Kalau begitu kamu menerima putusan dari papi. Biar papi jodohkan pada anak teman papi aja," sambar Dirga tidak memberi celah. Terlalu lama bersabar dengan putra bungsunya ini, kalau tidak gerak cepat, bisa-bisa, dia tidak jadi menikah. "Jangan
"Wajah kamu kenapa?" Raka memiringkan kepala, mencoba melihat lebih jelas ke arah pipi Elena yang dia temui pagi ini di lift. "Gak papa, Pak," jawabnya singkat. Rambut panjangnya dibiarkan menutup pipi sebelah kanan, agar memar bekas tampar ibu tirinya tidak terlihat. Kalau bukan karena demi ayahnya, dia pasti sudah kabur lagi dari rumah.Elena mengutuk keberadaan ibu tirinya ada dalam hidup mereka, bukan memberi kebanggaan bagi ayahnya, justru derita. Elena harus menerima kekejaman dan penyiksaan ibu tirinya karena sudah menolak pernikahan dengan Edgar. Mau bagaimana lagi, dia tidak menyukai pria yang sombong dan sok berkuasa itu. Kalau dari hikayat Edgar yang dia dengar dari orang tuanya, harusnya pria yatim piatu itu berbudi pekerti dan bersikap baik, bukan justru sebaliknya. Dia juga tidak merasa perlu dinikahi Edgar karena permintaan terakhir Jason. Bahkan dengan Jason sendiri pun dia belum terlalu yakin, semua ini juga karena keluarganya yang memaksa dia harus menikah deng
Rasa penasaran Nasya menggerogoti pikirannya hingga tidak bisa tidur malam itu. Tidak sabar menunggu datangnya pagi agar dia bisa mencari Chris. Jelas kalau suara wanita yang dia dengar tadi milik Helen. Pertanyaan, mengapa malam selarut itu Chris ada bersama Helen? Memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi, membuat Nasya tak kuasa menahan air matanya. Apakah dia akan kehilangan Chris lagi? Apakah hati pria itu sudah berubah, kembali pada Helen? Segala tanya dia simpan hingga esok. Penantian Nasya berakhir. Langit sudah terang, begitu cerah, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan cemas di hatinya. "Pagi sekali, mau kemana?" tanya Anisa mendapati Nasya di anak tangga terakhir. Dia sudah bersiap, terlihat cantik meski kantong mata tetap menunjukkan kebenaran kalau dia semalaman tidak tidur. "Mau mencari Chris!" jawabnya tegas. Dia tidak perlu melirik ke arah Dirga yang saat itu juga ada mendengar obrolan mereka, karena dia yakin kalau ayahnya pasti saat ini tengah
Helen tidak tahu bagaimana lagi menyembunyikan wajah malunya. Di tengah semua tatapan menghakimi orang di kafe itu, dia mencoba untuk tetap bisa berdiri. Kalaupun mau mundur lagi, sudah kepalang tanggung. "Bagaimana, Bu, kita tetap melanjutkan tujuan kita kemari?" teguran dari petugas menyadarkan dirinya. Dengan ragu, Helen mengangguk. Dia akan terus berjuang, menggunakan kesempatan terakhirnya. Siang itu, Nasya membuat sedang ada di ruangannya. Kristal ikut bersamanya ke kafe dan sedang mencoba membujuk putrinya itu untuk tidur siang, jadi huru-hara di luar sana tidak sampai ke telinganya. Namun, begitu mendapati pintu ruang kerjanya didobrak, Nasya mengalihkan pandangannya. "Bapak ada kepentingan apa masuk ke mari?" tanya Nasya sewot, pasalnya menidurkan Kristal, dia harus ikut berbaring dan gaunnya sedikit tersingkap menunjukkan paha mulusnya. "Itu orangnya, Pak, tangkap saja!" seru Helen yang ternyata sudah ada di belakang petugas. Secara paksa, petugas menyeret Nas
Acara pernikahan itu pada akhirnya batal. Keluarga Ferdi tetap tidak terima. Mereka menuntut keluarga Nasya dengan tuduhan penjebakan. Namun, Dirga sudah tidak mau mendengar apapun penjelasan keluarga Ferdi, disaat itu juga diminta untuk membatalkan pernikahan itu. Sekarang, setelah semua orang pamit pulang dengan tanda tanya besar dalam hati mereka, kini semua anggota keluarga duduk di saling berhadapan. Rapat keluarga dimulai. Dirga duduk berdampingan dengan Anisa, mengamati Chris dan Nasya yang duduk tepat di depan mereka. Di sisi lainnya ada Raka, dan pasangan suami istri, Radit dan Airin. "Jelaskan!" perintah Dirga, menatap lekat pada wajah Chris. Matanya memicing, tanda tidak suka karena Chris menggenggam tangan Nasya dengan erat. Mengapa putrinya bisa bersama Chris sementara waktu itu, pria yang disebut bernama Andrew ini justru diusir Nasya. "Papi," Nasya mulai angkat bicara. Dia ingin menjadi tameng bagi Chris atas interogasi ayahnya. Tatapan Dirga pada suaminya s
Nasya tidak perduli kalau air matanya akan menghancurkan hasil karya-karyas pengantin yang sudah lebih 2 jam memoles wajahnya tadi. Meski mencoba untuk menahan air matanya tetap saja turun setelah mendengar semua cerita Chris. "Jangan menangis lagi, aku minta maaf karena sudah membuatmu menderita dan menungguku terlalu lama," bisik Chris sembari terus mengusap punggung Nasya yang menangis dalam pelukannya. Tuhan begitu sayang kepadanya, di saat dia akan terperangkap dalam jebakan Ferdi, keajaiban datang dan membuatnya mengetahui sifat busuk pria itu dan kini kebahagiaan nya disempurnakan lagi oleh berita yang baru dia dengar dari Chris. "Sayang, jangan menangis lagi, aku semakin bersalah," bujuk Chris lembut. Nasya tidak terima, dia memukul dada bidang Chris, kesal, tapi juga sangat bahagia. Kesal karena harus melalui penderitaan yang panjang berpisah dengan pria itu, tapi senang karena mengetahui kalau suaminya belum meninggal dan dia kini bersamanya. "Ini seperti mimpi. Aku t
Lily batal tinggal di rumah orang tua Nasya. Dia menempatkan wanita itu di rumahnya bersama Bi Sumi yang selama ini mengurus rumah mereka yang sudah lama ditinggalkan setelah kepergian Chris. Ingin sekali rasanya menolak, takut merepotkan Nasya dan keluarganya, tapi Nasya tetap bersikeras meminta wanita itu tetap tinggal di rumahnya. Setelah selesai mengamankan Bu Lily, Nasya dan Airin meneruskan rencana mereka ke toko perhiasan, mengambil perhiasan milik Anisa. Sesaat Nasya berangkat mencari Lily, ibundanya menghubungi meminta anaknya singgah ke toko perhiasan. "Tunggu, itu bukannya-" Airin menghentikan ucapannya dan menarik tangan Nasya untuk mundur. Mata Nasya mengikuti telunjuk Airin. Benar, dia mengenal pria yang sedang memeluk pinggang wanita bertubuh sedikit berisi. "Itu mas Ferdi!" desisnya tidak percaya. Pria yang akan berubah status menjadi suaminya besok justru jalan berduaan dengan wanita lain. Jangan bilang wanita itu saudara, sepupu atau kerabat, tidak ada hubungan
Kejadian di salon itu menorehkan luka sekaligus trauma yang cukup besar. Kalau bukan Radit datang menjemput mereka, Nasya tidak akan berani keluar dari salon itu. Imbasnya, saat Ferdi menyarankan mempercepat pernikahan mereka, Nasya manut saja. Dia menyerahkan semua urusan pernikahannya yang kali ketiga ini pada Anisa dan ibu Ferdi, sementara dia hanya mengurung diri di kamar menangisi takdirnya. "Nay, kamu mau kemana? Gak baik keluar rumah lagi. Besok kamu menikah, sebaiknya jangan pergi," tegur Anisa yang mendapati putrinya itu sudah rapi dan bersiap pergi. "Sebentar aja, Mi. Cuma mau bertemu seseorang," balas Nasya. Baru saja dia mendapatkan pesan dari Airin. Orang suruhannya berhasil menemukan alamat Lily dan sekarang dia ingin mengunjungi wanita itu hanya sekedar ingin memastikan kalau Lily baik-baik saja. "Gak boleh! Nanti mami dimarahi papi kamu." "Mi, please." Nasya menyatukan telapak tangan di depan dada. Suaranya diusahakan pelan agar Kristal yang sedang tidur siang tid