Dini hari menjelang, sesosok siluet tubuh seseorang berjalan mengendap-endap menuju kamar Lintang yang ada di lantai atas. Dengan kaki telanjang tak bersepatu, ia berjalan pelan-pelan. Sesekali ia menoleh ke sekitarnya, memastikan tidak ada orang yang melihatnya.Dia Mira, Lintang memerintahkannya untuk mengambil semua barang-barang berharga miliknya dari kamar. Mereka berencana untuk pergi dari rumah ini sebelum hasil tes DNA itu keluar.Lintang menghela nafas berat sambil membereskan beberapa potong pakaian ke dalam ransel kecil."Apapun hasilnya nanti, kita harus pergi dari sini, Nak!" ucap Lintang menatap Arta yang ada di keranjangnya. "Karena bagi mereka, kamu tetap keturunan Bramantya," Lintang memejamkan mata, merasakan dadanya yang sesak tak terkira. Seolah tak habis-habis penderitaan yang harus mereka alami. Lintang menatapi Arta. Tangan dan kaki mungil itu terlihat lembut dan menggemaskan. Pipinya gembul karena Arta kuat menyusu, seolah tak pernah kenyang bahkan selalu d
Berita menyebar dengan cepat di media massa, jika Lintang hamil dan melahirkan di luar nikah dan mereka bertanya-tanya siapa ayah dari anak yang dilahirkannya. Rumor jelek pun berhembus kencang dan membuat nama Adiwilaga menjadi bahan gunjingan dimana-mana.Ini sudah beberapa minggu dan Lintang masih belum ditemukan. Yasmin yang kesal semakin berang karena dicemooh dan diejek oleh teman-temannya di kalangan istri pejabat dan kaum elit. "Apa kalian masih belum menemukan dia?" tanya Yasmin pada Candra dan Wira. Wanita itu datang dengan wajah gusar dan marah.Candra menggeleng, "Mereka seolah hilang ditelan bumi!" ujarnya seraya memijat keningnya.Wira mendengus malas mendengarnya. Sudah hampir 2 minggu namun mereka masih belum menemukan titik terang dimana Lintang berada. Wira melacak keberadaan Lintang dari penarikan kartu atm, namun wanita itu rupanya cukup cerdas. Karena terakhir kali penarikan atm sekitar 2 minggu lalu saat Lintang kabur dari kediaman Adiwilaga. Dengan penarikan s
Arthur menarik tangannya dengan perlahan, dan menggantinya dengan bantal di bawah kepala Hazen. Gadis itu tertidur lelap bersamanya sejak semalam. Kelelahan setelah menyelamatkan Catherine dari kejaran paparazzi yang berujung penguntitan. Entah, sepertinya gadis itu selalu terbentur masalah."Kau mau kemana?" erang Hazen dengan suaranya yang serak, tanpa membuka matanya.Arthur tersenyum, dibelainya kepala Hazen dengan lembut. Membuat gadis itu tersenyum dengan mata masih terpejam.'"Tidurlah, ini masih terlalu pagi," ucap Arthur setengah berbisik lalu menunduk mengecup kening Hazen.Hazen mengguman menjawabnya dan kembali terlelap. Perlahan Arthur pun bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi. Hingga tak lama kemudian suara gemericik air terdengar merdu jatuh menimpa lantai marmer di bawahnya.Selanjutnya Arthur keluar dari kamar, menuju dapur dan berniat menyiapkan sarapan. Ketika itu ponselnya berdenting pelan, ia pun memeriksanya.Sebuah email dari Bram, sudah lama s
Hari-hari selanjutnya Arthur selalu berkomunikasi dengan Bram. Sahabatnya itu tak pernah absen mengirimkan kebersamaannya dengan bayi kecilnya yang kadang membuat iri. Arthur pun tak jarang mengirim pesan hanya untuk sekedar ingin melihat foto si bayi mungil itu. Hanya saja Bram selalu menolak jika Arthur ingin melakukan panggilan video. Sedikit aneh saja di zaman sekarang, jarak ribuan bahkan belasan ribu kilometer tidak akan ada artinya dengan adanya kecanggihan teknologi buatan manusia. Namun itu tak menjadi kendala, karena dengan adanya foto-foto Bram dengan bayi itu sedikit mengobati rasa rindunya akan tanah air tercinta.Hazen tersenyum saat mendapati Arthur tengah tersenyum-senyum menatapi layar ponselnya. Dan itu sudah mengherankan lagi karena penyebabnya tak lain adalah foto bayi temannya itu."Jika gadis lain cemburu kekasihnya bercinta dengan orang lain, maka aku cemburu hanya pada foto bayi mungil yang keimutannya tak bisa kutandingi!" ujar Hazen memeluk pinggang Arthur
Yasmin merasa puas dengan apa yang dilakukannya hari ini. Dia berhasil menculik putra Lintang dan membawanya pergi ke suatu tempat. "Apa yang sudah kamu lakukan, Bu? Katakan!" desak Candra, tangannya mencengkeram lengan Yasmin. Yasmin menggerakkan tangannya sampai pegangan Candra terlepas. "Dia akan tumbuh bersama orang lain, melupakan jati dirinya dan hidup sebagai anak orang lain!" tegas Yasmin tersenyum puas. Candra menggeram marah."Jangan main-main kamu, Bu! Dia anak manusia! Jangan sampai kamu keterlaluan!" Candra memberi peringatan. Yasmin hanya memutar bola matanya tak peduli."Aku mencoba menyelamatkan nama baik kita, Pak!" ujarnya membela diri, "biar nanti Lintang pulang sendiri, dia pasti mencari anaknya itu dan datang ke sini!" Candra kehabisan kata menghadapi istrinya itu. Dia mendesaknya untuk mengatakan semuanya namun Yasmin tetap bungkam. "Jika aku memberitahu kamu, Pak, kamu pasti akan menyusulnya dan mengembalikannya pada Lintang -" "Tentu saja, Bu!" potong Ca
Lintang menatapi foto Arta dengan sendu. Sudah berbulan-bulan berlalu tapi pencarian mereka masih belum membuahkan hasil. Tanpa lelah ia menelusuri setiap petunjuk meski hanya sekedar kabar belaka, ia akan nekat pergi. Pernah sekali waktu ada orang yang memberitahu Lintang, yang mengatakan melihat keberadaan Baby Arta di suatu tempat. Lintang tanpa pikir panjang lagi segera kesana tanpa kawalan dan tidak memberi tahu Bram. Ternyata itu hanya penipu yang ingin menjebak Lintang. Beruntung Bram memerintahkan anak buahnya mengikuti Lintang diam-diam dan berhasil menyelamatkan wanita itu sebelum menjadi korban.Sejak itu, baik Bram maupun Candra tak mengizinkan Lintang pergi seorang diri tanpa izin dan pemberitahuan pada mereka."Nona, mari kita makan dulu," Mira muncul ke kamar Lintang, "Nona belum makan apapun sejak kemarin!"Lintang hanya diam tak menjawab, matanya menatap ke halaman belakang. Pada sebuah gundukan tanah yang dia ingat sebagai makam dari Layla, saudara kembar Arta. Kini
Arthur terduduk lemas saat mendapat kabar dari jika bayi itu sudah meninggal. Dia sama sekali tidak menyangka akan hal itu. Dan entah kenapa hatinya terasa sakit bahkan dia tak bisa menahan air matanya.Hazen yang melihatnya pun segera mendekat."Ada apa?" tanyanya menyentuh bahu laki-laki itu dengan lembut, "apa ada hal buruk terjadi?" Arthur mengusap wajahnya, "Temanku mengatakan jika bayinya meninggal!" ucapnya lirih.Hazen menutup mulutnya terkejut, ikut merasa prihatin dengan apa yang didengarnya."Apa kau baik-baik saja?" tanya Hazen.Arthur tersenyum pahit, "Aku tidak tahu, aku hanya merasa sakit mendengarnya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan ibunya!" ungkapnya.Arthur lalu menatap Hazen."Waktuku sebentar lagi habis, cepat atau lambat aku pun akan segera kembali pulang," ucapnya memegang wajah Hazen, "aku berharap bisa membawamu pulang dan kita menikah di sana!"Hazen terdiam lalu tersenyum seraya menggeleng pelan."Aku tidak bisa, hidupku ada di sini!" Arthur
Arthur menatap lekat pada Hazen. Berharap mendengar jawaban yang positif dari gadis itu. Sudah 5 tahun berlalu dan tugasnya sudah selesai dia akan kembali pulang ke Indonesia. Kebersamaan yang bersama Hazen selama 5 tahun tentu bukan hal yang sepele dan dia meminta gadis itu untuk ikut bersamanya dan menikah."Aku harap kau menjawab 'iya', karena aku tidak menerima penolakan!" kata Arthur tersenyum.Namun tanpa diduga Hazen menggeleng pelan, "Maaf aku tidak bisa!" jawabnya yang sontak membuat senyum di wajah Arthur pun lenyap, berubah sendu."Tapi kenapa?" ucapnya tak percaya. Setelah sekian lama bersama, Arthur mengira akan mudah baginya meminta Hazen untuk menikah dan ikut bersamanya."Cukuplah aku menjadi kekasihmu di sini, tapi maaf aku tidak bisa ikut denganmu pulang ke Indonesia!" kata Hazen tersenyum tipis."Tapi kenapa? Kita sudah bersama-sama selama beberapa tahun ini, menikahlah denganku!" pinta Arthur lagi. Hazen tersenyum, dia lalu mendekat pada Arthur."Aku mencintaimu,
Arta berlari keluar dari rumah sambil menangis. Namun ketika dia baru saja menginjakkan kakinya, dia terhenti dan tertegun karena mendapati Arthur dan Lintang ada di pintu gerbang halaman rumah mereka. "Arta!" panggil Lintang, matanya tampak sudah berkaca-kaca menatap Arta dengan penuh kerinduan. Namun tatapan mata Arta tertuju pada Arthur, anak itu tampak masih memiliki pandangan yang sama yaitu kebencian. "Anakku!" ucap Arthur seraya berjalan mendekat pada Arta. Ketika itu tampak Fala dan Alya keluar dari rumah untuk mengejar Arta, namun mereka pun terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Arthur dan Lintang ada di sana. Arta tampak berdiri kaku menunggu Arthur mendekatinya, tangannya mengepal dengan erat. "Tolong maafkan aku, apapun akan aku lakukan agar kamu bisa menerimaku!" ucap Arthur dengan mata penuh kesedihan. Arta tak menjawab, namun dia membuang muka seolah tak sudi untuk menatap Arthur. "Mama bahkan sudah memaafkan kami, kenapa kamu saat membenci Papa?" ucap Ar
Dengan semangat membara Arthur pun berusaha untuk pulih secepatnya. Dia berusaha untuk berjalan dengan menggunakan tongkat, menyangga tubuhnya yang masih terasa lemah.Lintang pun melihat perkembangannya, antara gembira dan juga sedih karenanya. Juga di sisi lain dia mencemaskan keadaan Candra yang semakin hari justru semakin mengkhawatirkan. Itu membuat mereka semakin diburu waktu untuk secepatnya menemui Arta."Istirahat dulu, Sayang," kata Lintang ketika melihat Arthur yang terengah-engah dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Sudah sejak pagi dia berjalan-jalan di sekitar taman sampai matahari naik dan bersinar sedikit panas di atas mereka.Arthur pun mengangguk lalu berjalan menghampiri Lintang yang duduk di kursi taman."Kita harus segera pergi ke sana!" kata Arthur setelah meneguk minumannya.Lintang tersenyum mengangguk, "Ya, aku juga tidak sabar untuk segera memeluknya!" timpalnya.Arthur tersenyum letih, "Ya, kita pasti bisa!" ucapnya penuh keyakinan.Raut wajah Lintang be
Lintang merasa dia harus bertindak. Dia ingin sekali menangis menumpahkan semua rasa lelah dan kesedihannya, tapi dia tidak boleh lemah. Karena saat ini dirinyalah satu-satunya yang bisa menyatukan keluarga Adiwilaga, termasuk membuat Arta kembali pada mereka.Hari ini Arthur pulang ke rumah, kondisinya sudah sedikit lebih baik dan menurut dokter masa pemulihannya bisa berjalan dari rumah."Senang rasanya kembali ke rumah!" ucap Arthur ketika turun dari mobil, Bram membantunya untuk duduk di kursi roda."Selamat datang kembali di rumah!" ucap Lintang, dia mencondongkan tubuhnya memeluk suaminya dengan hangat.Arthur tersenyum, namun matanya tidak bisa menepis pemandangan dari wajah Lintang yang tampak kelelahan dengan kantung hitam di bawah matanya."Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Kamu terlihat tidak sehat!" tanya Arthur dengan khawatir.Lintang menatap ke arah Bram dan Mira bergantian, lalu tersenyum canggung."Tidak apa-apa, hanya sedikit kurang tidur saja" tepisnya.Arthur tersen
Candra melangkah menuju kamarnya, namun ada yang berbeda dengan langkahnya, yang tampak sedikit diseret dan tampak terhuyung-huyung. Pria tua itu membuka mulutnya untuk bernafas, dia merasa oksigen semakin menipis di sekitarnya sehingga dia tampak tersengal-sengal. "Ya, Tuhan!" keluhnya pelan, tangannya yang bebas bergerak naik meraba dada kirinya. Pria tua itu menghentikan langkahnya untuk sekedar beristirahat, berharap jika dia bisa mendapat sedikit tenaga. Namun kemudian dia mengernyit dengan nafas tertahan, bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. Tangannya yang memegang tongkat terlepas, bermaksud untuk mengjangkau dinding karena dia merasa tubuhnya lemas. Namun sebelum tangannya menyentuh tembok di dekatnya, Candra sudah ambruk di lantai. Tangannya tanpa sengaja mendorong sebuah guci sehingga oleng dan lalu jatuh pecah berantakan, membuat suara nyaring di sepanjang koridor kamar. Mira yang baru saja pulang dari kantor menjalankan perintah Candra terkejut mendengar suara b
Bram menatap Arta menunggu jawaban anak itu, sorotan matanya terlihat tegas ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Arta. Dia tidak akan bersikap lunak pada anak itu karena dia takut jika Arta terlalu lama dibiarkan seperti ini, maka dia akan semakin menjauh dari ayah dan ibunya sendiri."Arta?"Arta pun tampak sedikit gentar menghadapi Bram, kepalanya tertunduk dalam."A-aku ... tidak ingin mengganggu istirahat Papa, lain kali saja aku akan datang, Paman!" ucapnya.Alya merangkul bahu Arta untuk membuatnya sedikit tenang, dia juga menyadari jika ternyata anak itu terlihat segan terhadap Bram daripada orang lain.Bram menarik nafas panjang."Baiklah, kamu beristirahatlah dengan lebih baik di sana sampai ayah dan ibumu menjemputmu nanti," kata Bram, dia maju untuk menyentuh kepala Arta. Dia juga merasa sedikit bersalah karena bersikap tegas pada anak itu.Arta pun mengangguk, "Terimakasih, Paman!" ucapnya.Bram kemudian menatap Fala, "Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku!" katanya.
Arta tampak tengah duduk di ranjangnya, memperhatikan Fala yang sedang membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas. Dia sudah diperbolehkan pulang hari ini."Kamu siap untuk pulang?" tanya Fala tanpa menoleh, setelah menutup tas itu barulah dia memutar tubuhnya ke arah Arta.Anak laki-laki itu tak langsung menjawab, dia malah balik menatapnya. Sorot matanya terlihat ragu."Ada apa, Nak?" tanya Fala tanggap, karena dia melihat jika Arta sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Dia lalu mendekat dan duduk di dekat anak itu.Arta tertunduk memandangi tangannya yang sedang memegang rubik. "Apa aku bisa pulang bersama kalian saja?" tanyanya.Fala tertegun mendengarnya. Itu memang menggembirakan, apalagi jika Alya tahu. Tapi situasinya saat ini sungguh riskan, dia tak bisa memutuskan begitu saja sekarang ini. Fala pun menghela nafas dan menyentuh kepala Arta dengan lembut."Kamu tahu sekarang kami sudah tidak berhak lagi menentukan, kecuali kamu meminta izin dulu pada orangtuamu," kata F
Pagi hari, Arthur sepenuhnya membuka mata. Kondisinya masih tampak lemah, namun setidaknya dia sudah bisa diajak bicara."Anda bisa menemaninya di sini, tapi tolong jangan mengajaknya mengobrol terlalu lama, beliau masih butuh istirahat!" kata Dokter memberi imbauan.Lintang pun mengangguk, dia mengerti kondisi Arthur saat ini. Meskipun begitu dia cukup lega karena suaminya sudah melewati masa kritis malam tadi.Dokter pun tersenyum kemudian berpamitan keluar dari ruangan.Alya dan Bram mengerti, mereka turut berpamitan dan memilih menunggu di luar dan membiarkan Lintang menemani Arthur sendirian saja."Selamat pagi!" sapa Lintang menyentuh tangan Arthur dengan lembut.Arthur yang saat itu masih terpejam pun perlahan membuka matanya, dia tersenyum melihat Lintang ada di sampingnya."Kamu di sini," ucapnya, suaranya setengah berbisik.Lintang menarik kursi dan duduk lebih dekat selagi memegangi tangan Arthur."Selamat datang kembali!" ucap Lintang seraya mencium tangan Arthur.Arthur t
Arthur mengalami lonjakan kondisi yang menegangkan, beberapa orang dokter berusaha untuk menolongnya hingga untuk beberapa lama ruangan itu pun tertutup dan tak terdengar apapun. Membuat Lintang yang menunggu di luar semakin tegang dan dipenuhi kecemasan tak terkira.Saat-saat yang menegangkan pun kemudian berlalu, dan suara pintu yang terbuka membuat semua orang yang menunggu di luar seketika berdiri menyambut dokter yang keluar dari dalam sana."Bagaimana, Dok? Bagaimana suami saya? Apa dia baik-baik saja? Apa dia selamat?" Lintang langsung mengajukan beberapa pertanyaan, Alya berdiri di sampingnya dan mengusap bahu wanita itu untuk membuatnya tenang.Dokter tampak menarik nafas panjang, sepertinya dia pun baru saja melalui saat-saat tegang mengurus pasiennya itu. Tapi kemudian raut wajahnya terlihat cerah."Tuan Arthur berhasil melalui masa kritisnya, dia baik-baik saja!" jawabnya.Lintang pun seketika meluruhkan bahunya dan menangis dengan penuh rasa syukur."Terima kasih, Ya Tuha
Arta tampak marah di kursi rodanya, dia menatap semua orang Lintang dan Alya dengan mata merah berair."Kenapa kalian menyembunyikannya dariku? Apa lagi hal yang kalian sembunyikan? APA?!" teriaknya histeris. Dia bangkit dari kursi rodanya, lalu dengan langkah hampir limbung berlari menjauh."Arta!" "Lepas!" sergah Arta pada Fala yang menangkapnya karena hampir terjatuh. Fala pun membiarkannya dan hanya bisa menatap anak itu berlari pergi ke arah lain."Mas, bagaimana ini?" kata Alya menghampiri Fala dengan wajah cemas.Fala memegang tangan istrinya itu, "Kita biarkan saja dulu, akan sangat kacau jika kita menahannya saat ini," katanya sendu.Lintang pun terdiam dalam tangis.Fala lalu menoleh pada Alya, "Kamu temani Lintang, biar aku yang mengawasi Arta," katanya, yang kemudian diangguki oleh Alya.Fala menatap Lintang sebentar sebelum akhirnya dia bergegas mengejar Arta. "Aku akan membantu mencarinya!" kata Bram, Lintang mengangguk setuju padanya.Bram pun berpamitan dan berlari