Lintang menahan senyum geli di sepanjang perjalanan mereka menuju ke kediaman Adiwilaga. Melihat wajah kaku Arthur yang tak menyukai warna rambut Lintang yang kini berubah cokelat keemasan. Selain itu wanita itu juga memotong rambut panjangnya hingga sebahu. Alasan lain ia memotong rambut adalah ia benci Wira dengan seenaknya menjambak rambutnya. Memperlakukannya sesuka hati seperti boneka. "Arthur!" panggil Lintang."Ya, Nona?" sahut Arthur meliriknya dari spion.Lintang tersenyum, lalu memajukan tubuhnya hingga ke belakang kursi kemudi. Melongokkan kepalanya di samping Arthur."Kamu marah?" goda Lintang menatap Arthur, yang justru malah membuatnya terpana dengan visual Sang Kapten dari jarak sedekat ini. Dan ia mengerjap kaget saat Arthur menoleh.Laki-laki itu pun tak kalah terkejut mendapati Lintang sudah ada di samping wajahnya. Dan sama-sama terpana dan tak bisa memalingkan pandangannya.Lintang memekik kaget saat mobil oleng dibarengi suara decit ban dan klakson bersahutan di
Arthur melaporkan apa saja yang terjadi selama dia bertugas pada atasannya, juga pada Wira. Dan pria itu langsung datang ke villa dan tiba saat hampir tengah malam.Saat itu Lintang bahkan enggan untuk tidur dan hanya duduk meringkuk di sofa. Dan Arthur menjaganya. "Bagaimana dia? Apa dia terluka?" tanya Wira begitu memasuki villa. "Nona baik-baik saja, hanya masih terguncang dan ketakutan," jawab Arthur. Wira terdiam, dia melayangkan pandangannya ke arah sofa dimana Lintang berbaring. Ia lalu berjalan mendekat dan berlutut di bawah kursi, tangannya membelai kepala Lintang dengan lembut."Sayang, apa kamu terluka?" tanyanya. Lintang hanya menggeleng menjawabnya. Sedari tadi dia sedang berpikir mengenai kejadian mengerikan, dimana bahkan dia belum seminggu menjadi istri Wira."Apa ada yang ingin kamu jelaskan?" tanya Lintang menatap Wira.Wira mengerutkan kening tak mengerti.Lintang menghela nafas, " Baru beberapa hari aku sudah mendapat ancaman pembunuhan selama 2 kali, dan selam
Setelah kejadian di puncak, Arthur semakin waspada dan ketat menjaga Lintang. Dia tak ingin kejadian yang sama terulang lagi, maka dari itu ia tak boleh lengah. Ia sendiri yang memilih mobil untuk di modifikasi sesuai dengan standar keamanan menurutnya sendiri.Mengganti semua kaca jendela mobil dengan kaca anti peluru dan beberapa senjata yang ia sembunyikan di kompartemen tersembunyi di dalam mobil. Ia juga memeriksa beberapa mobil yang biasa digunakan oleh Lintang.Kali ini ia benar-benar bekerja keras. Semua itu demi keselamatan Nona tercintanya.Ada acara peresmian kantor cabang baru di suatu kota, Wira menginginkan Lintang untuk ikut serta dan menemaninya ke pesta. "Aku tidak bisa, ada banyak pekerjaan di butik yang kemarin terbengkalai!" tolak Lintang tanpa menoleh. Dia memang berkata jujur, oleh karena acara pernikahan dan beberapa kejadian itu, butiknya menjadi terabaikan. Meski ada asisten yang mengurus semuanya, tentu akan berbeda. Dia tetap harus turun tangan dan memeriks
Dengan pesawat pribadi, Wira mengajak Lintang terbang menuju ke kota tujuan, dimana akan diadakan pesta peresmian kantor cabang perusahaan milik Wira. Tentu saja, Arthur juga disertakan. Lintang duduk bersama Wira, namun ia bisa melihat ke arah Arthur yang ada di kursi belakang. "Apa kamu sudah memilih gaun, Sayang?" tanya Wira.Lintang sejenak menunduk mengalihkan tatapan matanya ke arah Arthur. Lalu beralih pada Wira yang ada di hadapannya. "Sudah," jawab Lintang mengunci pandangan mereka. Wira mengerutkan keningnya curiga, ia memutar kepala melihat ke belakang. Namun di kursi sana tidak ada siapapun.Karena Arthur sudah tidak ada di tempat duduknya.Wira lalu kembali memusatkan fokusnya pada Lintang."Apa kamu pikir pengawalmu itu harus mendapat suit baru juga?" tukasnya tersenyum miring. Tangannya menggoyang-goyangkan gelas wine dengan lembut. Lintang berdecih, "Apa jetlag nanti tidak cukup memabukkan sampai kamu minum wine begitu?!" dengusnya tak menjawab pertanyaan Wira. I
Pesta itu berlangsung meriah, setelah peresmian yang ditandatangani oleh Wira, pesta berlanjut dengan acara berbincang selagi menikmati suguhan makan malam dan musik. Di pesta itu, Arthur diam-diam menjadi pusat perhatian dari para undangan khususnya wanita. Terlebih sikapnya saat ini terlihat wajar seperti para undangan lainnya, tak menunjukkan jika dia adalah ajudan. Dia berbaur dengan cakap dan santai. Bahkan Wira sendiri merasa sedikit minder dengannya. "Kamu terlalu berlebihan sama dia!" komentar Wira dengan nada kesal, dilihatnya Arthur dikerubungi wanita karyawan kantor di meja sebelah. Lintang terkekeh, "Apa kamu cemburu?!" ejeknya. Wira memutar bola matanya dengan bosan, "Untuk apa?!" tukasnya jengah. Lintang mendenguskan tawa kecil mendengarnya. Matanya lalu memperhatikan Arthur, ada rasa puas tersendiri melihat Sang Kapten begitu berkilau seperti itu. Ada kebanggaan tersendiri mengingat jika hati Arthur sudah menjadi miliknya. Wira sendiri tersenyum diam-diam. Ia
Lintang memperbaiki makeup dan penampilannya di toilet. Tepat sekali saat itu Wira muncul mencarinya."Kamu kok lama sekali?" kata Wira meraih lengan Lintang dengan sedikit kasar. Dia melongokkan kepalanya ke dalam toilet, kalau-kalau ada seseorang yang dicarinya bersembunyi di dalam. Lalu matanya bergulir menelusuri ruangan di sekitar mereka.Lintang menarik lengannya sampai terlepas dari pegangan Wira. Menatap tidak suka dengan tindakan suaminya itu."Apa-apaan kamu?!" dengus Lintang kesal. Wira tak menyahut, masih menatap curiga pada Lintang. Menelisik wajahnya siapa tahu ada perubahan meski sedikit saja. Itu membuat Lintang jengah."Aku ke toilet untuk memperbaiki riasan agar bekas luka dari pukulan tangan kamu tetap tertutupi oleh makeup, puas?!" semburnya sebal.Wira melotot dan langsung menyambar lengan Lintang kembali dan menyeretnya ke sisi ruangan yang lebih sepi. Didorongnya wanita itu hingga membentur dinding."Jangan ngomong sembarangan kamu!" gertaknya dengan suara tert
Wira mengeluh dalam tidurnya, dia bergerak berganti posisi. Kepalanya terasa berdenyut sakit, membuatnya meringis dan terpaksa terjaga."Lintang, tolong ambilkan minum!" erangnya.Hening. Wira pun menoleh ke sampingnya, dan mendapati tempat tidur kosong dengan sprei yang sudah dingin. Seketika matanya pun terbuka lebar dan bangun terduduk.Mengabaikan kepalanya yang berdenyut semakin menjadi, Wira menyibak selimut dan berdiri melangkahkan kakinya ke arah pintu keluar dari kamar. Di luar kamar yakni ruang tamu dan bar kecil, dan masih tak terlihat keberadaan istrinya itu. Perasaan curiga dan marah seketika menyeruak di dadanya. Ini masih dini hari tapi kemana Lintang?Saat tangannya hendak membuka pintu keluar, telinganya mendengar suara pintu dibuka di belakangnya. Ia pun menoleh.Lintang keluar dari kamar dengan wajah bingung menatapnya."Mau kemana? Masih mabuk ya sampai mengigau seperti itu?!" ejek Lintang tertawa kecil.Wajah Wira langsung memerah. Ia mengurungkan tangannya yang
Arthur mengawasi keempat lawannya, masing-masing dari pria berwajah garang dan tubuh tinggi besar dan bertato itu memegang senjata tumpul. Namun dari sudut matanya ia menangkap satu orang lagi di dalam mobil, bersiap dengan senjata apinya.Ini cukup genting, sudah dipastikan ia tidak akan bisa menghadapi mereka semua dengan konsentrasi terpecah seperti ini. Maka diam-diam dengan gerakan pelan, ia meraba sisi belakang telinganya. Mengaktifkan earpiece yang terpasang tersembunyi di sana. Meminta bantuan."Serahkan wanita itu jika kamu ingin tetap hidup, Bung!" ujar salah satu dari mereka.Arthur menyunggingkan senyum sinis. "Dalam mimpimu!" balasnya.Keempat penjahat itu pun saling pandang lalu tertawa terbahak-bahak. "Seperti yang dikatakannya, ajudan ini akan sangat keras kepala!" gelak mereka. "Tak apa, sudah lama kita tak mendapatkan lawan sebagus ini!""Tunggu apa lagi, hajar dia!"Arthur membuka mata lebar-lebar saat mereka maju menyerang. Mereka menyerang bersamaan, membuat Ar
Arta berlari keluar dari rumah sambil menangis. Namun ketika dia baru saja menginjakkan kakinya, dia terhenti dan tertegun karena mendapati Arthur dan Lintang ada di pintu gerbang halaman rumah mereka. "Arta!" panggil Lintang, matanya tampak sudah berkaca-kaca menatap Arta dengan penuh kerinduan. Namun tatapan mata Arta tertuju pada Arthur, anak itu tampak masih memiliki pandangan yang sama yaitu kebencian. "Anakku!" ucap Arthur seraya berjalan mendekat pada Arta. Ketika itu tampak Fala dan Alya keluar dari rumah untuk mengejar Arta, namun mereka pun terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Arthur dan Lintang ada di sana. Arta tampak berdiri kaku menunggu Arthur mendekatinya, tangannya mengepal dengan erat. "Tolong maafkan aku, apapun akan aku lakukan agar kamu bisa menerimaku!" ucap Arthur dengan mata penuh kesedihan. Arta tak menjawab, namun dia membuang muka seolah tak sudi untuk menatap Arthur. "Mama bahkan sudah memaafkan kami, kenapa kamu saat membenci Papa?" ucap Ar
Dengan semangat membara Arthur pun berusaha untuk pulih secepatnya. Dia berusaha untuk berjalan dengan menggunakan tongkat, menyangga tubuhnya yang masih terasa lemah.Lintang pun melihat perkembangannya, antara gembira dan juga sedih karenanya. Juga di sisi lain dia mencemaskan keadaan Candra yang semakin hari justru semakin mengkhawatirkan. Itu membuat mereka semakin diburu waktu untuk secepatnya menemui Arta."Istirahat dulu, Sayang," kata Lintang ketika melihat Arthur yang terengah-engah dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Sudah sejak pagi dia berjalan-jalan di sekitar taman sampai matahari naik dan bersinar sedikit panas di atas mereka.Arthur pun mengangguk lalu berjalan menghampiri Lintang yang duduk di kursi taman."Kita harus segera pergi ke sana!" kata Arthur setelah meneguk minumannya.Lintang tersenyum mengangguk, "Ya, aku juga tidak sabar untuk segera memeluknya!" timpalnya.Arthur tersenyum letih, "Ya, kita pasti bisa!" ucapnya penuh keyakinan.Raut wajah Lintang be
Lintang merasa dia harus bertindak. Dia ingin sekali menangis menumpahkan semua rasa lelah dan kesedihannya, tapi dia tidak boleh lemah. Karena saat ini dirinyalah satu-satunya yang bisa menyatukan keluarga Adiwilaga, termasuk membuat Arta kembali pada mereka.Hari ini Arthur pulang ke rumah, kondisinya sudah sedikit lebih baik dan menurut dokter masa pemulihannya bisa berjalan dari rumah."Senang rasanya kembali ke rumah!" ucap Arthur ketika turun dari mobil, Bram membantunya untuk duduk di kursi roda."Selamat datang kembali di rumah!" ucap Lintang, dia mencondongkan tubuhnya memeluk suaminya dengan hangat.Arthur tersenyum, namun matanya tidak bisa menepis pemandangan dari wajah Lintang yang tampak kelelahan dengan kantung hitam di bawah matanya."Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Kamu terlihat tidak sehat!" tanya Arthur dengan khawatir.Lintang menatap ke arah Bram dan Mira bergantian, lalu tersenyum canggung."Tidak apa-apa, hanya sedikit kurang tidur saja" tepisnya.Arthur tersen
Candra melangkah menuju kamarnya, namun ada yang berbeda dengan langkahnya, yang tampak sedikit diseret dan tampak terhuyung-huyung. Pria tua itu membuka mulutnya untuk bernafas, dia merasa oksigen semakin menipis di sekitarnya sehingga dia tampak tersengal-sengal. "Ya, Tuhan!" keluhnya pelan, tangannya yang bebas bergerak naik meraba dada kirinya. Pria tua itu menghentikan langkahnya untuk sekedar beristirahat, berharap jika dia bisa mendapat sedikit tenaga. Namun kemudian dia mengernyit dengan nafas tertahan, bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. Tangannya yang memegang tongkat terlepas, bermaksud untuk mengjangkau dinding karena dia merasa tubuhnya lemas. Namun sebelum tangannya menyentuh tembok di dekatnya, Candra sudah ambruk di lantai. Tangannya tanpa sengaja mendorong sebuah guci sehingga oleng dan lalu jatuh pecah berantakan, membuat suara nyaring di sepanjang koridor kamar. Mira yang baru saja pulang dari kantor menjalankan perintah Candra terkejut mendengar suara b
Bram menatap Arta menunggu jawaban anak itu, sorotan matanya terlihat tegas ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Arta. Dia tidak akan bersikap lunak pada anak itu karena dia takut jika Arta terlalu lama dibiarkan seperti ini, maka dia akan semakin menjauh dari ayah dan ibunya sendiri."Arta?"Arta pun tampak sedikit gentar menghadapi Bram, kepalanya tertunduk dalam."A-aku ... tidak ingin mengganggu istirahat Papa, lain kali saja aku akan datang, Paman!" ucapnya.Alya merangkul bahu Arta untuk membuatnya sedikit tenang, dia juga menyadari jika ternyata anak itu terlihat segan terhadap Bram daripada orang lain.Bram menarik nafas panjang."Baiklah, kamu beristirahatlah dengan lebih baik di sana sampai ayah dan ibumu menjemputmu nanti," kata Bram, dia maju untuk menyentuh kepala Arta. Dia juga merasa sedikit bersalah karena bersikap tegas pada anak itu.Arta pun mengangguk, "Terimakasih, Paman!" ucapnya.Bram kemudian menatap Fala, "Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku!" katanya.
Arta tampak tengah duduk di ranjangnya, memperhatikan Fala yang sedang membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas. Dia sudah diperbolehkan pulang hari ini."Kamu siap untuk pulang?" tanya Fala tanpa menoleh, setelah menutup tas itu barulah dia memutar tubuhnya ke arah Arta.Anak laki-laki itu tak langsung menjawab, dia malah balik menatapnya. Sorot matanya terlihat ragu."Ada apa, Nak?" tanya Fala tanggap, karena dia melihat jika Arta sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Dia lalu mendekat dan duduk di dekat anak itu.Arta tertunduk memandangi tangannya yang sedang memegang rubik. "Apa aku bisa pulang bersama kalian saja?" tanyanya.Fala tertegun mendengarnya. Itu memang menggembirakan, apalagi jika Alya tahu. Tapi situasinya saat ini sungguh riskan, dia tak bisa memutuskan begitu saja sekarang ini. Fala pun menghela nafas dan menyentuh kepala Arta dengan lembut."Kamu tahu sekarang kami sudah tidak berhak lagi menentukan, kecuali kamu meminta izin dulu pada orangtuamu," kata F
Pagi hari, Arthur sepenuhnya membuka mata. Kondisinya masih tampak lemah, namun setidaknya dia sudah bisa diajak bicara."Anda bisa menemaninya di sini, tapi tolong jangan mengajaknya mengobrol terlalu lama, beliau masih butuh istirahat!" kata Dokter memberi imbauan.Lintang pun mengangguk, dia mengerti kondisi Arthur saat ini. Meskipun begitu dia cukup lega karena suaminya sudah melewati masa kritis malam tadi.Dokter pun tersenyum kemudian berpamitan keluar dari ruangan.Alya dan Bram mengerti, mereka turut berpamitan dan memilih menunggu di luar dan membiarkan Lintang menemani Arthur sendirian saja."Selamat pagi!" sapa Lintang menyentuh tangan Arthur dengan lembut.Arthur yang saat itu masih terpejam pun perlahan membuka matanya, dia tersenyum melihat Lintang ada di sampingnya."Kamu di sini," ucapnya, suaranya setengah berbisik.Lintang menarik kursi dan duduk lebih dekat selagi memegangi tangan Arthur."Selamat datang kembali!" ucap Lintang seraya mencium tangan Arthur.Arthur t
Arthur mengalami lonjakan kondisi yang menegangkan, beberapa orang dokter berusaha untuk menolongnya hingga untuk beberapa lama ruangan itu pun tertutup dan tak terdengar apapun. Membuat Lintang yang menunggu di luar semakin tegang dan dipenuhi kecemasan tak terkira.Saat-saat yang menegangkan pun kemudian berlalu, dan suara pintu yang terbuka membuat semua orang yang menunggu di luar seketika berdiri menyambut dokter yang keluar dari dalam sana."Bagaimana, Dok? Bagaimana suami saya? Apa dia baik-baik saja? Apa dia selamat?" Lintang langsung mengajukan beberapa pertanyaan, Alya berdiri di sampingnya dan mengusap bahu wanita itu untuk membuatnya tenang.Dokter tampak menarik nafas panjang, sepertinya dia pun baru saja melalui saat-saat tegang mengurus pasiennya itu. Tapi kemudian raut wajahnya terlihat cerah."Tuan Arthur berhasil melalui masa kritisnya, dia baik-baik saja!" jawabnya.Lintang pun seketika meluruhkan bahunya dan menangis dengan penuh rasa syukur."Terima kasih, Ya Tuha
Arta tampak marah di kursi rodanya, dia menatap semua orang Lintang dan Alya dengan mata merah berair."Kenapa kalian menyembunyikannya dariku? Apa lagi hal yang kalian sembunyikan? APA?!" teriaknya histeris. Dia bangkit dari kursi rodanya, lalu dengan langkah hampir limbung berlari menjauh."Arta!" "Lepas!" sergah Arta pada Fala yang menangkapnya karena hampir terjatuh. Fala pun membiarkannya dan hanya bisa menatap anak itu berlari pergi ke arah lain."Mas, bagaimana ini?" kata Alya menghampiri Fala dengan wajah cemas.Fala memegang tangan istrinya itu, "Kita biarkan saja dulu, akan sangat kacau jika kita menahannya saat ini," katanya sendu.Lintang pun terdiam dalam tangis.Fala lalu menoleh pada Alya, "Kamu temani Lintang, biar aku yang mengawasi Arta," katanya, yang kemudian diangguki oleh Alya.Fala menatap Lintang sebentar sebelum akhirnya dia bergegas mengejar Arta. "Aku akan membantu mencarinya!" kata Bram, Lintang mengangguk setuju padanya.Bram pun berpamitan dan berlari