Lintang memperbaiki makeup dan penampilannya di toilet. Tepat sekali saat itu Wira muncul mencarinya."Kamu kok lama sekali?" kata Wira meraih lengan Lintang dengan sedikit kasar. Dia melongokkan kepalanya ke dalam toilet, kalau-kalau ada seseorang yang dicarinya bersembunyi di dalam. Lalu matanya bergulir menelusuri ruangan di sekitar mereka.Lintang menarik lengannya sampai terlepas dari pegangan Wira. Menatap tidak suka dengan tindakan suaminya itu."Apa-apaan kamu?!" dengus Lintang kesal. Wira tak menyahut, masih menatap curiga pada Lintang. Menelisik wajahnya siapa tahu ada perubahan meski sedikit saja. Itu membuat Lintang jengah."Aku ke toilet untuk memperbaiki riasan agar bekas luka dari pukulan tangan kamu tetap tertutupi oleh makeup, puas?!" semburnya sebal.Wira melotot dan langsung menyambar lengan Lintang kembali dan menyeretnya ke sisi ruangan yang lebih sepi. Didorongnya wanita itu hingga membentur dinding."Jangan ngomong sembarangan kamu!" gertaknya dengan suara tert
Wira mengeluh dalam tidurnya, dia bergerak berganti posisi. Kepalanya terasa berdenyut sakit, membuatnya meringis dan terpaksa terjaga."Lintang, tolong ambilkan minum!" erangnya.Hening. Wira pun menoleh ke sampingnya, dan mendapati tempat tidur kosong dengan sprei yang sudah dingin. Seketika matanya pun terbuka lebar dan bangun terduduk.Mengabaikan kepalanya yang berdenyut semakin menjadi, Wira menyibak selimut dan berdiri melangkahkan kakinya ke arah pintu keluar dari kamar. Di luar kamar yakni ruang tamu dan bar kecil, dan masih tak terlihat keberadaan istrinya itu. Perasaan curiga dan marah seketika menyeruak di dadanya. Ini masih dini hari tapi kemana Lintang?Saat tangannya hendak membuka pintu keluar, telinganya mendengar suara pintu dibuka di belakangnya. Ia pun menoleh.Lintang keluar dari kamar dengan wajah bingung menatapnya."Mau kemana? Masih mabuk ya sampai mengigau seperti itu?!" ejek Lintang tertawa kecil.Wajah Wira langsung memerah. Ia mengurungkan tangannya yang
Arthur mengawasi keempat lawannya, masing-masing dari pria berwajah garang dan tubuh tinggi besar dan bertato itu memegang senjata tumpul. Namun dari sudut matanya ia menangkap satu orang lagi di dalam mobil, bersiap dengan senjata apinya.Ini cukup genting, sudah dipastikan ia tidak akan bisa menghadapi mereka semua dengan konsentrasi terpecah seperti ini. Maka diam-diam dengan gerakan pelan, ia meraba sisi belakang telinganya. Mengaktifkan earpiece yang terpasang tersembunyi di sana. Meminta bantuan."Serahkan wanita itu jika kamu ingin tetap hidup, Bung!" ujar salah satu dari mereka.Arthur menyunggingkan senyum sinis. "Dalam mimpimu!" balasnya.Keempat penjahat itu pun saling pandang lalu tertawa terbahak-bahak. "Seperti yang dikatakannya, ajudan ini akan sangat keras kepala!" gelak mereka. "Tak apa, sudah lama kita tak mendapatkan lawan sebagus ini!""Tunggu apa lagi, hajar dia!"Arthur membuka mata lebar-lebar saat mereka maju menyerang. Mereka menyerang bersamaan, membuat Ar
Yasmin tentu saja murka mendengar tantangan Arthur. Baginya merestui Arthur meminang Lintang sama saja dengan menjatuhkan harga dirinya. Tapi saat ini ia juga memikirkan keselamatan Lintang, bagaimanapun kerasnya sifat Lintang yang juga menentangnya, dia tetap anak kandungnya dan merupakan pewaris satu-satunya keluarga Adiwilaga. Maka untuk kali ini ia harus menekan emosi dan egonya, karena Arthur mungkin yang bisa menyelamatkan putrinya."Jika terjadi sesuatu pada Lintang maka kamulah satu-satunya yang akan aku tuntut ke penjara, Kapten!" ancam Yasmin. Candra turut mengiyakan perkataan istrinya itu.Rey ternganga mendengarnya, "Nyonya apa Anda tidak melihat dia bahkan hampir mati demi menyelamatkan anak Anda!" ujarnya kesal.Yasmin mendelik tak suka pada Rey. "Itu sudah menjadi resiko pekerjaannya, jadi jangan mengeluh!" dengusnya tak peduli.Rey hendak menjawab lagi, namun lagi-lagi Arthur menghentikannya. Yasmin menunjuk Arthur, "Ingat! Kamu harus menyelamatkan anakku, Kapten!" te
Dengan tegap dan penuh keyakinan, Arthur menghentak langkah memasuki rumah besar Adiwilaga. Berbekal tekad dan perasaan cintanya yang begitu besar pada Lintang, ia berniat untuk melamar wanita itu dan meminta restu dari Yasmin dan Candra. "Yakinlah, Kapten! Aku akan melakukan apa saja asal mereka merestui kita!" kata Lintang sebelumnya. Ia akan berbicara pada orangtuanya.Wira sudah dipenjara dengan bukti kuat mengenai kejahatannya. Menjadi dalang utama dari penculikan Lintang, dengan motif ingin menguasai harta dan uang asuransi atas kematian istrinya itu. Semua sudah direncanakan sedari awal mereka menikah. Beberapa kejadian yang menimpa Lintang sebelumnya juga merupakan rencananya. Beruntungnya, Arthur selalu ada di samping Lintang sehingga setiap upayanya melenyapkan wanita itu selalu gagal.Oleh karena semua sudah selesai, maka Arthur bertekad untuk melamar wanita pujaannya itu. Meski dengan hati ragu. Lintang meyakinkannya jika ibunya pasti sudah berubah, dengan kegigihan dan b
Arthur merenung sendiri di kamarnya, saat ini ia sudah kembali asrama. Semalaman ia hanya duduk terdiam dan berpikir. Menimbang masak-masak dengan keputusan yang akan ia ambil.Beberapa waktu lalu saat ia dirawat di Rumah Sakit, komandan datang menjenguknya. Tapi tak hanya itu, atasannya itu menawarkan tugas baru mengingat jika saat itu kondisinya tidak memungkinkan untuk melanjutkan untuk tetap menjadi pengawal Lintang. Tugas baru, keluar dari negara tercinta.Saat itu ia berpikir mengenai niatnya melamar Lintang, oleh karena itu dia meminta waktu untuk berpikir."Hanya kamu yang sanggup melakukan tugas ini, Kapten! Tidak ada yang sebanding dengan integritas dan kemampuanmu dalam segala hal!" tegas komandannya itu. Arthur menghela nafas berat, mengingat kembali semua kata-kata hinaan yang dilontarkan Yasmin dan Candra. Sangat menyakitkan hati apalagi dia melihat bagaimana Yasmin menampar Lintang. Pintu kamarnya diketuk, Arthur pun mengangkat kepala melihat siapa yang datang. Bram
Ambulans meraung meninggalkan kediaman rumah Adiwilaga. Membawa putri tunggal mereka, Lintang Candraningtyas Adiwilaga ke rumah sakit. Dimana dia ditemukan bersimbah darah di kamar mandi, dengan urat nadi yang terpotong. Yasmin berteriak histeris dan panik melihat kondisi putrinya. Dia menangis dan meraung meneriakan nama Lintang. Bagaimanapun jiwanya sebagai seorang ibu tidak rela jika anaknya mengambil jalan pintas seperti itu. Sampai di rumah sakit para petugas medis segera melakukan tindakan. Lintang sudah terlihat pucat dengan bibir yang membiru dan tubuh yang menggigil akibat kehabisan banyak darah.Yasmin menangis dalam pelukan Candra menyaksikan bagaimana para petugas medis berjuang untuk menyelamatkan nyawa putrinya. Hingga beberapa saat berlalu dengan ketegangan dan kepanikan yang terasa di dalam ruangan sana. Beruntung mereka berhasil menyelamatkan nyawa Lintang. Yasmin memasuki ruangan di mana Lintang dirawat. Dia terisak melihat bagaimana wajah cantik putrinya kini t
"Kamu bilang aku sedang hamil?!" seru Lintang kaget.Mira sontak mendekat dan menutup mulut Lintang dengan tangannya. Gadis itu terlihat kaget dengan tindakannya sendiri. Saat itu juga dia melepaskan tangannya dan mundur seraya meminta maaf."Maaf, Nona!"Lintang tidak memperdulikan itu. "Katakan, Mira! Apa benar yang kamu katakan?!" tanya Lintang memegang bahu gadis pelayan itu, suaranya bergetar dan matanya mulai berkaca-kaca menahan tangis.Mira ikut menangis dia menatap Lintang lalu mengangguk.Lintang membuka mulutnya tanpa bisa berkata apapun. Dia seolah lupa untuk bernafas dan saat udara kembali mengisi paru-parunya seiring dengan tangisnya. Perempuan itu jatuh terduduk lalu menutup wajahnya.Antara bahagia, takut, cemas dan kesedihan bercampur jadi satu. Mengingat apa yang sudah dia lakukan di hari itu di kamar mandi, yang tidak saja membuat nyawanya terancam tapi dia hampir membunuh bayi tidak berdosa di dalam perutnya. Sungguh ia merasa bersalah.Dan entah kenapa, Lintang y
Arta berlari keluar dari rumah sambil menangis. Namun ketika dia baru saja menginjakkan kakinya, dia terhenti dan tertegun karena mendapati Arthur dan Lintang ada di pintu gerbang halaman rumah mereka. "Arta!" panggil Lintang, matanya tampak sudah berkaca-kaca menatap Arta dengan penuh kerinduan. Namun tatapan mata Arta tertuju pada Arthur, anak itu tampak masih memiliki pandangan yang sama yaitu kebencian. "Anakku!" ucap Arthur seraya berjalan mendekat pada Arta. Ketika itu tampak Fala dan Alya keluar dari rumah untuk mengejar Arta, namun mereka pun terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Arthur dan Lintang ada di sana. Arta tampak berdiri kaku menunggu Arthur mendekatinya, tangannya mengepal dengan erat. "Tolong maafkan aku, apapun akan aku lakukan agar kamu bisa menerimaku!" ucap Arthur dengan mata penuh kesedihan. Arta tak menjawab, namun dia membuang muka seolah tak sudi untuk menatap Arthur. "Mama bahkan sudah memaafkan kami, kenapa kamu saat membenci Papa?" ucap Ar
Dengan semangat membara Arthur pun berusaha untuk pulih secepatnya. Dia berusaha untuk berjalan dengan menggunakan tongkat, menyangga tubuhnya yang masih terasa lemah.Lintang pun melihat perkembangannya, antara gembira dan juga sedih karenanya. Juga di sisi lain dia mencemaskan keadaan Candra yang semakin hari justru semakin mengkhawatirkan. Itu membuat mereka semakin diburu waktu untuk secepatnya menemui Arta."Istirahat dulu, Sayang," kata Lintang ketika melihat Arthur yang terengah-engah dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Sudah sejak pagi dia berjalan-jalan di sekitar taman sampai matahari naik dan bersinar sedikit panas di atas mereka.Arthur pun mengangguk lalu berjalan menghampiri Lintang yang duduk di kursi taman."Kita harus segera pergi ke sana!" kata Arthur setelah meneguk minumannya.Lintang tersenyum mengangguk, "Ya, aku juga tidak sabar untuk segera memeluknya!" timpalnya.Arthur tersenyum letih, "Ya, kita pasti bisa!" ucapnya penuh keyakinan.Raut wajah Lintang be
Lintang merasa dia harus bertindak. Dia ingin sekali menangis menumpahkan semua rasa lelah dan kesedihannya, tapi dia tidak boleh lemah. Karena saat ini dirinyalah satu-satunya yang bisa menyatukan keluarga Adiwilaga, termasuk membuat Arta kembali pada mereka.Hari ini Arthur pulang ke rumah, kondisinya sudah sedikit lebih baik dan menurut dokter masa pemulihannya bisa berjalan dari rumah."Senang rasanya kembali ke rumah!" ucap Arthur ketika turun dari mobil, Bram membantunya untuk duduk di kursi roda."Selamat datang kembali di rumah!" ucap Lintang, dia mencondongkan tubuhnya memeluk suaminya dengan hangat.Arthur tersenyum, namun matanya tidak bisa menepis pemandangan dari wajah Lintang yang tampak kelelahan dengan kantung hitam di bawah matanya."Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Kamu terlihat tidak sehat!" tanya Arthur dengan khawatir.Lintang menatap ke arah Bram dan Mira bergantian, lalu tersenyum canggung."Tidak apa-apa, hanya sedikit kurang tidur saja" tepisnya.Arthur tersen
Candra melangkah menuju kamarnya, namun ada yang berbeda dengan langkahnya, yang tampak sedikit diseret dan tampak terhuyung-huyung. Pria tua itu membuka mulutnya untuk bernafas, dia merasa oksigen semakin menipis di sekitarnya sehingga dia tampak tersengal-sengal. "Ya, Tuhan!" keluhnya pelan, tangannya yang bebas bergerak naik meraba dada kirinya. Pria tua itu menghentikan langkahnya untuk sekedar beristirahat, berharap jika dia bisa mendapat sedikit tenaga. Namun kemudian dia mengernyit dengan nafas tertahan, bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. Tangannya yang memegang tongkat terlepas, bermaksud untuk mengjangkau dinding karena dia merasa tubuhnya lemas. Namun sebelum tangannya menyentuh tembok di dekatnya, Candra sudah ambruk di lantai. Tangannya tanpa sengaja mendorong sebuah guci sehingga oleng dan lalu jatuh pecah berantakan, membuat suara nyaring di sepanjang koridor kamar. Mira yang baru saja pulang dari kantor menjalankan perintah Candra terkejut mendengar suara b
Bram menatap Arta menunggu jawaban anak itu, sorotan matanya terlihat tegas ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Arta. Dia tidak akan bersikap lunak pada anak itu karena dia takut jika Arta terlalu lama dibiarkan seperti ini, maka dia akan semakin menjauh dari ayah dan ibunya sendiri."Arta?"Arta pun tampak sedikit gentar menghadapi Bram, kepalanya tertunduk dalam."A-aku ... tidak ingin mengganggu istirahat Papa, lain kali saja aku akan datang, Paman!" ucapnya.Alya merangkul bahu Arta untuk membuatnya sedikit tenang, dia juga menyadari jika ternyata anak itu terlihat segan terhadap Bram daripada orang lain.Bram menarik nafas panjang."Baiklah, kamu beristirahatlah dengan lebih baik di sana sampai ayah dan ibumu menjemputmu nanti," kata Bram, dia maju untuk menyentuh kepala Arta. Dia juga merasa sedikit bersalah karena bersikap tegas pada anak itu.Arta pun mengangguk, "Terimakasih, Paman!" ucapnya.Bram kemudian menatap Fala, "Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku!" katanya.
Arta tampak tengah duduk di ranjangnya, memperhatikan Fala yang sedang membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas. Dia sudah diperbolehkan pulang hari ini."Kamu siap untuk pulang?" tanya Fala tanpa menoleh, setelah menutup tas itu barulah dia memutar tubuhnya ke arah Arta.Anak laki-laki itu tak langsung menjawab, dia malah balik menatapnya. Sorot matanya terlihat ragu."Ada apa, Nak?" tanya Fala tanggap, karena dia melihat jika Arta sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Dia lalu mendekat dan duduk di dekat anak itu.Arta tertunduk memandangi tangannya yang sedang memegang rubik. "Apa aku bisa pulang bersama kalian saja?" tanyanya.Fala tertegun mendengarnya. Itu memang menggembirakan, apalagi jika Alya tahu. Tapi situasinya saat ini sungguh riskan, dia tak bisa memutuskan begitu saja sekarang ini. Fala pun menghela nafas dan menyentuh kepala Arta dengan lembut."Kamu tahu sekarang kami sudah tidak berhak lagi menentukan, kecuali kamu meminta izin dulu pada orangtuamu," kata F
Pagi hari, Arthur sepenuhnya membuka mata. Kondisinya masih tampak lemah, namun setidaknya dia sudah bisa diajak bicara."Anda bisa menemaninya di sini, tapi tolong jangan mengajaknya mengobrol terlalu lama, beliau masih butuh istirahat!" kata Dokter memberi imbauan.Lintang pun mengangguk, dia mengerti kondisi Arthur saat ini. Meskipun begitu dia cukup lega karena suaminya sudah melewati masa kritis malam tadi.Dokter pun tersenyum kemudian berpamitan keluar dari ruangan.Alya dan Bram mengerti, mereka turut berpamitan dan memilih menunggu di luar dan membiarkan Lintang menemani Arthur sendirian saja."Selamat pagi!" sapa Lintang menyentuh tangan Arthur dengan lembut.Arthur yang saat itu masih terpejam pun perlahan membuka matanya, dia tersenyum melihat Lintang ada di sampingnya."Kamu di sini," ucapnya, suaranya setengah berbisik.Lintang menarik kursi dan duduk lebih dekat selagi memegangi tangan Arthur."Selamat datang kembali!" ucap Lintang seraya mencium tangan Arthur.Arthur t
Arthur mengalami lonjakan kondisi yang menegangkan, beberapa orang dokter berusaha untuk menolongnya hingga untuk beberapa lama ruangan itu pun tertutup dan tak terdengar apapun. Membuat Lintang yang menunggu di luar semakin tegang dan dipenuhi kecemasan tak terkira.Saat-saat yang menegangkan pun kemudian berlalu, dan suara pintu yang terbuka membuat semua orang yang menunggu di luar seketika berdiri menyambut dokter yang keluar dari dalam sana."Bagaimana, Dok? Bagaimana suami saya? Apa dia baik-baik saja? Apa dia selamat?" Lintang langsung mengajukan beberapa pertanyaan, Alya berdiri di sampingnya dan mengusap bahu wanita itu untuk membuatnya tenang.Dokter tampak menarik nafas panjang, sepertinya dia pun baru saja melalui saat-saat tegang mengurus pasiennya itu. Tapi kemudian raut wajahnya terlihat cerah."Tuan Arthur berhasil melalui masa kritisnya, dia baik-baik saja!" jawabnya.Lintang pun seketika meluruhkan bahunya dan menangis dengan penuh rasa syukur."Terima kasih, Ya Tuha
Arta tampak marah di kursi rodanya, dia menatap semua orang Lintang dan Alya dengan mata merah berair."Kenapa kalian menyembunyikannya dariku? Apa lagi hal yang kalian sembunyikan? APA?!" teriaknya histeris. Dia bangkit dari kursi rodanya, lalu dengan langkah hampir limbung berlari menjauh."Arta!" "Lepas!" sergah Arta pada Fala yang menangkapnya karena hampir terjatuh. Fala pun membiarkannya dan hanya bisa menatap anak itu berlari pergi ke arah lain."Mas, bagaimana ini?" kata Alya menghampiri Fala dengan wajah cemas.Fala memegang tangan istrinya itu, "Kita biarkan saja dulu, akan sangat kacau jika kita menahannya saat ini," katanya sendu.Lintang pun terdiam dalam tangis.Fala lalu menoleh pada Alya, "Kamu temani Lintang, biar aku yang mengawasi Arta," katanya, yang kemudian diangguki oleh Alya.Fala menatap Lintang sebentar sebelum akhirnya dia bergegas mengejar Arta. "Aku akan membantu mencarinya!" kata Bram, Lintang mengangguk setuju padanya.Bram pun berpamitan dan berlari