Arthur mendapat tugas di Kedubes Indonesia yang ada di New York. Ia menjadi salah satu ajudan duta besar RI di sini, maka secara kebetulan kesempatan itu tak mereka sias-siakan untuk mencari menelusuri keberadaan Arta. Sebagai salah satu staff, Arthur juga mendapat rumah dinas sebagai tempat tinggalnya. Dan kini ia tempati bersama Lintang. "Selamat pagi, Sayang!" sapa Arthur langkahnya memasuki dapur. Lintang yang tengah memasak pun menoleh dan tersenyum."Pagi juga!" balasnya, ia tertawa saat Arthur menciumnya dengan gemas. "Duduk sajalah dulu, ini belum masak!" katanya kemudian. Arthur mengangguk seraya menarik salah satu kursi, ia lalu duduk berpangku dagu memandangi Lintang yang berdiri membelakanginya. Suatu pemandangan indah yang menghangatkan hati. Yang ia masih saja selalu terkejut setiap pagi saat mendapati Lintang tertidur dalam pelukannya. Tak menyangka jika wanita yang menjadi pujaan hati kini ada bersamanya. "Heh? Kenapa?" tegur Lintang menahan tawa melihat Arthur
Resepsi pernikahan terlihat sederhana namun sangat berkesan bagi Arthur dan Lintang. Setelah resmi menjadi suami istri mereka merayakannya dengan sebuah pesta kecil-kecilan di taman belakang rumah baru yang diberikan oleh Candra. Sebuah rumah kayu besar namun mewah di pinggir danau. Lintang yang melihatnya langsung memekik kegirangan dan memeluk ayahnya sambil menangis."Terimakasih, Ayah! Ini hadiah pernikahan yang akan terganti dengan apapun!" serunya terharu.Candra mengangguk dengan senyum hangatnya, "Ya, masih ada hadiah lainnya yang menunggu kalian!" ucapnya.Lintang menggeleng, "Apa lagi yang mau Ayah berikan? Semua ini bahkan lebih dari cukup bagiku!" ucapnya sambil tertawa bahagia di sela tangisnya.Candra menghela nafas panjang, "Bahkan akan kuserahkan semuanya padamu, tapi seolah tidak akan cukup!" kata Candra mengusap matanya seraya tertawa kecil.Lintang melihatnya dengan wajah sendu, ia menoleh saat Arthur datang dan merangkulnya. Pria yang kini menjadi suaminya itu ter
Hazen memutar tubuhnya seraya mendorong troli ke arah lain, berniat untuk pergi dan menjauh dari Arthur. Namun pria itu menghadangnya."Tunggu, Hazen!" tahannya memegang troli gadis itu.Hazen menghela nafas panjang, "Apa yang kau lakukan? Jangan halangi jalanku!" ujarnya dengan nada malas.Arthur terdiam mendengarnya, matanya menyorot sendu."Aku tahu, maafkan aku!" ucapnya pelan. "Lupakan! Menyingkirlah sebelum kutembak kepalamu!" dengus Hazen seraya menghentak troli, lalu melangkah pergi. Arthur hanya bisa terdiam melihatnya pergi. Hazen sendiri menghela nafas, sembari berjalan menjauh, dia mengusap air matanya dengan kasar."Ayolah, Hazen! Dia tak seberarti itu buatmu!" gumamnya, tapi yang ada justru air matanya kembali meleleh tanpa bisa ditahan. Hazen kembali mencari makanan lain, sejenak ia pun lupa akan Arthur dan menikmati belanja makanan kecil sambil tersenyum membayangkan bagaimana senangnya Raffa nanti melihat isi kulkasnya yang penuh dengan makanan kesukaannya. Setela
Arthur dan Lintang diantar oleh Fala ke rumah sakit, untuk memeriksa luka mereka. Lintang mengalami cedera ringan di tulang leher dan harus memakai alat penyangga untuk beberapa hari. Sementara Arthur luka robek di tangan akibat pecahan botol itu, dan beberapa lebam."Terimakasih sudah membantu!" kata Arthur menjabat tangan Fala saat mereka berjalan keluar dari ruang UGD. Ada banyak korban yang lain yang beruntungnya hanya mengalami luka ringan dan tidak ada korban jiwa. Kecelakaan beruntun itu pun menjadi berita utama di televisi malam itu. Kamera drone menunjukkan pemandangan mobil-mobil yang saling berhimpitan satu sama lain dan mengepulkan asap."Tuhan masih melindungi kalian," kata Fala tersenyum. Arthur dan Lintang pun saling pandang dengan penuh rasa syukur, membenarkan ucapan Fala. "Ah, apa mobil kalian disana?" tanya Fala.Arthur mengangguk, "Sepertinya rusak berat!" ucapnya pasrah.Fala mengangguk-angguk. Jika melihat di berita pun semuanya tampak kacau dan mobil yang ter
Arthur selesai bekerja untuk hari ini, dia berniat untuk mampir ke bengkel Hazen sore itu. Entah rasanya dia merasa rindu dengan gadis itu setelah pertemuan singkat di cafe.Begitu memasuki bengkel kakinya sudah disambut dengan sebuah mobil remot kontrol yang menabraknya. Arthur menunduk dan mengerutkan kening, diangkatnya mobil itu. Dan saat ia kembali menegakkan badannya ia tertegun melihat anak kecil yang berdiri di hadapannya memegang sebuah remot kontrol. Anak itu tak lain adalah Raffa."Hei, Nak! Kau disini?" tanya Arthur heran, sekaligus sedikit terkejut menyadari rambut Raffa yang coklat kehitaman secara keseluruhan. Wajahnya bulat dengan sepasang mata coklat terang berbinar seperti permen. Membuatnya terpukau."Ini Raffa," kata Hazen muncul di belakang Raffa dan menggandeng anak itu. Raffa mendongak dan tersenyum pada Hazen.Arthur mengerjap sekaligus heran. Matanya menatap Hazen penuh tanya, sementara gadis itu sendiri hanya tersenyum.Beberapa saat kemudian ...Ketiganya su
Lintang memekik pelan manakala kantong kertas berisi makanan yang dibawanya jebol, sehingga isinya pun berjatuhan di trotoar. Sambil menggerutu pelan ia berjongkok memunguti buah-buahan yang tercecer. Sebutir apel menggelinding ke sisi lain dan terhenti di kaki seseorang, Lintang sejenak tertegun saat melihat orang itu menunduk dan mengambil apel itu. Ia pun mendongak."Halo, Lintang, apa kabar?" Mata Lintang langsung melotot kaget melihat seraut wajah yang sangat dibencinya. Mahawira Bramantya , mantan suaminya. Bayangan semua kejadian 5 tahun ke belakang mendadak muncul dan berseliweran di kepalanya, membuat tubuhnya menggigil ketakutan.Tak pikir panjang Lintang langsung berbalik badan dan berlari. Tak didengarnya teriakan Wira yang memanggil namanya, dan mengabaikan tatapan orang-orang yang melihatnya dengan heran. Ia tak melihat kemana arahnya berlari dan membuatnya menabrak seseorang yang muncul dari belokan.BRUK!Lintang pun terjatuh ke belakang, begitu juga orang itu. Kedua
Mengetahui jika Wira juga sudah berada di kota ini, Arthur pun memperketat keamanan rumah mereka. Karena bukan tidak mungkin jika Wira berhasil menelusuri mereka sampai ke sini. Namun yang menjadi penasaran adalah, bagaimana ceritanya Hazen menyelamatkan Lintang?"Apa kamu kenal dia?" tanya Lintang ketika Arthur menanyakan tentang Hazen.Arthur sejenak merasa bingung harus menjawab apa, namun entah mengapa kepalanya terlanjur menggeleng begitu saja."Aku hanya ingin tahu bagaimana dia menolongmu waktu kemarin," kata Arthur.Lintang terdiam, mengingat apa yang terjadi saat Wira menculiknya."Wira membawaku dengan sebuah mobil, aku tak bisa berteriak karena dia terus membekap mulutku dengan kain," tutur Lintang, "tapi ketika itu tiba-tiba terdengar suara letusan senjata dan mobil oleng dan menabrak pembatas jalan, Wira bahkan mengumpat dan menarik senjata api dari balik jasnya, dia mengira itu adalah kamu," terangnya menatap Arthur.Arthur mendengarkan dengan sungguh-sungguh. "Lalu, te
Lintang tertegun dan perlahan senyumnya memudar, namun itu tak sempat dilihat oleh Arthur dan pintu pun menutup rapat. "Hazen?!" gumam Lintang dengan rasa terkejut dan heran, "kenapa dia ada disini?" Dengan rasa penasaran yang tiba-tiba saja memenuhi benaknya, Lintang mengintip sedikit dari balik pintu. Tampak Arthur dipanggil oleh seorang pria setengah baya, dia bersama Hazen di sana. Dan Lintang merasa jantungnya berdetak semakin cepat manakala melihat Arthur berjalan mendekati mereka. Dia ingin melihat reaksi Arthur di hadapan Hazen. Dan ia pun tercengang saat Hazen yang tersenyum lebar dan Arthur merentangkan tangannya dan mereka berpelukan untuk sesaat. Yang bagi Lintang itu seolah menjadi sambaran petir di siang bolong."Arthur, kamu mengenal dia?!" gumamnya terkejut dan tak percaya dengan apa yang dia lihat, "tapi kenapa ..."Lintang mengingat saat Hazen mengantarkannya pulang setelah selamat dari Wira. Mereka seolah tak saling kenal.Lintang mencoba untuk tetap tenang dan
Arta berlari keluar dari rumah sambil menangis. Namun ketika dia baru saja menginjakkan kakinya, dia terhenti dan tertegun karena mendapati Arthur dan Lintang ada di pintu gerbang halaman rumah mereka. "Arta!" panggil Lintang, matanya tampak sudah berkaca-kaca menatap Arta dengan penuh kerinduan. Namun tatapan mata Arta tertuju pada Arthur, anak itu tampak masih memiliki pandangan yang sama yaitu kebencian. "Anakku!" ucap Arthur seraya berjalan mendekat pada Arta. Ketika itu tampak Fala dan Alya keluar dari rumah untuk mengejar Arta, namun mereka pun terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Arthur dan Lintang ada di sana. Arta tampak berdiri kaku menunggu Arthur mendekatinya, tangannya mengepal dengan erat. "Tolong maafkan aku, apapun akan aku lakukan agar kamu bisa menerimaku!" ucap Arthur dengan mata penuh kesedihan. Arta tak menjawab, namun dia membuang muka seolah tak sudi untuk menatap Arthur. "Mama bahkan sudah memaafkan kami, kenapa kamu saat membenci Papa?" ucap Ar
Dengan semangat membara Arthur pun berusaha untuk pulih secepatnya. Dia berusaha untuk berjalan dengan menggunakan tongkat, menyangga tubuhnya yang masih terasa lemah.Lintang pun melihat perkembangannya, antara gembira dan juga sedih karenanya. Juga di sisi lain dia mencemaskan keadaan Candra yang semakin hari justru semakin mengkhawatirkan. Itu membuat mereka semakin diburu waktu untuk secepatnya menemui Arta."Istirahat dulu, Sayang," kata Lintang ketika melihat Arthur yang terengah-engah dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Sudah sejak pagi dia berjalan-jalan di sekitar taman sampai matahari naik dan bersinar sedikit panas di atas mereka.Arthur pun mengangguk lalu berjalan menghampiri Lintang yang duduk di kursi taman."Kita harus segera pergi ke sana!" kata Arthur setelah meneguk minumannya.Lintang tersenyum mengangguk, "Ya, aku juga tidak sabar untuk segera memeluknya!" timpalnya.Arthur tersenyum letih, "Ya, kita pasti bisa!" ucapnya penuh keyakinan.Raut wajah Lintang be
Lintang merasa dia harus bertindak. Dia ingin sekali menangis menumpahkan semua rasa lelah dan kesedihannya, tapi dia tidak boleh lemah. Karena saat ini dirinyalah satu-satunya yang bisa menyatukan keluarga Adiwilaga, termasuk membuat Arta kembali pada mereka.Hari ini Arthur pulang ke rumah, kondisinya sudah sedikit lebih baik dan menurut dokter masa pemulihannya bisa berjalan dari rumah."Senang rasanya kembali ke rumah!" ucap Arthur ketika turun dari mobil, Bram membantunya untuk duduk di kursi roda."Selamat datang kembali di rumah!" ucap Lintang, dia mencondongkan tubuhnya memeluk suaminya dengan hangat.Arthur tersenyum, namun matanya tidak bisa menepis pemandangan dari wajah Lintang yang tampak kelelahan dengan kantung hitam di bawah matanya."Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Kamu terlihat tidak sehat!" tanya Arthur dengan khawatir.Lintang menatap ke arah Bram dan Mira bergantian, lalu tersenyum canggung."Tidak apa-apa, hanya sedikit kurang tidur saja" tepisnya.Arthur tersen
Candra melangkah menuju kamarnya, namun ada yang berbeda dengan langkahnya, yang tampak sedikit diseret dan tampak terhuyung-huyung. Pria tua itu membuka mulutnya untuk bernafas, dia merasa oksigen semakin menipis di sekitarnya sehingga dia tampak tersengal-sengal. "Ya, Tuhan!" keluhnya pelan, tangannya yang bebas bergerak naik meraba dada kirinya. Pria tua itu menghentikan langkahnya untuk sekedar beristirahat, berharap jika dia bisa mendapat sedikit tenaga. Namun kemudian dia mengernyit dengan nafas tertahan, bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. Tangannya yang memegang tongkat terlepas, bermaksud untuk mengjangkau dinding karena dia merasa tubuhnya lemas. Namun sebelum tangannya menyentuh tembok di dekatnya, Candra sudah ambruk di lantai. Tangannya tanpa sengaja mendorong sebuah guci sehingga oleng dan lalu jatuh pecah berantakan, membuat suara nyaring di sepanjang koridor kamar. Mira yang baru saja pulang dari kantor menjalankan perintah Candra terkejut mendengar suara b
Bram menatap Arta menunggu jawaban anak itu, sorotan matanya terlihat tegas ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Arta. Dia tidak akan bersikap lunak pada anak itu karena dia takut jika Arta terlalu lama dibiarkan seperti ini, maka dia akan semakin menjauh dari ayah dan ibunya sendiri."Arta?"Arta pun tampak sedikit gentar menghadapi Bram, kepalanya tertunduk dalam."A-aku ... tidak ingin mengganggu istirahat Papa, lain kali saja aku akan datang, Paman!" ucapnya.Alya merangkul bahu Arta untuk membuatnya sedikit tenang, dia juga menyadari jika ternyata anak itu terlihat segan terhadap Bram daripada orang lain.Bram menarik nafas panjang."Baiklah, kamu beristirahatlah dengan lebih baik di sana sampai ayah dan ibumu menjemputmu nanti," kata Bram, dia maju untuk menyentuh kepala Arta. Dia juga merasa sedikit bersalah karena bersikap tegas pada anak itu.Arta pun mengangguk, "Terimakasih, Paman!" ucapnya.Bram kemudian menatap Fala, "Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku!" katanya.
Arta tampak tengah duduk di ranjangnya, memperhatikan Fala yang sedang membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas. Dia sudah diperbolehkan pulang hari ini."Kamu siap untuk pulang?" tanya Fala tanpa menoleh, setelah menutup tas itu barulah dia memutar tubuhnya ke arah Arta.Anak laki-laki itu tak langsung menjawab, dia malah balik menatapnya. Sorot matanya terlihat ragu."Ada apa, Nak?" tanya Fala tanggap, karena dia melihat jika Arta sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Dia lalu mendekat dan duduk di dekat anak itu.Arta tertunduk memandangi tangannya yang sedang memegang rubik. "Apa aku bisa pulang bersama kalian saja?" tanyanya.Fala tertegun mendengarnya. Itu memang menggembirakan, apalagi jika Alya tahu. Tapi situasinya saat ini sungguh riskan, dia tak bisa memutuskan begitu saja sekarang ini. Fala pun menghela nafas dan menyentuh kepala Arta dengan lembut."Kamu tahu sekarang kami sudah tidak berhak lagi menentukan, kecuali kamu meminta izin dulu pada orangtuamu," kata F
Pagi hari, Arthur sepenuhnya membuka mata. Kondisinya masih tampak lemah, namun setidaknya dia sudah bisa diajak bicara."Anda bisa menemaninya di sini, tapi tolong jangan mengajaknya mengobrol terlalu lama, beliau masih butuh istirahat!" kata Dokter memberi imbauan.Lintang pun mengangguk, dia mengerti kondisi Arthur saat ini. Meskipun begitu dia cukup lega karena suaminya sudah melewati masa kritis malam tadi.Dokter pun tersenyum kemudian berpamitan keluar dari ruangan.Alya dan Bram mengerti, mereka turut berpamitan dan memilih menunggu di luar dan membiarkan Lintang menemani Arthur sendirian saja."Selamat pagi!" sapa Lintang menyentuh tangan Arthur dengan lembut.Arthur yang saat itu masih terpejam pun perlahan membuka matanya, dia tersenyum melihat Lintang ada di sampingnya."Kamu di sini," ucapnya, suaranya setengah berbisik.Lintang menarik kursi dan duduk lebih dekat selagi memegangi tangan Arthur."Selamat datang kembali!" ucap Lintang seraya mencium tangan Arthur.Arthur t
Arthur mengalami lonjakan kondisi yang menegangkan, beberapa orang dokter berusaha untuk menolongnya hingga untuk beberapa lama ruangan itu pun tertutup dan tak terdengar apapun. Membuat Lintang yang menunggu di luar semakin tegang dan dipenuhi kecemasan tak terkira.Saat-saat yang menegangkan pun kemudian berlalu, dan suara pintu yang terbuka membuat semua orang yang menunggu di luar seketika berdiri menyambut dokter yang keluar dari dalam sana."Bagaimana, Dok? Bagaimana suami saya? Apa dia baik-baik saja? Apa dia selamat?" Lintang langsung mengajukan beberapa pertanyaan, Alya berdiri di sampingnya dan mengusap bahu wanita itu untuk membuatnya tenang.Dokter tampak menarik nafas panjang, sepertinya dia pun baru saja melalui saat-saat tegang mengurus pasiennya itu. Tapi kemudian raut wajahnya terlihat cerah."Tuan Arthur berhasil melalui masa kritisnya, dia baik-baik saja!" jawabnya.Lintang pun seketika meluruhkan bahunya dan menangis dengan penuh rasa syukur."Terima kasih, Ya Tuha
Arta tampak marah di kursi rodanya, dia menatap semua orang Lintang dan Alya dengan mata merah berair."Kenapa kalian menyembunyikannya dariku? Apa lagi hal yang kalian sembunyikan? APA?!" teriaknya histeris. Dia bangkit dari kursi rodanya, lalu dengan langkah hampir limbung berlari menjauh."Arta!" "Lepas!" sergah Arta pada Fala yang menangkapnya karena hampir terjatuh. Fala pun membiarkannya dan hanya bisa menatap anak itu berlari pergi ke arah lain."Mas, bagaimana ini?" kata Alya menghampiri Fala dengan wajah cemas.Fala memegang tangan istrinya itu, "Kita biarkan saja dulu, akan sangat kacau jika kita menahannya saat ini," katanya sendu.Lintang pun terdiam dalam tangis.Fala lalu menoleh pada Alya, "Kamu temani Lintang, biar aku yang mengawasi Arta," katanya, yang kemudian diangguki oleh Alya.Fala menatap Lintang sebentar sebelum akhirnya dia bergegas mengejar Arta. "Aku akan membantu mencarinya!" kata Bram, Lintang mengangguk setuju padanya.Bram pun berpamitan dan berlari